...Hai semuanya, kali ini aku datang lagi dengan membawa karya baru. Ini adalah cerita Livia, adik angkat Agra di cerita MAFIA STORY yang juga berperan menjadi bodiguard Alisya, istri dari Agra....
...Semoga cerita ini bisa membuat kalian semua suka dan menemani masa senggang kalian semua, ya. Jangan lupa kasih like, komen, dan bintang limanya ya, biar aku tambah semangat😘🤗❤️❤️❤️...
...❤️Happy Reading❤️...
...*...
...*...
...*...
"Saya terima nikah dan kawinnya Livia Aymar Gasendra binti Amar Gasendra dengan mas kawin uang sebesar lima ratus juta rupiah dibayar tunai!" Suara lantang terdengar menggema di ruangan tengah kediaman Hartoyo.
"Bagaimana, saksi, sah?" tanya laki-laki yang berada di depan Daniel selaku penghulu pernikahan itu.
"Sah!" Jawaban yang langsung terdengar dari beberapa orang saksi pernikahan pun terdengar.
Seorang wanita cantik yang kini duduk di samping Ardi tampak menghembuskan napas panjang, dia kemudian menoleh pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda tidak jauh darinya.
Senyum lembut dan tulus terlihat semakin menambah luka di dalam hatinya, walau akhirnya bibir berlapis lipstik berwarna merah itu terlihat tertarik ke atas, membentuk lengkung tipis melambangkan kebahagiaan, walau sorot matanya terlihat berbeda.
Livia Aymar Gasendra, perempuan kampung, yatim piatu, mantan TKW, yang masih polos, penyabar dan baik hati. Itulah yang selama ini dilihat oleh Luciana Hartoyo–Ibu dari Daniel, sehingga meminta Livia menjadi menantunya.
Livia sudah satu tahun merawatnya, yang menderita lumpuh akibat kecelakaan bersama sang suami beberapa tahun lalu, menarik perhatiannya dengan kepolosan, kesabaran, dan kebaikannya.
Namun, mungkin semua itu hanya berlaku untuknya, karena bagi Daniel, sosok Livia hanyalah seorang gadis kampung munafik yang melakukan sebuah lakon untuk menarik orang bergelimang harta seperti keluarganya agar bisa hidup dalam kemewahan.
Daniel Arslan Hartoyo– suami Livia, anak pertama dari Karsa Hartoyo, sosok pengusaha sukses yang mewarisi kekayaan Hartoyo, sikapnya cenderung arogan, sombong, juga tegas, dan perfeksionis di dalam pekerjaannya. Akan tetapi, lembut jika sudah berkomunikasi dengan sang ibu.
Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri beberapa orang pekerja rumah besar itu dan orang dari KUA pun berakhir begitu saja. Kini Livia kembali melakukan tugasnya untuk melayani Luciana, mantan majikan yang kini sudah berubah status menjadi mertuanya.
"Ini hari pernikahan kamu, Nak. Seharusnya kamu menghabiskan waktu dengan suami kamu," ujar Luciana saat Livia membantunya untuk berbaring di tempat tidur.
"Aku akan menemuinya setelah, Ibu, tertidur," jawab Livia dengan suara yang lembut.
"Bukankah sudah aku bilang, jangan panggil Ibu lagi. Mulai sekarang kamu harus memanggilku Mami, sama seperti Daniel," perintah Luciana.
"Baik, Bu ... euh, maksudnya Mami," angguk Livia sambil menarik selimut sampi ke dada Luciana.
"Nah, begitu 'kan enak didengarnya. Ingat, sekarang kamu itu adalah menantuku, jadi jangan sungkan lagi, ya," ujar Luciana dengan senyum lembut yang selalu terlihat di wajahnya.
"Iya, Mami." Livia duduk di kursi yang berada di samping ranjang.
"Ya sudah, sana kamu temui suami kamu, ini sudah malam. Aku juga akan tidur sebentar lagi," ujar Luciana, mengusir Livia dari kamarnya.
