"Kau akan menyesali pernah dilahirkan ke dunia ini!" bisik Dewantara dengan gigi gemeretak, saat melewati tubuh Ayra menuju ruangan yang sudah dipenuhi banyak orang sebagai saksi atas pernikahan dadakan ini. Betapa pria itu sangat membenci Ayra dengan semua yang terjadi pada dirinya. Kalau membunuh tidak dilarang, maka ingin rasanya dia mencekik gadis itu karena sudah membuatnya dalam masalah ini.
Ayra yang mendengar itu hanya bisa menghela napas. Dia sadar kalau ke depannya hidupnya tidak akan mudah. Ingin menangis lagi? Apa gunanya.
Pantulan dirinya di cermin dengan menggunakan gaun indah berwarna rose gold, jelas membuat dirinya anggun dan begitu memukau, tapi tidak bisa memikat Dewandaru, putra kedua keluarga Adiaksa.
Ayra tidak bisa menyalahkan Dewa atas pernikahan yang akan dilangsungkan lima menit lagi ini. Harusnya bukan Dewa yang ada di sana, mengucapkan janji suci atas dirinya, tapi Egi Pratama, anak sulung keluarga itu, sekaligus orang yang dibenci Dewa.
Yah, perjodohan itu sudah diatur sejak dulu, saat Ayra lahir di dunia ini. Ayra ingin menolak, tentu saja, dia masih muda, baru 20 tahun, dan menikah jauh dari keinginannya saat ini. Namun, ayahnya yang sudah sangat sekarat, memintanya memenuhi janjinya sebelum pria itu berpulang untuk selamanya.
"Ayah tidak akan bisa menjagamu lagi, maafkan ayah karena tidak bisa memberikan kebahagiaan dan kenyamanan hidup untukmu. Berjanjilah pada ayah, kau akan menikah dengan anak Om Dito. Dia akan datang mencarimu," ucap Heri dengan napas tersengal-sengal. Selang di bawah hidungnya membuatnya tampak lelah untuk bicara.
"Aku gak mau, ayah. Aku ingin tetap bersama Ayah. Aku gak mau menikah," tolak Ayra dengan suara bergetar. Dia tidak akan menangis lagi, setidaknya jangan di hadapan ayahnya. Sudah cukup seminggu ini dia berurai air mata.
Heri keluarga satu-satunya yang dia punya, dan kali ini pria itu juga akan meninggalkannya seperti yang dilakukan sang ibu.
"Ayah mohon. Biarkan ayah pergi dengan tenang. Ini juga harapan ibumu. Bagaimana nanti ayah akan menyampaikan hal ini padanya?" Heri masih membujuk putrinya untuk menerima permohonan itu.
Ayra tidak sanggup lagi, napas ayahnya yang tersengal, dan air mata yang keluar dari sudut mata pria sekarat itu, akhirnya membuat Ayra mengangguk.
"Pak, sebaik kita mulai saja acaranya. Waktunya sudah hampir habis," ucap pak penghulu melirik kembali jarum jam di pergelangan tangannya.
Dito mengangguk, segera bangkit mencari Dewa yang diminta untuk berganti pakaian. Untung saja saat kabur dari rumah itu, Egi meninggalkan baju pengantinnya di atas kursi di dalam kamarnya, hingga Dewa bisa memakainya.
Dito tidak jadi melangkah, karena tepat saat itu Dewa masuk ke dalam ruangan dengan wajah seperti seorang terpidana mati yang sudah tiba giliran untuk dieksekusi.
Dito tersenyum lega. Dia selamat karena pertolongan Dewa. Dia akan mencari Egi, memberi pelajaran pada anak sulungnya itu, atas tindakannya yang sudah mempermalukan mereka semua.
Tak ayal, kepergian Egi mendatangkan banyak pertanyaan dari para tamu. Mereka pasti heran, karena foto yang disebar dalam undangan, pengantin pria nya sangat berbeda.
Kalau memang tidak ingin melanjutkan perjodohan ini, kenapa tidak bilang dari awal? Oke, baik, Egi memang menolak rencana perjodohan itu pada saat kali pertama Dito menyampaikan niatnya, tapi setelah 1200 kali mencoba dan dengan memaksa tentu saja, akhirnya, Egi mau menikah. Namun, dasar bandit, di saat hari 'H', dia justru kabur membuat Dito kalang kabut.
"Kau yang harus menggantikan abangmu!" perintah Dito saat itu, di depan semua keluarga.
