Biru mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit. Usia kandungannya kini sudah memasuki lima bulan. Hatinya berbunga-bunga karena tidak lama lagi ia akan menyandang status sebagai Nyonya Ramdan. Usia Biru memang tergolong sangat muda, baru delapan belas tahun, ia belum lama lulus SMA. Namun Biru sudah siap memikul tanggung jawab sebagai seorang istri dan juga ibu.
Sebenarnya Ramdan, kekasih Biru bukanlah pemuda yang berkarakter baik. Ramdan temperamental dan tak segan mengayunkan tangannya memukul Biru. Namun karena Biru sudah menjadi “budak cinta", ia menutup mata dari fakta tersebut bahkan menutup telinga dari nasihat orang-orang terdekatnya.
Biru memasuki kediaman keluarga Ramdan dengan bibir yang terus menyunggingkan senyum. Satu bulan lagi ia akan tinggal di rumah tersebut bersama kekasihnya. Berbagai rencana indah sudah Biru susun dibenaknya.
Calon ibu itu sedikit bingung melihat suasana rumah yang lengang. Satpam yang membuka gerbang tak mengatakan apapun. Ia lantas melangkah terus ke dalam rumah. Ketika semakin dekat dengan ruang kerja orang tua Ramdan, sayup-sayup Biru mendengar suara-suara terkutuk dari dalam ruang kerja yang pintunya tidak tertutup sempurna.
Biru mengenali suara itu, karena sering ia dengar hingga menghasilkan embrio di dalam rahimnya. Jantungnya mulai berpacu tak terkendali, namun ia enggan menahan langkah. Dengan kedua tangan erat mencengkram ujung dress, Biru mengintip ke dalam ruangan dengan leluasa.
Tepat di depannya, Ramdan, Sang Calon Suami, tengah berbagi peluh dengan seorang gadis. Air mata Biru tumpah tanpa bisa ia tahan, hatinya tercabik-cabik. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan dengan jelas sakit yang ia rasa saat ini. Namun sekuat tenaga ia menahan suaranya. Otaknya berpikir dengan cepat. Tangan yang gemetar itu beralih ke dalam tas dan meraih ponsel. Biru menguatkan hati dan merekam adegan tidak senonoh di dalam ruang kerja tersebut. Meski durasinya tidak sampai satu menit, namun cukup sebagai bukti. Rekaman tersebut segera ia kirim ke nomor Whatsapp ayahnya dan juga ayah Ramdan.
Setelah menyimpan ponselnya, ia kembali menguatkan hati untuk berbalik pergi. Disaat itulah Ramdan yang hendak berganti posisi melihatnya.
“Biru!" Dengan satu gerakan ia mendorong gadis yang sedang membelakanginya.
Biru berbalik dan menatap Ramdan dengan senyuman yang disertai air mata.
“Maaf mengganggu kesenangan kalian." Ucap Biru menatap Ramdan dan gadis itu bergantian. Bukannya malu, gadis tak tahu diri itu malah tersenyum meremehkan Biru.
“Ya ya ya. Sekarang pergilah." Ujarnya sambil melambaikan tangan.
“Raya, diam!" Hardik Ramdan setelah kaosnya terpasang dengan benar. “Sayang, aku …"
“Pernikahan ini dibatalkan." Sambar Biru sambil mengusap air matanya.
“Apa?!" Ramdan mulai marah. “Tidak Biru, aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa kehilanganmu dan calon anak kita."
Biru diam, ia segera berbalik dan berjalan dengan cepat meninggalkan Ramdan yang berteriak frustasi. Meski perutnya menghalangi pergerakan, namun Biru berusaha berjalan secepat yang ia bisa.
Melihat kepergian Biru, Ramdan bergerak cepat untuk mengejarnya.
“Biru Nawangsari Putri! Aku melarangmu meninggalkanku!" Teriak Ramdan dengan penuh emosi.
Biru tak peduli, langkahnya semakin cepat. Ramdan terbakar amarah, ia berlari dan menangkap pergelangan tangan Biru.
Bugh!
“Akkhhh!" Biru mundur beberapa langkah sambil memegang pipinya yang terasa nyeri akibat bogem mentah yang dilayangkan Ramdan.
Tak ada pergerakan, Biru diam. Ramdan terkesiap, ia tersadar dan mendekat dengan wajah khawatir. Perlahan Biru mengangkat wajahnya. Terdengar tarikan nafas yang tertahan dari Ramdan. Ia terkejut melihat sudut bibir Biru mengeluarkan darah dan juga ekspresi datar dari wajah cantik itu.
“Bi … “
Tangan Biru terangkat dengan cepat menghentikan ucapan Ramdan. Biru berjalan melewati Ramdan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan ajaibnya, Ramdan tak lagi berani menghentikan langkah Biru. Wajah Biru yang tak menunjukkan emosi apapun membuat Ramdan bergidik.
Selama menjalin kasih dengan Biru, tak pernah sekalipun ia melihat Biru seperti itu. Sering Ramdan memukul Biru dengan alasan mendisiplinkan calon istri. Biru pasti akan menangis atau terlihat ketakutan. Akan tetapi kali ini gadis yang lembut dan ceria itu tak menampilkan emosi apapun, entah itu marah, kecewa ataupun takut.
***
Arman mendesah kasar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatap Biru yang sedang berada di dalam pelukan istrinya dengan raut wajah sedih. Arman merasa sakit di dalam dada melihat keadaan Sang Putri. Ditambah dengan kabar yang baru saja ia terima dari pihak kepolisian.
“Ada apa?" Tanya Nawangsari setelah melihat ekspresi suaminya.