Livia tampak menaruh buku yang sebelumnya dibaca oleh Luciana di atas nakas tidak jauh dari Luciana, sebelum menjawab pertanyaan sang ibu mertua.
"Baiklah, kalau begitu aku ke luar dulu. Kalau, Mami, butuh sesuatu panggil saja aku, hem," ujar Livia, sambil mengelus lembut punggung tangan wanita paruh baya itu.
Luciana mengangguk, sambil membalas senyum lembut menantunya. Hari ini suasana hatinya begitu senang, karena bisa mendapatkan menantu yang dia inginkan. Tidak mudah untuknya membujuk Daniel agar mau menikahi Livia.
Beberapa saat kemudian Livia sudah ke luar dari kamar sang mertua, dia berjalan menuju ke arah kamar belakang, tempat dirinya selama ini tinggal. Namun, ketika Livia melewati ruang keluarga dia lebih dulu dihentikan oleh suaminya.
"Ikut aku sekarang!" ujar laki-laki itu sambil berjalan mendahului Livia menuju ke ruang kerjanya.
Livia pun langsung mengikuti langkah suaminya di belakang, hingga keduanya masuk.
"Kita memang menikah di hadapan Mami. Tapi, jangan harap kamu akan aku anggap sebagai seorang istri. Jadi, jangan berani kamu mengaku sebagai istriku di depan siapa pun. Mengerti?!" ujar Daniel begitu Livia berhasil menutup pintu.
Tangan Livia yang masih menggenggam gagang pintu, meremasnya hingga urat ditangannya terlihat menonjol. Wajah polos terlihat berubah datar dengan sorot mata penuh kebencian.
Dia pikir aku sudi menganggapnya sebagai seorang suami? Heh, jangan harap! batin Livia.
Sedetik kemudian Livia kembali merubah raut wajahnya menjadi polos tanpa dosa, tidak lupa kerutan dalam di kening seolah dirinya tengah bingung.
Livia berbalik menatap punggung tegap Daniel yang berdiri angkuh di depannya. Kedua tangan laki-laki itu tampak berada di pinggang, seolah sedang memperlihatkan posisinya sebagai tuan rumah di sini.
Livia memutar bola matanya sambil berdecak kecil, saat melihat gaya angkuh dan sombong Daniel di depannya.
"Saya mengerti, Tuan. Tapi, bagaimana bila Ibu tau hubungan kita?" tanya lirih Livia dengan kepala menunduk dalam.
"Mami tidak akan tau, jika kamu tidak memberitahunya!" jawab dingin Daniel tanpa menoleh melihat wajah Livia.
Mereka tampak sama-sama terdiam untuk beberapa waktu, hingga akhirnya Daniel membuka suara.
"Kamu boleh ke luar!" ujarnya.
Livia hanya mengangguk kemudian berjalan ke luar dari ruang kerja milik Daniel, tanpa berkata apa pun.
'Akh, sia-sia aku memasang wajah polos ... dia tidak melihatnya sama sekali, batin Livia begitu keluar dari ruang kerja.
Daniel yang merasa kesal dengan kejadian hari ini, langsung menyambar jaket miliknya kemudian berjalan cepat ke luar dari rumah dengan mengendarai motor sportnya.
"Kak, mau ke mana?!" Teriakan dari laki-laki muda lainnya di teras rumah pun tidak di dengar oleh Daniel, karena dia sudah melesat ke luar dari gerbang.
"Ck, ke luar ko gak ngajak-ngajak," decaknya kemudian.
Mengambil ponsel di saku, dia terlihat menghubungi seseorang sebelum akhirnya ikut pergi dari rumah dengan mobil miliknya.
Livia yang mendengar semua suara kendaraan itu dari kamarnya hanya tersenyum tipis, malam pernikahan yang seharusnya menjadi malam bahagia, kini bahkan terasa sepi dengan kepergian para tuan rumahnya. Namun, itu memang lebih baik, daripada dia harus melayani laki-laki yang dia benci selama bertahun-tahun ini.