"Gak bisa. Jangan gila kamu, Mas. Kenapa kamu jadi menumbalkan Dewa untuk memenuhi hasrat gila mu itu? Kalau Egi sudah pergi, tinggal batalkan saja pernikahan ini!" Sambar Maya, dengan tegas menolak pernikahan itu. Mana mungkin dia menyerahkan putranya pada wanita tidak jelas.
Pada awal bertemu dengan Ayra saja, Maya sudah membenci gadis kampung itu. Baginya, Ayra tidak layak menjadi menantunya dan pastinya wanita itu mau menerima perjodohan ini hanya karena keluarga mereka kaya raya.
"Tidak bisa, May. Pernikahan ini harus tetap berlangsung. Lihat, banyak orang datang di sana. Lagi pula, aku sudah janji pada Heri, akan memenuhi wasiatnya!" Seru Dito menatap tajam istrinya.
Dewa yang duduk di salah satu kursi tunggal dengan punggung bersandar dan kepala menengadah. "Aku gak mau, Pa. Lebih baik papa bunuh saja aku!" Jawab Dewa buka suara. Sudah satu jam mereka berdebat dan sudah lebih 500 kali mungkin ayahnya meminta hal itu.
Pikiran Dewa saat ini sedang kacau, kalut. Seminggu lalu, wanita yang dia sangat cintai memutuskannya dengan alasan tidak masuk akal, ingin mengejar karirnya di dunia keartisan terlebih dahulu, jadi tidak ingin diganggu oleh masalah asmara.
Dengan harga diri terluka, Dewa menerima permintaan Helga. Dan seolah penderitaan belum lengkap, kini dia dipaksa menikah dengan orang yang tidak dia cintai. Gadis kampung hanya tamatan SMA. Wajahnya saja belum dia lihat, dan justru harus dia nikahi saat ini juga.
Dia menyesal kena jebakan ayahnya. Pernikahan Egi dan Ayra sudah dia ketahui dari awal, itu pun dari ibunya, dan Dewa berencana untuk menyingkir sesaat, tidak ingin menghadiri pernikahan itu. Namun, saat Jim, asisten ayahnya mengabarkan kalau Dito pingsan kena serangan jantung, yang pada akhirnya dia ketahui adalah sebuah prank, membuatnya datang ke rumah itu dan akhirnya terjebak dalam masalah ini.
"Baji*ngan lo, Gi. Lo yang buat masalah, harus gue yang bersihin!" umpatnya dalam hati, mengingat abangnya di luar sana yang mungkin saja sudah tertawa lepas karena berhasil bebas dari belenggu sang ayah.
"Kau harus mau, kalau tidak, Papa akan menarik semua investasi yang papa berikan di perusahaan yang saat ini kamu kelola, dan yang terparah, papa akan menyita semua hartamu, dan membekukan perusahaan itu!"
"Saaaah!" Teriak para tamu undangan yang sekalian jadi saksi di acara pernikahan itu. Dito kini bisa bernapas lega, seakan beban di atas pundaknya terbang.
Di sampingnya, Maya mendelik marah ke arah Ayra. Dia masih tidak bisa menerima kenyataan kalau kini gadis udik itu sudah menjadi menantunya.
Harapannya memiliki menantu yang dapat dia banggakan pada teman-teman arisannya, pupus sudah. Apakah Maya akan menyerah dan menerima Ayra? Tentu saja tidak.
Seujung kuku pun wanita itu tidak akan mengakui keberadaan Ayra sebagai mantunya. Diliriknya kembali wajah Dewa yang tersiksa, membuat Maya semakin panas. Anak kesayangannya itu sangat menderita dengan menyandang status sebagai suami wanita kampung.
Bagaimana kalau teman-teman nya tahu dia menikahi gadis miskin? Jauh dari kata modis dan berpendidikan? Tidak ada yang bisa di banggakan dari diri Ayra, kecuali wajah cantiknya.
Ya, Maya mengakui kalau Ayra memiliki wajah yang cantik. Malah wajah gadis itu seperti familiar, seolah pernah dia lihat sebelumnya. Namun, sekuat apapun Mata mengingat, tetap saja tidak bisa menemukan sosok yang memiliki wajah yang sama.
Acara berlangsung sederhana. Hal itu awalnya persyaratan Egi, dia mau menerima pernikahan ini, asal jangan mengadakan acara resepsi pernikahan, Dito setuju, dalam benaknya, yang paling penting putranya itu sudah setuju dulu untuk menikah.
