NovelToon NovelToon

Kami Sudah Dijodohkan

Nguping

"Sepakat ya, pokoknya kita jodohin anak-anak kita. Setelah mereka lulus kuliah maka kita akan minta mereka untuk menikah. Dengan demikian maka kita akan jadi saudara sebenarnya. Besan karena anak-anak kita menikah!" kata Umi dengan suara riang gembira. Lalu terdengar jawaban dari teman perempuan umi yang mengaminkan kata-kata umi, ia juga meminta persetujuan dari para bapak-bapak.

"Baiklah, karena semuanya sepakat, maka perjodohan ini bersifat mutlak!" tegas teman ibu. "Mari kita jaga dan persiapkan anak-anak kita agar kelak setelah mereka lulus kuliah sekitar empat atau lima tahunan lagi kita siap menjadi besan. MashaAllah!"

Penasaran. Aku yang baru pulang sekolah dan berniat mengambil air di kulkas mengintip ke ruang tamu untuk melihat siapakah orang-orang yang membuat kesepakatan perjodohan dengan kedua orang tuaku.

Aku nyaris melonjak saat melihat siapa yang sedang berbincang dengan orang tuaku. Orang tuanya Dinda Annisa. Om Hasan dan Tante Fifi. Ini nggak salah, kan? Apa umi dan Abah paham dengan siapa mereka menjodohkan anak semata wayangnya. Apa Umi dan Abah nggak melakukan riset dulu, agar tahu kualitas calon menantunya? Perjodohan itu enggak main-main lho, setidaknya tanya dulu pada anak yang bersangkutan, apakah mau dijodohkan dengan seorang Dinda?

Tanpa permisi, pikiranku langsung terbayang wajah Dinda Annisa. Siswi kelasku yang nilainya selalu jelek saat ujian, rajin disindir guru karena tak pernah paham pelajaran dan entah kenapa ia bisa masuk kelas IPA yang notabene diisi oleh orang-orang pintar. Ada yang bilang Dinda dapat contekan saat ujian jurusan, ada juga yang mengatakan itu hanya kebetulan belaka. Mungkin guru-guru ingin merubah circle pertemanannya agar bisa lebih pintar. Bukankah kita biasanya tergantung dengan teman-teman. Banyak bergaul dengan orang pintar maka harapannya bisa ketularan pintar juga.

Aku ingin sekali melakukan interupsi, tapi ingat ajaran Abah dan Umi agar mengutamakan sopan santun. Apapun yang ingin kamu lakukan, ingat untuk selalu menjaga adab. Kalau aku terang-terangan protes dengan perjodohan ini sambil menjelaskan alasannya bahwa Dinda itu bukan gadis yang aku idamkan menjadi pendamping hidupku kelak sebab ia tak pintar sementara aku berharap mendapatkan pasangan yang otaknya selevel denganku sebagai juara umum di sekolah sejak bangku sekolah dasar. Ini termasuk kategori tidak sopan, orang tuanya bahkan bisa tersinggung meski begitulah kenyataannya!

Dengan sangat gelisah, aku terpaksa naik ke kamar di lantai dua. Ganti baju, menenangkan diri sambil menunggu tamu Abah dan Umi pulang.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Annisa dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!" kataku, sambil menjabat tangan Om Hasan

"Sah"

"Sah" kata dua orang saksi

Alhamdulillah. Tamu-tamu yang datang bergembira, namun aku merasakan sebaliknya. Kenapa harus Dinda? Kan banyak anak perempuan lainnya yang kalau bicara itu selalu nyambung denganku, yang enggak menghabiskan waktunya untuk hal-hal sia-sia seperti membaca majalah anak-anak. Misalnya Jingga.

Tak sengaja netraku menangkap bayangan Jingga ada di antara tamu-tamu putri. Ia menundukkan kepalanya untuk menutupi matanya yang basah. Gadis itu pasti sedih dengan pernikahan ini karena aku tahu ia menyukaiku, bahkan sejak masih di kelas satu.

Jingga pernah menyatakan perasaannya secara langsung padaku, tetapi ku tolak sebab masa sekolah bukan waktunya untuk berpacaran. Aku ingin fokus belajar, mewujudkan cita-citaku. Sementara cinta di usia dini jelas-jelas hanya kesia-siaan saja sebab belum tahu tujuannya kemana.