"Bila bukan demi tujuanku, aku tidak akan pernah sudi untuk masuk ke dalam rumah ini," ujarnya sambil bersidekap dada d depan jendela, menatap jauh ke luar di mana banyak penjaga yang tampak hilir mudik.
"Rumah yang terasa bagaikan penjara!" sambungnya lagi dengan penekanan di setiap katanya.
"Sekarang kamu menyesal setelah menikahinya, Via?" tanya seseorang di seberang sana.
Akh, ternyata saat ini Livia sedang melakukan sambungan telepon dengan seseorang, menggunakan sebuah earphone di telinga.
"Tidak! Aku hanya tidak suka dengan peran yang harus aku mainkan kali ini," bantah Livia.
Orang di seberang sana terdengar tertawa renyah, ketika mendengar keluhan dari Livia.
"Bukankah ini keputusanmu sendiri untuk melakukan semua ini? Jadi sekarang, terjma saja," ujar orang di seberang sana.
Livia tampak menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
"Aku tidak mau terus merepotkan kamu dan Daddy. Untuk urusan ini, biarkan aku bekerja sendiri, kalian hanya perlu mendukung aku dari belakang seperti biasa," ujar Livia menatap jauh ke depan, membayangkan dua orang laki-laki yang begitu berarti untuknya.
"Tentu, aku dan Daddy akan selalu ada di belakangmu, Via. Jangan lupa hubungi aku jika kamu memerlukan bantuan," jawab laki-laki itu.
"Ck! Tanpa aku memberitahumu, kamu bahkan sudah membantuku lebih dulu, Brother," decak Livia yang langsung mendapat sunggingan senyum tipis dari laki-laki itu.
"Baiklah, sudah malam, istirahatlah," ujar laki-laki itu.
"Tentu, kamu juga, jangan lupa jaga saudara dan keponakanku," jawab Livia sebelum sambungan terputus.
Livia menutup tirai jendela kemudian berjalan menuju ranjang kecil tempatnya beristirahat, dia kemudian merebahkan dirinya di atas sana dan mulai terlelap, menuju dunia mimpinya.
"Wah, gila sih ini, masa pengantin baru malah ngabisin malam di sini, sama minuman lagi. Bukannya belah duren di kamar. Hahaha!" ejek salah satu laki-laki yang tampak datang bersama dengan Danis.
Daniel yang sedang duduk di kursi VIP sebuah klub malam pun tampak menatap wajah dua orang laki-laki di depannya, kemudian menyunggingkan sebelah bibirnya sambil menghembuskan napas kasar.
"Kalian ke sini untuk menemaniku atau mengejekku, hah?" tanyanya, sambil mengambil gelas dari meja kemudian meminumnya.
Seorang wanita cantik dengan baju seksi pun langsung menuangkan kembali minuman pada gelas yang baru saja disimpan di atas meja oleh Daniel.
"Kami hanya khawatir padamu, Kak," jawab Danis yang merupakan adik dari Daniel.
"Haish, itu hanya alasanmu saja, agar bisa bermain dengan wanita yang ada di sini. Iya kan?" Daniel tampak menatap remeh adiknya itu.
"Ck! Kamu memang paling tau apa yang aku suka, hahaha!" sambut Danis diikuti dengan tawanya.
"Baiklah sekarang kalian temani aku menikmati malam ini," ujar Daniel lagi, membuat dua orang laki-laki itu tersenyum senang.
"Aku jadi penasaran, sebenarnya seburuk apa sih istrimu itu, Niel? Sampai-sampai kamu lebih suka menghabiskan malam di sini dari pada mencicipi gadis manis di rumahmu," heran teman Daniel dan Danis yang bernama Ziko.
"Dia itu sangat kampungan, pakaiannya saja sangat kuno dan tidak menarik sama sekali. Aku saja jijik melihatnya, apa lagi Kak Daniel," ujar Danis, menjawab pertanyaan Ziko. Dia meringis membayangkan penampilan Livia yang tidak seperti anak muda masa kini.
