NovelToon NovelToon

PERAHU KERTAS (Terjebak Masa Lalu)

Bab 1 PERAHU KERTAS

"Nad...! Naiklah. Di situ bahaya. Kadang ada buaya yang keluar dari sarangnya!" seru Surya pada Nadia.

Surya adalah sahabat Nadia sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Dan persahabatan mereka tetap terjalin sampai sekarang.

Nadia masih fokus menatap perahu kertasnya yang mulai hanyut terbawa air sungai. Aliran air yang tak terlalu deras di sungai ini, dipilih Nadia agar perahu kertasnya bisa melaju dengan sukses hingga ke laut.

Surya segera menuruni tebing yang cukup curam. Karena Nadia tak menghiraukannya.

"Nad! Kamu lagi ngapain?"

Nadia menoleh sekilas. Tangannya menunjuk ke arah perahu kertasnya yang sudah mulai menjauh.

"Apaan?" Surya berusaha mengikuti arah tangan Nadia.

"Perahu kertas," jawab Nadia. Matanya tak lepas dari benda itu.

"Perahu kertas? Punya siapa?" tanya Surya. Dia merasa tak ada yang istimewa dengan perahu mainan anak TK itu.

"Punyaku, Sur. Aku membuatnya semalam," jawab Nadia.

"Terus kamu datang jauh-jauh kesini hanya untuk menghanyutkannya? Aneh sekali kamu, Nad. Kayak anak TK aja," sahut Surya.

Nadia beranjak berdiri, saat perahunya sudah tak lagi nampak. Dia yakin, perahu itu akan sampai ke tujuannya.

"Perahu itu berisi tulisan tanganku, Sur. Curahan hatiku. Tentang cintaku. Tentang penantianku yang belum juga berujung. Semoga di tempat lain, entah di mana, Dewa menemukan dan membacanya," ucap Nadia.

Dewa adalah sahabat Nadia, juga Surya. Mereka selalu bersama sejak kelas satu SMA. Tapi ternyata Nadia memiliki perasaan yang berbeda pada Dewa.

Dan gayung bersambut. Dewa pun merasakan hal yang sama. Dia selalu merindukan Nadia lebih dari seorang sahabat.

Dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpacaran, setelah meminta ijin pada Surya sebagai sahabat. Dengan berat hati, Surya mengijinkannya.

Dan setelah mereka lulus, Dewa dan keluarganya pindah ke luar kota. Sejak saat itu, mereka hilang kontak. Dewa tak pernah memberikan kabar apapun.

Tinggalah Nadia dengan Surya, tetap menjalin persahabatan itu. Kemana-mana mereka selalu berdua. Bahkan banyak orang yang mengira kalau mereka sepasang kekasih.

"Hah...?" Mata Surya langsung terbelalak. Dia tak menyangka sahabatnya ini seperti orang yang tidak waras. Lalu Surya pun tertawa terbahak-bahak.

Nadia mengernyitkan dahinya.

"Ada yang lucu?" tanya Nadia.

"Iya. Kamu lucu. Sangat lucu, Nad," jawab Surya menghentikan tawanya sejenak, lalu kembali tertawa.

Sejak dulu Nadia memang sering melakukan hal-hal konyol yang di luar nalar. Meski Surya sudah terbiasa, tapi kali ini menurut Surya sangat luar biasa.

Nadia cemberut dan memalingkan wajahnya. Dia berusaha melihat lagi ke sungai. Perahu kertasnya sudah menghilang.

Surya sudah tenang kembali, lalu dia menarik tangan Nadia untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Lepasin, Sur. Aku mau di sini dulu." Nadia berusaha menepiskan tangan Surya.

"Mau ujan. Lihat tuh langitnya mulai gelap. Kamu mau keujanan di sini?"

Nadia menatap ke arah langit. Benar juga. Sudah mulai mendung.

"Apa nanti perahuku hancur terkena hujan, Sur?" tanya Nadia dengan khawatir.

