"Saya terima nikah dan kawinnya Diana binti Haris almarhum dengan Mas mas kawin seperangkat alat shalat dan emas empat gram dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi SAH?"
"SAH."
Seorang pria baru saja selesai mengucapkan ijab qobul secara lugas, dihadapan Pak penghulu dan para saksi serta seorang wanita yang duduk di sampingnya.
Pacaran wajah haru bahagia jelas terlihat dari wajah sepasang pengantin baru tersebut. Tidak ada pesta pernikahan seperti pada umumnya, hanya acara ijab qobul saja, itu pun dilakukan di sebuah KUA di daerah setempat mereka.
Daffa dan Diana, kini mereka sudah SAH menjadi pasangan suami istri, setalah sebelumnya mereka menjalani masa pacaran selama kurang lebih tiga bulan. Memang terbilang sangat singkat, namun mereka sama-sama saling mencintai, dan atas keseriusan Daffa, Diana pun menerima pinangan pria tersebut. Untuk apa berpacaran lama-lama, mereka pikir usia mereka sudah cukup untuk berumah tangga. Bukan hanya itu, memutuskan untuk menikah karena mereka pikir akan lebih menghindari dari dosa, ya walaupun selama berpacaran mereka tidak pernah macam-macam, berpegangan tangan pun jarang, kerena sama-sama masih sungkan.
Usai ijab qobul selesai, Daffa dan Diana pun meninggalkan KUA tersebut. Mereka berdua sama-sama yatim piatu, jadi tidak ada keluarga yang mengantarkannya.
"Maaf ya, aku cuman mampu ngajak kamu tinggal di kontrakan petak seperti ini, aku janji kalau ada rezeki kita kontrak rumah yang lebih besar," ucap Daffa pada Diana. Mereka kini sudah tiba di sebuah kontrak, yang sebelumnya memang sudah Daffa bayar untuk tinggal mereka berdua.
"Iya Mas, gak apa-apa kok. Lagian kita cuman tinggal berdua aja, gak masalah," sahut Diana sambil menapakkan senyuman manisnya, memperlihatkan kalau ia sama sekali tidak keberatan tinggal di sana.
Daffa membalas senyuman sang istri dengan tangan yang terulur, lalu menarik tangan Diana. "Terima kasih, aku berjanji akan selalu membuat kamu bahagia, mungkin aku tidak bisa memberikan kemewahan sama kamu, tapi aku akan berjuang untuk selalu memenuhi semua kewajiban aku. Dan satu lagi ... maaf aku tidak bisa membuatkan pernikahan kita berkesan,"
"Mas," sela Diana, memotong ucapan pria yang kini sudah berstatus suaminya itu. "Kita sudah bicarakan hal ini sebelumnya, aku tidak apa-apa Mas, yang terpenting itu pernikahan kita Sah Dimata hukum dan agama, lagian kalau punya uang pun sayang sekali rasanya kalau dipake buat pesta, mending uangnya di tabung, buat cita-cita kita," imbunnya.
"Terima kasih ya sudah mengerti, ya sudah kalau begitu Mas mau bersih-bersih dulu." Daffa melapaskan genggaman tangannya, lalu ia pun berlalu menuju kamar mandi.
Sementara Diana, ia memutuskan untuk berganti pakaian saja terlebih dahulu, ia berencana akan memasak untuk makan malam, setalah itu baru bersih-bersih.
Sebenernya rumah kontrakan itu tidak terlalu sempit, masih leluasa jika hanya ditinggal oleh mereka berdua, kontrak dengan satu kamar, kemudian ada ruang tamu yang terhubung dengan dapur, dan kamar mandi.
Perabot di sana pun sudah terbilang lengkap, memang Daffa melengkapinya sebelum beberapa hari ia akan menikah dengan Diana.
Usai berganti pakaian, Diana pun bergegas menuju dapur, ia membuka kulkas untuk melihat apakah ada stok bahan makanan yang bisa dimasak, dan ternyata ada.