"Ayo, salim tangan kedua mertuamu," ucap wanita yang juga ikut mendampingi pak penghulu, mungkin istrinya. Dengan lembut membelai lengan Ayra yang sejak tadi hanya diam. Dia bak boneka, dihias menjadi secantik ini, tapi tidak bernyawa, tidak bersuara dan tidak punya hak memutuskan apa yang dia inginkan dalam hidupnya.
Dewa pun bangkit, menyalami ayah dan ibunya, diikuti Ayra di belakang. "Terima kasih sudah menjadi menantu, Om. Selamat datang di keluarga ini, Ay. Bagi Om, kamu bukan hanya seorang menantu, tapi juga putri Om," ucap Dito penuh haru. Lama dia mengamati wajah Ayra, memuaskan rasa rindunya.
Hal itu tidak luput dari pandangan Maya yang semakin membuatnya panas. Dia semakin membenci Ayra. Tiba giliran berjabat tangan dengannya, Ayra menarik tangan Maya yang enggan wanita itu berikan, lalu mencium punggung tangannya, setelahnya, saat cium pipi kiri, Maya mengambil kesempatan untuk menunjukkan sikapnya.
"Kau akan menyesal menerima pernikahan ini. Aku akan membuat hidupmu seperti di neraka!" bisiknya tanpa ada yang mendengar selain Ayra.
Sontak gadis itu terkejut. Walau sudah beberapa kali tertangkap kamera matanya, kalau mertuanya memang tidak menyukainya, tapi sikap terang-terangan seperti ini baru lah yang pertama. Wanita itu sudah mengibarkan panji peperangan di antara mereka.
Maya melerai pelukan mereka, dan kembali memasang senyum di bibir agar semua orang yang ada di sana, melihat betapa baik dan ramahnya Maya pada menantunya.
Acara selesai pukul lima sore, walau masih ada beberapa tamu undangan yang belum pulang. Mengobrol ditemani oleh Dito.
Dito sudah memerintahkan kamar Dewa saat masih lajang dan tinggal di sana, untuk dibersihkan, dan didesain lagi menjadi lebih indah dengan sentuhan warna lembut, tidak seperti awal berwarna gotik. Tujuannya karena kamar itu akan dijadikan kamar mereka berdua nantinya.
Ingin sekali rasanya Dewa menarik pelatuk pistol yang ada di laci meja kerja ayahnya, dan meledakkan kepalanya sendiri. Ayahnya benar-benar musuh terberat dan tidak bisa diprediksi langkahnya.
Dia sudah menyetujui menikah Ayra, dengan segenap kebencian dalam hatinya, dan ternyata hal itu belum cukup, Dito juga memerintahkan agar Dewa kembali ke mansion mereka dan hingga kembali bersama satu atap.
"Papa apa-apaan, sih?!" ucapnya dengan nada tinggi. Dia masih mengenakan pakaian pernikahannya kala mendapati kabar dari Tom, asistennya.
"Maaf, permisi sebentar," ucap Dito pamit pada para tamunya dan bangkit menemui Dewa yang ada di ambang pintu.
Dito terus melangkah masuk, menuju ruang kerjanya. Apapun yang ingin diperdebatkan oleh Dewa saat ini, tidak mungkin mereka lakukan di depan para tamu.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Dito seakan tidak merasa bersalah. Dia duduk dengan tenang di kursi kerjanya, menantang Dewa dengan tatapan tajam.
"Apa maksud Papa memerintahkan Tom membawa semua pakaian ku dari apartemen, dan memindahkannya ke kamarku di rumah ini?" salak Dewa tidak bisa lagi menahan emosi. Sejak tadi dia membendung amarah, akan sikap diktator ayahnya.
"Oh, Papa hanya ingin membantumu," jawabnya santai.
"Membantu?" sambar Dewa. Rasanya tidak ada bantuan yang berfaedah dirasakan Dewa dari yang dilakukan ayahnya.
"Iya, kamu perlu pakaian, dan,"
"Aku gak perlu pakaianku dibawa kemari, karena aku gak tinggal di sini, Papa. Aku akan pergi, kembali ke apartemenku!"
"Apartemen yang papa beli! Papa hanya ingin kita kembali menjadi satu keluarga yang kompak seperti dulu, terlebih karena saat ini kau sudah menikah. Jadi, lebih baik kalau kau kembali tinggal di sini!"