“Tadi siang, Ramdan bebas bersyarat. Orang tuanya membayar uang jaminan." Jawab Arman seraya menahan nyeri yang ia rasakan.
“Sesuai dugaan." Ujar Nawangsari dengan suara lirih.
Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan cukup keras.
“Om Arman! Tante Nawang!"
Tubuh Biru menegang, Arman dan Nawangsari saling pandang. Jelas itu adalah suara Ramdan.
Arman membuka pintu, tidak lebar hingga Ramdan tak dapat melihat kondisi di dalam rumah.
“Apa maumu?" Tanya Arman dengan suara menggeram menahan emosi.
“Om, tolong. Katakan pada Biru, jangan batalkan pernikahan ini. Saya sangat mencintanya Om."
Bugh!!!
Arman menatap nyalang, ia muakl dengan pemuda yang tengah berdiri di depannya ini.
“Cinta? Cinta tubuhnya? Seperti kamu mencintai perempuan itu?"
Ramdan menggeleng. “Tidak Om. Raya menjebak saya."
Arman tertawa kecil. "Tapi dilihat dari rekaman itu, kamu sangat menikmati jebakannya." Arman tersenyum sinis diakhir kalimatnya.
“Tidak Om, tidak!" Ramdan mendorong pintu sekuat tenaga. Ia bahkan tidak peduli saat Arman terlempar. “Biru! Biru! Sayang!" Ramdan berjalan cepat menuju ruang tengah. Dalam benaknya hanya ada bagaimana supaya Biru mau kembali.
“Berhenti!" Arman menarik tangan Ramdan. Namun Ramdan adalah pemuda yang begitu kuat. Ditambah lagi ia berada di tingkatan sabuk hitam dengan dua strip putih pada seni bela diri taekwondo. Dengan mudah ia bisa menyingkirkan Arman.
Arman tidak menyerah, ia kembali menghalangi. Karena terdorong desakan ingin segera bertemu Biru, Ramdan kesal dan langsung memukul Arman hingga pria itu tersungkur di lantai.
“Ayah!!!" Biru menjerit, Nawangsari segera berlari mendekati suaminya.
“Biru." Ramdan mendekati Biru dengan tatapan memelas. Ia tidak peduli akibat tindakannya darah mulai keluar dari kepala Arman akibat benturan yang sangat kuat.
“Pergi! Aku tidak sudi bertemu denganmu!"
“Tidak sebelum kamu menerimaku kembali, sayang."
Biru berbalik hendak masuk ke kamarnya. Namun dengan cepat Ramdan menangkap tangan Biru.
“Lepas!"
“Tidak akan!"
Biru segera mengangkat tangan Ramdan dan menggigitnya sekuat tenaga.
“Aaakkhhhh!" Ramdan kesakitan dan tanpa sengaja mendorong Biru dengan sangat kuat hingga gadis itu terbentur dinding.
“Hhhggg!" Biru merasa dadanya sesak dan perutnya mengalami kontraksi.
“Ramdan!!!" Nawangsari menghampiri Ramdan dan memukuli pemuda itu dengan membabi buta. Ramdan menangkis serangan Nawangsari dan menghalau tangan wanita itu hingga tubuh Nawangsari oleng ia jatuh ke lantai. Naas, kepala Nawangsari membentur ujung meja terlebih dahulu.
“A … ayah. I … ibu." Biru merasakan sakit yang luar biasa di bagian pinggang dan juga kepalanya. Pandangannya menjadi kabur, hingga akhirnya Biru jatuh tak sadarkan diri.
***
Enam Tahun Kemudian …
Biru menatap arena dengan tatapan datar, seperti biasanya. Ia bahkan tak peduli orang-orang bersorak memanggil namanya sebagai bentuk dukungan. Jangankan tersenyum, melambai pun tidak.
“Everest!"
“Everest!"
“Everest!"
Teriakan penonton semakin membahana memenuhi arena tarung bebas itu saat Biru melangkah masuk ke dalam ring.
Di depannya, seorang pemuda dengan tubuh berotot yang mengagumkan berdiri dan menatapnya dengan pandangan merendahkan.
“Ternyata ini yang namanya Everest." Terang-terangan ia menatap Biru dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Seharusnya kau melayaniku di ranjang, bukan di ring."
Biru diam, tak sedikit pun ia berniat menanggapi ucapan kotor tersebut.
Seorang wasit memukul lonceng, pertarungan itu pun dimulai. Aturannya sederhana, jika ada yang mengaku kalah atau tak sadarkan diri, maka pertandingan selesai. Tidak ada batas waktu. Semua jenis bela diri diperbolehkan. Hanya saja dilarang memakai benda tajam atau senjata lainnya termasuk senjata api.
Biru menunggu pria itu menyerang, namun alih-alih menyerang, laki-laki itu malah menjulurkan lidahnya menjilat bibirnya sendiri dan menatap tubuh Biru dengan lapar.
Gerah dengan tatapan itu, Biru melesat dengan cepat membuat lawannya terkejut. Saat ia sadar dengan pergerakan Biru, tangan gadis itu sudah lebih dulu bersarang di ulu hatinya.
“Uhhuukkkk!!!" Pria itu menyemburkan air liurnya yang sudah bercampur darah.
Biru tidak menarik tangannya, ia menunggu beberapa saat. Hingga kemudian pria itu bergerak sedikit lalu jatuh tak sadarkan diri.
Biru menatap pria di kakinya dan menghela nafas dengan kasar.
“Hanya seperti ini?" Ucapnya dengan kesal. Ia kecewa dan kembali ke ruang ganti dengan wajah tak puas. Ia tidak ingin menyapa penggemarnya terlebih dahulu, dan ia tidak peduli dengan teriakan-teriakan yang menyorakkan namanya.