"Banyak banget isi kulkasnya, apa Mas Daffa sengaja ya?" gumam Diana, sambil memandangi semua bahan yang ada di dalam kulkas tersebut, dan berpikir ia akan memasak apa.
Setalah berpikir beberapa saat, Diana pun mengambil beberapa bahan makanan, sayuran serta ikan yang ada di dalam kulkas tersebut. Ia pun segara mengelolanya.
"Sayang kamu lagi ngapain?" Tiba-tiba saja Daffa yang baru saja usai dengan ritual mandinya itu keluar dari kamar mandi.
Diana pun menoleh kearah Daffa. "Aaaaa ... " teriak Diana, ia langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan saat melihat suaminya hanya mengangguk handuk yang melilit pinggangnya.
Daffa terkejut juga merasa heran, apa ada yang salah dengannya? pikir Daffa. Perlahan ia pun berjalan mendekati istrinya.
"Kamu kenapa?" tanya Daffa mengkhawatirkan sang istri.
"Mas jangan mendekat," pinta Diana, ia memundurkan langkahnya menghindari Daffa.
Daffa semakin di buat heran, ia menarik tangan Diana perlahan, agar bisa menatap wajah istrinya itu, ingin bertanya lebih jelas, kenapa Diana tiba-tiba berteriak saat melihatnya?
'Apa aku terlihat jelek saat ini?'
Daffa membantin, merasa tidak percaya diri. Padahal bukan itu maksud Diana, ia berteriak kerena terkejut melihat Daffa yang hanya menggunakan handuk saja, jelas terekspose tubuh bagian atas pria itu. Mungkin kerena belum terbiasa, dan ini untuk pertama kalinya Diana melihatnya, ia jadi terkejut.
"Kenapa, Nana?" tanya Daffa lagi, Nana adalah panggilan sayang Daffa untuk Diana.
"Itu Mas ih, mending Mas ganti baju dulu deh, tadi aku udah siapin baju ganti Mas juga," jawab Diana sambil menunduk kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah kerena tersipu-sipu.
"Oh ini, ya ampun. Mas kira kamu kenapa, keget tahu, Mas. Ya udah sih santai aja, kitakan udah Sah," ujar Daffa sambil terkekeh geli melihat ekspresi sang istri yang masih malu-malu padanya, padahal mereka kini sudah sah, ya begitulah. Diana bisa dikatakan masih polos, walaupun usianya hampir menginjak 24 tahun.
"Apa mau liat yang bawahnya juga," lanjut Daffa berbisik sambil menahan tawanya. Senang rasanya ia menggoda istrinya itu.
"Ih apaan sih, Mas." Diana langsung membalikan badannya, ia berpura-pura kembali fokus mengiris bahan-bahan yang akan ia masak.
'Aaa ya Tuhan, kenapa kok aku deg-degan benget!'
"Udah ah, Mas ganti baju dulu gih. Nanti masuk angin loh," sambung Diana. Sengaja, kerena ia merasakan perasaannya sudah tak karuan jika Daffa masih ada di sana, bisa-bisa ia tidak bisa fokus memasak.
"Baiklah istriku," ucap Daffa menurut. Senyuman terlihat tak hentinya terulas dari bibir Daffa, ia pun berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian.
Selang beberapa menit kemudian, Daffa pun kembali menghampiri istrinya, yang kini terlihat sedang mengolah bahan-bahan makanan yang tadi.
"Masak apa, Sayang?" tanyanya.
"Ini Mas, aku bikin sayur capcai sama ikan goreng," jawab Diana, sekilas ia menoleh kearah suaminya lalu kembali fokus ke aktifitas memasaknya.
"Ummm, dari wanginya enak banget nih. Jadi laper," ucap Daffa yang kini sudah berdiri di samping Diana.
"Ini bentar lagi metang kok Mas, aku siapkan dulu ya, Mas tunggu aja di depan," ujar Diana.
"Ya udah Mas tunggu di depan ya."
Diana mengangguk, setalah itu Daffa pun berlalu dari sana. Ia duduk di ruang tamu yang memang terhubung dengan dapur tersebut, jadi Daffa masih bisa melihat aktifitas istrinya.