"Aku gak akan mau kembali tinggal di sini! Satu hal lagi, kita tidak pernah kompak! Keluarga ini adalah keluarga teraneh yang pernah aku ketahui!" bantah Dewa.
"Well, intinya, papa ingin kita tinggal bersama. Kau dan istrimu menempati kamarmu yang lama. Kau tidak mungkin berpikir, kalau papa akan membiarkan kau membawa Ayra ke apartemen mu. Bisa mati dia kau buat!"
Dewa kehilangan kata-kata. Dia menatap marah, sangat marah, mendekati benci. Ini semua tidak akan terjadi kalau Egi tidak kabur, dan lebih dari itu, semua masalah memuakkan ini tidak akan terjadi kalau Ayra Putri tidak ada di dunia ini!
Penuh emosi, Dewa keluar dari ruangan itu, menghantam pintu rumah kerja hingga bingkai foto di dinding bergetar dan hampir jatuh.
"Semua masalah ini datang dari wanita udik itu. Aku akan membunuhmu!" umpat Maya marah, mengepal tinjunya.
"Itu tempatmu tidur!" umpat Dewa melempar bantal ke wajah Ayra. Gadis itu mendelik kesal, ingin rasanya melempar kembali bantal itu ke wajah pria yang kini sudah jadi suaminya.
Ayra berjalan ke arah sofa yang ditunjuk oleh Dewa. Cukup besar untuk tubuhnya yang langsing. Dia mengalah, dia pendatang baru di sini.
Kembali dia melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambutnya. Rasa segar di tubuhnya setidaknya membuat jiwanya yang sempat terbakar bisa kembali adem.
Sejak dari pagi hingga malam ini, dia sudah bisa mempelajari satu persatu karakter orang-orang di rumah itu. Jangan ditanya lagi, mertua dan suaminya sangat membencinya, hanya Dito yang tampak tulus menyayangi dan melindunginya.
Ayra sempat berbincang dengan dua pelayan di dapur, dan bersyukur mereka begitu ramah padanya. Sempat bercerita kalau anggota keluarga ada dua orang lagi yang belum hadir. Pertama Egi, yang dia ketahui saat pernikahannya akan dilangsungkan pagi tadi adalah orang yang harusnya menikah dengannya. Putra sulung keluarga ini, anak kesayangan Dito, dan kedua, ada Oma Tika yang saat ini sedang melakukan perjalanan umroh.
Kalau menurut Tuti dan Jum, Oma adalah ibu Dito, orangnya galak, tegas tapi hatinya baik. Sayangnya dia milih-milih siapa yang dia sukai. Dan info yang terpenting diketahui Ayra, Oma Tika tidak akur dengan Maya.
Setidaknya Ayra satu kubu dengan Oma, dibenci oleh Maya, nyonya rumah itu yang super galak. Walau Dito cukup tegas, tapi biasanya pria itu tidak akan membantah omongan Maya.
Itulah sebabnya, para pelayan heran, mengapa saat perjodohan itu ditentang oleh Maya, Dito tetap bersikeras, ingin mempertahankan keputusannya, hingga banyak barang-barang mahal yang menjadi sasaran, dipecahkan oleh Maya saat mereka berdebat.
"Apa yang kau harapkan dengan pernikahan ini? Apa kau sudah gila? Kau kehilangan akal sehatmu, Mas, seiring dengan penyakit mu!" Salak Maya tanpa nurani. Mengingatkan kembali penyakit serius yang dialami Dito saat ini.
"Kau benar. Anggap saja aku memang sudah gila!" jawabnya singkat. Menatap ke arah jendela kamar mereka.
Kenangan itu muncul lagi. Tidak menyangka setelah puluhan tahun, akhirnya dia mendapatkan kabar dari sahabatnya.
"Katakan padaku, alasan apa sampai kau harus memenuhi keinginan orang miskin yang bahkan sudah meninggal!"
"Jaga lidahmu, May. Hormati sahabatku! Dia itu sahabat sekaligus penolongku!"
Dito kembali teringat masa itu. Kelam dan akan selalu dia ingat sampai menutup mata.
Dia akan berakhir di jalanan bersama anak dan istrinya kalau Heri tidak menolongnya. Tidak memiliki apapun, bahkan terikat hutang yang bertumpuk. Anak-anaknya kelaparan, dan Maya hanya bisa menuntut kala itu.
Dan dari semua yang terburuk, Dito hampir dijebloskan ke penjara karena tidak bisa membayar hutangnya.
