"Zayyan!" panggilan yang tidak asing lagi mengusik indra pendengaran Aksa. Suara dari Senja Amalia yang setiap pagi ia dengar.
Dengan tampang dinginnya, Aksa turun dari motor dan melepaskan helm. Dia seolah tak peduli dengan panggilan melengking yang selalu ia dengar tiap kali tiba di sekolah itu.
Aksa selalu merasa beruntung jika hari minggu tiba. Dia tidak akan merasa terusik seperti hari-hari lainnya.
"Zayyan, kamu dengar nggak sih aku panggil?"
Aksa masih terdiam. Dia malah fokus merapihkan kembali dasinya.
"Zay—"
"Lo bisa nggak, nggak usah panggil gue begitu?" tanyanya dengan tatapan dingin.
"Nggak bisa!"
"Tapi gue nggak suka!"
"Aku suka! Zayyan sama sayang kan nggak beda jauh."
"Gila!" Dengan perasaan jengkel, Aksa berjalan meninggalkan Senja di parkiran.
"Eeh... Kok ditinggal? Zayyan! Zayyan tungguin!" teriak Senja, lalu berlari mengikuti Aksa. Senja seolah sudah kebal dengan segala penolakan Aksa.
Pemandangan dimana Aksa berjalan di depan dan Senja yang mengekori sambil berceloteh sudah menjadi hal biasa bagi anak-anak SMA Gerhana. Ada perasaan kesal dari sebagian besar siswi-siswi SMA Gerhana pada Senja. Namun, Senja tidak peduli. Hidupnya adalah miliknya. Dia tidak peduli dengan orang lain yang memandang rendah dirinya.
Langkah Aksa berbelok ke arah berlawanan dari arah kelas Senja. Tentu saja Senja ikut berbelok. Dia tidak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai.
"Lo ngapain sih ikutin gue?" suara Aksa naik satu oktaf. Senja selalu berhasil membuatnya marah.
"Aku—"
"Wiihhh... Ada Senja, Far." Suara seorang cowok terdengar memasuki kelas Aksa. Itu Bagas, sahabat Aksa. Cowok itu sedikit lebih pendek dari Jafar, yang juga merupakan sahabat Aksa. Dua cowok itu mendekati kursi meja mereka yang berada tepat di sebalah kursi meja Aksa.
"Hai, Far, Gas."
"Ck. Nggak enak banget lo manggil gue, Nja." Bagas protes. Dia tidak suka dipanggil 'Gas' oleh Senja. Nggak bagus dipendengarannya.
"Hehehe... Nama lo kalau dipanggil singkat ya dapatnya 'Gas'. Kalau dipanggil 'Bag' juga lebih nggak enak di dengar," jawab Senja. Sifat centilnya seratus 100% menghilang.
"Ya elah, soal nama doang lo berdua ribut. Dari pada panjang lebar ngomong, mending lo ganti nama aja, dari Bagas jadi Bagus. Nah, enak tuh kalau dipanggil 'Gus'. Lo kesannya kayak anak baik-baik. Setidaknya nutupin kelakuan minus lo," timpal Jafar.
"Ye... Sok nasehatin. Kalakuan lo lebih minus! Gue denger, si Cia nangis di toilet gara-gara lo ngintipin dia pas di toilet."
"Hehehe... Itu gue khilaf, Nja."
Aksa yang sejak tadi menyaksikan percakapan kedua sahabatnya dengan Senja, bertambah kesal. Senja seperti tidak menghargainya yang sedang marah karena ulahnya.
"Pake bawa-bawa khilaf. Emang niatkan lo, ngintipin si Cia?"
"Lo mending balik ke kelas lo deh!" Aksa berucap malas, menyela pembicaraan Senja, Bagas dan Jafar. Dia tidak ingin lagi marah-marah di pagi hari seperti ini.
"Hah? Kok balik? Bel masuk kelas masih sisa sep—"
"Lo pergi atau gue seret keluar?"
