NovelToon NovelToon

Setelah Malam Pertama

Chapter 1

Jadikan masa lalu sebagai kenangan dan pembelajaran.

Tataplah masa depan dan raihlah kebahagiaan.

***

Happy Reading ....

Seorang wanita bersurai coklat duduk di sebuah bangku panjang di pinggir jalan. Terlihat asyik membaca sebuah novel berukuran tebal yang ada di dalam genggamannya.

Semilir angin sore meniupkan beberapa helai rambut panjangnya yang tergerai. Daun kering berguguran dari atas pohon yang kini menaunginya.

Tiba-tiba ia merasakan ada sebuah tangan yang menutup kedua matanya dari belakang. Tanpa di beritahu, wanita itu sudah paham siapa sosok itu.

Ia tersenyum, mengabaikan novel yang sedari tadi menemaninya. Menyentuh tangan yang masih menutupi penglihatannya.

“Mas, jangan bercanda.” ujarnya lembut.

“Yah ketahuan ....” desah seorang pria yang berada di belakang wanita itu. Ia menurunkan tangannya, berjalan mengelilingi bangku panjang yang sedang di duduki kekasihnya dan kini ia pun ikut mendaratkan tubuh di sebelah wanita yang kini tengah mengulas senyum hangat menatapnya.

“Kenapa kamu bisa mengenaliku? Padahal aku belum bersuara sama sekali.”

“Aku bisa mengenalimu meski aku tak melihatmu. Aku tak perlu mendengar suaramu karena aku akan selalu mengenalimu.” ujarnya tanpa menghilangkan senyum manis yang selalu terbingkai indah di wajahnya.

“Ya ... Ya ... penulis mah gitu. Kata-katanya selalu wow.”

“Apa sih, mas. Aku hanya mengatakan apa yang ingin aku katakan.” elak wanita itu seraya terkekeh geli melihat bibir pria di sebelahnya yang kini cemberut.

“Iya, paham. Tapi mas bingung.”

Wanita itu mengernyitkan dahi.

“Bingung? Bingung gimana?”

“Mas tidak paham apa yang kamu katakan.”

Ucapan pria yang ada di sampingnya itu seketika membuat wanita itu tergelak.

“Astaga mas. Intinya, aku akan selalu mengenali mas. Dah gitu aja pokoknya.” memasukkan novel miliknya ke dalam tas sandang berwarna hitam.

“Aisyah ....” lirih pria itu seraya meraih jemari wanita yang tengah menatapnya.

“Ya mas. Kenapa?”

“Aku mencintamu.”

Wanita yang bernama Aisyah itu tersenyum, mengusap lembut punggung tangan yang sedang menggenggam jemarinya.

“Aku lebih mencintaimu.” balasnya.

“Menikahlah denganku.”

Mendadak tenggorokan wanita itu terasa tercekat. Ini semua terasa sangat tiba-tiba baginya. Bahkan kini netranya melebar, di dera rasa terkejut dan tak percaya.

“Mas ....” hanya itu yang sanggup keluar dari bibirnya. Tak terasa bulir bening itu turun tanpa permisi, hatinya tersentuh dan sangat terharu. Kedua tangannya menggenggam lebih kuat.

“Iya, sayang.” pria itu mengusap pelan bulir bening yang membasahi wajah kekasihnya. Mengecup kedua mata wanita yang ia cintai itu.

“Jangan menangis. Nanti di kira orang mas berbuat macam-macam kepadamu.” menoel hidung bangir milik Aisyah.

“Mas apa kau yakin ingin menikahiku?”

Pria itu menatap Aisyah penuh tanya.

“Kenapa kau bertanya seperti itu sayang? Harusnya kamu jingkrak-jingkrak atau salto karena aku mengajakmu menikah. Ini kok malah bertanya yakin apa tidak?”

“Mas sudah sangat yakin, sayang. Bahkan ini semua sudah mas pikirkan dari beberapa bulan lalu.” imbuhnya seraya mengusap lembut wajah Aisyah.

“Mas, aku tidak sedang tidur kan?”

“Astaga sayang. Kamu kira semua ini mimpi?”