"Ah, pantas saja kalau begitu," angguk Ziko ikut meringis membayangkan betapa jeleknya wanita yang Daniel nikahi secara paksa siang tadi.
Ziko memang baru datang dari luar negeri sore tadi, hingga dia tidak sempat untuk mendatangi pernikahan sahabat baiknya itu.
Ketiga laki-laki dewasa itu tampak asik menghabiskan malam di ruangan VIP itu, berteman alkohol dan para wanita di seksi sekitarnya.
.
.
Livia terbangun di tengah malam dengan keringat bercucuran dan napas memburu, lagi-lagi mimpi buruk itu menghampirinya, seolah mengingatkannya akan tujuannya berada di rumah ini.
Kilasan teriakan yang bercampur dengan suara senjata api yang menggema terdengar di telinga. Hingga bayangan tubuh tak bernyawa seluruh keluarga dan para pekerja rumah yang bergelimpangan di setiap sudut rumah dengan darah yang masih segar berputar di kepala.
Livia meremas selimut yang menutupi tubuhnya, tatapan tajam dengan sorot mata penuh kebencian dan kesakitan pun terlihat jelas.
"Aku sudah berjanji untuk membalaskan dendam kalian pada orang-orang tidak memiliki perasaan seperti dia. Dia harus merasakan apa yang sudah aku rasakan selama ini!" desis Livia dengan bibir bergetar.
Salah satu tangan livia hendak menggapai gelas yang berada di atas nakas, tetapi ternyata gelas itu kosong. Livia akhirnya memilih beranjak untuk mengambil air minum ke dapur.
Suasana temaram dan hening langsung menyapa saat Livia ke luar dari kamarnya. Namun, suara pintu utama dibuka mengalihkan perhatian Livia.
"Siapa yang datang larut malam begini?" gumam Livia, sambil melihat jam besar yang menempel di dinding.
Jarum jam baru menujukkan pukul dua dini hari, membuat Livia semakin mengernyitkan keningnya. Dia kemudian beranjak menuju pintu depan.
Brak! Suara barang jatuh membuat Livia semakin bersiaga dan mempercepat langkahnya.
Livia berdecak malas saat dia melihat dua orang laki-laki dewasa sedang berjalan tidak tentu arah, dengan saling menopang satu sama lain, karena keduanya tampak tidak seimbang.
"Astaga, para laki-laki tidak berguna ini," gumam Livia sambil menatap jijik Daniel dan Danis yang sedang berusaha berjalan, walau akhirnya mereka akan terjatuh bersama karena kehilangan keseimbangan.
"Kamu jangan mendorongku, brengsek!" umpat Daniel, menendang Danis yang kini tampak terduduk tidak jauh darinya.
"Kamu yang mendorong aku, Kak!" jawab Danis dengan suara yang sudah hampir hilang.
Mata merah dengan semerbak bau alkohol sudah memberitahu Livia, apa yang membuat dua laki-laki itu seperti ini.
"Di dalam organisasi bahkan aku sudah tidak menemukan para manusia bodoh seperti ini, yang rela merusak tubuhnya sendiri hanya untuk sebuah minuman pahit dan panas itu, ck ck ck." Livia menggelengkan kepala sambil berdiri di depan kedua laki-laki itu.
"Hei, perempuan gila harta! Sedang apa kamu di sini, hah?!" sentak Daniel sambil menunjuk wajah Livia.
Laki-laki itu tampak berusaha untuk bangun, walau kemudian selalu terjatuh lagi dan lagi.
Livia tidak menghiraukannya, dia kemudian berjalan menuju ke luar untuk memanggil seseorang agar bisa membantunya membawa dua laki-laki itu ke kamarnya masing-masing.
"Tolong bantu aku membawa Tuan Danis dan Tuan Daniel, ke kamarnya," ujar Livia begitu ada dua orang penjaga yang datang.
"Baik, Neng Livia," jawab laki-laki itu, kemudian membantu Danis dan Daniel bangun dan berjalan menuju ke kamarnya.