"Ya iyalah. Lagian bikinnya pakai kertas. Pakai kayu. Biar anti air dan badai," ledek Surya.

"Kalau pakai kayu, gimana caranya aku nulis curahan hatiku, Sur?"

Surya melengos sambil menghempaskan nafasnya. Dia ingat betapa dulu Nadia dan Dewa bagaikan Romeo dan Juliet yang tak terpisahkan. Dan dirinya? Laksana obat nyamuk yang selalu ada diantara mereka.

"Kamu masih mengharapkannya, Nad?" tanya Surya perlahan.

"Iya, Sur. Aku yakin, Dewa juga masih mencintaiku," jawab Nadia.

"Kalau dia masih mencintai kamu, kenapa dia enggak datang kesini dan memenuhi janjinya?"

Nadia menatap wajah Surya.

"Kamu pernah berjanji sesuatu pada seseorang, Sur?" Nadia malah balik bertanya.

"Maksud kamu?" Surya tak paham dengan pertanyaan Nadia yang seperti mau mengalihkan pembicaraan.

"Setelah kamu berjanji pada seseorang, pastinya kamu akan berusaha untuk menepatinya, bukan?"

Surya mengangguk. Dia masih tak paham kemana arah pembicaraan Nadia.

"Begitu juga Dewa. Suatu saat nanti dia pasti akan datang memenuhi janjinya, Sur," ucap Nadia dengan yakin.

Surya melongo mendengar ucapan Nadia. Kamu begitu sangat mengharapkannya, Nad. Bagaimana kalau selamanya dia tak pernah datang? Apa kamu juga selamanya akan membiarkan hidupmu dalam penantian?

"Ayo naik. Aku jagain kamu dari sini," ajak Surya. Jalan menuju ke jalan kampung cukup terjal. Entah bagaimana tadi caranya Nadia sampai ke bawah.

Surya yang mencarinya ke sana ke mari, akhirnya menemukan Nadia di tepian sungai yang sangat sepi itu.

Dengan susah payah, akhirnya sampai juga mereka di jalanan kampung. Kampung yang tak jauh dari komplek perumahan tempat tinggal mereka.

"Kamu tadi jalan kaki, kesininya?" tanya Surya. Dia tak melihat motor matic kesayangan Nadia.

Nadia mengangguk. Jelas saja dia berjalan kaki, karena dia sudah survey lokasi sebelumnya, dan kebingungan memarkirkan motornya kalau membawanya.

Surya memarkirkan motornya di dekat sebuah gubug, yang entah milik siapa.

Surya mengajak Nadia ke gubug itu. Nadia mendahuluinya dan langsung merebahkan badannya. Gubug itu cukup bersih. Sepertinya sering digunakan orang untuk istirahat.

"Nad. Aku sudah berusaha mencari Dewa. Lewat medsos, lewat teman-teman kita, lewat tetangganya dulu. Hasilnya nihil. Tak ada informasi apapun tentang Dewa," ucap Surya. Dia duduk menghadap tubuh Nadia yang terlentang.

"Aku juga, Sur. Aku tak pernah bisa menemukan satu titik saja petunjuk tentang keberadaan Dewa. Tapi aku tak akan menyerah begitu saja," sahut Nadia, lalu memejamkan matanya.

Nadia sedang berkhayal, suatu saat nanti arjunanya akan memenuhi janjinya.

"Dan selamanya kamu akan menyiksa batinmu dengan penantian yang sia-sia?" tanya Surya.

Nadia langsung membuka matanya dan duduk. Matanya menatap tajam mata Surya.

"Kamu meragukannya?"

Surya mengangguk.

"Kamu tau kan bagaimana sifat Dewa? Tiga tahun kita mengenalnya, Sur. Apa pernah sekali saja, dia ingkar janji?" Nadia berusaha mengingatkan kembali kenangan mereka dengan segala kebaikan Dewa.