Jafar dan Bagas tertegun mendengar pertanyaan Aksa. Sahabat mereka itu benar-benar si es beku. Nggak ada lembut-lembutnya sama Senja.
"Ya udah, aku ke kelas. Tapi ini, aku buatin sarapan buat kamu." Senja mengeluarkan sekotak sandwich lalu menyerahkannya pada Aksa.
"Gue nggak butuh!" Aksa menarik kursinya lalu duduk. Dia tidak peduli sama sekali dengan apa yang Senja tawarkan.
"Zayyan coba dulu. Kata bibi di rumah, buatan aku enak."
"Lo dengar nggak?"
"Zay—"
Brak...
Kotak berisi tiga potong sandwich itu berserakan di lantai. Jafar dan Bagas terkejut atas reaksi Aksa ini. Keduanya sama-sama menatap Senja yang terdiam.
"Senja—"
"Nggak papa." Cewek itu tersenyum pada Jafar dan Bagas, lalu berjongkok mengambil kembali potongan-potongan sandwich tersebut. Kedua cowok itu tertegun melihat senyum di bibir Senja. Senyum yang hanya sebagai topeng untuk menutupi luka Senja.
"Belum lima menit, Nja. Biar gue sama Jafar yang habisin sandwich nya."
"Hehe... Nggak usah. Udah kotor. Besok aja gue bawain buat kalian."
"Nggak usah! Sahabat gue nggak butuh makanan dari lo," sinis Aksa.
Senja menarik nafasnya. Ia lalu kembali mengulas senyum. "Gue ke kelas dulu. Bye Jaf, Bagas. Zayyan aku ke kelas dulu."
Setelah berpamitan, Senja melangkah cepat keluar dari kelas Aksa. Setetes air matanya menetes ketika kakinya kekuar dari ruangan tersebut. Namun, ia segera menghapusnya.
Langkah Senja mengarah ke arah kelasnya. Seperti biasa, sebelum tiba di kelas, Senja akan membenahi seragam dan memperbaiki riasan wajahnya. Tidak seperti siswi lain yang pada umumnya hanya berdandan seadanya saat ke sokolah, Senja berdandan dengan dandanan berlebihan. Dan itu mejadi salah satu penyebab siswi-siswi tidak suka padanya. Namun, Senja menarik di mata sebagian besar siswa SMA Gerhana.
Senja keluar dari toilet, memasang headset lalu berjalan ke kelasnya.
"Senja!"
Dengan santainya Senja melewati orang yang memanggilnya.
"Senja!" Bu Tyas, orang yang tadi memanggil Senja dengan perasaan geram menarik headset yang menyumpal lubang telinga Senja.
"Eh, Bu Tyas. Ibu panggil saya?"
"Enggak. Ibu panggil tukang kebun."
"Emang sekolah kita ada kebun, Bu?"
"Ya Allah Senjaaa."
"Iya Bu Tyas yang cantik membahana tiada duanya? Ada apa?"
"Kamu kurang ajar ya!"
"Lho? Kurang ajar gimana, Bu?"
"Kamu nyahut terus saya ngomong."
"Astaghfirullah, saya harus gimana lagi, Bu? Nyahut salah. Nggak nyahut, malah tambah salah."
"Sudah-sudah!"
"Sudah, Bu? Ya udah, saya ke kelas dulu."
"Eh, bukan sudah yang itu maksud Ibu. Kamu ini," kesal Bu Tyas. "Kamu kenapa ke sekolah dandan menor kayak gitu? Kamu nggak tahu peraturan sekolah kita?"
"Tahu, Bu. Saya mah karena terinspirasi dari Ibu. Dandanan Ibu, jempol banget." Senja mengangkat kedua jempolnya. Hal itu membuat Bu Tyas menahan senyum setelah mendapat pujian dari Senja.
"Beneran?"
"Beneran, Bu. Serius saya mah, "
"Ibu cantik dandan kayak gini?"
"Cantik Bu. Cantik banget."
"Pak Rahmat kira-kira suka nggak sama Ibu kalau dandan begini?"
"Senja yakin 99% suka!"