“Aaaarrrghhhh!!!"
Biru memukuli samsak di ruang ganti khusus miliknya secara membabi buta.
“Ada apa?" Tanya Arya yang baru saja menyusulnya masuk.
Biru menatap Arya dengan tajam. “Kenapa bisa ada badut di dalam arena? Aku bahkan hanya memakai sedikit kekuatanku untuk memukulnya dan ia langsung pingsan!"
“Lalu?" Arya pura-pura bingung.
“Aku masih ingin bertarung!"
Arya tertawa kecil mendengar ucapan adik semata wayangnya. “Kalau begitu, aku akan melawanmu."
“Tidak!" Biru menolak mentah-mentah tawaran Arya. “Mas pasti akan mengalah. Aku mau pertarungan yang sesungguhnya."
Biru menghentakkan kaki dan masuk ke dalam kamar mandi serta membanting pintu.
Arya menatap ke arah pintu yang tertutup itu dengan senyuman tipis akan tetapi dengan mata yang memancarkan luka. Malam ini adalah tepat enam tahun kematian kedua orang tua mereka. Wajar jika Biru kecewa. Sebab biasanya ia akan memukuli seseorang di arena hingga ia puas. Tidak peduli jika ia pun terkena pukulan.
Enam tahun yang lalu, Arya pulang ke Indonesia setelah mendapat kabar calon suami Biru berselingkuh. Ia berniat memberi pelajaran pada pemuda itu. Namun yang ia dapat adalah pemandangan mengerikan di dalam rumahnya. Kedua orang tua mereka tewas dengan tubuh bersimbah darah. Sedangkan Biru kritis dengan banyak pukulan di tubuhnya. Malam itu, Biru kehilangan orang tua dan juga buah hati di dalam kandungannya.
Malam itu Arya seperti kehilangan jiwanya. Meski sudah lama Arman mengusirnya dari rumah, namun hati Arya tetap menyayangi mereka. Arya mengerti, Arman kecewa karena Arya memilih pekerjaan sebagai mafia. Bahkan dalam waktu singkat ia bisa menjadi pemimpin organisasi terlarang itu. Jadi saat ia diusir dan dilarang kembali, tidak ada dendam di dalam hati Arya.
Arya dan Biru menjadi yatim piatu dalam semalam. Ketika keluar dari rumah sakit, Biru memutuskan untuk ikut dengan Arya. Ia bertekad untuk memperkuat fisik dan berlatih berbagai jenis seni bela diri dari semua penjuru dunia. Biru berubah seratus delapan puluh derajat. Dan saat ini, dunia bawah tanah di Hongkong mengenalnya dengan nama Everest.
...****************...
Malam minggu menjadi malam yang menyenangkan untuk Biru. Beberapa jam yang lalu ia baru saja mengalahkan seorang penantang yang datang dari Amerika. Sebuah pesta digelar untuk merayakan kemenangannya. Ruang lantai tiga di Angel Night Club milik Arya menjadi lebih ramai dari malam biasanya. Pendukung setia Biru yang berasal dari kalangan kelas atas yang berinisiatif membuat pesta. Sebab mereka memenangkan taruhan besar.
“Coklat dan Bunga mawar putih untuk Everest, jawara kesayangan kami." Seorang pemuda tampan berkacamata muncul di depan Biru.
Biru tertawa kecil mengusir debaran di dadanya. “Kak Andre. Seperti biasa." Tangannya terulur menerima pemberian Andre. “Terima kasih kak."
“Sama-sama." Andre duduk di sofa seberang Biru. “Kamu baik-baik saja? Apakah ada bagian tubuhmu yang mengalami cedera serius?"
Biru terhenyak, dan secepat mungkin ia menggeleng. “Tidak ada kak. Aku baik-baik saja."
Perhatian yang diberikan Andre Ciputra, pengusaha muda dari Indonesia membuat sudut di hati kecil Biru mulai menghangat. Pemuda itu memperlakukan Biru layaknya gadis biasa yang rapuh dan memerlukan perhatian. Biru menyukai itu. Karena semenjak terjun ke dunia pertarungan bebas, tak ada lagi yang memandang Biru seperti itu. Hanya Arya, Sang Kakak. Selebihnya akan melihatnya sebagai gadis kuat yang tak memerlukan apapun. Oleh sebab itu, di depan Andre, Biru berani memakai nama aslinya.
Andre dan Biru larut dalam perbincangan yang menyenangkan. Sesekali terdengar tawa renyah dari Biru. Arya hanya mengawasi dari jauh, dalam hatinya, ia merasa senang saat melihat Biru bisa kembali tertawa.
Biru menatap pintu dan sedikit teralihkan dengan sepasang kekasih yang baru saja memasuki ruangan. Ia tentu mengenal Sang pria, pemuda itu adalah anak dari seorang taipan di Hongkong. Namun wanita cantik yang bergelayut manja di lengannya, belum pernah Biru lihat sebelumnya.
“Sepertinya Tuan Muda Chang membawa kekasih baru lagi kali ini." Gumam Biru sambil menyesap anggurnya.
Andre mengikuti arah pandang Biru, kemudian ia tersenyum sinis. “Tunggu sebentar ya." Andre berpamitan.
Biru mengantar kepergian Andre dengan dahi berkerut. Ternyata Andre menghampiri Tuan Chang dan kekasihnya. Dari tempat Biru duduk, ia bisa melihat ekspresi terkejut kekasih Tuan Chang.
“Mungkin dia dari Indonesia juga." Lirih Biru pada dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian Andre kembali dan duduk di tempatnya semula.
“Kak Andre kenal sama perempuan itu?" Tanya Biru.