Jangan harap melihat adegan seorang istri yang rela bersusah payah untuk membantu suaminya yang sedang mabuk parah, masuk ke kamar kemudian mengurusnya dengan telaten.
Itu tentu tidak akan terjadi pada Livia, dia terlalu malas untuk berlaku seperti itu, apa lagi dihadapan seorang pemabuk seperti suami dan adik iparnya itu. Jika pun itu sampai terjadi, percayalah semuanya dia lakukan dengan terpaksa, demi kelancaran rencana balas dendamnya. Seperti saat ini, Livia hanya membiarkan kedua laki-laki itu tidur di atas ranjang dengan sepatu yang masih melekat di kakinya.
"Dasar menyusahkan, laki-laki tidak berguna!" hardik Livia menatap tajam Daniel yang tengah terbaring tidak berdaya di atas ranjangnya.
"Perempuan gila harta, Berani-beraninya kamu menghasut ibuku agar aku menikahimu, hah?! Aku akan membuat kamu menyesal karena melakukan itu. Aku tidak akan membiarkan kamu mengambil satu sen pun uang dariku!" racau Daniel yang tentunya ditunjukkan untuk Livia.
Terserah kamu mau menganggapku apa, karena aku tidak butuh uangmu, kecuali perusahaan keluargaku yang sudah kamu rebutan dariku. Itu akan menjadi hal pertama yang aku renggut darimu, Daniel! batin Livia.
Dia berbalik kemudian melenggang kembali berjalan menuju dapur untuk melaksanakan niatnya terbangun tadi, kemudian masuk ke kamar setelah dirasa sudah cukup minum.
Matahari menyapa dengan cahayanya yang terasa hangat menerpa seisi bumi. s Sementara itu seluruh tubuh Livia terlihat sudah basah oleh keringat. Ya, setelah terbangun tadi malam dia tidak bisa tidur lagi, hingga memutuskan untuk melatih tubuhnya dengan gerakan sederhana di dalam kamar.
"Hah, gara-gara sudah lama terkurung di sini, aku jadi tidak bisa melatih tubuhku," gumam Livia, dengan napas yang memburu.
Setelah keringatnya sudah terasa kering dan tubuhnya dingin kembali, Livia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Seperti pagi-pagi biasanya, dia harus segera bangun untuk menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya, kemudian mengurus wanita itu dari bangun sampai tertidur lagi. Mulai dari membantu menyiapkan air untuk mandi, mengajak berjalan-jalan, mengatur obat yang diminum dan memantau kesehatannya, menjadi pekerjaan utamanya selama dia bekerja di rumah besar ini.
Tidak terlalu sibuk, bahkan menurut Livia itu terlalu senggang, makanya dia terkadang jenuh melakukan semua pekerjaannha. Namun, tekad untuk membalaskan dendam pun selalu menjadi penyemangatnya untuk tetap bertahan di rumah ini.
"Selamat pagi, Mami. Bagaimana tidurnya?" tanya Livia ketika dia masuk ke kamar ibu mertuanya itu.
"Pagi juga, Livia. Tidurku malam ini sangat nyenyak, bahkan aku sampai bermimpi," jawab wanita paruh baya itu, yang tampak sedang duduk di ujung ranjang.
"Wah, mimpi apa, Mam?" tanya Livia sambil duduk di kursi tidak jauh dari ranjang. Raut wajahnya terlihat sangat ceria, dilengkapi senyum manis dan lembut yang tidak pernah hilang dari sana.
"Mami mimpi, kamu dan Daniel hidup bahagia dan saling mencintai," jawab Mami Luciana dengan senyum merekahnya. Matanya tampak berbinar memancarkan harapan yang sangat besar dalam ucapannya.
Livia tersenyum, walau hatinya merasa sakit saat mendengar harapan dari seorang wanita yang sudah setahun ini bersama dengannya. Dia tentu tau apa yang akan menjadi akhir kehadirannya di dalam keluarga ini, dan dia tidak akan bisa mundur lagi, walau Livia tahu kalau dirinya akan menorehkan luka pada wanita lembut dan baik hati seperti Luciana.