"Kok cuman 99%?"
"Satu persen nya saya nggak yakin."
"Kenapa?"
"Karena Bu Tyas suka marah-marah," ucap Senja kemudian berlari ke kelasnya.
"Senjaaaa!!"
"Canda Buuuu..."
***
Bel istirahat berbunyi sejak 3 menit yang lalu. Namun, Senja masih berdiam diri di kelas. Sahabatnya, Rara, sampai bingung sendiri melihat Senja yang hanya diam di tempatnya.
"Nja?"
"Hmm."
"Tumben lo diam di kelas pas istirahat gini? Nggak temui Aksa lo?"
"Gue lagi nggak mood, Ra."
Rara mengerutkan keningnya mendengar jawaban lesu dari sahabatnya. Ia menarik kursinya lebih dekat pada Senja.
"Kenapa? Aksa kasarin lo?"
"Nggak."
"Oh, gue tau. Pasti bekal yang lo bawain buat dia ditolak lagi?" tebak Rara.
Senja langsung menoleh pada Rara. "Kok lo tau?"
"Ck. Nggak usah sok kaget lo. Udah biasa kali lo digituin sama si Aksa," ucap Rara. "Lagian, lo kenapa sih pengen banget dekat sama si Aksa? Suka lo sama cowok modelan Aksa? Irit ngomong, plus datar mukanya."
"Iiihh... Rara apaan sih? Lo juga ngefans kan sama si Arhez kan? Dia juga sama dinginnya sama si Zayyan. Ketus lagi ngomongnya."
"Ngefans si iya. Tapi, gue nggak sampe ngejar-ngejar kayak lo."
"Iya iya. Nggak usah mojokin gue juga kali. Lo itu sahabat gue atau musuh gue sih?"
Rara merangkul leher Senja. "Sahabat lo lah. Ayo, ke kantin? Males gue di kelas mulu."
"Ya udah, Ayo."
Senja dan Rara sama-sama bergegas ke kantin. Seperti itulah persahabatan mereka. Rara, dia tulus bersahabat dengan Senja. Di saat banyak orang di sekolah memandang rendah Senja, dia menjadi orang pertama yang menatap Senja dengan tatapan hangat.
Langkah Senja dan Rara terhenti saat keduanya baru saja menginjakkan kaki mereka di kantin. Pemandangan di depan mereka, membuat Senja terdiam.
"Aku mau cobain mie ayam nya, boleh?" tanya Amara pada Aksa.
"Boleh." Dengan santainya Aksa mengizinkan Amara mencoba makanan yang ada di mangkuknya. Dia bahkan menyendokan mie ayam itu dan memberikannya pada Amara.
"Makasih," ucap Amara sambil tersenyum, yang dibalas senyum tipis oleh Aksa.
Bukan rahasia lagi perlakuan Aksa yang berbeda saat bersama Amara. Bahkan semua orang di sekolah malah menjuluki Amara sebagai pawang Aksa.
"Cih! Muak banget gue liat si Amara itu. Mentang-mentang wakil osis plus perwakilan dari sekolah buat ikut olimpiade, dia jadi seenaknya benget sama siswa biasa kayak kita. Dan sekarang, malah pamer kemesraan sama si es batu. Muak banget gue liatnya," celetuk Rara panjang lebar.
"Ke kelas lagi, Ra."
"Ck. Gue laper. Ke warung samping aja. Lewat gerbang samping," bisik Rara pada Senja, membuat gadis itu terkejut.
"Lo... Sejak kapan lo punya kunci pintu gerbang samping? Lo mau kita loncat terus keseleo kakinya?" balas Senja, juga ikut berbisik.
"Gampang. Jam segini pintu nggak di kunci. Arhez sama teman-temannya masih di belakang."
"Eeemm... Gue tau ni tujuan lo. Lo pengen ketemu Arhez kan? Pake alasan laper aja lo."
"Hehehe... Sambil nyelam minum air, Nja."
"Ck. Udah ayo, kesana!"
"Yes!"