"Waktu bisa merubah sifat seseorang, Nad," sahut Surya.

Nadia menggeleng.

"Tidak, Sur. Orang lain boleh berubah. Tapi tidak dengan Dewa," ucap Nadia pasti. Dia selalu yakin bahwa Dewa masih selalu setia padanya.

"Jangan terlalu yakin, Nad. Aku takut nanti kamu akan kecewa. Kita sudah terpisah tiga tahun lamanya. Dan tak pernah ada tanda-tanda kalau dia akan kembali." Surya menatap mata indah Nadia. Mata yang mampu menghipnotis siapapun yang menatapnya.

"Baru juga tiga tahun, Sur. Seribu tahun pun aku akan menunggunya," sahut Nadia. Matanya menatap ke arah lain.

"Lebay kamu! Kayak pujangga yang lagi bikin puisi cinta!" Surya mendorong bahu Nadia pelan.

"Bi...arin. Hey, lihat kesana!" Nadia menunjuk ke suatu arah. Arah sungai itu mengalir perlahan. Dia bisa melihat sungai itu dari kejauhan.

Nadia langsung berlari kembali untuk memastikan perahu kertasnya tak terhempas dan akan sampai ke tujuannya.

Bab 2 GETARAN ANEH

Surya ikut berlari mengikuti Nadia. Khawatir Nadia akan terperosok kalau berdiri terlalu ke tepi tebing. Sungai itu berada jauh di bawah tebing.

"Lihat apa lagi, Nad? Kita pulang aja yuk," ajak Surya.

"Aku ingin memastikan perahu kertasku enggak terhempas, Sur," sahut Nadia. Matanya tak lepas dari aliran air sungai yang jauh di bawah sana.

"Jangan gila kamu, Nad. Perahumu kecil, mana bisa terlihat dari sini," ucap Surya. Ingin rasanya dia menyeret Nadia untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Itu dia, Sur! Lihat! Aku menandainya dengan gambar hati berwarna merah! Kamu bisa lihat, kan?" Nadia menunjuk pada sebuah benda kecil yang mengapung dan hanyut mengikuti aliran sungai.

Surya ikut menatapnya dengan jengah. Nadia bagai anak kecil yang menemukan mainannya kembali. Dia sangat kegirangan.

"Iya, Nad. Aku lihat. Tapi ini udah sore. Mendung juga," sahut Surya.

"Mendung tak berarti hujan, kan? Buktinya dari tadi mendung, enggak ujan juga." Sepertinya Nadia masih betah menatap ke arah aliran sungai.

"Kalau hujan akan repot, Nad. Di sini hanya ada gubug itu buat berteduh. Kamu siap kehujanan?"

"Kenapa enggak? Lagian aku udah lama enggak main ujan-ujanan. Kalau kamu enggak mau nemenin aku, pulang dulu aja, Sur." Nadia malah mengusir Surya.

"Gila kamu! Bahaya anak gadis sendirian di tempat sepi kayak gini." Akhirnya Surya mengalah. Dia tetap berdiri di sebelah Nadia. Berjaga-jaga jangan sampai Nadia nekat turun kembali ke bawah.

"Tuh, udah jauh. Apa kamu mau terus mengikutinya?" Surya menunjuk perahu Nadia yang semakin jauh dari pandangan.

Tanpa menjawab, Nadia berjalan kembali ke gubug kecil itu. Surya gregetan melihat Nadia malah duduk di sana. Bukannya naik ke jok motornya dan bersiap pulang.

"Kamu enggak akan nginap di gubug ini, kan?" tanya Surya.

Nadia malah kembali merebahkan diri. Surya menatapnya dengan kesal.

Andai saja bisa, ingin rasanya Surya menggendong tubuh kurus Nadia dan membawanya pulang.

Tapi Surya tak pernah punya keberanian apapun. Surya melangkah dan berdiri tepat di depan tubuh Nadia.