Beberapa saat kemudian, Diana pun sudah selesai memasak, ia langsung membawa makanan tersebut ke depan. Keduanya duduk lesehan di karpet. Diana pun melayani Daffa, menyodorkan nasi serta lauk pauk ke atas piring suaminya.
"Makasih Sayang," ucap Daffa sambil tersenyum. Rasanya Daffa tidak bisa lagi berkata-kata, perasaannya sungguh bahagia mempunyai istri seperti Diana.
Mereka pun menikmati makanan tersebut, sambil mengobrol apa saja, sekali tawa keduanya terdengar sangat gembira.
*
Malam pun tiba, Daffa terlihat sudah berbaring dia tas kasur, sejak tadi ia merubah-ubah posisinya, entah mengapa rasanya Daffa gelisah. Tapi, sepertinya ia bukan gelisah, melainkan gugup tak karuan, mengingat malam ini adalah malam pertama pernikahannya dengan Diana, jelas seperti pasangan pada umumnya, Daffa pun memikirkan bagaimana nanti memulai malam dengan istrinya.
Sementara itu, Diana kini tengah berada di kamar mandi, sudah hampir setengah jam Diana berada di sana, sejak tadi ia terus berjalan mondar-mandir tidak jelas.
"Aaa, gimana ini? Aku deg-degan benget. Malu juga rasanya, ya ampun nanti gimana rasanya ya?" gumam Diana konyol, tentu saja ia tengah memikirkan hal yang sama dengan Daffa.
"Hah." Diana menghembuskan nafasnya, lalu menghirupnya. "Tidak, nafasku tidak bau. Aku sudah mandi juga, wangi juga," sambungnya sambil mengendus-endus ketiaknya.
Tentu saja Diana takut jika nanti Daffa ilfil jika ia bau. "Ayolah Diana, apa yang kamu takutkan? Daffa sudah resmi menjadi suami kamu, apa pun yang akan dilakukan ke kamu, sudah seharunya begitu. Ayo jangan gugup, semuanya pasti akan baik-baik saja, kamu harus yakin, jangan sampai mengecewakan suamimu di malam pertama ini." Diana bergumam lagi, ia mencoba menyakinkan dirinya.
Beberapa kali ia mengatur nafasnya, setalah merasa lebih baik ia pun keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju kamarnya.
Ceklek!
Diana membuka pintu kamar tersebut, Daffa yang berada didalam terlihat langsung menatap kearahnya.
Terlihat jelas keduanya sama-sama gugup, perlahan Diana pun masuk ke dalam kamar lalu ia ikut berbaring di atas kasur bersama suaminya itu.
Hening, seketika keduanya masih sama-sama diam larut dalam pemikiran dan perasaan mereka masing-masing.
"Ehemm ... " Suara deheman Daffa memecah suasana hening tersebut.
"Emm, Nana apa boleh,"
Belum saja Daffa menyelesaikan ucapannya, Diana terlihat langsung menganggukkan kepalanya. Daffa terlihat tersenyum lebar.
Ia pun mulai melakukan aksinya, tepatnya kewajibannya. Perlahan namun pasti, keduanya pun larut dalam suasana yang memabukkan, membuat mereka merasa terbang sampai keawang-awang, malam tersebut terasa menjadi malam yang sangat panjang, hujan di luar menambah suasana semakin mengguncang.
Daffa berhasil merenggut mahkota milik istrinya, keduanya saling melepas mahligai dan gelora yang membara di malam pertama.
"Terima kasih sudah menyerahkan mahkotamu untukku," bisik Daffa usai mereka sama-sama mencapai titik puncak kenikmatan.
Diana yang merasa lelah, ia hanya mengangguk pelan. Daffa tersenyum, sekilas ia mengecup kening istrinya, sementara Diana setalah itu ia sudah tidak ingat apa-apa, rasa lelah membuatnya begitu mudah masuk ke dalam dunia mimpinya.
Entah sudah berapa lama Diana tertidur, wanita itu perlahan membuka matanya. Dengan tangan yang meraba-raba ke samping di mana semalam Daffa tertidur di sana.