Andre mengangguk. “Arini Prawira, model dari Indonesia."
Biru kembali menatap Arini, ia bisa leluasa memandangi wanita itu dari tempat duduknya tanpa takut ketahuan Arini sebab posisi tempat favorit Biru yang sedikit tersembunyi namun mampu mengamati sekeliling ruangan.
“Dia kekasih sahabatku." Imbuh Andre. Biru segera menarik matanya dari Arini dan menatap Andre dengan penasaran. Andre tersenyum sinis. “Pria bodoh. Tidak pernah percaya dengan yang kami katakan tentang wanita pilihannya." Sambung Andre lagi.
“Namanya orang lagi jatuh cinta kak. Kotoran kambing bisa dilihat sebagai coklat." Sahut Biru kemudian tertawa getir. Menertawakan kebodohannya enam tahun yang lalu.
“Kamu sepertinya mengerti benar akan hal itu." Ujar andre.
Biru tertawa. “Sebagian orang pasti pernah menjadi budak cinta kak." Biru tak memberikan tanggapan dengan benar.
Andre mengambil ponselnya dan kemudian mengabadikan momen saat Tuan Muda Chang bermesraan dengan Arini.
“Barang bukti." Gumam Andre. Namun kemudian seseorang menghalangi kameranya. Seorang wanita cantik.
“Sudah cukup. Sora tidak akan percaya jika ia tidak melihat sendiri dengan mata kepalanya." Ujar wanita tersebut.
“Natsuki." Mata Andre berbinar saat menyebut nama wanita di depannya.
Biru menatap wanita yang bernama Natsuki itu. Kemudian ia beralih menatap Andre. Pemuda itu terlihat sangat bahagia dengan kedatangan Natsuki, dan ia memandangi wanita itu dengan pandangan yang memuja dan penuh … cinta.
Ternyata sudah ada yang mengisi hati Kak Andre. Biru menyesap anggurnya, berusaha mengalihkan rasa kecewa yang hadir.
“Hai, aku Natsuki." Natsuki mengulurkan tangannya pada Biru.
Biru segera meletakkan gelas dan menyambut uluran tangan Natsuki. “Everest."
Andre mengangkat alis saat mendengar Biru memakai nama samarannya. Namun ia mengerti, Biru belum pernah bertemu Natsuki sebelumnya.
“Wow, namamu cantik sekali. Tapi apakah kau juga sedingin Everest?" Natsuki mengerling jenaka.
“Mungkin, tapi sayang aku tidak bisa membuat es serut dengan tatapan mataku." Jawab Biru menanggapi candaan Natsuki.
Natsuki tertawa kecil. “Sebenarnya aku sudah beberapa kali menonton pertandinganmu. Dan malam ini aku beruntung bisa berkenalan denganmu."
“Kau harus mentraktirku untuk itu." Andre menimpali.
Natsuki berpaling dan tertawa menatap Andre. “Oh begitu rupanya. Jadi kau mau memerasku?"
“Dengan senang hati akan kulakukan." Natsuki dan Andre sama-sama tertawa.
Biru mengepalkan tangannya melihat interaksi itu. Perasaannya yang baru muncul, harus mati sebelum tumbuh. Akan tetapi di sisi lain ia merasa lega, ia bisa tahu kebenarannya sebelum rasa yang Biru miliki semakin berkembang.
Biru mengundang Natsuki untuk duduk bersama dengannya. Saat itulah Biru tahu Natsuki seorang gadis berdarah campuran Indonesia Jepang. Selain itu Natsuki adalah saudara kembar dari kekasih Arini, yang Andre sebut sebelumnya.
“Jadi kak. Wanita yang sedang kalian amati adalah calon kakak ipar ya." Biru menggoda Natsuki.
“Tolong jangan katakan itu, Ev. Telingaku berdengung mendengar kata ipar." Natsuki menyesap anggurnya.
Biru dan Andre tertawa melihat reaksi Natsuki.
“Aku tidak akan menerima wanita seperti itu sebagai Nyonya Kinomoto. Aku tidak akan pernah kembali ke rumah jika Sora nekat menikahinya."
Biru melihat keseriusan dalam ucapan Natsuki. Ia kembali menatap Arini. Biru membenci orang yang tidak setia.
***
Pesta masih berlangsung, tetapi karena Andre dan Natsuki sudah berpamitan. Biru pergi menuju ruang kerja Sang Kakak. Ia masuk setelah seorang pengawal membuka pintu untuknya. Di tengah ruangan, Arya sedang berbincang dengan beberapa orang tamu yang sudah Biru kenal.
“Miss Everest." Seorang pria berkulit gelap khas benua Afrika berdiri untuk menyambut kedatangan Biru.
“Jangan berlebihan, Tuan." Biru melambaikan tangannya.
“Tidak, kebetulan kami juga sudah selesai berbicara dengan Tuan Arya." Pria itu mengangguk hormat pada Arya kemudian menatap Biru. “Sampai bertemu lagi, My Lady."
“Sampai jumpa Tuan Kilian."
Kilian dan anak buahnya segera meninggalkan ruangan Arya.
Melihat kedatangan Biru, Arya segera menuju mini bar dan menuang champagne di gelasnya. “Mau juga?" Tawar Arya pada Biru.
Biru menggeleng. “Sudah cukup malam ini."
Arya mengedikkan bahu kemudian menyesap minumannya. “Ada apa?" Tanyanya setelah meletakkan gelas kristal di meja.
“Aku rindu Ayah dan Ibu. Aku ingin pulang ke Malang."
Rahang Arya mengeras mendengar ucapan Biru. “Aku tidak mengijinkan."
“Aku tahu."