Aisyah mengangguk.

“Astaga kekasihku yang cantik, baik hati dan tidak sombong. Ini bukan mimpi, aku Arzan Denandra melamarmu. Maukah kamu, Aisyah Azura menerima lamaranku dan menikah denganku? Menghabiskan sisa usia bersama hingga maut memisahkan dan mengarungi bahtera rumah tangga bersama pria menyebalkan sepertiku?” ada rasa lucu ketika pria itu mengatakan bahwa dirinya menyebalkan. Tapi rasa haru dan bahagia lebih mendominasi perasaan wanita yang telah berurai air mata itu. Dengan cepat ia mengangguk.

“Will you marry me?” tanya Arzan sekali lagi. Netranya menatap dalam ke manik coklat milik Aisyah, penuh harap.

“Yes, i Will.”

Tanpa aba-aba, pria itu menarik Aisyah ke dalam pelukannya. Mencium lamat-lamat pucuk kepala kekasihnya.

“Terima kasih, sayang. Terima kasih karena telah menerimaku. Maaf aku bukan pria romantis, yang hanya bisa melamarmu di bawah pohon Trengguli di pinggir jalan. Bahkan di bangku yang di penuhi debu jalanan.” ujarnya setelah melepaskan pelukan.

“Astaga, mas. Aku tidak perlu lamaran yang romantis. Aku sudah bahagia seperti ini.” senyum kebahagiaan tak luntur dari wajah teduh Aisyah. Sudah sejak lama ia menunggu hari di mana akan di lamar oleh kekasihnya. Menjalin hubungan selama satu tahun, tanpa berbicara mengenai pernikahan. Dan kini, akhirnya hari yang ia nantikan tiba jua. Hingga ia tak bisa menahan rasa bahagia yang menggulung hatinya.

Seperkian detik berikutnya, senyum itu berubah menjadi hambar. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketika mengingat sesuatu.

“Mas,”

“Iya, sayang.”

“A-apa aku boleh bertanya sesuatu?” ujarnya ragu.

“Tentu. Kamu mau bertanya apa?”

“A-aku ....” Aisyah terlihat ragu. Sementara Arzan menunggu apa yang akan di tanyakan kekasihnya itu.

“A-apa kamu mau menerima masa laluku?”

“Aku akan menerima semua masa lalu kamu, sayang.” jawab Arzan meyakinkan.

“Masa lalu ku sangat buruk, mas. Apakah nantinya kamu tidak akan menyesal jika tahu semuanya?” tanya Aisyah lagi.

“Biarkan masa lalu menjadi sebuah kenangan, dan jadikan masa lalu sebuah pembelajaran. Sekarang, aku masa depanmu. Aku akan menerima semuanya, sayang. Baik buruknya kamu di masa lalu, aku akan menerimanya.” ucap pria itu seraya mengecup telapak tangan sang kekasih. Ucapan Arzan yang sangat meyakinkan, membuat Aisyah lega. Ia pun kini bisa mengulas senyum sempurna.

Ia segera menepis segala keraguan yang menggerogoti hatinya. Apakah aku harus menceritakan semuanya?

Ah, ingat Aisyah. Allah saja menutupi aibmu, kenapa kamu malah mau membukanya? Bukankah Arzan pun sudah mengatakan bahwa ia akan menerima semua masa lalumu? Bisiknya dalam hati.

“Ayo pulang.”

Aisyah mengangguk, ikut berdiri dan melangkah beriringan bersama sang calon suami.

“Aku akan meminta restu pada Ayahmu. Semoga saja beliau merestui kita.”

“Aku yakin, Ayah pasti akan merestui hubungan kita.”

“Yah, semoga saja.” Arzan kembali mencium punggung tangan Aisyah. Menyalurkan kebahagiaan dan rasa cinta yang semakin menggebu. Akhirnya, ia akan melepaskan masa lajang tahun ini. Bersama wanita yang satu tahun ini menemaninya. Hanya Tuhan yang tahu tentang perasaannya saat ini.

Keduanya menghampiri sepeda motor yang terparkir tak jauh dari tempat mereka duduk tadi. Memasangkan helm pada Aisyah, memastikan helm itu terpasang dengan benar.