Seperti yang Rara katakan, pintu gerbang samping sekolah benar-benar tidak dikunci. Dua gadis itu dengan cepat keluar dari lingkungan sekolah dan menuju warung yang biasa menjadi tongkrongan Arhez dan teman-temannya.
"Hez, ada Senja," bisik Dean saat melihat Senja yang berjalan ke arah mereka bersama Rara.
Cowok tampan yang nggak beda jauh sifatnya dengan Aksa itu menghentikan kunyahan nya, dan beralih menatap ke arah Senja dan Rara.
"Mbak, mau nasi gorengnya satu," ucap Rara pada Mbak penjaga warung. Rara terlihat seperti orang yang sudah terbiasa dengan situasi warung ini. Berbeda dengan Senja yang merasa kikuk karena baru kali ini berada di tempat itu.
"Nja, lo pesan apa?"
"Samain aja punya lo," jawab Senja.
"Ya udah mbak, tambah satu nasi gorengnya."
"Siap neng."
Setelah memesan, Senja dan Rara memilih tempat duduk. Tidak banyak tempat duduk di warung kecil itu. Dan semuanya penuh oleh anak-anak cowok yang sedang makan atau sekedar nongkrong. Hanya di meja Arhez yang terlihat dua kursi kosong.
"Gimana nih? Gue gak berani duduk dekat Arhez. Ngeri gue," bisik Senja. Sedingin-dinginnya Aksa, laki-laki itu belum terlibat kasus perkelahian atau apapun. Tapi Arhez, dia berbeda. Apapun kasus yang berurusan dengan perkelahian, nama Arhez yang paling pertama disebut.
"Gue juga takut, Nja. Gak berani gue," sahut Rara.
"Mau duduk, duduk aja. Gue masih makan nasi, bukan makan manusia." Suara Arhez terdengar. Senja dan Rara saling pandang. Bagaimana Arhez bisa tahu kalau mereka sedang berpikir keras agar bisa mendapatkan tempat duduk? Sementara dia sedang memunggungi mereka.
"Nja, ngomong gih."
"Eh enak aja, lo! Lo lah yang ngomong."
Arhez yang mendengar menarik sudut bibirnya membentuk senyum. Ia bangun dan langsung menarik tangan Senja.
"Eh, lo kenapa—"
"Duduk!" Arhez menempatkan Senja duduk di sebelahnya. Ia lalu berbalik dan menarik tangan Rara. Arhez juga mendudukan gadis itu berseberangan dengan Senja. Roni dan Dean, sahabat Arhez, mengulum senyum melihat dua gadis yang tengah tegang wajahnya. Sepertinya mereka benar-benar takut pada Arhez.
"K-kita nggak jadi makan deh." Senja hendak beranjak namun Arhez dengan cepat menahan tangannya.
"Mau kemana?"
"G-gue mau—"
"Duduk! Pesanan lo udah datang," ucap Arhez, kembali memaksa Senja duduk. Dan dengan terpaksa gadis itu menurutinya.
"Ini Neng pesanannya," ucap si mbak yang membawa pesanan Senja dan Rara.
"Ayo makan!"
Senja dan Rara dengan segera menyantap makanan mereka tanpa bersuara sedikitpun.
"Pfftttt... Lo berdua kenapa? Takut banget lo sama si Arhez?" tanya Dean sambil menahan tawanya. Wajah Senja dan Rara membuat ia merasa lucu.
"Udah tau takut, masih aja lo berdua kesini, hehehe," timpal Roni.
Arhez hanya diam dan fokus menatap Senja. Gadis yang selalu menarik perhatiannya sejak pertama bertemu.
"Lo berdua, siapa yang duluan ngajak kesini?" Arhez bertanya dingin, seolah tidak suka ada yang datang ke tempat tongkrongannya.
Keduanya sama-sama diam. Mereka seakan tidak ingin menyalahkan satu sama lain.
"Berarti lo berdua yang mau kesini," ucap Arhez. Dia menuangkan air ke gelas, lalu meneguknya. Setelah itu, mengeluarkan sebatang rokok dan menghidupkannya.
