NovelToon NovelToon

Murid Ratu Iblis

Chapter 1 - Kehidupan di Akademi

Galathia, sebuah dunia pedang dan sihir yang diberkahi oleh Mana. Salah satu dari 3 Dewi dengan pengaruh terbesar di dunia ini.

Akan tetapi 1407 tahun yang lalu, sebuah bencana besar melanda dunia ini. Tepatnya di benua Elador. Seekor naga kuno mengamuk dan membumihanguskan hampir seluruh dunia ini.

Ketujuh pahlawan yang terpilih oleh Dewi Cahaya, Lunaria, memimpin sisa kekuatan dunia untuk menghentikan naga kuno, Ashenflare.

Pada akhirnya, peperangan yang dipimpin oleh ras manusia berhasil menaklukkan Ashenflare. Kedamaian dunia pun diperoleh hingga saat ini.

‘Sruugg!’

Salah seorang murid di Akademi Damacia ini mengangkat tangan kanannya.

“Profesor Magnus, apakah ketujuh pahlawan itu yang sangat kuat hingga mampu menghentikan bencana serangan Ashenflare, atau karena Ashenflare itu sendiri yang lemah?” tanya salah seorang murid laki-laki itu.

Profesor Magnus nampak tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan itu.

“Pertanyaan yang bagus. Apakah pahlawan terlalu kuat? Atau naga terlalu lemah? Karena itu merupakan kejadian 1407 tahun yang lalu, tak banyak catatan yang tersisa untuk menjawab pertanyaan itu.

Akan tetapi, terdapat 2 hal yang jelas. Lembah Cadera, sebuah lembah yang sepanjang lebih dari 1.000 meter serta sedalam hingga 180 meter itu, merupakan sisa tebasan sang pahlawan pedang, Cadera.

Kemudian danau Malakai yang terbentuk akibat sihir meteor pahlawan penyihir, Malakai. Dua hal itu adalah bukti nyata kekuatan pahlawan di masa lalu.” jelas Profesor Magnus itu dengan suara yang lembut.

“Eeh?! Dan itu baru dua pahlawan?! Bukankah mereka sangat kuat?!”

“Tentu saja kuat, bodoh! Mereka diberkahi Dewi Cahaya Lunaria secara langsung!”

“Memangnya itu benar-benar akibat ulah mereka? Aku merasa semua itu hanya dongeng.”

Beberapa murid di akademi tahun pertama kelas E ini mulai ribut. Mereka berusaha untuk membenarkan keyakinan mereka sendiri.

Sementara itu, di bagian kursi belakang terlihat sosok seorang murid laki-laki yang sibuk mencatat semua yang dipelajarinya pada buku kusutnya.

Pemuda itu memiliki rambut hitam gelap serta mata coklat gelap. Tubuhnya tak begitu tinggi, bahkan terkesan cukup ramping dan kurang terlatih.

Meski begitu rajin, pemuda itu nampak dijauhi oleh murid lainnya.

‘Aku harus berjuang! Ayah dan ibu ku telah susah payah mendaftarkan diriku di akademi ini! Apapun yang terjadi....’ pikir pemuda itu dalam hatinya.

‘Ding! Ding! Ding!’

“Baiklah, kelas berakhir. Silakan beristirahat hingga jam pelajaran berikutnya.” ucap Profesor Magnus itu sembari meninggalkan ruang kelas ini. Kedua tangannya nampak membawa tumpukan buku yang tebal.

Dan bersamaan dengan itu, sosok pemuda yang sebelumnya dikucilkan kini mulai didekati oleh banyak pelajar lainnya.

“Yoo, anak kampung. Kau masih giat belajar?”

“Jangan begitu. Mamah dan papahnya sibuk bekerja di desa kan? Ah, maksudku bertani.”

“Berhenti lah, sekuat apapun kau berusaha, kau tak akan mampu mengimbangi tuntutan di akademi ini.”

Beberapa pelajar laki-laki mulai mengerubungi pemuda itu. Mereka semua memaki dan menghinanya. Bahkan beberapa nampak mulai main tangan dan memukul kepala pemuda itu.