“Jadi?"
“Aku hanya datang untuk memberi tahu."
“Dek … “
“Aku akan baik-baik saja Mas."
Arya menghela nafas kasar. Ia tahu Biru tidak akan bisa dihentikan.
***
Satu minggu kemudian…
Biru berdiri di depan pagar rumah orang tuanya. Disana terpasang papan dengan tulisan DIJUAL. Ia baru saja bertandang ke rumah pamannya, Nanta, untuk menanyakan hal ini. Namun pertanyaan baik-baik itu berakhir dengan jeritan penuh emosi dari istri paman Nanta.
Biru tak ingin tersulut, ia memilih pergi kembali ke depan rumah sambil membawa kartu nama milik Si Pembeli, "Sora Kinomoto". Setelah mendapat lokasi dan waktu pertemuan, Biru segera menuju penginapan kecil tak jauh dari rumah orang tuanya. Ketika waktu yang ditentukan telah tiba, Biru bercermin untuk memastikan penampilannya tidak semerawut untuk menemui pembeli rumah orang tuanya. Biru menggunakan sebuah midi dress putih berlengan panjang dan mengurai rambut panjangnya.
Biru memasuki restoran yang berada di Hotel Tugu dengan jantung berdebar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa nantinya. Biru hanya bisa berharap, orang yang membeli rumah orang tuanya tidak akan mempersulit dirinya.
Seorang pelayan mengantar Biru ke ruang VIP, di dalam sana sudah duduk seorang pria yang mengenakan kemeja berwarna biru tua dengan lengan yang sengaja ia gulung sampai ke siku.
“Tuan Sora, Nona yang anda tunggu sudah tiba." Ucap Sang Pelayan.
Sora? Sepertinya pernah dengar namanya. Tapi dimana?
Pria bernama Sora mengangkat wajah dari ipad yang ia pegang. Tatapannya langsung menatap mata Biru.
“Selamat malam, Tuan. Saya Biru, yang meminta janji temu dengan anda." Biru memperkenalkan diri.
“Silahkan duduk." Ucap Sora datar. Dan pelayan yang mengantar Biru pun segera pergi. “Langsung saja." Imbuh Sora dengan wajah datarnya.
“Bisakah anda mengembalikan rumah orang tua saya?" Tanya Biru tak kalah datar.
Sora menyunggingkan senyum sinis. “Bisa. Asalkan anda memberikan dua puluh milyar kepada saya."
Biru cukup terkejut, namun wajahnya tetap tenang membalas tatapan Sora. “Saya akan menelepon sebentar."
“Silahkan."
Sora menatap Biru yang melangkah ke sudut dengan dahi berkerut. Jauh di dalam hatinya, Sora terusik dengan ekspresi Biru yang biasa saja saat menatapnya. Padahal, selama ini banyak wanita akan langsung salah tingkah dan tersipu jika Sora menatap langsung ke mata mereka.
Apakah aku sudah tak memiliki daya tarik?
Sora mendengus kesal dengan pemikiran itu.
Sedangkan di sudut ruangan, Biru putus asa mendengar penolakan Arya.
“Mas, tolong dong."
“Kan dari awal Mas sudah bilang tidak mengijinkan kamu pulang. Artinya semua urusan kamu di Indonesia Mas tidak akan ikut campur. Kecuali kalau berhubungan dengan nyawa kamu." Suara Arya terdengar menekan kesal. “Dan satu lagi. Tabungan kamu di Hongkong sudah Mas blokir."
Biru menghela nafas. “Baiklah kalau begitu." Biru memutus sambungan teleponnya.
Lama ia menatap keluar jendela. Rumah itu meninggalkan banyak sekali kenangan. Di dalam hatinya masih ada kebencian pada Ramdan yang sudah membunuh kedua orang tuanya. Namun Biru ingin tetap tinggal di rumah itu sebagai pengobat rindu pada ayah dan ibu. Bukannya Biru tak memiliki uang, namun uang yang ia bawa hanya cukup untuk modal usaha kecil dan kebutuhannya selama di Indonesia.
Sebelum berbalik, Biru menarik nafas dalam-dalam, ia putus asa. Setelah merasa lebih tenang, ia melangkah kembali pada Sora.
...****************...
Biru mengurangi kecepatan langkahnya ketika sudah mendekati meja. Sebab di seberang Sora, seorang gadis kecil sudah duduk dan sedang menatapnya dengan mata berbinar.
“Halo Tante. Saya Ichigo Kinomoto." Gadis kecil berpipi tembem itu memperkenalkan dirinya. “Tante cantik namanya siapa? Tante pacal papa? Tante calon mama Ichi?"
“Ichigo." Sora memperingatkan.
Ichigo hanya menatap Sora sekilas, ia kembali menatap Biru dengan wajah antusias. “Kapan Tante dan Papa menikah?"
Astaga
Biru menahan nafas, gadis kecil di depannya tidak terduga. Ia menatap Sora dengan wajah bingung. Sora mengusap wajahnya dengan kasar.
“Maafkan putri saya, Nona Biru." Ucap Sora pada akhirnya.
“Tidak apa-apa." Biru duduk kembali. “Ichigo ya." Biru menatap Ichigo dan mengulas senyum lembut. Jenis senyuman yang membuat Sora menahan nafas.
“Iya Mama."
Biru mengerjap, senyumnya hilang seketika. “Eeumm … Tante hanya … “ Biru menatap Sora sejenak, dan pria itu bersedekap sambil mengangkat kedua alisnya. “Tante … teman Papa Ichi."
Wajah Ichigo berubah mendung, namun Biru tak peduli. Biru menatap Sora dengan wajah serius. “Maaf Tuan, saya tidak bisa menyediakan uang sebanyak yang Tuan minta."