Hingga dewa penyelamatnya datang. Heri yang juga sahabat dekat dan teman kuliahnya tanpa sengaja bertemu dengannya. Heri begitu gembira bertemu dengan Dito saat itu di pinggir jalan.
"Aku sudah lama mencarimu! Kemana saja kau?" ucap Heri memeluk Dito kala itu.
"Aku di sini, Her. Aku juga senang bertemu denganmu," jawab Dito terharu. Dia begitu gembira bisa bertemu kembali dengan teman masa kecilnya itu. Namun, raut gembira itu seketika menghilang kala melihat penampilan Heri.
Dito minder. Tentu saja, pakaian lusuhnya sangat berbanding terbalik dengan jas mahal yang dikenakan Heri. Seolah mengerti dengan pikiran sahabatnya itu, Heri mengajak Dito bicara di salah satu cafe, memesan dua cangkir kopi dan mengobrol.
"Aku akan membantumu," putus Heri tersenyum, setelah mendengar semua cerita nestapa Dito.
"A-apa? Maksudmu?" tanya Dito.
"Kau tahu Fly Corp?"
Dito mengangguk dengan cepat. Siapa yang tidak mengetahui perusahaan besar di kota ini.
"Aku akan memberikannya padamu. Kau yang akan mengelola itu," ucap Heri penuh yakin. Tentu saja Dito menganggap itu bercanda, mana mungkin perusahaan sebesar itu dengan entengnya diberikan Heri padanya, yang paling membuatnya tidak percaya, ternyata perusahaan itu milik sahabatnya.
"Aku serius, Dit," lanjut Heri, seolah mengetahui tatapan tidak percaya Dito. "Aku hanya ingin mengurus perusahaanku yang ada di Bandung saja," lanjutnya lagi.
Ah, kenangan itu tidak mungkin terlupakan oleh Dito. Setahun berlalu, dan selama itu mereka masih berkomunikasi. Dito sudah berupaya untuk memberikan sebagian keuntungan perusahaan yang dia pimpin, karena kini sudah semakin berkembang, tapi Heri menolak dengan tegas.
Masuk tahun kedua, Heri semakin susah untuk dihubungi, hingga benar-benar hilang kontak. Dia mencoba mencari tahu dengan berkunjung ke Bandung, dia ingat nama perusahaan Heri, tapi sesampainya di sana perusahaan itu sudah pailit, bahkan gedungnya juga sudah dijual.
Orang yang ditugaskan Dito untuk mencari Heri juga tidak membuahkan hasil, seolah raib ditelan bumi. Firasatnya mengatakan Heri dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Hingga waktu terus bergulir, dan mereka benar-benar lose contact.
"Aku masih tidak mengerti, sepenting itu wasiat dari orang lain? Dia bukan siapa-siapa mu!" umpat Maya berteriak histeris.
"Dia bukan orang lain, dia adalah dewa penolong ku. Kalau tidak ada Heri, kau dan anak-anak mu, mungkin saja sudah jadi gembel di jalanan!" umpat Dito membuka pintu kamar lalu menghempaskan dengan kencang.
"Satu hal yang perlu kau ingat, kau mungkin sudah menikah denganku, tapi itu hanya demi permintaan papaku. Bagiku, kau bukan siapa-siapa, tidak berharga dan tidak penting. Jika kita bertemu di luar, jangan menyapa ku dan jangan memberitahu siapapun kalau kita suami istri!" ucap Dewa melipat tangan di dada, berdiri di tengah ruangan kamar, dan tepat di depan Ayra yang masih duduk.
"Kau tenang saja. Jika bagimu pernikahan ini tidak ada artinya, maka hal itu lebih tidak berarti lagi bagiku, tuan!" jawab Ayra tegas, sengaja menekankan kata tuan pada akhir kalimatnya.
Dewa sempat memicingkan matanya, menilai gadis itu yang dia nikahi, selain kampungan, dan juga tidak menarik, ternyata punya sikap liar dan bar-bar.
"Bagus lah kalau kau sadar diri, karena sampai kapan pun, kau hanya sampah yang dipungut ayahku, karena kasihan pada ayahmu. Asal kau tahu, betapa muak nya aku melihat wajahmu. Harapanku malam ini, ketika besok aku bangun, kau sudah menghilang, bagi debu tertiup angin, sama sekali tidak berharga!" hina Dewa sesaat sebelum meninggalkan kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!