Dia tatap wanita yang selama hampir enam tahun menjadi sahabatnya itu dengan intens. Mata Nadia terpejam, seakan sedang menikmati suasana yang terlihat romantis kalau orang lain melihat kebersamaan mereka.

Walaupun kenyataannya, mereka sibuk dengan perasaan masing-masing.

Surya memalingkan mukanya saat merasa wajah dan tubuh Nadia begitu menggodanya. Meski wajah itu biasa-biasa saja. Tanpa sedikitpun polesan make up. Dan tubuh itu pun terlihat kerempeng.

Surya duduk di sebelah Nadia. Dia biarkan saja Nadia terlarut pada angannya. Surya hanya bisa menemani seperti biasanya.

"Sur..." panggil Nadia.

"Hhmm..." Surya tak menoleh sedikitpun.

"Aku kangen," ucap Nadia.

"Hhmm." Terus terang hati Surya sangat sakit mendengarnya. Nadia kangen pada sosok yang telah lama menghilang.

Sebagai sahabat, Surya juga merasa kangen pada Dewa. Orang yang paling dekat dengannya selain Nadia.

Tapi semua itu dia pupus, melihat kenyataan bahwa Dewa menghilang dan tak ada kabarnya sama sekali.

Nadia bangkit dan duduk di sebelah Surya. Sementara Surya menatap jauh ke depan.

"Surya Pradana...!" Nadia malah berteriak. Dia kesal karena Surya hanya menjawab dengan hhmm saja.

"Iya, Nadia Sofia. Enggak usah teriak. Aku enggak budeg," sahut Surya kesal. Karena Nadia berteriak tepat di telinganya.

"Lagian, malah melamun." Nadia langsung cemberut.

"Siapa yang melamun? Kamu yang dari tadi berkhayal terus. Enggak capek apa, mengharapkan orang yang udah ilang ditelan bumi?" sahut Surya.

"Jangan ngomong begitu dong, Sur. Bagaimana pun Dewa kan sahabat kamu juga." Nadia tak suka kalau Dewa dianggap hilang. Karena Nadia yakin, suatu saat nanti Dewa akan kembali.

"Justru karena dia sahabatku. Udah, ah. Ayo pulang. Udah sore." Surya berdiri. Tapi Nadia tak juga beranjak dari duduknya.

Surya mengulurkan tangannya. Berharap Nadia menyambut dan mau pulang bersamanya.

"Nad. Aku enggak perlu menyeretmu biar mau pulang, kan?" ucap Surya yang sudah makin kesal.

"Sejak kapan kamu berubah jadi pemaksa begitu?" Mata Nadia menatap tak suka pada sikap keras Surya barusan.

"Maafkan aku, Nad. Aku hanya tak ingin kita kemalaman di sini. Banyak nyamuk," ucap Surya.

Dulu aku yang jadi obat nyamuknya, Nad. Batin Surya.

"Sur. Boleh enggak aku minta sesuatu sama kamu?"

"Apa?" tanya Surya. Selama ini dia selalu menuruti apapun kemauan Nadia. Meski kadang suka protes duluan, tapi ujung-ujungnya mengikuti juga apa maunya Nadia.

"Aku ingin ke bukit di sana itu. Aku ingin melihat sunset. Dulu aku pernah ke sana. Indah banget," jawab Nadia.

"Pernah ke sana? Kapan? Sama siapa?" tanya Surya bertubi-tubi. Dia merasa selama bersahabat dengan Nadia, tak pernah sekalipun mereka ke sana.

Dan Surya hampir selalu ada dimanapun dan kemanapun Nadia pergi. Kecuali urusan keluarga. Itupun, kadang-kadang Surya diajak juga oleh mamanya Nadia.

Susi, mamanya Nadia, cukup dekat dengan Surya. Mungkin karena anaknya bersahabat dengannya cukup lama juga.