‘Brukkk! Braakk!’

“Pergi lah! Tubuhmu bau kotoran hewan tahu? Ini pasti efek karena kau berasal dari desa kumuh.”

“Mungkin akademi mengizinkanmu masuk karena mampu membayar, tapi apakah kau....”

Tak lagi mampu mendengar makian mereka semua, pemuda itu pun segera mengemasi barangnya dan pergi tanpa sepatah kata pun.

“Oi oi, lihat itu. Dia kabur.”

“Sikap yang cocok untuk rakyat jelata sepertinya.”

“Berani-beraninya rakyat jelata sepertinya memasuki akademi sihir ini. Bukankah di desa juga ada akademi abal-abal?”

‘Brakk!’

Salah seorang pelajar perempuan nampak tak lagi mampu mendengar semua hinaan yang ditujukan pada pemuda itu. Ia memukul mejanya dan segera berdiri.

“Hentikan semua itu! Lucius juga seorang bangsawan kan?!” teriak gadis itu. Ia memiliki penampilan yang cukup menawan dengan rambut hitam pendek serta kacamata yang memberi kesan serius pada dirinya.

“Aaah, Nightshade? Jangan bercanda! Itu hanyalah gelar bangsawan yang diperolehnya karena uang! Dengan kata lain, keluarganya membelinya! Tidak seperti kita semua yang bangsawan sejati!” balas salah seorang pemuda dengan penuh emosi.

Ia memiliki penampilan yang sangat menawan. Rambut keemasannya yang lurus serta pakaiannya yang begitu bersih dan rapi menunjukkan bahwa dirinya jauh berbeda dibandingkan tampilan lusuh Lucius.

“Tuan Edward Goldencrest benar! Bangsawan rendahan sepertimu sebaiknya hanya perlu menurut di hadapan keluarga besar!” timpal pelajar lain yang mendukung pelajar berambut keemasan itu.

“Keluarga besar apanya? Bukankah kau juga jatuh di kelas E? Apa kau tak malu pada nama Goldencrest yang kau bawa?!” balas gadis berkacamata itu.

“Sophia Fairlock, kau cukup berani juga ya?! Hah?!”

Saat Edward mulai dikuasai amarah, pelajar lain yang duduk di belakang Sophia mulai berdiri sambil memukul mejanya. Tapi kali ini, pukulannya cukup kuat hingga hampir meremukkan meja kayu itu.

Tak ada kata-kata dari pemuda berambut panjang itu. Hanya sebuah tatapan penuh kebencian yang seakan-akan siap untuk menerkam.

Nyali Edward mulai menciut saat melihat tatapan pelajar di belakang Sophia itu. Bagaimana tidak? Sosok itu bahkan digadang-gadang sebagai calon pelajar yang bisa naik ke kelas C di tahun berikutnya.

Bakatnya benar-benar diakui oleh para pengajar di kelas ini. Mencari masalah dengan orang seperti itu tentu saja merupakan keputusan yang bodoh.

“Cih, ayo kita pergi.” ucap Edward yang segera melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kelas ini. Beberapa pelajar lain mengikuti langkah kaki Edward, berusaha untuk mendekati keluarga besar Goldencrest itu.

Suasana kelas pun kembali hening. Tapi tak ada satu orang pun yang menyadari, bahwa serangkaian kejadian barusan akan memicu sebuah kasus terburuk di sepanjang sejarah akademi ini.

Dengan kepalan tangan yang kuat, serta emosi yang tak lagi mampu ditahan, Edward memutuskan untuk melampiaskan semuanya pada sosok yang menyebabkan semua ini.

‘Lucius Nightshade, lihat saja, akan ku beri pelajaran kau....’

.........

...

Sepulang dari akademi, Lucius berjalan sendirian melewati kita yang cukup ramai ini. Dalam perjalanan, Ia memperhatikan kehidupan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Banyak anak-anak yang berlarian kesana kemari sambil membawa makanan di tangan mereka. Juga pemuda dan pemudi yang berjalan berpasang-pasangan.