Sora tersenyum penuh kemenangan. “Kalau begitu, aku tidak akan melepas rumah itu."
Biru mendesah kasar dan menunduk sejenak. “Baiklah kalau begitu. Maaf mengganggu waktu anda." Biru segera mengambil tas kecilnya dan berdiri meninggalkan Sora. Ia sempat melirik Ichigo yang tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Biru tak tega, akan tetapi ia merasa tak ada hubungannya kesedihan Ichigo dengan dirinya. Biru merasa tak harus menghibur gadis kecil itu.
Ketika hampir mencapai pintu terdengar Sora bertanya. “Apa arti rumah itu bagi anda?"
Biru menghentikan langkahnya, ia berbalik dan menatap Sora. “Makam keluarga."
“Makam?" Sora terkejut. Ia lantas mengingat-ingat saat berkeliling rumah dan halaman. Perasaan tidak ada kuburan. Gumam Sora dalam hatinya.
“Tapi … eh? Sudah pergi?" Sora tak menyadari saat Biru meninggalkan ruangan.
“MAMAAAAA!!!" Teriakan Ichigo yang disertai tangisan membuat Sora fokus kembali. Dengan cepat ia menangkap Ichigo yang hendak mengejar Biru.
“Ichigo." Sora memeluk Ichigo berusaha menenangkan gadis kecilnya.
“Mama, Ichi mau Mama. Papa, bawa Mama. Papaaaaa."
“Sayang … “ Sora bingung bagaimana hendak meredakan tangis Ichigo. “Shit!!!" Umpatnya dengan suara berbisik.
“Zayn!"
“Saya Tuan." Seorang pemuda muncul.
“Gendong Ichigo!" Sora memberikan Ichigo pada Zayn yang menerima dengan wajah bingung. “Aku akan mengejar wanita tadi."
Tatapannya beralih pada Sang Putri. “Ichigo-chan, Papa akan kejar Tante tadi. Jangan menangis lagi ya."
Tangis Ichigo pun reda seketika itu juga, ia mengangguk sambil mengusap air matanya.
Sora berbalik dan berlari dengan cepat mengejar Biru. Beruntung, Biru belum jauh. Mungkin karena sedih, dari belakang ia terlihat berjalan dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk.
“Nona Biru!"
Teriakan Sora membuat Biru menoleh dengan cepat.
“Anda boleh berada di rumah itu satu hari penuh, dengan syarat … “ Sora berdecak kesal. Ia terpaksa membuat keputusan itu. “Temani Ichigo, sebentar lagi." Ucap Sora pada akhirnya.
Biru menyanggupi permintaan Sora, bagaimana pun ia benar-benar merindukan rumah itu. Meski kenangan yang menyakitkan akan kembali ia ingat, namun Biru tidak peduli. Ia benar-benar ingin masuk ke dalam rumah orang tuanya.
Malam itu Biru menghabiskan malam bersama Ichigo. Ia menemani gadis kecil itu makan dan bermain. Hingga Ichigo lelah dan akhirnya terlelap.
***
Biru berkeliling rumah yang sudah lama tidak berpenghuni itu. Air mata dan senyum selalu ada di wajahnya saat kenangan indah dan sedih silih berganti melintas. Sebagian besar perabotan sudah tidak ada di tempatnya. Paman Nanta mengatakan ia dan istrinya sudah membereskan dan menyimpan semua di gudang yang terletak di halaman belakang. Karena barang-barang tersebut tidak termasuk benda yang dijual, Biru menyortir semua dan akan membawa barang yang masih bisa disimpan.
Setelah selesai memindahkan barang ke rumah kostnya, Biru kembali ke dalam rumah keluarga dan duduk di ruang tengah. Tempat dimana ia melihat ayah dan ibunya untuk terakhir kali.
Air mata Biru kembali berderai. Ia duduk sambil memeluk lutut. “Ayah … Ibu … maafkan Biru. Maaf karena Biru sudah salah memilih pasangan."
Tangisan Biru semakin kencang, ia bahkan memukul dadanya berulang kali untuk meredakan sesak yang kian menekan.
“Ayah … Ibu … aaaaarrrgghhhh!!!“ Biru menarik rambut dengan kedua tangannya. Hanya teriakan demi teriakan yang mampu membantunya mengurangi rasa sakit. Penyesalan dan rasa bersalah yang selalu menghantui kini kembali menyergapnya. Tak memberi jeda, menusuk setiap sudut hati Biru.
Tubuh Biru luruh ke lantai. Ia masih terus menangis sambil berbaring menyamping. Tak peduli dengan lantai yang semakin dingin karena hari sudah malam. Entah sudah berapa lama ia menangis, tenaganya bahkan sudah habis terkuras.
“Ayah … Ibu … “ Suaranya semakin melemah seiring dengan kelopak mata yang perlahan tertutup.
***
Biru mengerjap, tangannya terulur untuk memegang kepala yang terasa sangat sakit. Dengan mata yang memicing, Biru memindai ruangan dimana ia berada saat ini.
“Kamar siapa ini?" Lirih Biru begitu menyadari ia sedang berbaring di atas kasur yang sangat nyaman. Biru berusaha bangun, namun tubuhnya terasa lemah.
“Tante Mama sudah bangun?"
Tak lama kemudian sosok Ichigo telah berdiri di sampingnya.
“Ichigo?"
“Selamat sole Tante Mama." Ichigo menyunggingkan senyum lebar.
Biru menatap langit-langit kamar. Namun ia tak sanggup berlama-lama untuk membuka mata.
“Tante Mama tidul saja dulu. Papa juga masih tidul, semalaman Papa jaga Tante Mama."