Nadia menepuk keningnya. Dia keceplosan. Mestinya dia tak perlu mengatakan hal yang dirahasiakannya dulu dengan Dewa.

Dulu, selepas mereka les pelajaran tambahan di sekolah, Dewa mengajak Nadia ke bukit kecil itu. Kebetulan Surya sudah pulang duluan karena ada saudaranya yang datang dari luar kota.

Sejak kelas satu, Surya sering mengajaknya ke bukit itu. Tapi Dewa selalu menolaknya dengan alasan kasihan Nadia. Karena jauh. Waktu itu, tak ada satu pun dari mereka memiliki kendaraan. Hingga untuk sampai di sana mesti jalan kaki, setelah turun dari angkot.

Kebetulan hari itu, Dewa dapat pinjaman motor dari bapaknya. Awalnya hanya ingin lebih cepat sampai saja dan pulangnya enggak kemalaman.

Karena diantara mereka, hanya Dewa yang rumahnya paling jauh. Kalau Nadia dan Surya masih satu komplek perumahan.

"Kita berdua aja? Nanti kalau Surya tau, kan enggak enak," ucap Nadia saat itu.

"Kita enggak usah bilang ke Surya. Gampang, kan?" sahut Dewa.

Dengan enggan, Nadia mengangguk. Bagaimanapun, Surya adalah sahabat mereka. Nadia merasa telah menikung kalau mereka pergi hanya berdua saja.

Karena cuaca saat itu sangat cerah, Nadia menurut. Dia membonceng Dewa sampai di bukit yang tak terlalu tinggi itu.

Di sana, mereka bisa menikmati udara sejuk sore hari juga sunset.

Nadia yang memiliki hape dengan kamera lebih bagus, berkali-kali mengambil gambar sunset. Bahkan selfie.

"Aku juga mau kita foto berdua kamu, Nad," ucap Dewa.

Tanpa curiga sedikitpun, Nadia berpose berdua Dewa. Awalnya hanya pose biasa. Tapi di jepretan berikutnya, Dewa memeluk pinggang Nadia. Dan posisi mereka sangat berdekatan.

Saat itulah, Nadia mulai merasakan ada getaran aneh dalam dadanya. Getaran yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Apalagi saat tak sengaja pipi mereka bertemu, wajah Nadia langsung merona.

Jantungnya berdegup sangat kencang. Ada apa dengan hatiku? Tanya Nadia pada dirinya sendiri.

Bab 3 CIUMAN PERTAMA

"Nad!" panggil Surya.

"Oh. Eh. Iya. A....apa Sur?" Nadia tersentak dari lamunannya.

"Malah melamun."

"Eng....enggak, kok," sahut Nadia.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," ucap Surya.

"Pertanyaan yang mana?" Nadia berfikir sejenak, berusaha mengingat pertanyaan Surya.

Otaknya yang tak terlalu cerdas membuat gampang loading kalau sedang melamun.

Sejak SMA, diantara tiga bersahabat itu, Nadia yang paling lemot. Kalau Dewa dan Surya, mereka selalu mendapat rangking. Sedangkan Nadia, bisa naik kelas saja sudah anugerah.

Tapi baik Dewa maupun Surya, tak pernah mempermasalahkan itu. Bagi mereka yang penting Nadia baik.

Saat kelas satu SMA, mereka satu kelas. Persahabatan mereka mulai terjalin, karena tempat duduk mereka yang berdekatan. Dan mereka sering membantu Nadia kalau kesulitan dalam pelajaran.

Kadang mereka memberi contekan pada Nadia saat ulangan, biar nilai Nadia tidak jeblok. Dan sebagai hadiahnya, Nadia akan mentraktir mereka jajan di kantin.

Nadia anak orang berada. Papanya seorang kontraktor kecil-kecilan. Kehidupan keluarganya jauh di atas Dewa dan Surya.