“Terima kasih, calon suami.” goda Aisyah, sehingga membuat Arzan terkekeh geli.

“Sama-sama calisku.”

“Calis? Calis itu apa mas?” tanya Aisyah seraya duduk di jok belakang.

“Calis itu calon istri, sayang.” sontak saja kata-kata Arzan membuat wajah Aisyah bersemu. Semburat merah sangat kentara di wajah bersih milik wanita itu.

“Ayo, kita berangkat. Meminta restu pada calon mertua.” Kekeh Arzan yang langsung mendapat tepukan ringan di bahunya. Melajukan motor besarnya membelah jalanan kota Surabaya yang cukup padat. Membawa harapan besar demi masa depan.

❤️❤️❤️

Hai all ...

Semoga kalian suka dengan cerita baru ku ya🤭

Jangan lupa dukungannya.

Like, komentar, gift dan vote.

Karena dukungan dari kalian semua merupakan hal yang sangat berharga untuk author 😘

Salam sayang untuk kalian semua😘😘

Chapter 2

Aku dengan masa laluku,

Pantaskah aku memilikimu?

Segala hujatan datang menghantam,

mengingatkan kembali pada masa lalu yang kelam.

Wahai langit malam, berikan aku sedikit harapan agar aku lebih baik di masa depan ....

***

Happy Reading....

Semilir angin membelai lembut wajah wanita yang kini berdiri di atas balkon kamar, dengan kedua tangan yang bertengger di pagar balkon. Kicauan burung terdengar saling bersahutan, terbang dari satu dahan ke dahan lainnya. Senyum samar terbingkai indah di wajah cantik wanita berusia 26 tahun itu.

Wajahnya yang biasa alami tanpa make up, kini terlihat jauh berbeda dari biasanya. Rambutnya yang biasa tergerai atau hanya di ikat asal-asalan, kini tersanggul rapi. Tiara kecil berwarna perak tersemat indah di sela rambutnya.

Kebaya sederhana berwarna putih tulang dengan taburan Payet yang membungkus tubuh mungilnya, membuat wanita itu terlihat sangat anggun. Ia menatap langit yang cerah, secerah hatinya saat ini.

Senyum kebahagiaan tak jua mau luntur dari bibirnya. Mengulum senyum, mengingat kembali masa yang telah di lalui bersama sang kekasih. Tak pernah terbayangkan olehnya, hari yang selama ini ia nantikan akhirnya tiba.

Baru beberapa bulan lalu ketika pria yang ia cintai itu melamarnya. Di bawah pohon Trengguli, di saksikan bangku panjang dengan sedikit debu. Di saksikan dedaunan yang bertiup di belai lembut angin yang berhembus. Sebentar lagi, satu jam ke depan ia akan resmi menjadi seorang istri. Melepas masa lajang dan akan menjalani kehidupan baru.

Pria itu, yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang ia temui satu tahun lalu, memberikan rasa yang berbeda di setiap harinya. Pria yang membuatnya jatuh cinta dengan segala kesederhanaan yang ia miliki. Bahkan pria itu tak pernah mau melakukan sentuhan pisik yang lebih.

Di jaman sekarang, sulit sekali menjumpai pria yang seperti itu. Benar bukan?

“Aku mencintaimu, sudah seharusnya aku menjagamu. Bukan malah merusakmu. Dan aku tidak ingin menodai kesucian cinta kita dengan hal yang tidak semestinya di lakukan sebelum resmi menikah.” masih jelas terngiang ucapan pria yang kini memenuhi relung hatinya.

“Kamu memang berbeda, mas.” gumamnya pelan.

“Apanya yang berbeda?” suara seorang gadis tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Aisyah menoleh, mengulas senyum lebih lebar.

“Ish Dita, ngagetin aja sih.”

“Makanya jangan melamun. Pengantin kok melamun? Nanti kesambet gimana? Nggak jadi kawin, terus aku deh yang jadi mempelai wanitanya.” ujar gadis yang bernama Dita itu dengan santai.