"Mas Daffa," panggil Diana dengan suara yang masih khas, kesadarannya belum sepenuhnya kembali, kerena matanya merasa sangat berat untuk terbuka.
"Maafkan aku Diana," gumam Daffa yang berdiri di ambang pintu kamar tersebut sambil memandangi Diana yang sudah terlelap kembali.
Setalah itu Daffa pun menutup pintu kamar tersebut dengan hati-hati. Dengan mata yang berkaca-kaca Daffa terlihat melangkah kakinya keluar dari rumah kontrakannya itu, sebuah tas ransel terlihat menggantung di punggungnya.
"Maafkan aku Diana, aku janji, aku pasti kembali," gumamnya, setalah keluar dari rumah kontrakan tersebut.
Jam menunjukkan pukul 02.00 pagi, di luar terlihat masih hujan gerimis, namun Daffa terlihat tidak ragu menerobosnya.
Sebenernya akan pergi kemana Daffa?
Bersambung ....
Sinar mentari terlihat mulai menyinari alam semesta, menghangatkan suasana pagi usai semalam di guyur oleh hujan. Orang-orang terlihat sudah mulai berlalu lalang melakukan aktifitas mereka. Begitu pun dengan wanita cantik yang bernama Diana, ia terlihat sibuk dengan aktifitas paginya, membereskan rumah kontrakannya, ia juga sudah membuat sarapan untuk dirinya dan juga sang suami.
Akan tetapi, waktu kini sudah menunjukkan pukul 8 pagi, Diana terlihat mondar-mandir di teras rumah kontrakannya itu.
"Mas Daffa kemana ya? Kenapa dia belum pulang juga?" gumamnya.
Sejak terbangun, Diana memang tidak melihat keberadaan suaminya, ia pikir suaminya sedang keluar, sekedar berolahraga, pikirnya. Kerena hari ini adalah hari minggu, biasanya orang-orang sekitar situ sering berolah lagi di taman kota. Namun, ada hal yang membuat ia heran juga, kenapa Daffa tidak membangunkan dia saat ingin pergi, setidaknya berpamitan? Ah mungkin kerena ia tertidur pulas tadi, jadi Daffa tak tega membangunkannya. Lagi-lagi Diana mencoba berpikir positif.
Walaupun sesungguhnya ia tidak bisa menepis perasaannya yang kini mulai tidak enak. Sebenernya kemana Daffa?
"Baru jam 8, mungkin agak siangan Mas Daffa pulang, ya sudahlah aku masak untuk makan siang saja nanti." Lagi-lagi Diana bergumam, ia memutuskan untuk masuk ke dalam, dan seperti rencananya, ia akan masak untuk makan siang. Jika nanti Daffa pulang pasti semuanya sudah siap.
Sekitaran satu jam berkutat di dapur dengan aktifitas memasaknya, akhirnya semua masakan pun sudah siap.
Diana menghelai nafas panjangnya, kali ini ia memasak masakan yang cukup memakan waktu, sengaja kerena ia ingin menyiapkan makanan yang spesial untuk sang suami kali ini.
Selang beberapa jam kemudian, Diana yang masih menunggu kepulangan suaminya itu, namun sampai detik ini tidak ada tanda-tandanya Daffa pulang. Diana mulai mengkhawatirkan suaminya, padahal sekarang sudah tengah hari. Jika memang Daffa berolahraga, tidak mungkin bukan sampai tengah hari seperti ini? Biasanya orang-orang berolahraga di taman kota hanya sampai jam 10 pagi, itu pun sudah terbilang siang.
"Kemana sebenernya, Mas Daffa? Ya ampun Mas kenapa kamu belum pulang juga?" Diana benar-benar risau, detik kemudian Diana terpikir sesuatu, ia segara bergegas menuju kamar, lalu mengambil benda pipih miliknya.
"Kenapa aku gak kepikiran dari tadi untuk menelepon Mas Daffa." Diana menggerutu, bisa-bisa ia sampai lupa, kenapa ia tidak menghubungi Daffa sejak tadi saja, Daffa pasti membawa ponselnya, bukan?
