Ketiga anak buahnya Harsya kini telah menemukan tambatan hati, izin untuk menikah pun telah mereka dapatkan.
Biom, 27 tahun, sang asisten pribadi dengan tinggi badan 172 centimeter itu akhirnya luluh hatinya ketika wanita cantik bernama Rissa dan juga seorang dokter berhasil menaklukkannya.
Rissa, 28 tahun, merupakan sepupunya Harsya. Ia mulai jatuh hati pada asisten berwajah dingin ketika pertama kali Harsya memperkerjakan pria itu. Pertemuan mereka saat Rissa berkunjung ke rumah Madya-ibunya Harsya.
Rama, 31 tahun, seorang koki sekaligus kepala pelayan di rumah milik Harsya. Pria itu mulai bekerja 4 tahun lalu karena telah menolong Harsya saat hampir tenggelam. Mereka pun saling mengobrol. Setelah tahu jika pandai memasak, ia pun di pekerjakan.
Intan, 23 tahun, gadis dengan tinggi 162 centimeter dan berat badan 50 kg. Awalnya seorang pegawai toko pakaian milik Madya. Ia lalu pun dipekerjakan di rumah Harsya hanya untuk menemani istri sang pemilik rumah yang kebetulan juga temannya sewaktu bekerja.
Alpha, 28 tahun, kepala pengawal yang bertugas menjaga dan melindungi Harsya. Pria itu bekerja menggantikan posisi ayahnya yang merupakan pengawal pribadi Abraham Syahbana- ayahnya Harsya.
Astrid, 25 tahun, wanita dengan tinggi 165 centimeter. Putri dari temannya Madya yang bekerja di perusahaan suaminya. Meskipun Astrid sendiri tak bekerja di perusahaan milik keluarga Harsya. Pertemuannya dengan Alpha karena ia mencoba menggoda Harsya yang telah menikah. Alpha sendiri selalu mengantarkan dirinya pulang ketika ia tak berhasil merayu sang tuan muda.
**
Sebulan setelah istri Harsya melahirkan, Rama pergi ke rumah orang tuanya Intan yang berada di luar pulau.
Mereka tak bisa mengendarai kendaraan pribadi karena sangat jauh.
Rama dan Intan harus menggunakan kereta api, setelah itu mereka menaiki bus.
"Apa masih jauh lagi rumah orang tuamu?" tanya Rama kepada wanita yang ada di sebelah kirinya.
"Sekitar dua jam lagi."
"Apa!"
"Iya, Kak Rama sudah lelah, ya?"
"Ya."
"Baru saja pergi ke rumah calon mertua sudah lelah, bagaimana jika menghadapi kehidupan rumah tangga?" singgungnya.
"Bukan begitu maksudku, tapi perjalanan kita ini sangat melelahkan sekali. Kalau begitu tadi kita naik pesawat," ujar Rama.
"Bandara dari rumah orang tuaku juga jauh, memerlukan waktu enam jam menaiki bus."
"Kenapa orang tuamu pindah, sih?"
"Ibu dari ibuku sering sakit-sakitan dan sebagai seorang anak satu-satunya dia tak tega meninggalkannya. Mau tak mau, mereka pindah ke sana bersama adikku."
"Suruh pindah ke sana saja, bawa nenekmu."
"Nenek tidak mau karena ia ingin meninggal di tanah kelahirannya."
"Oh begitu."
"Kak Rama tidur saja dulu, kalau sampai nanti aku akan bangunkan."
"Ku tak biasa tidur di bus."
"Kalau begitu makanlah," ucap Intan.
Rama menggelengkan kepalanya.
"Dari tadi Kak Rama belum ada makan," ujar Intan.
"Aku tak terbiasa makan di kendaraan."
Intan mengeluarkan biskuit dari kantong plastik yang ia genggam, "Ayo makanlah!" menyodorkan ke mulut kekasihnya.
Rama menolaknya.
"Aku tidak mau Kak Rama sakit, puskesmas cukup jauh dan dapur milik nenekku tak seperti di rumah Tuan Muda."
Mendengar hal itu, Rama gegas mengambil biskuit dan memakannya.
Intan juga memberikannya air mineral.
"Harusnya aku menerima tawaran Tuan Muda untuk diantarkan sopir," ucap Rama menyesal
Intan tersenyum.
-
Setelah hampir 17 jam perjalanan, akhirnya keduanya tiba di rumah kediaman keluarganya Intan.