“Bisa aja kamu. Sekolah dulu yang bener, baru kawin.”

“Aku udah gede, tau. Udah semester tiga, temen aku aja banyak yang udah nikah. Bahkan udah punya anak.”

“Ya ampun, si bocil udah mikirin kawin. Emang udah ada calonnya?”

“Udah dong.”

Aisyah mendelik tak percaya.

“Kamu udah punya calon?”

Dita mengangguk.

“Siapa? Kok nggak di kenalin ke kakak?”

“Tapi calonnya udah di rebut orang.” ucap Dita dengan wajah sedih.

“Hah? Maksudnya gimana?” tanya Aisyah bingung. Dahi yang di poles dengan make up tebal itu berkerut.

“Iya, Karena hari ini dia akan menikah.”

Deg ....

Jantung Aisyah seolah berhenti, bibirnya yang berwarna peach terbungkam. Tubuhya kaku tak bergerak, menatap dalam manik gadis yang menyimpan sejuta kesedihan yang berusaha di tutupi.

“Ha ha Dita bercanda! Ya ampun coba lihat muka kakak. Tegang begitu.” tawanya seketika pecah, ia memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa terbahak-bahak. Jemarinya yang lentik mengusap pelan cairan hangat yang tanpa sadar keluar begitu saja di sudut matanya.

Sementara Aisyah hanya terdiam melihat apa yang di lakukan adik tirinya itu. Di sudut hatinya, membantah apa yang di ucapkan Dita. Ia tak mudah begitu saja mempercayai kata bercanda yang di lontarkan gadis yang memakai dress putih yang berada di hadapannya ini. Entahlah, ia merasa Dita memang mempunyai rasa pada calon suaminya.

“Hei kak, sudah aku katakan kalo hanya bercanda. Jangan di pikirkan, aku hanya menggoda kakak di hari bahagia ini.” ia mengedipkan sebelah matanya.

“Aku turut bahagia kakak dan kak Arzan bisa menikah. Semoga kalian selalu bahagia.” tutur gadis itu dengan nada ceria, menutupi rasa sedih yang tak terlalu kentara. Gadis itu lalu memeluk sebentar sang calon pengantin. Setelah selesai, ia pun segera pamit untuk bergabung dengan para tamu undangan yang ada di bawah kemudian ia menghilang di balik slayer yang menghiasi kamar pengantin. Sementara Aisyah hanya bisa diam tanpa ada suara yang mampu keluar dari mulutnya.

“Apa kamu yakin, menikah dengan Nak Arzan?” belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini Aisyah harus kembali terkejut dengan kedatangan Ibu tirinya. Perempuan separuh baya yang menjadi Ibu sambungnya, kini berdiri di hadapannya dengan wajah tidak suka. Meski itu hal biasa bagi Aisyah, tapi ia berharap jika di hari bahagianya wanita ini membuang jauh wajah tidak bersahabatnya.

“Ibu, kenapa bertanya seperti itu?”

“Bagaimana jika Arzan mengetahui masa lalumu dan menyesal telah menikahimu?”

“Apa maksud Ibu?” tanya Aisyah bingung.

“Kamu lupa masa lalu kamu yang bebas? Gonta ganti pacar, selalu keluar malam bahkan pernah tidak pulang ke rumah. Apa kamu yakin, nak Arzan akan menerima semua kenakalan yang kamu lakukan di masa lalu?” wanita itu tersenyum sinis. Sementara Aisyah meremas kuat jemarinya yang saling bertautan. Menggigit bibir kuat-kuat demi menahan hujan yang sebentar lagi akan turun.

“Kamu harusnya sadar, Aisyah. Kamu itu tidak pantas bersama Nak Arzan! Tapi dengan egoisnya kamu malah menerima lamaran pria itu bahkan memutuskan untuk menikah. Kamu adalah perempuan paling egois yang ada di muka bumi ini.” bagai tersayat sembilu, hati Aisyah terasa amat perih. Kini genangan air yang bergelayut di awan hitam yang sedari tadi di tahannya, jatuh berjatuhan tanpa bisa di cegah.