Maafkan aku, sepertinya mimpimu tidak akan pernah menjadi nyata ... Mami.
"Kamu sudah mengurus suami kamu, Livia?" tanya Mami Luci sambil tersenyum.
"Ah, itu–" Livia tampak kikuk saat harus menjawab pertanyaan mertuanya itu. Jelas saja tadi malam dia meninggalkan suami dan adik iparnya di kamar dalam keadaan mabuk berat. Jadi, sekarang di mana tau keadaan dua laki-laki itu.
"Sekarang kamu itu sudah menjadi seorang istri, Livia. Tugas utama kamu adalah mengurus suami kamu," ujar Luciana, memotong perkataan Livia.
Buat apa aku mengurus orang yang tidak mau aku urus. Lagi pula, aku yakin kali ini Daniel pasti belum bangun, batin Livia.
"I–itu, Mami. Tuan Daniel masih belum bangun," ujar Livia dengan wajah menunduk malu, bagikan seorang pengantin baru yang baru saja melakukan apa yang biasanya terjadi di malam pertama.
Mami Luci tampak terkekeh mendengar perkataan Livia, ditambah dengan ekspresi malu menantunya itu, membuatnya sangat yakin kalau tadi malam antara Daniel dan Livia telah terjadi sesuatu.
"Eh? Tunggu dulu. Kenapa kamu masih memanggil Daniel, Tuan, hem? Harusnya sejak kemarin kamu sudah mengganti panggilannya," ujar Mami Luci, mengernyitkan keningnya.
"Oh iya, maksud aku Mas Daniel, Mami. Ini masih penyesuaian, makanya aku kadang lupa," jawab Livia sopan. Dia tampak tersenyum canggung.
Ish, menjijikan sekali harus memanggilnya seperti itu, rasanya seperti orang lemah yang bergantung pada suaminya, batin Livia merasa geli dengan panggilan yang dia buat sendiri untuk Daniel.
"Hem, ya sudah karena Daniel belum bangun jadi kamu boleh menolongku dulu. Tapi, jika nanti Daniel sudah bangun, biarkan aku melakukan semuanya dengan pelayan yang lain yang ada di sini, ya," ujar Mami Luci.
"Masalah itu biar nanti aku bicarakan lagi dengan Mas Daniel saja, Mami. Aku takut salah, jika memutuskan sendiri," jawab Livia. Sebenarnya dia hanya ingin mengisi waktu luang dengan melayani mertuanya itu. Jika nanti pekerjaannya juga diambil oleh pelayan lain, maka Livia bisa gila karena bosan.
"Hem, baiklah. Sepertinya begitu memang lebih baik, dari pada nanti kamu disalahkan oleh Daniel," angguk Mami Luci.
.
"Sudah selesai, ayo kita ke luar, untuk sarapan," ajak Livia berdiri di belakang Mami Luci sambil melihat pantulan wajah mertuanya di kaca rias.
Dirinya baru saja membantu Mami Luci untuk merapikan rambutnya sekaligus memakai pelembab di wajahnya.
Mami Luci tampak tersenyum sebelum menjawab, dia kemudian menatap wajah Livia lembut.
"Terima kasih, Livia. Tidak terasa sudah setahun lebih kamu menemani Mami dan mengurus Mami di sini," ujar Mami Luci dengan senyum lembutnya.
"Ini semua sudah kewajiban aku, Mami. Ayo sekarang kita ke luar dulu, tidak bagus kalau sampai Mami terlambat sarapan pagi," ujar Livia sambil mulai mendorong kursi roda milik Mami Luci.
"Sudah, sampai di sini saja, Mami bisa sarapan sendiri. Sekarang kamu lihat suami kamu saja, takutnya dia belum bangun juga. Oh iya, tolong bangunan Danis juga ya, dia harus ke kantor pagi ini," ujar Mami Luci dengan nada suara lembut, hingga tidak menyinggung perasaan Livia.