"Maaf Jingga, harusnya kamu tak usah datang. Akupun sama seperti kamu, sedih dengan pernikahan ini. Tak terbayangkan bagaimana anak-anakku nantinya, diasuh oleh ibu yang IQ-nya dibawah standar dan juga sifatnya kolokan!" kataku dalam hati

Seorang perempuan bergaun putih keluar dari kamar, ia memang sengaja disembunyikan hingga ijab Kabulnya sah. Aku tak bisa melihat wajahnya sebab ia menggunakan cadar. Dengan santun ia menyalamiku, sikapnya yang anggun membuatku terpana. Apa benar ia Dinda yang biasanya seperti ulat cabe, tak bisa diam, bergerak kesana-kemari.

"Suamiku, terimakasih sudah menghalalkan aku. InshaAllah, mulai saat ini aku akan berbakti padamu. Aku akan menjadi istri, ibu dan menantu yang baik untukmu, anak-anak kita nantinya dan kedua orang tuamu. Terimalah pengabdianku, mohon bimbing aku dan bersabar dengan segala kekuranganku." pintanya dengan suara Dinda yang teramat lembut hingga membuatku terpana.

Cadarnya belum juga disingkap. Dinda menyatakan baru akan membukanya nanti setelah kami berdua saja sebagai bentuk penghormatannya kepadaku.

Dinda? Apa benar ini Dinda? Tapi kenapa ia tak sama seperti ia yang biasanya aku lihat di sekolah?

***

"Dihya ... Dihya ... kamu tidur sejak sore ya? Pasti belum salat, sudah azan Maghrib lho, Abah saja sudah ke masjid, kamu pasti enggak dengar, kan? Kamu pasti belum makan, juga kan?" Umi sudah berada di kamarku, ia mengguncang tanganku agar terbangun. "Dihya ... kamu pasti kelelahan dengan segudang kegiatan di sekolah."

"Mimpi. Astagfirullah." aku langsung taawuz, lalu membaca doa.

"Mimpi? Memang kamu mimpi apa?" Umi begitu penasaran, duduk di tepi ranjangku, menanti sampai aku bercerita.

"Enggak apa-apa, Mi."

"Iiihhh Dihya, cerita dong. Umi kan pengen tahu!'

"Mi, namanya mimpi buruk kan nggak boleh diceritakan."

"Mimpi buruk? Benar mimpi buruk? Ya sudah kalau begitu. Semoga anak Umi dijauhkan dari segala mara bahaya. Sekarang buruan salat, setelah itu turun, makan ya sama Umi dan Abah." kata umi.

Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Mimpi buruk? Apa iya tadi itu mimpi buruk? Bukannya sebaliknya? Astagfirullah, aku buru-buru mengalihkan pikiran agar tak terpancing dengan itu semua. Lalu memikirkannya. Bukankah setan itu paling pintar mencari celah mempengaruhi manusia.

***

"Mi, siang tadi itu Umi bicara sama Uminya Dinda, kan?" tanyaku, sambil membantu Umi mencuci piring bekas kami makan malam.

"Hmmm, iya." jawab Umi, masih fokus dengan cuciannya. "Kamu kenapa tanya? Kamu dengar pembicaraan Umi?"

"Itu serius atau cuma guyonan?" aku balik bertanya.

"Seriusan."

"Mi?"

"Lho, kenapa? Kan dulu sudah umi tanyakan, nanti kamu mau cari jodoh sendiri atau umi Carikan. Kamu yang bilang mau dicarikan saja, ya sudah, umi jodohkan saja dengan anak sahabat umi dan Abah." Umi tersenyum sumringah. "Lagian kamu dan Dinda kan sudah saling kenal, satu kelas juga, kan? Nggak ada masalah, dong!"

Yap, satu kelas dan aku tahu semua aib Dinda dan itu masalah untukku!

"Tapi kan itu dulu, Mi. Waktu Dihya masih SMP. Dihya jawabnya asal-asalan saja karena Dihya masih sekolah dan belum mikirin jodoh."