"Nanti kita pulang naik pesawat saja!" bisik Rama yang kelelahan.
"Iya."
Kedua orang tuanya Intan dan seorang gadis kecil berusia 11 tahun menghampiri mereka.
"Ibu!" Intan memeluk wanita yang melahirkannya.
"Apa kabar, Nak?"
"Aku sangat baik, Bu." Intan melepaskan pelukannya lalu lanjut mencium tangan ayahnya.
"Kakak!" teriak girang adiknya.
Intan pun memeluknya.
"Jadi dia calon suami kamu?" tanya ayahnya Intan.
"Iya, Yah."
Rama tersenyum tak lupa ia mengecup tangan calon ayah mertuanya.
"Sejak kapan kalian menjalin hubungan?" tanya Ibu Intan ketika mereka berada di ruang tamu.
"Baru sebulan yang lalu, Bu." Jawab Intan.
"Kalian baru sebulan kenalan, tapi pria ini berani melamarmu. Apa kamu tidak takut, Nak?" tanya Ibu Intan bernama Rasni.
"Kami sudah lama kenal, Bu. Dia kepala pelayan di rumah Tuan Muda," jelas Intan.
"Oh, begitu," ucap Rasni dan suaminya.
"Di mana nenek, Bu?" tanya Intan.
"Nenek di kamar," jawabnya.
"Aku mau menyapa nenek, Bu. Ayo, Kak!" ajak Intan pada kekasihnya.
Rama pun bangkit dari tempat duduknya, ia mengikuti langkah Intan ke kamar.
Sesampainya mereka duduk di sebelah wanita lansia berusia 70 tahun.
"Nenek, ini calon suami aku!" Intan memperkenalkan Rama.
"Ganteng, persis seperti kakekmu masih muda," ucap wanita lansia itu.
"Wah, benarkah?" tanya Intan.
Wanita lansia itu pun menunjukkan foto dirinya dan suaminya 50 tahun lalu.
Intan dan Rama menatap foto hitam putih itu.
"Kenapa Kak Rama dan kakek mirip sekali?" tanya Intan.
Rama hanya tersenyum.
"Kalian sudah makan?" tanya Rasni datang ke kamar ibunya mengantarkan makanan pada wanita lansia itu.
"Belum, Bu." Jawab Intan.
"Sekarang ayo makan siang," ajak Rasni.
Kedua pasangan muda-mudi itu pun bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang makan.
"Nak Rama, sepertinya inilah kehidupan di desa. Jadi, harap maklum jika meja makannya tak seperti rumah Tuan Muda," ucap Isan.
"Iya, Paman."
"Kamu 'kan seorang koki jadi besok pagi bolehlah masak untuk kami," pinta Rasni.
"Boleh saja, Bi. Besok saya akan masak buat kalian," ucap Rama.
"Silahkan dimakan!" Isan mempersilakan calon menantunya.
"Ibu sudah menyiapkan kamar untuk Rama, jadi Intan tidur dengan Ibu dan Tissa," ujar Rasni.
"Lalu ayah tidur di mana?" tanya Intan.
"Biar ayah tidur di ruang tamu," jawab Isan.
"Saya saja Paman yang tidur di ruang tamu," ujar Rama.
"Tidak, kamu di sini adalah tamu jadi biarkan Paman yang di luar. Lagian kalian juga tidak lama di sini," ucap Isan.
Rama mengarahkan wajahnya kepada Intan yang memberikan isyarat agar mengiyakan.
Selesai makan siang, Intan menunjukkan kamar buat Rama. "Ini kamar buatmu sementara selama di sini. Kalau pun kita jadi menikah, ayah akan membuatkan kamar satu lagi."
"Kita pasti akan menikah," ucap Rama.
"Ya, semoga saja. Rencana kita dimudahkan."
"Semoga saja."
"Tapi, kenapa harus dibuat kamar lagi. Kita 'kan tak mungkin tinggal di sini?"
"Ya, dia ingin membuat kamar spesial buat kita," jawab Intan.
Rama menarik pinggang Intan, "Aku tak sabar ingin segera menikahimu!" menatap wajah cantik kekasihnya.
Intan menolak tubuh Rama, "Kak Rama mau kita di nikahkan hari ini juga?"
Rama tersenyum nyengir.
"Mandilah dulu, lalu istirahat!" Intan menyerahkan handuk yang diambil dari tas pria itu.