Livia tampak terdiam beberapa saat, dia merasa enggan untuk menemui suaminya yang pasti sedang mengalami hangover setelah mabuk semalam. Namun, sesaat kemudian Livia pun memanggil salah satu pelayan yang ada di sana.
"Tolong kamu bawakan makanan yang sudah aku siapkan untuk Nyonya dan temani sarapan. Pastikan Nyonya makan sampai habis," ujar Livia pada salah satu pelayan yang ada di sana.
Luciana tersenyum senang dengan perhatian yang selalu Livia berikan padanya.
"Kalau begitu aku ke atas dulu ya, Mami. Panggil aku jika membutuhkan bantuan," pamit Livia, beralih pada mertuanya dengan suara lembut.
"Iya. Sudah sana buruan pergi, nanti suami kamu keburu marah," jawab Mami Luci sambil sedikit mendorong tangan Livia.
"Heem." Livia langsung pergi ke lantai atas di mana kedua pangeran keluarga Hartoyo berada. Livia mengetuk pintu lebih dulu, memastikan tidak ada jawaban sebelum membukanya perlahan.
Begitu Livia masuk ke kamar, bau tidak sedap langsung merebak, menabrak indra penciumannya. Livia mendengkus pelan sambil mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
"Di mana dia?" gumamnya saat melihat tidak ada Daniel di atas tempat tidur yang terlihat sangat berantakan itu.
Livia melanjutkan langkahnya hingga akhirnya dia menemukan laki-laki itu tengah tidur tengkurap di atas lantai, tepat di sisi tempat tidur.
"Dasar wanita licik, aku sudah tau rencanamu sejak awal, dan sekarang terbukti, kalau kamu itu memang wanita gila harta," gumam Daniel dengan mata yang masih tertutup rapat.
"Ck, dasar laki-laki payah, beraninya hanya mengumpatku saat sedang mabuk," ujar Livia sambil berjalan mendekati Daniel.
"Bangun, ini sudah siang," ujar Livia sambil menoel pundak Daniel.
"Hei, bangun!" ujar Livia lagi, sambil mengguncang tubuh Daniel lebih kencang lagi.
"Hem?" Daniel mengerjap dia mengangkat kepalanya kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu.
"Bangun, ini sudah siang. Mami, sudah menunggumu untuk sarapan bersama," ujar Livia sambil kembali berdiri tegak di samping Daniel.
"Hah?!" Daniel langsung menoleh cepat ke arah Livia, disusul dengan membalik tubuhnya dengan posisi yang langsung duduk di atas lantai.
"Kamu?! Kamu ngapain ada di kamarku?" tanya Daniel yang masih terlihat linglung. Beberapa kali Livia bahkan melihat Daniel menggelengkan kepala untuk menghilangkan pengar.
"Aku disuruh Mami untuk membangunkan Tuan dan Tuan Danis. Karena sekarang Tuan sudah bangun, maka cepatlah mandi, aku akan membangunkan Tuan Danis lebih dulu," ujar Livia sambil berbalik kemudian pergi begitu saja dari kamar itu.
Daniel mengedipkan matanya pelan, dia masih merasa seperti di antara nyata dan mimpi, apa lagi saat merasa ada yang berubah dari cara bicara dan bersikap Livia.
"Apa itu benar-benar, si gila harta? Kenapa sepertinya ada yang berbeda?" gumamnya dengan kerutan di keningnya, salah satu tangannya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
"Akh, sudahlah ... mungkin itu karena aku masih merasa pusing, jadi dia terlihat berbeda," ujar Daniel lagi, sambil beranjak berdiri.
"Tunggu–" Daniel tampak terdiam dengan tatapan bingung ke arah tempatnya tertidur beberapa saat lalu.
"Jadi, tadi aku tidur di sana? Di lantai?" ujarnya dengan mata yang melebar sepenuhnya.
"Astaga, apa yang aku lakukan? Kenapa aku bisa tidur di sana?!" sambungnya lagi dengan nada suara yang semakin tinggi.
"Atau ini adalah ulah si gila harta itu? Dia sengaja mengerjai aku di saat aku mabuk semalam?" Daniel menuduh Livia.