"Diantara lo berdua, siapa yang nggak suka bau rokok?"
"Gue. Gue nggak suka," batin Senja. Bukan sekedar nggak suka. Dia akan menjauhi orang yang merokok.
Walaupun begitu, Senja tidak bisa mengatakannya. Dia terlalu takut bersuara. Namun, wajahnya mulai memucat saat perut bagian atasnya terasa sakit. Namun, dandanannya yang berlebihan menutup wajah pucatnya itu. Dia juga tetap menahan sakitnya dan melahap makanannya seperti tidak terjadi apa-apa.
"Lo berdua diam. Berarti gue boleh ngerokok disini."
"Siapa bilang?" Suara dingin menyahut dari jarak yang tak jauh dari mereka. Disana, berdiri Aksa, Amara, Sonya dan Siska. Mereka adalah siswa siswi yang aktif di Osis. Aksa adalah ketuanya.
Arhez tersenyum miring menatap Aksa. Ia melepaskan rokok yang diapit kedua bibirnya dan meletakan diatas meja. Senja dengan cepat meraihnya dan mematikan benda tersebut.
"Gue gak suka asap rokok," ucapnya saat mendapati tatapan dari Arhez. Dia pikir, Arhez akan marah. Namun di luar dugaan, Arhez malah tersenyum dan mengusap rambutanya.
"Kenapa nggak bilang? Gue nggak akan ngerokok disini kalau lo nggak suka," ucap cowok itu.
Senja dan Rara melotot bersamaan mendengarnya. Seorang Arhez, mau nurut sama orang? Benar-benar ajaib.
"Sekarang lo semua ikut gue." Suara Aksa kembali terdengar. Sebagai ketua osis, tugasnya membantu guru-guru menertibkan teman-temannya.
"Ini nggak ada urusannya sama lo," ucap Dean. Jengkel juga dia dengan Aksa yang selalu menuntut mereka menuruti peraturan.
"Peraturan sekolah nggak seharusnya kalian langgar!" Amara menimpali. Dia sebagai wakil ketua osis, juga tidak suka teman-temannya melanggar peraturan.
"Sok ngomong peraturan lo. Lo bully cewek-cewek di sekolah, nggak ngelanggar peraturan lo? Nggak usah sok bener deh lo!" kesal Roni.
"Amara nggak pernah ngebully siapapun!" tegas Aksa membela.
"Cih! Ini nih yang namanya cinta buta," ucap Dean.
Aksa terdiam. Matanya lalu menatap Rara, kemudian beralih ke Senja. Tatapan dinginnya terhenti lama pada Senja. Setelah beberapa saat, dia berbalik dan kembali ke sekolah.
"Eh? Sa, kok pergi? Mereka gimana?" tanya Amara tidak terima jika Aksa membiarkan orang-orang yang melanggar aturan itu bebas dari hukuman.
Aksa tak menjawab. Dia juga tidak berhenti ataupun berbalik untuk menjawab Amara. Punggung lebarnya yang semakin menjauh membuat Amara mendengus kesal. Ia menyentakkan kakinya, lalu menatap ke arah Senja dan Rara.
"Lo berdua ikut gue," ucapnya.
Arhez yang berdiri di hadapan Senja mendekatinya. Amara meneguk ludah dan beringsut mundur, begitu juga dengan kedua sahabatnya, Sonya dan Siska.
"Kalau gue nggak ngizinin lo bawa mereka, lo mau apa?" tanya Arhez.
"L-lo nggak ada hak ngelarang gue bawa mereka. Mereka ngelanggar aturan sekolah."
"Gue ada hak. Siapa yang masuk wilayah gue, nggak boleh keluar sembelum dapat izin dari gue."
"Mara, kita balik aja yuk. Gue nggak mau berurusan sama Arhez," bisik Sonya.
"Gue kapok dikerjain Arhez. Balik aja," bisik Siska.
"Cih! Cewek murahan kayak Senja lo belain." Amara berdecih lalu berbalik, hendak pergi. Namun, Arhez dengan kasar menarik lengan Amara.