“Jangan sok tersakiti! Di sini kamu lah yang banyak menyakiti. Harusnya nak Arzan mendapatkan perempuan yang masih suci, karena dia anak baik-baik. Bukan perempuan mantan preman seperti kamu!”

“Bu, kenapa Ibu mengungkit masa laluku yang kelam?” tanya Aisyah dengan suara yang bergetar.

“Biar kamu sadar! Tapi hati tembok seperti kamu mana ada sadar. Egois!” wanita itu mengayunkan langkah meninggalkan Aisyah begitu saja. Meninggalkan luka yang sangat berbekas. Meski tak tampak, tapi luka itu nyata adanya. Sangat perih menyayat hati hingga sulit tuk di obati.

“Aisyah, maafkan Ayah nak.” seorang pria memeluk wanita yang sedang tergugu. Mengusap lembut kepala putri yang di cintai.

“Maafkan semua perkataan Ibumu, Nak. Maafkan Ayah, karena Ayah kamu sering mendapatkan luka dari Ibu tirimu.” ucap pria itu penuh sesal. Ia akui, semenjak menikah dengan Deswita membuat banyak perubahan pada Aisyah.

Alasan Aisyah tidak betah di rumah dan terjerumus ke dalam pergaulan bebas ialah karena Ibu tiri yang kerap kali berkata kasar. Serta perbedaan kasih sayang antara dirinya dan adik tiri. Tapi seiring berjalannya waktu, Aisyah bisa menerima dan berubah menjadi lebih baik.

“Ayah tidak perlu khawatir, Aisyah baik-baik saja. Seharusnya memang Aisyah sadar diri, Mas Arzan terlalu sempurna untuk Aisyah yang telah rusak.” dengan cepat pria paruh baya itu segera mengurai pelukannya dan meletakkan jari ke depan bibir anaknya.

“sstt... jangan berkata seperti itu, jika nanti Nak Arzan benar menyesal telah menikahimu, maka yang seharusnya di salahkan ialah Ayah. Semua kesalahan ada pada Ayah.”

“Ayah ... Ayah tidak salah. Semuanya salah Aisyah yang tidak bisa menjaga diri.”

“Tidak, Nak. Seandainya saja Ayah tidak menikahi perempuan itu dan lebih memperhatikan kamu, mungkin semua itu tidak akan terjadi.”

Pria itu membelai lembut surai coklat milik putri kesayangannya.

“Tapi Ayah yakin, Nak Arzan itu orang baik. Ia tidak akan mempermasalahkan masa lalu. Ia pasti akan menerima baik buruknya anak Ayah. Iya kan, sayang?” menatap wajah anaknya yang basah, menunggu anggukan percaya diri dari wanita yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai istri. Tapi yang di tunggu tak kunjung tiba.

Wanita itu pun meragu, membuat hatinya yang rapuh kembali terberai. Mengambang dalam kepercayaan diri yang samar. Akankah Mas Arzan menerima masa lalu kelamnya? Apakah benar yang di ucapkan kemarin?

Chapter 3

"Tidaklah mudah membuat keputusan untuk hidup bersama,

Menyatukan segala perbedaan dan menerima segala kekurangan.

Tidak sedikit duri yang muncul ke permukaan, Ku harap semua ini adalah awal dari sebuah kebahagiaan...."

☘️☘️☘️

Happy reading ....

“Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Azura binti Arman Saputra dengan mas kawin yang tersebut di bayar tunai!” dengan lantang mempelai laki-laki mengucapkan ijab qobul seraya menjabat tangan sang wali nikah.

“Bagaimana saksi? Sah?”

“SAH ....” teriak semua saksi yang ada di sana.

“Allhamdulillah.” air mata kebahagiaan membasahi wajah Aisyah, dengan lembut pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu mengusap wajah sang istri.

“Menangis lah karena bahagia sayang, setelah ini jangan ada air mata yang berani keluar. Kecuali air mata kebahagiaan.” bisik Arzan dengan lembut lalu mengecup dahi istrinya.

Sementara di saksikan ratusan mata yang ada, di sudut ruangan tampak sepasang mata yang menatapnya dengan penuh kecemburuan. Meremas kuat gaun burkat yang ia kenakan, menahan kuat-kuat air mata yang hendak berguguran.