"Baiklah, calon istriku."
"Nanti sore, aku akan mengajak Kak Rama jalan-jalan keliling desa," ucap Intan.
Rama mengiyakan.
Sore harinya, sekitar jam 5. Intan mengajak kekasihnya itu berkeliling dengan mengendarai sepeda motor.
Hampir 4 tahun, Intan tak mengunjungi tanah kelahirannya ibunya itu karena bekerja.
Banyak perubahan yang terjadi di tempat tinggal neneknya itu, beberapa bangunan juga telah berdiri yang dulunya adalah sawah.
"Dulu aku sering di ajak ayah dan ibu menikmati nasi pecel yang enak. Apa Kak Rama mencoba makannya?"
"Boleh juga."
"Ayo kita ke sana, aku akan menunjukkan jalannya!"
Motor pun melaju ke tempat penjual nasi pecel yang terkenal. Jarak tempuhnya sekitar 2 kilometer dari rumah neneknya Intan.
Begitu sampai, antrian sangat panjang. Sehingga Rama dan Intan harus sabar menunggu.
Setelah 20 menit menunggu, akhirnya Rama dan Intan mendapatkan 2 porsi nasi pecel.
Rama mulai mencoba mencicipi makanan tersebut.
"Bagaimana menurut Kak Rama?"
"Cukup enak dan mengenyangkan dengan porsi segini banyak," jawabnya.
Intan tertawa kecil, ia lalu berkata, "Ya, ini memang sangat banyak karena memang dibuat untuk pekerja berat."
"Oh, begitu."
"Nanti malam, aku akan mengajak Kak Rama jalan-jalan ke pasar malam. Di rumah Tuan Muda kita jarang ke luar, jadi waktunya menikmati liburan," ucap Intan.
Rama pun menyetujuinya.
-
Malam harinya, Intan dan Rama pergi ke pasar malam bersama Tissa.
Ketiganya menikmati wahana permainan yang ada.
Tissa yang telah lama tak bertemu kakaknya begitu bahagia. Apalagi dirinya diajak jalan-jalan.
Capek bermain, mereka menikmati jajanan pasar yang dijual para pedagang di arena.
Rama mengusap saos yang menempel di bawah bibir kekasihnya.
Intan tersenyum ketika mendapatkan perhatian dari pria yang disukainya itu.
"Kakak, aku mau membeli boneka!" rengek Tissa.
"Baiklah, kita akan beli!" ajak Rama.
"Tidak, Kak Rama. Boneka Tissa sangat banyak di kamar ibu," larang Intan.
"Kak, sebagian sudah dijual ibu waktu kami pindah di kampung nenek," jelas Tissa.
"Belikan saja, lagian cuma satu 'kan," ucap Rama.
"Hari ini satu, besok satu lagi, besok lagi satu dan lama-lama banyak juga!" omel Intan.
"Kakakmu kalau lagi marah sangat cantik, ya!" sindir Rama dengan suara pelan.
"Iya, Kak!" timpal Tissa.
"Kalian mengejekku, ya!"
"Tidak!" Rama menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.
Sementara Tissa menutup mulutnya menahan tawa.
"Ya sudah, beli bonekanya. Nanti kita dimarahi ayah kalau pulang larut malam," ujar Intan.
Sesampainya di rumah mereka pukul 10 malam, Tissa berlari ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangan lalu pergi ke kamar.
"Kenapa kalian membelikan boneka lagi?" tanya Rasni.
"Kak Rama yang beli, Bu." Jawab Intan.
"Sesekali saja, Bi." Sahut Rama.
"Lain kali jangan belikan dia lagi, mau diletakkan di mana bonekanya itu," ucap Rasni.
Intan dan Rama mengiyakan.
"Ini sudah malam, kalian tidurlah. Besok sore kalian harus berangkat pulang," ucap Isan.
"Iya, Yah. Selamat malam!" Intan beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke kamarnya.
***
Keesokan paginya, Rama biasanya sebelum jam 5 sudah bangun namun karena dia berada di tempat calon mertuanya ia memutuskan akan keluar kamar setelah Intan bangun.
Setengah jam juga menunggu Intan membalas pesannya, setelah mendapatkan balasan. Rama pun segera turun dari ranjangnya.
Rama dan Intan berjalan ke dapur, menu sarapan pagi ini akan mereka buatkan.