Diana pun mencoba menghubungi Daffa. Namun, sayangnya nomer ponsel Daffa tidak aktif. Berulang kali ia mencobanya, tetap sam nihil Daffa tidak bisa dihubungi.
Tanpa berpikir panjang, Diana pun langsung bergegas meninggalkan rumah, ia memutuskan untuk mencari Daffa, tujuan pertamanya yaitu ke taman kota.
Butuh waktu sekitar 5 menit untuk sampai di taman kota tersebut, Diana pun mencari Daffa di sekitar sana, berkeliling di tempat tersebut, akan tetapi ia tidak menemukan keberadaan pria yang baru menikahinya kemarin itu.
"Mas kamu di mana?" gumamnya.
Diana pun mencoba bertanya ke salah satu pedagang kaki lima yang biasa mangkal di sana. Ia menunjukkan foto Daffa yang ada di dalam ponselnya.
"Permisi, Pak. Maaf saya mau tanya, apa Bapak melihat orang ini?" tanya Diana pada Bapak tersebut.
Bapak tersebut terlihat mengamati wajah Daffa yang tertera pada layar ponsel Diana tersebut.
"Kalau seminggu yang lalu saya lihat sih, dia olahraga di sini, kebetulan juga sempat ngopi di sini, tapi kalau hari gak ada lihat, Mbak," jawabnya.
"Oh jadi untuk hari ini gak lihat ya, Pak. Terima kasih ya, Pak." Setalah itu Diana pun berlalu dari sana. Dengan langkah yang gontai Diana mencoba berpikir, kira-kira kemana perginya suaminya itu?
"Apa mungkin Mas Daffa pergi ke tempat kerjanya? Tapi 'kan ini hari Minggu, tempat Mas Daffa kerja juga libur, Mas kamu di mana?" gumam Diana.
Rasa lelah dan juga lapar mulai menerpanya, Diana pun memutuskan untuk kembali ke rumah, mungkin saja Daffa sudah pulang di rumah.
Sesampainya di rumah, harapannya pun terasa pupus, Diana tidak melihat tanda-tanda kepulangan Daffa.
Diana memasuki rumah dengan perasaan yang gundah gulana, memikirkan dimana sebenarnya keberadaan Daffa? Pergi kemana suaminya itu? Kenapa Daffa pergi tanpa pamit padanya? Baik-baik sajakah dia? Dan banyak lagi pertanyaan yang kini memenuhi benak Diana, terlebih sampai saat ini ponsel Daffa masih tidak bisa dihubungi.
"Harus kemana aku mencari Mas Daffa, kenapa belum ada kabar juga?" risau Diana yang kini tengah berdiri di dekat jendela, menatap ke luar sana, menantikan kepulangan sang suami tercinta.
Tak lama kemudian, hujan kembali membasahi bumi, Diana bingung harus berbuat apa? Ia tidak tahu kepada siapa lagi harus menanyakan Daffa, kerena selama ini Diana tidak pernah tahu Daffa berteman dengan siapa. Kerena pertemuan mereka memang sangat singkat, sehingga Diana tidak mengenal bagaimana kehidupan Daffa yang sesungguhnya, yang ia tahu Daffa pria yang baik, baginya Daffa adalah pria yang paling sempurna di matanya.
Hingga sore menjalang, Daffa pun masih tak kunjung datang. Diana semakin mengkhawatirkan Daffa, mencari Daffa pun ia tidak tahu harus kemana, terlebih hujan diluar semakin deras tidak ada henti-hentinya.
'Ya Allah ... di mana pun Mas Daffa saat ini, aku mohon lindungi dia,' batin Diana seraya menitihkan air matanya.
Diana pun memutuskan untuk ke kamar, rasa lapar yang sejak tadi siang terasa, kini terasa musnah begitu saja, nafsu makannya hilang begitu saja, yang saat ini Diana pikirkan hanya Daffa, Daffa, dan Daffa. Ia belum menemukan petunjuk secuil pun tentang keberadaan suaminya saat ini.