"Hh! Kamu itu! Kebanyakan melamun sih. Tadi aku nanya, kapan dan dengan siapa kamu pergi ke bukit itu, Nadia Sofia." Surya mengacak rambut lurus Nadia yang panjang sebahu.

Nadia hanya nyengir, karena barusan dia benar-benar nge-blank.

"Aku....Eh, tapi kamu jangan marah ya, kalau aku bilangin?" Nadia menatap wajah Surya.

"Kamu nyimpan rahasia dari aku, ya?" tebak Surya.

"Iya. Eh, enggak. Bukan begitu maksud kami, Sur," jawab Nadia.

"Kami? Kok kami?" Surya menatap wajah Nadia penuh pertanyaan.

"Mm....Maksudku, begini." Nadia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia merasa serba salah. Takut juga Surya akan ngambek dan meninggalkan dia sendirian.

Meski tadi berangkatnya berjalan kaki, tapi kalau pulangnya mesti jalan kaki juga, rasanya malas sekali. Sudah terlalu sore juga.

"Dulu, Dewa mengajak aku ke....sana." Nadia menundukan wajahnya. Telapak tangannya saling bertaut. Dia merasa sangat bersalah karena pergi tanpa bilang dulu pada Surya. Bahkan Dewa waktu itu menyuruhnya tidak usah memberitahukan pada Surya.

"Kapan?" tanya Surya dengan nada kecewa.

"Waktu kita pulang les pelajaran tambahan. Pas kelas tiga. Waktu itu, kamu pulang duluan. Kalau enggak salah karena ada saudara kamu datang dari luar kota," jawab Nadia.

Surya pura-pura acuh. Padahal dia berusaha mengingat kejadian itu. Pasti sangat sulit, karena bagi Surya, saat itu tak ada kejadian istimewa.

"Lalu?" tanya Surya lagi.

"Dewa kan bawa motor ayahnya. Terus dia ngajakin aku ke sana. Maaf, Sur. Bukan maksudku enggak mau ngajak kamu. Tapi Dewa waktu itu...." Nadia bingung mengatakannya. Kalau jujur, takut Surya tersinggung. Tapi untuk berbohong, itu bukan sifat Nadia.

Kedua orang tuanya selalu mengajarkan untuk selalu berkata jujur, meski akan menyakitkan. Itu juga kenapa Nadia selalu jujur pada Surya, bahwa dia masih selalu berharap kedatangan Dewa.

"Kenapa Dewa?"

"Dewa bilang....jangan bilang sama kamu. Soalnya kita pergi cuma berdua saja." Nadia menundukan lagi wajahnya.

Surya menghela nafasnya dengan kasar. Baginya sudah biasa di tinggal oleh mereka berdua, kalau mereka mau kencan.

Dewa pasti akan bilang kalau malam minggu dia malas keluar atau apalah, biar Surya tak mengajaknya nongkrong.

Ternyata Dewa apel ke rumah Nadia. Dan Surya yang selalu setia pada persahabatan mereka, saat itu memilih menonton televisi saja di rumahnya.

Dia tak tahu kalau tetangganya sedang diapeli Dewa. Karena Surya jarang keluar rumah.

"Ngapain aja kalian di sana?" Surya kepo juga. Meski dia sadar akan sangat menyakitkan baginya kalau mendengar cerita Nadia yang sebenarnya.

"Kami foto-foto berdua. Dan...." Nadia masih sangat ingat kejadian itu.

Kejadian dimana dia dan Dewa berpose selfi, dan Dewa memeluk pinggangnya.

Waktu itu, jantung Nadia berdegup sangat kencang. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Padahal angin di atas bukit itu cukup kencang.

Dan tiba-tiba Dewa mencuri ciuman di pipinya.

Cup.

Nadia langsung menoleh ke arah Dewa. Pipinya yang baru saja dikecup Dewa, langsung merah merona.

Dewa pun menatap wajah Nadia. Lalu Dewa mulai mendekatkan wajahnya. Dan berniat mencium bibir Nadia.