Setelah drama panjang yang terjadi, Aisyah merenung kembali. Meyakinkan hati bahwa Arzan benar akan menerima semua yang ada pada dirinya. Teringat senyuman hangat serta ucapan manis sang calon suami. Serta sinar kebahagiaan yang terpancar dari matanya ketika Aisyah serta Ayahnya menerima pinangannya.

Tak ingin mengecewakan sang pujaan hati, membuat Aisyah kembali memantapkan hati untuk melanjutkan pernikahan. Apa jadinya jika tiba-tiba ia membatalkan pernikahan mereka hanya karena ucapan Ibu tiri yang sedari dulu memang tak menyukainya?

Bagaimana perasaan sang Ayah, serta keluarga besar suaminya? Memikirkan itu, ia menggeleng dengan kuat. Ia tidak ingin mengecewakan mereka semua. Di bantu MUA, ia kembali merapikan make up-nya yang berantakan.  

Di sinilah ia sekarang, setelah resmi menjadi sepasang suami istri yang sah kini ia berdiri di hadapannya para tamu yang mengucapkan selamat. Ucapan selamat dan doa kebahagiaan datang dari para tamu undangan yang hampir mencapai seribu orang. Berdiri sepanjang hari, membuat kakinya lelah.

“Apa kamu lelah, sayang?” bisik Arzan dengan mesra, menimbulkan semburat merah jambu di wajah wanita di sebelahnya.

Aisyah hanya mengangguk.

“Jangan di paksakan, baiknya kita pamit pada mereka untuk istirahat.”

“Aku tidak apa-apa, mas. Sebentar lagi acaranya selesai.”

“Apa kamu yakin?” tanya Arzan khawatir.

“Aku yakin, mas. Tunggulah sebentar lagi.”

“Baiklah sayang, tapi kamu jangan menolakku nanti malam hanya dengan alasan lelah.” Blush ....

Wajah cantik Aisyah kembali merona.

“A-apa maksud kamu mas?” tanya wanita itu dengan tergagap.

“Ya ampun istriku ini sangat polos rupanya. Biar ku jelaskan, malam ini merupakan malam pertama. Aku ingin kita menghabiskan waktu malam ini berdua saja. 

Glek ....

Aisyah menelan ludah dengan susah payah. Menggigit kuat bibir bawahnya serta meremas kedua jari.

“Kenapa kau sangat gugup sayang? Bukan sekarang, tapi nanti. Jangan membayangkan hal yang tidak-tidak sekarang, karena belum waktunya.” Arzan menyentil ujung hidung wanita itu.

“Mas, sakit.” protes Aisyah seraya memegangi ujung hidung yang sedikit memerah.

“Abisnya kamu sangat lucu sayang. Coba lihat wajah polosmu itu. Benar-benar membuatku tidak sabar untuk memakanmu.”

Aisyah terpejam, merasakan deru napas Arzan yang menyentuh kulit lehernya. Menimbulkan gelanyar aneh yang merayapi tubuhnya.

“Mas, kita sedang di lihat banyak orang.” Aisyah mendelik, ekor matanya melirik semua tamu yang ada di sana.

“Biarkan saja, mereka semua tahu bahwa kamu milikku. So, masalahnya apa?” ujar Arzan cuek.

“Kamu milikku sekarang, sayang. Hanya milikku.” bisik Arzan kembali.

Cup ....

Ia mencuri satu kecupan di wajah cantik sang istri. Membuat wajah itu semakin memerah karena malu. Tingkah keduanya tak luput dari pandangan para tamu undangan yang hadir. Membuat mereka tersenyum bahkan diam-diam merasa iri dengan kemesraan keduanya.  

***

Matahari mulai terbenam, tak lagi menampakkan sinarnya yang terang. Berganti dengan rembulan yang menemani malam bersama ribuan bintang yang berkerlipan di langit yang kelam. 

Para tamu undangan telah pulang ke rumah masing-masing, para keluarga yang hadir pun telah pamit undur diri mengingat jarak yang cukup jauh. Keluarga besar Arzan pun ikut pulang meninggalkan pria itu di kediaman Pak Arman.