Sementara para pedagang dan pekerja sibuk memeras keringat untuk menghidupi diri mereka sendiri. Meskipun, dengan senyuman di wajah mereka.

‘Setelah aku lulus dari akademi ini dan memperoleh pekerjaan, maka giliranku untuk membahagiakan kalian semua. Ayah, Ibu, Michelle, juga teman-teman lain di desa....’ pikir Lucius dengan senyuman tipis di wajahnya.

Sebuah senyuman, yang tak mampu bertahan lebih lama lagi.

Semua itu karena ia melihat rombongan pasukan kerajaan yang baru saja kembali ke kota ini dengan banyak luka di tubuh mereka. Tak hanya itu, mereka semua menatap ke tanah.

Beberapa gadis nampak berjalan di depan rombongan pasukan itu sembari menebar bunga di sepanjang jalan.

“Bukankah Minggu lalu mereka berangkat dengan 3.000 lebih prajurit? Kenapa sekarang kurang dari setengahnya?” tanya salah seorang pedagang buah di pinggir jalan itu.

“Hah? Kau tak dengar kabarnya? Wilayah di perbatasan Utara Kerajaan Arathor diserang oleh pasukan barbar. Katanya mereka disatukan oleh barbarian bengis, siapa namanya.... Khaldur? Kholdur? Khalgath? Entahlah.”

‘Deg! Deg!’

Jantung Lucius tiba-tiba berdegup dengan sangat kencang. Kedua matanya terbuka lebar setelah mendengar perkataan salah seorang prajurit penjaga di kota ini.

“Hah.... Hah.... Wilayah perbatasan Utara? Jangan katakan apakah wilayah Riverdalle juga....”

“Hmm? Riverdalle? Wilayah subur dengan sungai yang cukup besar itu? Kabarnya Riverdalle telah hancur seminggu lalu, setidaknya itu kata komandan pasukan jaga di kota ini.”

Nafas Lucius tak lagi teratur. Bagaimana tidak? Riverdalle adalah wilayah dimana keluarganya tinggal. Sebuah wilayah di perbatasan Utara Kerajaan Arathor yang diberkahi oleh kesuburan.

‘Tidak.... Ini tidak mungkin! Bukankah Riverdalle memiliki cukup banyak prajurit penjaga? Mana mungkin pasukan barbar biasa bisa....’

Seketika, pikiran Lucius terhenti setelah menyadari keberadaan pasukan yang baru saja kembali ke kota ini.

Sebagian besar dari mereka mengalami luka parah, bahkan kehilangan tangan atau kaki mereka. Beberapa diantaranya bahkan tak lagi mampu berjalan dan hanya bisa ditandu oleh prajurit lainnya.

‘Pasukan barbar.... Apakah pernah sekuat ini?’ tanya Lucius pada dirinya sendiri sambil terus berlari. Tujuannya hanya satu, yaitu ke arah dinding Utara di kota ini untuk menanyakannya langsung pada komandan yang berjaga.

Mungkin disana, dirinya bisa menemukan jawabannya?

Tapi karena rasa panik itu lah, Lucius tak mampu memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan baik.

Dari balik salah satu gang di jalanan ini, seorang pelajar akademi muncul dan memukul kepala Lucius dengan balok kayu.

“Kughhhh?!”

Kesadarannya mulai memudar. Lucius mulai kesulitan untuk melihat atau pun mendengar apa yang ada di sekitarnya.

“Tuan Edward, selanjutnya apa yang akan kita lakukan padanya?” tanya pemuda yang baru saja memukul Lucius hingga tak sadarkan diri itu.

Dengan senyuman yang lebar, Edward pun berkata.

“Mari kita lemparkan dia dalam goa di hutan, kebetulan aku tahu sebuah goa yang menarik.”

“Eh? Ta-tapi bagaimana jika dia nanti mati? Bukankah itu buruk?” tanya pelajar yang membopong dan menyeret tubuh Lucius ke dalam gang gelap ini.