"Jaga mulut lo!"
"Lo juga jaga batasan lo!" Suara Aksa kembali terdengar. Tangannya manarik tangan Amara hingga terlepas dari genggaman Arhez. "Nggak seharusnya lo kasar sama cewek," lanjut Aksa.
Arhez tersenyum miring mendengarnya. "Lo semua dengar kan? Si paling baik sama cewek lagi nasihatin gue! Lo semua harus ingat! Jangan kasarin cewek!" teriak Arhez sambil terkekeh.
Setelah mengucapkannya, cowok itu berbalik ke arah Senja dan Rara.
"Ayo Nja, gue anterin lo berdua ke kelas. Makanan lo berdua biar Dean yang anterin ke kelas," ucap Arhez lembut.
Rara mengulum senyum mendengar tutur lembut seorang Arhez pada Senja. Nggak salah dia ngefans sama Arhez.
"Makasih, Hez. Gue sama Rara bisa ke kelas sendiri," ucap Senja.
"Eh, kok gitu sih, Nja?"
"Ayo, Ra!" Senja mengabaikan Rara yang hendak protes. Ia menarik tangan gadis itu dan membawanya menjauh dari warung tersebut.
Aksa tak sedikitpun melirik saat Senja dan Rara melewatinya. Wajah dinginnya terlihat semakin dingin. Tangannya masih saja menggenggam tangan Amara yang memerah karena cengkraman kuat Arhez.
"Shh... Sakit, Aksa."
"Ayo ke uks. Gue obatin," ucapnya yang dibalas anggukan Amara.
Roni dan Dean yang melihat itu serentak mengangkat sudut bibir mereka membentuk ekpresi julid.
"Cengeng!" seru Roni.
"Cabut!" ucap Dean
Arhez hanya menunjukkan senyumannya. Senyum yang membuat siapapun bergidik. Ia kemudian melenggang lebih dulu diikuti Roni dan Dean dibelakangnya.
Aksa melajukan motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang sedikit macet. Setelah 20 menit mengendarai motornya, Aksa tiba di sebuah rumah kecil, yang terlihat begitu asri.
"Den Aksa," sapa seorang wanita berusia sekitar 40-an.
"Asslamu'alaikum, Bi." Aksa menyapa wanita itu, yang merupakan pelayan yang mengurus Papa nya.
"Wa'alaikumsalam, Den."
"Papa?"
"Pak Herman lagi istirahat di kamar, Den."
Aksa mengangguk. Ia memasuki rumah tersebut dan duduk di ruang tengah. Sebenarnya, dia ingin langsung masuk ke kamar menemui Papanya. Tapi, dia lebih memilih untuk tidak mengganggunya yang sedang istirahat.
"Den Aksa mau Bibi buatin Minum? Atau mau makan?" tawar Bi Darsi.
"Minum aja, Bi."
Bi Darsi mengangguk dan segera berlalu ke dapur. Pak Ijan yang baru tiba di rumah itu cukup terkejut melihat Aksa ada di ruangan tersebut. Pasalnya, hari ini bukan jadwal Aksa berkunjung.
"Den Aksa, kapan sampainya?"
"Baru aja, Pak."
"Ibu dimana?" Pak Ijan menoleh ke arah dapur. Mencari-cari keberadaan Bi Darsi, istrinya.
"Bibi di dapur," jawab Aksa.
"Ya udah. Saya ke dapur dulu. Den Aksa duduk aja dulu. Biasanya bentar lagi Pak Herman bangun," ucap Pak Ijan.
Aksa hanya mengangguk. Dia duduk sambil membaca materi untuk persiapan olimpiade yang akan dilaksanakan bulan depan.
"Nak." Tiba-tiba suara seorang laki-laki terdengar. Aksa segera menoleh dan mendapati Papanya berdiri di ambang pintu dengan tangan yang gemetaran memegang tongkat penyangga. Aksa segera berdiri dan menghampiri sang Papa.