Biru mengernyit. “Semalaman?"
Ichigo mengangguk-anggukkan kepala. “Iya, badan Tante Mama panaaaaaaas sekali."
Kepala Biru semakin berdenyut. Terlalu banyak hal yang harus ia cerna di waktu yang bersamaan. Akhirnya Biru kembali memejamkan mata dan tertidur.
***
Hari sudah malam ketika Biru membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Ichigo yang sedang tidur, berada tepat di sampingnya. Gadis kecil itu terlihat begitu menggemaskan. Tangan Biru terulur untuk membelai pipi tembem itu. Senyum Biru mengembang, namun sesaat kemudian senyum itu luntur. Dengan hati-hati, Biru bergerak dan duduk di tepi tempat tidur.
“Sudah bangun?"
Suara Sora yang datar dan berat mengagetkan Biru. “Ya ampun!" Biru memegang dadanya.
Sora memandangnya dengan kesal. “Kau mengira aku hantu?"
Biru menatapnya, tanpa ekspresi. “Maaf. Saya hanya kaget, Kinomoto-sama."
Ketika akan berdiri, ia menyadari ada yang aneh. Biru menundukkan pandangannya dan mengernyit. Ia sudah memakai daster yang panjang ya sampai di lutut. Tidak lagi menggunakan celana panjang denim dan kaos oblong. "Ba … baju … " Segera saja Biru mengangkat wajah dan menatap Sora dengan tajam.
"Pelayan hotel yang menggantinya. Aku juga tidak tertarik dengan body triplek seperti itu." Sora mendengus kesal. "Itu bajumu." Ia mengedikkan bahunya ke arah nakas yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Biru mengikuti arah pandang Sora dan melihat sebuah paper bag teronggok disana.
Ia lantas berdiri dan berjalan mendekati nakas sambil mengikat rambutnya asal-asalan. Biru tak peduli dengan tatapan Sora yang sulit diartikan. Ia mengambil paper bag tersebut dan berbalik.
"Terima kasih sudah merawat saya." Biru membungkukkan badan memberi hormat. "Saya permisi."
"Tunggu dulu." Sora mengangkat sebuah map. "Aku ingin memberikan sebuah penawaran kepadamu."
Biru menatap map di tangan Sora. Ia berpikir selama beberapa saat. Kemudian Biru duduk di sebuah single sofa tak jauh dari tempatnya berdiri dan menatap Sora, menunggu kalimat yang akan diucapkan pria tersebut.
Sora membuka map dan menunjukkan isinya pada Biru. "Aku akan mengembalikan sertifikat kepemilikan rumah dan tanah milik keluargamu. Aku membelinya seharga dua milyar. Namun kau tidak perlu membayar sepeser pun. Asalkan … " Sora menjeda kalimatnya. Ia menatap Ichigo yang sedang tidur, kemudian kembali menatap Biru.
"Asalkan kau bersedia berpura-pura menjadi istriku, selama satu tahun." Imbuh Sora dengan penuh keyakinan. "Hanya satu tahun." Tegasnya lagi.
"Satu tahun ya." Biru menanggapi.
"Ya, hanya satu tahun. Karena tahun depan, kekasihku akan kembali setelah menyelesaikan kontraknya dengan sebuah agensi model di paris. Dan kami akan segera menikah."
Dahi Biru mengernyit. "Kenapa tidak sekarang saja kalian menikah dan dia kembali ke Paris?"
Sora menghela nafas. "Ichigo … dia … " Sora mengusap wajahnya dengan kasar. "Ichigo tidak menyukai kekasihku." Lirih Sora.
"Tidak."
"Apa?"
"Jawaban saya adalah tidak."
Sora menatap tajam pada Biru. "Kenapa? Saya rasa ini adalah penawaran terbaik dari pada anda tidak mendapatkan kembali rumah itu karena tidak memiliki uang."
Biru bersedekap. "Meski pernikahan ini hanya pura-pura, saya pasti akan dianggap pelakor oleh kekasih anda."
"Dia tidak akan berpikir begitu." Sora meyakinkan.
"Tidak." Biru tetap pada pendiriannya. Ia tidak ingin mengikuti rencana gila duda di hadapannya itu.
"Demi Ichigo, dia akan terus menangis dan bersedih jika kau pergi."
"Apa bedanya saat ini atau tahun depan? Bahkan nanti mungkin akan lebih sulit dari sekarang."
"Tidak, karena kau akan membayar rumah itu dengan tugas meyakinkan Ichigo bahwa Arini adalah wanita baik yang bisa menjadi Mama untuknya."
Emosi Biru mulai terpancing. Namun ia segera menarik nafas dalam-dalam.
"Anak anda adalah urusan anda, Kimomoto-sama. Bukan urusan saya." Biru berdiri dan berjalan ke arah pintu.
Namun ia terkejut karena di ruangan yang ada di depannya saat ini, sudah berdiri beberapa orang pria berpakaian serba hitam.
"Kau pikir aku menerima penolakan?" Suara Sora di belakang Biru terdengar penuh ancaman. "Aku akan melakukan apapun demi putriku."
Biru hanya menoleh ke samping. "Kalau begitu, kenapa tidak anda putuskan saja pacar anda dan mencari wanita seperti yang diinginkan putri anda?" Biru tersenyum sinis. Ia melangkah tanpa takut sedikitpun.
"Berhenti, Nona!" Zayn memberi peringatan. "Kalau tidak, kami akan menggunakan kekerasan agar anda mau menerima penawaran Tuan Sora."
Biru tidak peduli. Ia terus berjalan menuju pintu.