Sejam berkutat di dapur akhirnya 3 menu makanan tersaji di meja makan.
Rama memasak bahan yang ada di lemari es saja karena tak sempat untuk berbelanja.
"Paman, Bibi, kedatangan saya kemari ingin melamar putri kalian," ucap Rama di sela-sela sarapan.
"Iya, kami sudah mendengarnya dari Intan. Kapan orang tuamu bertemu melamar resmi?" tanya Isan.
"Jika tak ada halangan, dua minggu lagi," jawab Rama. "Tetapi saya dan Intan ingin lamaran di lakukan di pulau sana. Apa Paman dan Bibi bersedia?" lanjutnya bertanya.
Isan dan istrinya saling pandang.
"Ibu dan ayah tenang saja, nenek boleh di bawa," ucap Intan.
"Nenek kamu tidak bisa perjalanan jauh, apalagi harus naik turun bus dan berdempetan dengan penumpang lainnya," ujar Rasni.
"Tuan Muda akan mengirimkan mobil sekaligus dua sopir pribadinya untuk menjemput kalian," ucap Intan lagi.
"Baiklah, kami setuju. Jika lamaran di lakukan di sana," ujar Isan.
"Terima kasih, Yah, Bu." Intan tersenyum senang, ia lalu mengarahkan pandangannya kepada Rama.
Mereka kembali melanjutkan sarapan, seraya mengobrol ringan.
"Tissa, cepat makannya. Nanti kamu terlambat ke sekolah," ucap Rasni.
"Iya, Bu." Tissa mempercepat makannya.
Selesai makan, Isan pun mengantarkan putrinya ke sekolah lalu lanjut pergi bekerja di sebuah toko sembako.
Intan dibantu sang ibu membereskan piring kotor yang ada di meja.
Rama memainkan ponselnya di ruang tamu.
Tak lama kemudian setelah membersihkan dapur dan peralatan makan, Intan menghampiri calon suaminya. "Apa Kak Rama mau menemaniku ke pasar?"
"Boleh," jawabnya.
"Kalau begitu, kita pergi sekarang!"
"Daftar belanjanya sudah kamu buat?"
"Tidak ada, kata ibu kita bebas mau belanja apa saja!" Intan menyerahkan uang kepada Rama.
"Untuk apa?" tanya Rama.
"Buat kita belanja, Kak."
"Baiklah, ayo kita pergi!"
Mengendarai motor keduanya pergi ke pasar. Sesampainya mereka memarkirkan kendaraannya.
Tujuan pertama mereka adalah ikan.
Rama memilih ikan yang segar, lanjut belanja berbagai bumbu dapur dan aneka sayuran.
Rama tampak bingung, ia dapat berbelanja dengan menggunakan uang gajinya sejam
di rumah Harsya.
"Aku pikir uangnya tak cukup," ucapnya seraya berjalan menuju parkiran pasar.
Intan tersenyum mendengarnya, "Biasanya uang segini hanya mampu membeli separuh belanjaan kita hari ini, kan?"
"Iya."
"Perbedaan jelas beda, Kak. Di sana kota dan ini desa. Sayuran di sini melimpah ruah," jelas Intan.
"Pasti Nona Anaya sangat senang ke sini, kalau melihat kebun. Bisa-bisa Tuan Muda membeli tanah di sini," ucap Rama.
"Wah, seru juga kalau Tuan Muda dan Kak Ana ke sini. Pasti sangat heboh," ujar Intan.
"Lebih baik mereka tidak datang," Rama berkata sembari menggunakan helm.
"Kenapa begitu?"
"Seharusnya kita akan menikah malah harus repot mengurus Tuan Muda dan keluarganya. Di sini tak ada hotel yang sesuai dengan Tuan Harsya. Perjalanan yang cukup jauh pasti Nona kecil akan rewel," jelas Rama.
"Lalu di mana kita akan melangsungkan resepsi pernikahan?"
"Jika kamu ingin Nona Muda dan putrinya datang, maka menikahlah di sana."
"Apa ayah dan ibu mau?" tanya Intan.
"Nanti kamu bicarakan dengan mereka," jawab Rama dengan posisi telah berada di atas motor.
"Bagaimana kalau mereka tidak mau?"
"Kamu harus membujuk mereka."
"Baiklah kalau begitu."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hai-hai Semuanya Ini Karyaku Yang ke 18...