"Papa kenapa nggak pencet bel aja? Aksa bisa bantu Papa keluar kamar," ucapnya sambil memegang sebelah tangan Papanya yang bebas, dan menuntun laki-laki paruh baya itu menuju sofa yang di dudukinya tadi.
"Papa nggak apa-apa. Papa lagi mau latihan jalan sendiri seperti ini."
"Duduk, Pa." Aksa membantu Papanya duduk, lalu ikut duduk di sebelah sang Papa. "Papa kalau mau latihan, harus ada yang awasin, Pa. Aksa nggak mau terjadi sesuatu sama Papa."
Pak Herman tersenyum. Dia sangat senang memiliki putra seperti Aksa. Anak itu sangat memperhatikannya. "Papa nggak apa-apa," ucapnya. "Ngomong-ngomong, kamu kenapa kesini? Hari ini bukan jadwal kamu kesini," tanya Pak Herman dengan bibir yang bergetar dan bergerak pelan. Laki-laki paruh baya itu menglami stroke sejak dua tahun lalu.
Meski sudah berkali-kali berobat, kondisinya masih belum sepenuhnya membaik. Tapi, Aksa bersyukur, Papanya sepertinya memiliki perubahan. Dia sudah lebih sering jalan menggunakan tongkat penyangga dibandingkan menggunakan kursi roda.
"Memangnya Aksa nggak boleh datang kesini kalau nggak sesuai jadwal? Apa anak harus pake jadwal buat ketemu Papanya sendiri?" tanya Aksa dingin. Dia tidak suka Papanya bertanya seperti itu padanya.
"Bukan... Bukan seperti itu maksud Papa," ucap Pak Herman tenang. "Bagaimana sekolahmu?"
"Bulan depan ada olimpiade."
"Semoga kamu bisa memenangkannya."
"Aamiin," jawabnya. "Bi Darsi kirim jadwal Papa ke rumah sakit. Nanti Aksa yang anterin."
"Nak, Papa nggak apa-apa sama Darsi sama Ijan. Kamu fokus saja sama sekolah kamu."
"Aksa mau tau perkembangan Papa secara langsung. Aksa nggak mau kejadian soal Farah terulang lagi, Pa..." ucapnya lirih, sambil menundukkan kepalanya. Ia selalu merasa bersalah dan menyesal saat mengingat adiknya itu.
Laki-laki paruh baya yang bibir dan tangannya bergetar itu menatap sendu sang putra. Dia juga merasakan penyesalan yang sama.
"Huuh... Kita akan pergi setelah kamu pulang sekolah."
Aksa mendongak menatap Papanya. "Papa harus janji buat tetap sehat," ucapnya.
"Eh, Bapak sudah bangun? Kenapa nggak di pencet bel nya?" Bi Darsi datang dengan membawa nampan berisi minuman dan camilan.
"Ini, Den. Maaf Bibi lama. Kebelet," ucap Bi Darsi sambil meletakkan nampan di meja. Aksa hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Darsi, ubah jadwal ketemu dokternya sore saja. Aksa mau ikut pergi," ucap Pak Herman.
"Iya, Pak." Darsi berlalu dari tempat itu dan kembali ke dapur.
"Minum sama ngemil aja, nggak akan kenyang."
"Aksa udah makan tadi," jawabnya, meraih minuman yang dibawa bi Darsi.
Ayah dan anak itu terlibat percakapan. Aksa lebih banyak menjawab pertanyaan Papanya dibanding mengatakan banyak tentang kehidupannya yang lepas dari pandangan sang Papa.
Hingga petang menjelang, Aksa berpamitan pulang.
"Papa ke kamar aja. Nggak usah anterin Aksa ke depan," ucapnya sambil menyalimi tangan sang Papa.
"Bentar aja, Nak. Papa sama Darsi sama Ijan," jawab Pak Herman, melirik Bi Darsi dan Pak Ijan yang berdiri di dekatnya.
Aksa menarik nafasnya. "Ya udah. Ayo," Aksa meraih lembut sebelah tangan sang Papa, kemudian menggandengnya keluar.