Pria berumur 30 puluh tahun itu terlihat berbaring lelah di atas ranjang pengantin yang telah di hiasi sedemikian rupa. Di taburi mawar merah yang kini telah berserakan tak tentu arah. Samar-samar terdengar gemericik air di kamar mandi.

Seorang gadis muda berdiri terpaku melihat tubuh bagian atas milik Arzan yang terbuka. Pria itu tertidur sangat pulas, sehingga tak menyadari telah menjadi tontonan gratis bagi seorang gadis yang sejak lama mengaguminya.

Kaki jenjangnya yang hanya mengenakan jeans sebatas paha, terayun mendekati ranjang pengantin. Langkahnya terhenti ketika telah berada di samping pria yang tertidur dengan bertelanjang dada itu.

Wajah pria itu terlihat tenang, mendengkur perlahan. Rahangnya tegas, di tumbuhi bulu halus serta kumis tipis yang menambah pesona. Alis mata yang tebal dengan hidung yang mancung. Dadanya bidang, dengan garis sempurna yang membentuk kotak.

Gadis itu terpekur, menatap dada liat yang ingin sekali di sentuhnya. Ada rasa yang bergejolak, pikiran bawah sadarnya memberi respon untuk menyentuh dada yang terlihat sempurna itu. Tapi hatinya mati-matian mencegah agar tidak bertindak bodoh. Tangannya terulur, sedikit lagi menyentuh tubuh pria itu ketika suara seorang wanita menegurnya.

“Dita? Apa yang kamu lakukan?”  

Dengan cepat gadis itu segera menarik kembali tangannya yang sedikit lagi hampir menyentuh dada bidang milik kakak iparnya.

“Ka-kakak.” ujarnya tergagap. Ia berdiri dengan tidak tenang, menyembunyikan kegugupan yang menyerbu. Sesekali ia menggaru kepala yang tiba-tiba terasa gatal. Kadang menatap kakaknya, kadang mengalihkan ke sembarang arah. Tak berani menatap pada wanita yang mengenakan handuk putih yang membelit tubuhnya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Aisyah sekali lagi. Matanya memicing menatap adik tiri yang kini tengah di landa rasa gugup luar biasa. 

“A-aku ... A-aku hanya ingin membangunkan kakak ipar. Ayah menyuruhku mengajak kalian untuk makan malam.”

 Aisyah bergeming. Masih menatap Dita dengan penuh kecurigaan. Sangat jelas terlihat Dita yang menatap Arzan dengan tatapan yang berbeda. Apakah aku bisa mempercayainya? Pertanyaan itu datang dengan tiba-tiba dari dalam hatinya.

“Tadi beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada sahutan. Ternyata kakak di kamar mandi. Jadi aku berinisiatif membangunkan kak Arzan aja. Maaf kak, aku tidak bermaksud apa-apa.” gadis itu menunduk,

“Ya sudah, aku dan mas Arzan akan menyusul.” ucap Aisyah akhirnya. Dita mendongak, menatap wajah Aisyah yang di hias senyum samar. 

“Baiklah, kalau begitu. Kami semua menunggu kalian di bawah.” ujar Dita dengan senyum kikuk, di balas anggukan oleh kakak tirinya itu.  Ia berjalan melewati Aisyah yang masih berdiri di tempatnya.

“Jangan lama-lama! Aku sudah sangat lapar.” gadis itu tersenyum tanpa dosa. Meninggalkan Aisyah dengan segala praduga yang memenuhi kepala.

“Tapi mana mungkin Dita senekat itu? Ah mungkin benar, dia bermaksud untuk membangunkan mas Arzan dan itu tidak lebih. Ya ampun, apa aku terlalu cemburu? Sampai-sampai suudzhon seperti ini? Mungkin ada yang salah dengan isi kepalaku.” menggeleng pelan, wanita itu segera menepis pikiran buruk yang memenuhi kepalanya. Ia melangkah menuju ranjang, membangunkan sang suami yang masih terlelap.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!