Ini Lanjutan Dari Cerita 'Pria Kejam Dan Gadis Jujur'.
Jangan Lupa Like dan Komentar..
Sebelumnya Jangan Lupa Subscribe..
Tepat pukul 4 sore, Intan dan Rama sudah berada di bis. Mereka akan menuju bandara untuk kembali ke pulau seberang.
Sepanjang jalan, Intan tertidur di bahu bakal calon suaminya. Dan Rama sendiri meskipun matanya ngantuk, ia berusaha tak tidur.
Pukul 10 lewat 20 menit malam, bus mereka tumpangi tiba di bandara.
Rama dan Intan harus menunggu keberangkatan pesawat pada pukul 1 dini hari.
"Kakak tidak mengantuk?"
"Ya." Rama memijit pelipisnya.
"Kenapa tidak tidur?"
"Jika aku tidur, siapa yang akan menjagamu?"
Intan yang mendengarnya menjadi tersanjung.
Rama menarik hidung Intan, "Warna pipimu berubah."
"Oh, Tuan Dingin. Kenapa kamu begitu romantis?" pujinya.
Rama tertawa kecil.
"Aku tidak sabar segera menjadi istrimu," ucap Intan.
"Kita akan menikah setelah Biom dan Nona Rissa," ujar Rama.
"Kenapa begitu?"
"Karena Nona Rissa usianya lebih tua dari kamu."
"Kalau kita bersamaan dengan mereka, bagaimana?"
"Tuan Muda takkan mengizinkannya."
Tepat jam 5 pagi, Rama dan Intan tiba di hotel. Mereka sementara akan beristirahat di tempat itu sebelum kembali ke rumah utama Harsya.
***
Di kediaman Harsya....
Anaya turun bersama Harsya yang menggendong putri kecilnya.
"Apa Rama belum pulang?" tanya Harsya pada Biom ketika berada di meja makan.
"Mereka tiba tadi pagi, Tuan."
"Jika dia sudah berada di rumah, suruh menemuiku," ucap Harsya.
"Baik, Tuan."
Biom pun pergi.
Di meja kini hanya ada Harsya dan istrinya sedangkan Hana berada di stroller baby.
"Sebentar lagi mereka akan menikah, pasti rumah ini terasa sepi," ujar Anaya.
"Pelayan di rumah ini lebih dari sepuluh, kamu tidak akan kesepian."
"Biasanya ada Intan dan Kak Rissa yang menemaniku," ucap Anaya lagi.
"Kamu 'kan yang menginginkan mereka menikah, jadi biarkan mereka menikmati hidupnya dengan orang tercinta."
"Kalau mereka berada di sisimu selama seharian penuh, bagaimana mereka menikmati waktu berduaan dengan pasangannya," singgung Anaya.
"Aku akan tetap memberikan waktu untuk mereka bersama pasangan dan keluarga," ucap Harsya.
"Dan kamu juga jangan sering ke luar kota."
"Aku ke luar kota karena Biom sedang ada urusan dengan keluarganya, kalau tidak ku juga akan menyuruhnya," ungkap Harsya.
"Iya, tapi kamu tak memberikan ku ponsel. Bagaimana aku bisa menghubungimu yang lagi di luar kota, tidak mungkin selalu meminta bantuan para anak buahmu tuk meneleponmu."
"Aku bukan tidak mau memberikanmu ponsel, ku tak ingin ada seseorang yang mempengaruhimu. Karena aku sayang kamu dan Hana."
Anaya begitu terkesima dengan penuturan suaminya.
"Cepat selesaikan sarapannya, aku akan mengajakmu pemakaman ayahku," ucap Harsya.
Sesampainya di pemakaman, Harsya menggenggam tangan istrinya. Berjalan menuju tempat pembaringan terakhir ayahnya.
Di samping pusara itu Harsya dan Anaya berjongkok.
"Ayah, hari ini aku datang untuk memperkenalkan wanita yang telah memberimu cucu."
"Dia gadis yang ku kira adalah musuhku tetapi dialah bidadari. Aku tidak membawa cucumu yang cantik karena dia masih terlalu kecil, nanti akan ku katakan bahwa dia memiliki seorang kakek yang hebat," lanjutnya.
Anaya menatap wajah suaminya dengan senyuman, ia mengusap punggung lelaki itu memberikan kekuatan.
"Ayah, aku janji akan menjaga dia sepertiku melindungi ibu dan Elia," ucapnya.