Aksa melepaskan gandengannya saat tiba di teras rumah minimalis tersebut. Membiarkan sang Papa bersama Bi Darsi dan Pak Ijan. Cowok itu memaikai helm dan menghidupkan motornya.
"Aksa pergi dulu," ucapnya, membunyikan klakson kemudian berlalu dari hadapan orang-orang tersebut.
Motor Aksa melaju sedang, menikmati jalanan yang cukup tenang. Ia lalu membelokkan motornya ke jalanan menuju pantai. Memarkirkan motornya, Aksa menyusuri pantai. Ia berhenti dan menatap jauh ke arah matahari yang sebagian besarnya sudah tenggelam. Kedua tangannya menyusup masuk ke dalam saku celana seragam abu-abu yang ia kenakan.
"Lo indah. Sayangnya nggak bisa digapai," gumam Aksa tanpa melepas tatapannya dari langit yang sudah sangat senja. Hal yang paling dia suka saat sore hari adalah senja. Jika ada waktu, dia akan menyempatkan dirinya untuk menikmati keindahan tersebut.
Setelah beberapa saat, Aksa kembali melajukan motornya. Kembali ke rumah yang penuh kenangan dan luka.
***
"Senja, meja nomor 09 belum diantar pesanannya," ucap salah seorang pelayan cafe.
"Iya, Kak. Tapi, setelah ini Senja pulang. Jam kerja Senja udah selesai."
"Iya. Gue juga tahu. Temen lo juga udah tungguin tuh di depan sana,"
"Seriusan lo, Kak?" kaget Senja. Dia tidak menyangka Rara secepat ini sampai.
"Serius. Udah cepetan! Kasian temen lo. Gue suruh masuk nggak mau dia," ucap Tama, orang yang ditanya Senja, dan berperan sebagai ketua pelayan di tempat Senja bekerja. Dia yang akan menghendle teman-temannya dalam bekerja, sesuai instruksi manajer.
"Hehehe... Iya, Kak."
Senja dengan segera membawa pesanan ke meja yang dikatakan Tama. Setelah itu, dia mengganti seragamnya, lalu menemui Rara.
"Ra!"
"Allahu akbar! Buseeett... Kaget gue, Nja!" Rara mengusap-usap dadanya, terkejut karena Senja menepuk bahunya sedikit keras, dan tentunya tanpa sepengetahuan Rara.
"Ya elah, gitu doang kaget," sungut Senja.
"Kagetlah! Orang lo nepuknya dari belakang."
"Iya iya, gue minta maaf. Btw, thank's ya udah mau jemput gue."
"Iya. Sama-sama!" jawab Rara ketus.
"Ketus amat jawabnya. Nggak ikhlas nih?"
"Ikhlas. Ya udah, ayo naik."
"Makasih Rara cantik," ucap Senja, lalu menaiki motor Rara.
Gadis itu melajukan motornya menuju rumah Senja. Rara sering heran dengan sahabatnya itu. Kehidupan Senja jauh dari kata kekurangan. Semua kebutuhannya terpenuhi bahkan bisa dibilang, Senja berasal dari keluarga konglomerat. Tapi, kenapa sahabatnya itu memilih untuk bekerja paruh waktu begini? Itu yang menjadi pertanyaan Rara selama ini.
"Oh ya, Ra. Lo kok bisa cepat gitu sampe nya? Padahal kan gue telponnya belum lama?" tanya Senja, sedikit berteriak karena takut suaranya tidak terdengar Rara.
Rara meneguk ludah mendengar pertanyaan Senja. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Hah? Apa, Nja? Gue gak denger," ucap Rara berpura-pura. Dia tidak tahu harus memberi alasan apa pada sahabatnya itu.
"Gue tanya. Lo kok bisa cepet gitu sampe nya? Gue kan telpon lo barusan."
"Sampe rumah lo aja deh baru lo tanyain. Gue gak denger!"
Senja menarik nafasnya, pasrah saja dengan kelakuan sahabatnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!