Terlalu lama menunggu sampai Diana ketiduran, saat ia terbangun. Ia terkejut saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, Diana pun bergegas dari kasur.
"Mas Daffa, Mas apa kamu sudah pulang?" teriak Diana memanggil-manggil suaminya itu sambil berjalan keluar dari kamar, namun sayangnya Diana tidak melihat keberadaan Daffa di rumah kontrakannya itu.
"Mas sebenernya kamu kemana?" Diana terisak. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang, sampai malam seperti ini, Daffa masih belum pulang.
Hingga detik kemudian, Diana merasakan kepalanya terasa sangat berat, pandangan kabur dan setalah itu semuanya terasa gelap.
Diana tak sadarkan diri, mungkin kerena sejak pagi perutnya belum terisi makan sama sekali, serta beban pikirannya terasa berat memikirkan dimana keberadaan suaminya yang sampai saat ini belum ada tanda-tanda pulang ke rumah.
Perlahan Diana membuka matanya, pandangannya masih terasa samar-samar, ia melihat pria yang sejak tadi di tunggunya itu berdiri tak jauh darinya.
"Mas Daffa," panggil Diana sambil tersenyum menatap suaminya itu.
Daffa terlihat menatap Diana dengan tatapan yang sendu, membuat Diana merasa heran. Padahal sejak tadi ia menunggu kepulangan suaminya itu, bahkan Diana sangat bingung dan mengkhawatirkannya. Tapi, Daffa malah diam tanpa kata, dia tidak menghampiri Diana.
"Mas, kamu dari mana?" tanya Diana.
Daffa masih terdiam, mulutnya terlihat masih rapat, namun tatapannya kini masih menatap lekat pada Diana.
"Mas, kamu baik-baik sajakan?" tanya Diana lagi.
Tapi, bukannya menjawab Daffa malah membalikan badannya, setalah itu bergegas pergi meninggalkan Diana tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
"Mas, Mas Daffa ... Mas, kamu mau kemana Mas?" teriak Diana.
Daffa terlihat menghiraukan, pria itu terus berjalan tanpa memperdulikan Diana yang terus memanggil-manggilnya.
"Mas Daffa!"
Bersambung ...
"Mas Daffa!" teriak Diana lagi.
"Allhamdulilah, akhirnya Mbak Diana sadar, minum dulu, Mbak," ucap seorang wanita yang kini duduk di dekatnya. Wanita itu terlihat mengambilkan segelas air putih untuknya.
Diana masih terdiam, ia mencoba mencerna apa yang terjadi barusan. 'Apa aku hanya bermimpi barusan?' batinnya.
"Diminum dulu, Mbak," ujar sang wanita yang bernama Tina tersebut, dia adalah pemilik rumah kontrakan yang Diana dan Daffa ditinggali saat ini.
Diana yang masih terdiam pun mengangguk, ia mengambil gelas yang diberikan oleh Bu Tina, lalu meneguk air tersebut hingga tandas.
"Gimana Mbak Diana, apa sudah merasa lebih baik? Apa kita ke Rumah Sakit saja biar Mbak Diana diperiksa oleh Dokter di sana? Saya tadi kebetulan lewat, terus saya dengar bunyi benda jatuh, saya penasaran, jadi saya masuk ke rumah Mbak Diana yang kebetulan gak di kunci, dan pada saat saya masuk saya lihat Mbak Diana pingsan, dan benda yang jatuh itu ternyata pas bunga dan ponsel Mbak Diana, maaf ya Mbak Diana kalau saya lancang," jelas Bu Tina, ia mengerti pasti Diana bingung kenapa ia ada di sana.
"Gak apa-apa Bu, terima kasih. Saya baik-baik saja kok," sahut Diana. Jadi ternyata dia tadi pingsan, itu tandanya apa yang Diana alami tentang Daffa yang pergi meninggalkannya hanya mimpi, syukurlah.
"Yakin, Mbak Diana baik-baik saja? Mending kita ke Rumah Sakit saja, biar saya antar," tawar Bu Tina, ia melihat kondisi Diana sepertinya tidak baik-baik saja.