Tak sampai 10 menit di tempat itu, Harsya dan Anaya meninggalkan tempat pemakaman.
Mereka kembali ke rumah, Hana kini berada di pangkuan Rissa.
"Tadi Hana menangis makanya ku menggendongnya, mungkin dia haus," ucap Rissa.
"Tunggu sebentar 'ya, Hana. Ibu mau mengganti pakaian, kamu dengan Tante Rissa saja dulu," Anaya mengajak bicara putrinya, ia lalu bergegas ke kamar.
"Kapan kamu dan Biom akan mengadakan lamaran?"
"Aku menunggu Kak Darrell," jawabnya.
"Kenapa kamu harus menunggunya? Dia itu tak memperdulikanmu selama ini," ucap Harsya.
"Iya, walaupun ia tak pernah peduli. Dia satu-satunya saudara kandung yang ku miliki," ujar Rissa.
"Apa Biom tahu tentang Darrell?"
"Aku sudah memberitahunya dan Biom akan melamar jika Kak Darrell tiba di negara ini," jawab Rissa.
"Semoga saja dia tak berbuat ulah dan mengatur hidupmu," harap Harsya.
"Semoga saja."
-
-
Sore harinya, Rama dan Intan kembali ke rumah Harsya.
Anaya memeluk Intan dan memberikan selamat.
"Kak, aku belum resmi dilamar. Jangan mengucapkan selamat," ucap Intan.
"Aku sangat bahagia kamu dan Kak Rissa akan segera menikah."
"Iya, terima kasih. Tapi, masih ada beberapa proses yang harus kami lewati. Kak Rissa belum tahu kapan akan dilamar," ucap Intan.
"Memangnya kamu kapan?"
"Jika tak ada halangan atau kendala, dua minggu lagi keluarga Kak Rama akan melamarku," jawab Intan.
"Wah, aku turut senang dengan kebahagiaanmu. Walaupun ketika ku menikah tak ada kata lamaran semua karena paksaan," ujar Anaya mengingat ketika pertama kali di bawa ke rumah ini bertemu dengan suaminya.
"Tapi, sekarang Kak Ana sudah bahagia. Tuan Muda sangat menyayangi Kakak apalagi ada Hana yang melengkapi kehidupan kalian."
"Iya, aku bersyukur suamiku begitu menyayangiku."
"Kita sama-sama berdoa agar selalu diberikan kebahagiaan selalu," ucap Intan.
"Ya."
"Di mana Hana?"
"Dia lagi di taman dengan ayahnya."
"Kalau begitu nanti saja ku menyapanya, aku tidak berani jika ada ayahnya," Intan berkata sembari tersenyum nyengir.
"Beristirahatlah, kamu 'kan sangat lelah di perjalanan tadi. Dan jangan lupa bantu Tuan Pelayan menyiapkan makan malam buat kami."
"Baik, Kak. Siap laksanakan perintahnya!" Intan lalu melangkah ke kamarnya.
Rama menghampiri Harsya di taman, setibanya di rumah.
Harsya melihat kedatangan lantas menyuruh pelayan untuk menyerahkan putrinya kepada Anaya.
Setelah Hana dan 2 orang pelayan wanita itu pergi. Harsya menyuruh Rama untuk duduk di sebelahnya.
"Bagaimana perjalananmu ke sana?"
"Lumayan melelahkan, Tuan."
Harsya tertawa kecil.
"Apa kamu sudah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya?" tanya Harsya.
"Sudah, Tuan."
"Kapan kamu akan resmi melamarnya?"
"Dua minggu lagi, Tuan."
"Apa yang kamu butuhkan untuk acara itu?"
"Mobil dan sopir untuk menjemput keluarga Intan datang ke kota ini, Tuan."
"Hanya itu saja?"
"Iya, Tuan."
"Di mana kamu akan mengadakan acaranya?"
"Gedung kecil yang berada dekat dengan rumah orang tua saya, Tuan."
"Baiklah, kalau begitu aku akan memberikan izin seminggu untukmu khusus buat acara itu."
"Terima kasih, Tuan."
"Jika ingin sesuatu, katakan saja!"
"Iya, Tuan."
"Kembalilah bekerja!"
Rama lantas berdiri memiringkan tubuhnya menghadap Rama yang disampingnya, ia lalu sedikit menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, "Permisi, Tuan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!