"Tapi Umi serius! Lagian sekarang kan kamu juga masih sekolah, lalu kenapa harus dipikirkan juga?" Umi tersenyum padaku.

Kenapa Harus Dia?

Pukul tujuh lewat lima belas menit. Bel masuk berbunyi. Aku melihat ke arah gerbang sekolah saat salah satu guru piket menutup gerbang tetapi dia belum juga datang.

Terlambat lagi. Kenapa ia selalu datang terlambat, seolah membiarkan dirinya menjadi objek lelucon teman-teman satu kelas. Pantas saja dia nggak disukai temanya karena sikapnya sendiri yang membuatnya tidak diterima.

Entah apa alasannya. Aku sangat yakin ia pasti terlambat bangun. Makanya terlambat datang ke sekolah. Perempuan malas seperti itu, kenapa harus dia yang dijodohkan denganku? Umi kenapa nggak caritahu dulu. Main jodoh-jodohin aja, mentang-mentang orang tuanya bersahabat dengan orang tuaku.

Aku benar-benar khawatir dengan perjodohan ini. Karena harapanku nanti bisa menikah dengan yang sekufu denganku agar kami bisa memiliki anak-anak yang berkualitas juga.

Apel pagi baru saja selesai, belum ada tanda-tanda Dinda akan datang. Aku bersama siswa-siswa lainnya masuk ke kelas masing-masing. Untungnya jadwal guru yang mengajar pagi ini kosong karena guru yang bersangkutan sedang sakit, kalau tidak, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan diskors tidak boleh mengikuti jam pelajaran, padahal harusnya pagi ini kami menjalani ulangan harian. Sebagai gantinya, kami mengerjakan lembar kerja matematika sekaligus sebagai nilai pengganti ulangan harian.

Lima menit sebelum pukul delapan barulah Dinda muncul. Seperti biasa, dengan tampilan acak-acakan. Ia pasti baru menjalani hukuman. Jilbabnya berantakan, namun senyumnya tak pernah pudar. Selalu cengengesan seolah tak terjadi apa-apa.

Aku memperhatikan dari tempat dudukku. Ia kebingungan harus mengerjakan apa sebab tak ada satu orang temannya pun yang mau memberitahu tugas yang diberikan guru matematika kami. Di kelas ini Dinda memang seperti diasingkan. Ia dianggap sebagai aib karena menjadi satu-satunya siswa kelas IPA yang nilai rata-ratanya jauh di bawah standar.

Raut wajah Dinda tampak khawatir, Gea, salah satu murid di kelas ini memberikan tugas bohongan. Dinda yang tak tahu apa-apa buru-buru mengerjakan meski aku yakin ia tak paham caranya. Beberapa kali ia melirik ke kiri dan kanan, tetapi semua orang menutup bukunya masing-masing seolah khawatir dicontek Dinda.

Kasihan sekali, paling tidak jangan dipersulit.

Aku bangkit dari kursi, berjalan maju ke depan, mengambil lembar soal punya Dinda yang mereka sembunyikan di laci meja guru, lalu kembali berjalan menuju Dinda. Kini, semua perhatian tertuju kepadaku saat lembar milik Dinda ku berikan padanya.

"Bukan yang itu tugasnya, mereka sedang ngerjain kamu, ini tugas yang benar, kerjakan punyamu." kataku pada Dinda yang langsung ngangguk-ngangguk. "Heh, kamu, siapa namamu?" aku melirik teman sebangku Dinda.

"Aku Wike," kata teman sebangku Dinda sambil mengulurkan tangannya, ia memamerkan senyumnya.

"Kamu, mulai sekarang duduk di bangku sana, tukaran denganku." kataku, sambil menyisihkan peralatan tulisnya dari meja di samping Dinda. "Tolong ambilkan tasku sekalian." kataku.

Wike menurut, membawa semua peralatan sekolahnya, lalu ia mengambil tasku, mengantarkan ke meja yang sekarang aku tempati. Semua orang di kelas terdiam, tak bisa berkata-kata sebab aku adalah Dihya Azizi, tahun lalu menjadi ketua OSIS, sekarang ketua kelas, siswa paling berprestasi di sekolah ini dan digadang-gadang akan masuk fakultas kedokteran saat kelulusan nanti.