Dan entah apa yang terjadi dengan perasaan Nadia, dia seperti pasrah. Nadia memejamkan matanya.

Dia merasakan hembusan nafas Dewa yang semakin dekat. Jantung Nadia semakin berpacu dengan cepat.

Tapi saat hembusan nafas itu semakin dekat, tiba-tiba ada suara orang-orang yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Dan beberapa orang itu melihat apa yang akan dilakukan Dewa pada Nadia.

"Woy! Mau pada berbuat mesum, ya?" ucap salah satu dari mereka.

Spontan Dewa menjauhkan wajahnya. Dan Nadia pun membuka matanya. Mereka sama-sama terkejut.

Nadia merasa sangat malu karena kepergok orang lain. Wajahnya terasa sangat panas.

Lalu Dewa menarik tangan Nadia, untuk segera pergi dari tempat itu.

Dengan langkah terburu-buru, mereka pun meninggalkan bukit itu, diiringi sorak sorai tiga orang yang memergoki mereka.

Jangan ditanya bagaimana malunya Nadia. Ingin sekali dia ngumpet, tapi tak tahu dimana. Karena tak ada tempat yang bisa buat ngumpet.

Sampai di tempat parkir motor, Dewa langsung naik ke motornya dan menyuruh Nadia segera membonceng.

Dewa pun sepertinya merasa sangat malu pada orang-orang itu. Dan dia juga takut kalau sampai dihakimi mereka karena dianggap akan melakukan hal-hal yang tak senonoh.

"Dan apa?" tanya Surya.

Nadia kembali terhenyak dari lamunannya.

"Kita pulang aja yuk, Sur." Nadia malah mengajak Surya pulang. Sepertinya dia malu mengatakannya.

"Kamu enggak mau menjawab pertanyaanku?" tanya Surya.

Nadia menggeleng. Kali ini dia tak akan bicara keceplosan lagi. Malu rasanya kalau mesti menceritakan yang sebenarnya.

Lagi mau ciuman, malah kepergok orang lain. Pakai disoraki juga. Rasanya kayak maling yang ketahuan warga dan siap diadili.

"Kenapa?" Surya masih penasaran.

Nadia menghela nafasnya, lalu menghempaskannya perlahan.

"Sur. Ada hal-hal yang tak bisa aku ceritakan padamu. Maaf, untuk yang satu itu, aku enggak akan cerita," sahut Nadia.

"Iya, Nad. Maafkan aku juga. Tak semestinya aku menanyakan hal-hal pribadi pada kamu. Ayo kita pulang."

Surya melangkah ke motornya. Nadia mengikutinya. Dan tanpa di suruh, Nadia naik ke belakang Surya yang sudah menstater motornya.

Sepanjang perjalanan, tak ada yang membuka suara. Padahal biasanya, saat mereka berboncengan seperti ini, selalu riuh dengan candaan.

Nadia pun agak merenggangkan jarak. Tak seperti biasanya yang duduk lebih dekat. Bahkan tak jarang bagian dada Nadia menempel di punggung Surya.

Meski tak terlalu berisi, tapi dua gundukan yang hanya bisa Surya bayangkan itu, sangat terasa dan membuat jantung Surya berdegup kencang.

Tapi sekarang, jangankan nempel, Nadia malah memberi jarak.

Surya yang sedang tak fokus, mengerem mendadak karena tiba-tiba ada kucing berlari menyeberang jalan.

Dan otomatis, Nadia memajukan tubuhnya dan dadanya sukses menabrak punggung Surya.

"Oh, maaf. Enggak sengaja," ucap Surya. Lalu kembali melajukan motornya perlahan. Jantungnya berdegup sangat kencang, merasakan hantaman dua benda itu

Nadia pun kembali pada posisi semula tanpa banyak bicara lagi. Otaknya malah sedang mengingat kejadian di atas bukit itu bersama Dewa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!