Seorang pria mendekat dan meraih tangan Biru. Dengan cepat Biru berputar hingga tangan pria tersebut terpelintir.
"Akkhh!!!" Teriakan kesakitan membuat Sora cepat menutup pintu kamarnya. Ia tidak ingin Ichigo terbangun dan menyaksikan keributan itu.
"Suaramu!" Hardik Sora.
Pria dalam cengkraman Biru menutup mulut dengan satu tangannya. "Aduuhhhh!!!" Ia meredam rintihannya sendiri karena tak ingin mendapat tambahan hukuman.
"Minggir! Atau aku akan membuat putrimu bangun dengan teriakan mereka."
Zayn berdiri. "Ruangan ini kedap suara, selama pintu tidak terbuka. Nona Muda tidak akan mendengar apapun."
"Sayang sekali." Biru menendang pria yang ia tahan dengan sangat kuat sehingga menabrak perabotan di depannya. "Aku yakin uang Tuan kalian sangat banyak. Pasti tidak masalah mengganti kerusakan barang-barang di dalam ruangan ini."
Tiba-tiba muncul pria lain dan menendang Biru. Dengan cepat Biru menyilangkan kedua tangannya untuk menangkis tendangan itu. Tubuh Biru mundur beberapa langkah akibat kekuatan dari serangan yang ia terima.
Biru kembali bergerak, kali ini ia balas menendang. Kakinya ditangkap oleh pria di depannya itu. Dan saat itu juga, Sang penyerang terpana melihat kaki hingga paha Biru yang terekspos karena menggunakan daster.
"Kurang ajar!!!" Biru melompat dan memutar tubuhnya disaat yang sama hingga pegangan di kakinya terlepas. Begitu mendarat ia langsung kembali menyerang hingga pukulannya mengenai pelipis pria itu.
"Aakkhh!!!"
Biru berdiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Majulah." Ucapnya dingin.
"Cukup!" Sora menghentikan pergerakan anak buahnya. Ia menatap Biru lagi dan menarik nafas dalam-dalam. Sora sadar sekarang. Biru bukanlah gadis yang bisa diperlakukan dengan kasar. Karena ia tidak segan melawan. Sora menatap anak buahnya yang terkapar.
Menghadapi seorang gadis kurus saja tidak mampu. Keluh Sora dalam hati.
Ia bisa saja menantang Biru untuk berduel menggantikan anak buahnya. Namun ia takut jika Ichigo tiba-tiba bangun dan mencarinya. Sora menatap Zayn, asistennya sambil mengangkat tangan.
"Biarkan Nona ini pergi." Perintah Zayn.
Para pengawal Sora membentuk barisan di salah satu sudut. Biru mengambil kembali paper bag dan berjalan menuju pintu. Salah satu pengawal Sora membukakan pintu untuk Biru. Namun ketika pintu terbuka, seorang gadis seumuran Biru menyerbu masuk. Ia melewati Biru begitu saja.
"Kak Sora! Kenapa kartu kreditku diblokir?!" Rengek gadis itu.
Begitu mendengar suara Sang gadis, kepala Biru berputar dengan cepat. Dan saat ini, mata Biru terpaku pada sosok yang tengah merengek sambil menggoyang-goyang tangan Sora.
Entah apa yang mereka bicarakan, wajah gadis itu terlihat riang. Kemudian dengan cepat ia pergi. Saat melewati Biru, ia sempat berhenti dan menatap Biru sesaat dengan pandangan sinis. Namun ia melanjutkan langkahnya dengan wajah gembira.
Biru terus menatapnya hingga gadis itu keluar dan berbelok.
"Dia adikku." Suara Sora terdengar di belakang Biru.
Adik? Dia? Jadi …
Untuk sesaat, Biru tersenyum samar. Tanpa ada yang mengetahuinya. Ia kemudian berbalik dan menatap Sora dalam-dalam.
"Kinomoto-sama, saya menerima tawaran anda. Kapan saya mulai bertindak sebagai istri palsu anda?"
Sora mengerjap, ia terkejut dengan ucapan Biru yang tiba-tiba.
"Tante Mama, jangan pelgi." Suara Ichigo di ambang pintu kamar membuat semua mata menoleh kepadanya.
Sora menatap Ichigo, kemudian kembali menatap Biru. Banyak tanda tanya di kepalanya. Namun yang terpenting sekarang adalah tidak membuat Ichigo sedih.
Sora berbalik mendekati Zayn dan menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Zayn, cari orang yang bisa memalsukan dokumen pernikahan. Dan juga, sewa orang yang bersedia menjadi pendeta palsu." Perintahnya dengan suara pelan.
Ia berbalik dan merentangkan tangan kirinya pada Biru. Biru mengerti dan menyambut uluran tangan Sora. Seketika itu juga darah Sora berdesir saat kulit mereka bersentuhan. Sora berdehem dan menggandeng Biru mendekati Ichigo.
Ketika berjongkok menyamakan tinggi dengan putrinya, Sora bahkan tidak melepaskan tangan lembut Biru. "Tante tidak pergi. Tadi hanya mengambil barang yang tertinggal." Kata Sora pada Ichigo.
"Yeayy." Ichigo menabrak Biru dan memeluk kakinya. "Tante Mama, ayo kita tidul."
Biru mendesah kasar, ia kemudian menuntun Ichigo dan kembali ke dalam kamar. Namun ketika melangkah, tiba-tiba ia berbalik menatap Sora.
"Tangan saya."
Sora mengerjap kaget dan menatap tangan kirinya yang terangkat. Seketika itu juga ia melepas tangan Biru.
"Ehmmm." Sora berdehem dan berdiri. Kemudian membelakangi Biru sambil menyugar rambutnya dengan asal.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!