"Benar! Ini pasti ulah si gila harta itu! Ck, awas saja nanti, aku akan balas semua ini," gumam Daniel dengan wajah kesalnya. Dia kemudian beranjak menuju ke kamar mandi dengan langkah kesalnya.
Sementara itu Livia masuk ke kamar Danis, setelah mengetuk pintu beberapa kali. Livia mengedarkan pandangannya menyusuri setiap sudut ruangan itu, hingga pandangannya berhenti di atas ranjang.
Terlihat seseorang yang mungkin berada di bawah selimut tebal, hingga Livia kembali berdecak, melihat ranjang yang juga berantakan.
"Ck, ternyata sama saja," gumam Livia sambil berjalan menuju sisi ranjang, dia kemudian menoel sesuatu yang dia kira sebagai pundak Danis.
Namun, Livia merasa janggal saat merasakan itu bukanlah sebuah pundak. Dengan ragu Livia membuka selimut yang menutupi tubuh laki-laki dewasa itu.
"Astaga!" Livia terpaku melihat posisi yang harusnya adalah kepala, kini berganti menjadi kaki. Lalu sekarang di mana letak kepala Danis berada.
Dengan gerakan cepat, Livia menarik selimut tebal itu hingga tubuh Danis terbuka semuanya. Akan tetapi, kini dia kembali merasa terkejut saat mendapati laki-laki itu hanya memakai celana pendek sebatas paha, tanpa memakai baju sama sekali.
"Dasar tidak tahu malu!" decaknya sambil melempar selimut pada atas tubuh Danis dengan gerakan kasar.
"Sial! Pagi-pagi mataku sudah ternodai!" decak Livia sambil mengusap wajahnya dengan gerakan kasar.
Sedangkan Danis yang dilempar selimut oleh Livia mulai mengerjapkan matanya, dia mengucek matanya mencoba untuk memperjelas penglihatannya.
"Astaga, apa aku masih ada di alam mimpi, kenapa ada bidadari di sini?" ujarnya masih setengah sadar.
"Ck, dasar laki-laki mesum!" decak Livia bergumam sendiri.
"Bangun, sudah siang, bukannya pagi ini Tuan harus ke kantor?" tanya Livia, berdiri di samping kepala Danis yang ternyata menggantung di salah satu sisi ranjang.
Danis tampak menatap lama wajah Livia, hingga akhirnya dia terkejut sendiri dan langsung bangun seketika itu juga.
"Astaga, ngapain kamu ada di kamarku, hah? Dasar tidak tahu diri! Jangan mentang-mentang kamu sudah menikah dengan kakakku, lantas kamu berhak masuk ke dalam kamarku begitu saja!" hardik Danis memaki Livia sambil beranjak duduk di atas ranjang, hingga selimut yang tadi menutup tubuhnya kini terbuka begitu saja.
Livia hanya terdiam, wajahnya terlihat datar tanpa terlihat raut takut atau khawatir seperti biasanya.
"Ini hanya karena perintah dari Mami, jadi jangan terlalu percaya diri. Cepat mandi dan bersiap, atau aku akan mengadukan perbuatan Tuan tadi malam," ujar Livia sebelum akhirnya dia berbalik dan berjalan ke luar dari kamar adik iparnya, dengan diiringi tatapan bingung Danis.
Livia menghentikan langkahnya ketika pintu kamar Danis sudah tertutup rapat, dia menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya kasar.
Livia sengaja melakukan itu untuk pagi ini, mengingat kedua kakak beradik itu pasti belum sepenuhnya sadar. Hingga mereka akan menganggap itu hanya kesalahan dalam penilaian saja. Padahal Livia memang sedang memanfaatkan kebodohan mereka karena pengaruh alkohol yang belum sepenuhnya menghilang.
Dasar laki-laki bodoh! Kalian mau saja diperbudak oleh minuman keras yang jelas-jelas bukan hanya merusak tubuh, tapi juga mengikis kewarasan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!