"Kenapa bengong, kerjakan tugasmu, Waktunya tinggal setengah jam lagi!" kataku, sambil memukul pelan meja di depan Dinda agar ia terus-terusan melamun.

"Hah, eh iya." kata Dinda yang gelagapan, lalu mulai membaca soal-soal yang aku berikan, seperti tebakanku ia tak paham apa-apa. Lembar soal itu hanya dibolak-balik, tapi tak ada satu jawaban pun yang bisa ditulisnya.

"Kenapa? Kamu nggak bisa mengerjakannya?" pertanyaan aneh itu keluar juga, harusnya tak perlu aku tanyakan karena tahu Dinda memang sebodoh itu. Ia tak paham matematika, biologi, fisika, kimia, dan seluruh mata pelajaran IPA, tapi malah nekat masuk kelas IPA dan entah bagaimana caranya bisa masuk kelas ini juga. Itu juga yang menjadi alasan anak-anak kelas ini nggak respek pada Dinda, mereka merasa Dinda adalah aib yang harus dikeluarkan meski Dinda seperti parasit yang tetap bersikeras menempel di kelas ini.

"Enggak bisa. Soalnya susah sekali ya. Fiuff. Kenapa ada soal sesulit ini?" keluh Dinda, sehingga membuat keningku berkerut.

Soal itu nggak sulit, kamu saja yang bodoh Din!

"Lihat ini, kerjakan dulu yang nomor satu." aku yang tak bisa sabar akhirnya turun tangan juga. Ia masih muter-muter, sementara dalam hitungan detik soal itu sudah selesai olehku hingga membuat Dinda berbinar-binar, dengan cekatan ia menyalinnya.

"Dihya benar-benar jenius ya. Soal sesulit itu cepat banget lho diselesaikannya. Kamu makan apa sih, kok bisa sepintar ini?" tanya Dinda dengan polosnya.

"Udah enggak usah banyak ngomong, kerjakan saja!" aku menegaskan.

"Eh iya iya. Siap!" seperti mendapatkan harta Karun, dengan riang gembira Dinda mencatat jawaban yang ku buat di lembar oretan.

Hanya lima soal yang mau ku bantu. Lima lagi harus ia sendiri yang mengerjakan karena sebenarnya melakukan ini saja sudah melanggar prinsipku sendiri yang gak akan pernah memberikan contekan pada siapapun.

"Wah terimakasih ya Dihya, aku berhutang banyak nih sama kamu. Enggak apa-apa dibantu segini saja sudah senang. Lebihnya nggak usah dikerjakan." kata Dinda dengan santainya.

"Loh kenapa nggak dikerjakan?" aku balik bertanya.

"Untuk apa juga dikerjakan, aku nggak bakalan bisa. Lagipula dapat nilai lima udah keren sekali. Selama ini kan langganan nilai nol." kata Dinda sambil tertawa kecil, seolah bersyukur dengan keterbatasannya yang tanpa usaha itu.

Sungguh tidak lucu. Aku malah melihatnya sebagai sesuatu hal yang menyedihkan. Spontan aku menarik kertasnya, menyuruhnya untuk melanjutkan tugas berikutnya. Sampai waktunya habis ia harus berusaha mengerjakan sebisanya setelah awalnya aku membantu menjelaskan.

Dinda yang awalnya senang sudah menyelesaikan lima soal langsung kusut, ia ingin kabur namun tak bisa sebab aku seperti satpam yang tak akan melepaskannya.

"Kamu itu kenapa sih harus begitu." kataku.

"Begitu bagaimana?" tanya Dinda tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas soal, sementara tangannya aktif mencoret-coret lembar satunya lagi sebagai oretan.

"Setiap hari datang terlambat. Kamu nggak salat Subuh ya?"

"Sembarangan, salat kok!"

"Orang yang salah subuh nggak akan terlambat ke sekolah karena bangunnya pagi. Palingan kamu salatnya pukul tujuh."

Dinda berhenti mengerjakan soal, ia menatapku, lalu berlalu menuju meja guru, meletakkan lembar jawabannya.

"Heh belum selesai!" kataku. Baru satu soal yang ia kerjakan, itupun belum ku periksa apakah sudah benar atau masih salah.