"Yakin, Mbak. Saya gak apa-apa kok." Diana mencoba menyakinkan Bu Tina, dengan memperlihatkan senyumannya.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa dan butuh bantuan tidak usah sungkan bilang saja ya, Mbak Diana. Kitakan berdekatan," kata Bu Tina.
Diana hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Oh iya, saya hampir lupa. Tadi saya coba hubungin suami Mbak Diana, tadi nomer ponselnya gak aktif, Pak Daffa belum pulang ya, Mbak Diana?" lanjutnya bertanya.
"Belum, Bu. Memang sejak tadi ponselnya gak aktif, mungkin kehabisan daya. sebentar lagi mungkin suami saya pulang," jawab Diana.
"Syukurlah, soalnya saya merasa gak tenang juga ninggalin Mbak Diana sendiri di sini, apa mau saya temani sampai Pak Daffa pulang saja, Mbak?"
"Terima kasih semuanya, Bu. Tidak usah, saya gak apa-apa kok, lagian ini sudah malam juga, pasti Mas Daffa pulang kok, Ibu juga harus istirahat," tolak Diana dengan halus.
Bu Tina pun menganggukkan kepalanya pelan, setalah itu ia pun berpamitan pergi dari sana.
Diana menghelai nafas beratnya usai kepergian Bu Tina, lalu ia melihat jam dinding yang tertempel di ruangan sana, dilihatnya waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Diana kembali teringat dengan suaminya yang sampai detik ini tak kunjung kembali.
"Sebenarnya kemana Mas Daffa, kenapa belum pulang juga?" gumam Diana. Ia pun mengambil ponselnya.
Diana terkejut saat melihat ponselnya yang sudah rusak dan sepertinya tidak akan bisa digunakan lagi, ponselnya mati, layar ponselnya terlihat pecah.
"Ya ampun bagaimana ini? Bagaimana aku bisa menghubungi Mas Daffa, kalau seperti ini?"
Dengan tujuan tidak terlalu tubuh yang masih merasa lemas, Diana pun bergegas menuju kamarnya. Diana memutuskan untuk membersihkan diri, sambil menunggu Daffa pulang. Memang sudah malam, Diana bersih-bersih hanya mencuci muka dan gosok gigi saja.
Akan tetapi saat Diana membuka lemari, ia kembali di buat terkejut.
"Loh, kemana pakaian Mas Daffa?" Diana melihat lemari tersebut hanya berisikan pakaian-pakaian miliknya saja, sementara pakaian Daffa terlihat hanya tertinggal satu helai saja, seingat Diana kemarin ia menata pakaiannya dekat pakaian suaminya yang cukup banyak juga. Tapi sekarang kenapa hanya ada pakaiannya, dan pakaian suaminya tidak ada? Jika dipindahkan, dipindahkan kemana? Di sini hanya ada satu lemari saja?
Diana pun mengambil satu helaian pakaian milik Daffa yang tertinggi di sana, namun saat ia mengambilnya tiba-tiba saja sesuatu jatuh dari bawah helaian baju tersebut.
"Apa ini?" Diana mengambil benda tersebut, seperti sebuah dompet. Tapi, ini bukan dompet milik suaminya. Atau mungkin memang Daffa memiliki dua dompet.
Beberapa saat Diana memperhatikan dompet tersebut, rasanya ia sangat penasaran apa isinya. Tapi, Diana meras tidak berani juga jika membukanya, takut jika nanti Daffa pulang dan marah.
Diana pun memutuskan untuk kembali menyimpan baju dan dompet tersebut ke tempatnya.
***
Sementara itu, di sebuah rumah mewah bak istana megah, terlihat sebuah keluarga tengah berkumpul. Padahal waktu sudah hampir larut malam, tapi mereka sama sekali tidak menghiraukan.
"Dia pulang, akhirnya dia pulang ... " teriak seorang wanita parubaya saat mendengar suara sebuah mobil memasuki halaman rumahnya itu.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!