"Bel sudah bunyi." kata Dinda bersamaan dengan suara bel.

Tentang Dinda

"Mi," pulang sekolah aku langsung menghampiri Umi untuk menyatakan keberatanku atas perjodohan ini. Tetapi, bukannya peduli, Umi malah tertawa kecil dan menganggap aku ribet. Bagaimana tidak ribet, masa depanku sedang dipertaruhkan. Tak hanya tentang aku, tapi juga tentang masa depan amak-anakku. Dari buku yang aku baca, kecerdasan anak itu menurun dari ibunya. Kalau benar nanti Dinda adalah ibu dari anak-anakku, bisa dibayangkan kecerdasan seperti apa yang akan ia turunkan untuk anakku? Badanku langsung lemas, membayangkan seumur hidup akan merasa bersalah pada anak-anakku nantinya sebab karena pasrah menerima perjodohan berefek pada mereka yang tak salah apa-apa. "Pokoknya Dinda itu nggak banget Mi. Jangan sampai nanti Umi menyesal menjodohkan putra semata wayangnya Umi dengannya!"

"Hahahaha, Dihya sayangnya Umi. Sungguh, Umi nggak nyangka kamu sebegitunya. Dengar ya nak, Dinda itu mungkin tak pintar di pelajaran sekolah seperti yang kamu katakan, tapi ia pasti punya kelebihan lainnya." kata Umi. "Kamu kan sekelas dengannya, coba ingat-ingat ia pintar di bidang lain apa karena nggak semua orang harus suka pelajaran IPA, kan? Sama seperti kamu yang selalu juara kelas namun urusan seni kamu tak terlalu suka bahkan kamu dianggap ngasal kalau sudah disuruh belajar .

"Kelebihan apa? Olahraga? Enggak sama sekali, Mi. Guru olahraga saja sampai geram padanya. Basket tidak bisa, voli takut kena bola. Makanya ia disuruh main gundu saja. Itupun sama juga. Seni? Begitu juga. Umi harus dengar kalau ia sudah sibuk dengan adikmu. Suaranya fals, benar-bemar enggak enak di dengar. Lalu apa yang harus dibanggakan dari seorang Dinda, mi?" aku merengek agar Umi kembali mempertimbangkan keputusannya dan rencananya kalau tidak berhasil juga, aku akan mengajak Dinda untuk ikut protes menentang keputusan orang tua kami. Siapa tahu dengan begitu bisa berhasil sehingga keputusan itu bisa dibatalkan tanpa adanya kedurhakaan dari anak-anak karena tidak menuruti perintah orang tuanya.

"Memang kriteria istri idaman yang kamu inginkan seperti itu, Nak?" Umi melirikku. "Apa yang harus jago IPA, olahraga atau seni?" Tanya Umi. Mengingat apa yang sudah pernah aku katakan.

"Hmm," aku berpikir. Sebenarnya aku suka perempuan saliha. Yang anggun, lemah lembut, keibuan dan sabarnya tinggi agar nanti ia bisa membersamai anak-anak kami dengan kebaikan tanpa harus marah-marah kalau anak-anak sedang berulah sebab begitulah amak-anak, ada saja ulahnya yang menguji kesabaran orang tuanya. Ya seperti Umi yang tak suka marah-marah apalagi ngomel seperti kebanyakan perempuan. Aku tak suka tipe perempuan seperti itu meski kata Umi, kebanyakan perempuan meski masa gadisnya santun dan pendiam namun ketika menikah ia bisa jadi cerewet dan sangat garang lantaran beban rumah tangga yang memang tidaklah enteng. "Ya yang speknya seperti sudah Dihya katakan sebelumnya, Mi. Dihya ingin perempuan yang sabar." Kataku, sambil membayangkan seorang perempuan mendampingi anak-anaknya.

"Lalu, apa Dinda tak seperti itu?" Umi balik bertanya.

"Maksudnya?"

"Apa kamu nggak merasa dia seperti itu, sesuai dengan spek yang kamu harapkan? Apa dia tidak sabar, tidak bagus? Kesampingkan dulu soal akademiknya karena kita nggak tahu mungkin kalau ia masuk pesantren bisa saja ia yang jadi juara sebab ketika kita menjalankan sesuatu yang tidak kita inginkan biasanya hasilnya tak bagus karena setengah hati dikerjakan.

Aku langsung membayangkan seorang Dinda. Gadis yang sangat ceroboh, pemalas karena selalu datang terlambat, suka cengengesan nggak jelas padahal ia dijadikan bahan Bulian oleh teman-teman sekelas, bahkan juga kelas lain. Ia seolah tak masalah diperlakukan dengan sangat buruk, bahkan sering dikatakan timun bongkok karena di kelas gak pernah ada prestasinya hingga benar-bemar dikucilkan sempurna.

"Kamu tahu tidak, Dinda itu, meski anak tunggal seperti kamu, tapi ia sangat telaten mengurus ibunya yang sakit lupus. Setiap pagi, ia selalu mengurus ibunya dahulu sebelum berangkat sekolah. Mulai dari menunggui sampai bangun, membersamai saat salat Subuh, memandikan, menyuapi mahkan hingga ibunya istirahat pagi."

Pikiranku kembali tertuju saat Dinda terlambat tiap hari ke sekolah, berarti ia begitu karena tiap pagi harus mengurus ibunya. Kata Umi, mereka memang punya satu khadimat di rumah tetapi hanya mengurus rumah, itupun setengah hari saja, sementara setengahnya lagi dihandle sendiri oleh Dinda

Dinda itu memang tak suka belajar. Ia sebenarnya ingin masuk pesantren, namun ibunya pernah berceloteh ingin anaknya masuk IPA agar jadi dokter. Gara-gara itulah Dinda mati-matian berusaha masuk kelas IPA, dibantu oleh bu Jeni, Tantenya Dinda yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah di tempat kami.

Kini aku mengerti semuanya. Kenapa Dinda seperti itu. Aku yang semula malas melihatnya, begitu kesal dijodohkan dengannya mendadak berubah seratus persen. Dinda kini luar biasa di mataku. Memang tak semua orang hebat di satu bidang, bisa jadi ia pintar di bidang lainnya. Dinda ingin masuk pondok pesantren sebab ia suka belajar keagamaan dan bercita-cita menjadi seorang ustadzah. Namun, demi baktinya kepada ibunya, Dinda mengganti semua mimpinya demi mimpi ibunya.

Mendengar semua cerita Umi membuatku merasa malu. Aku yang kemarin-kemarin sangat percaya diri yang pantas dengan Dinda sebab merasa jauh di atas Dinda kini jadi terbalik. Aku yang bukan apa-apa sementara Dinda luar biasa. Baktinya mengalahkan semua kebanggaanku. Aku saja mungkin tak bisa begitu. Mengganti mimpiku dengan mimpi Umi atau Abah. Contohnya, Umi yang sangat ingin aku berjodoh dengan Dinda, tapi karena merasa ia tak sepadan denganku makanya langsung melakukan protes besar-besaran.

Untuk masalah sabar, sebenarnya ia sangat sabar sekali. Dinda itu dengan siapapun luar biasa sabarnya. Senyumnya tak pernah hilang meski seisi kelas menertawakan. Ia tak pernah marah. Hidupnya sangatlah tulis. Aku benar-benar salut padanya.

"Jadi bagaimana? Masih mau protes?" Umi melirik aku yang kedapatan senyum-senyum sendiri. "Atau jangan-jangan ...."

"Apa Mi? Sudah ya Mi, Dihya mau ke kamar dulu. Mau istirahat." Kataku, lalu buru-buru ke kamar sebelum Umi menangkap warna merah muda di wajahku.

Yap, aku sepertinya sudah menyukai Dinda. Begitu cepatnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia. Sebelumnya aku sangat kesal bahkan merasa tak adil ketika dijodohkan dengan Dinda, sekarang malah sebaliknya. Rasanya malu kalau terbayang wajah Dinda.

"Aghhh, ini benar-benar bikin kesal!" Aku senyum-senyum sendiri. Membaringkan tubuh di atas kasur, membayangkan hari esok. Mulai hari ini aku gak akan membiarkan Dinda diganggu lagi. Aku akan menjaganya dengan sangat baik tanpa melanggar aturan agama sebab kami sudah dijodohkan!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!