“Tenang saja. Ini hanya untuk sedikit memberinya pelajaran agar mau menyadari posisinya di akademi. Jika ada sesuatu yang gawat, kita akan segera menyelamatkannya dari sana.

Bahkan dengan itu, bukankah kita bisa membuatnya berhutang nyawa pada kita?” jelas Edward dengan senyuman yang semakin lebar.

“Whoaaah! Rencana yang sangat luar biasa, Tuan Edward! Sekali lempar, dua burung mati!”

“Tunggu apa lagi? Ayo cepat bawa dia kesana.”

Dengan tubuh yang tak lagi sadarkan diri itu, Lucius hanya mampu menyerahkan nasibnya pada takdir.

Chapter 2 - Sisi Gelap

“Uughh.... Dimana ini?” ucap Lucius dengan kesadaran yang sedikit demi sedikit mulai kembali pada dirinya.

Ia mulai melihat di sekitarnya hanya ada kegelapan. Suasananya juga terasa begitu lembab, dan tempat dimana dirinya tergeletak terasa begitu keras.

“Sialan.... Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa ada di sini?” tanya Lucius sekali lagi pada dirinya sendiri. Tentu saja, tak ada seorang pun yang menjawabnya.

Hanya sebuah kesunyian serta sesekali tetesan air yang mengenai tanah di goa ini.

‘Tik! Tik!’

“Ignite.” ucap Lucius singkat sambil menjentikkan jari di tangan kanannya.

Sebuah bola api kecil muncul di ujung jarinya. Menjadi penerang di tengah gelapnya goa ini.

Di sekitarnya, 4 buah lorong bebatuan yang masing-masing memiliki ukuran serupa. Dengan pikiran yang masih belum pulih sepenuhnya, Lucius hanya bisa memilih salah satu dari keempat lorong yang ada di dekatnya.

Berharap salah satunya akan menuntunnya pada jalan keluar.

Langkah demi langkah Lucius lalui di tengah gelap dan sunyi nya goa ini. Entah berapa lama dirinya berjalan. Tapi apa yang ditemukannya hanyalah jalanan yang semakin sempit dan lembab.

Tak lama kemudian....

“I-ini?! Tanda ini?! Ke-kenapa ada di sini?! Jangan katakan....”

Apa yang dilihat oleh Lucius di tengah goa yang gelap ini, adalah sebuah penanda terror yang mengerikan.

Yaitu sebuah tombak kayu yang pada ujungnya tertancap sebuah tengkorak manusia. Pada bagian belakang tengkorak tersebut terdapat bendera hitam yang robek dan lusuh.

“Jangan katakan.... Sarang Goblin?! Ti-tidak mungkin.... Tapi kenapa aku ada disini?”

Pada saat mempertanyakan hal itu, ingatannya sesaat sebelum dirinya tak sadarkan diri mulai kembali. Yaitu penampakan sekelompok orang dan rasa sakit di kepalanya.

Dengan pecahan ingatan itu, Lucius akhirnya paham apa yang terjadi padanya.

“Edward?! Tapi kenapa?! Kenapa dia sampai sejauh ini....”

“KRAAAAAKK!”

‘Deg! Deg!’

Jantung Lucius terasa seakan segera meledak saat mendengar teriakan mengerikan itu.

Selama pelajarannya di akademi, serta kehidupannya di pedesaan, dirinya tahu dengan sangat baik sumber dari teriakan itu.

Tanpa ragu, Lucius segera berlari. Kini menuju ke arah sebaliknya dimana dirinya sadarkan diri.

‘Jika ini semua perbuatan Edward, pastinya dia takkan masuk terlalu dalam di goa ini. Dengan kata lain, tempat aku sadarkan diri sebelumnya seharusnya cukup dekat dengan pintu keluar!’ pikir Lucius dalam hatinya.

Baru saja beberapa saat Lucius berlari, kini dari arah di depannya terdengar suara gesekan logam. Bersamaan dengan itu, pembicaraan dengan bahasa yang tak bisa dipahaminya dapat didengar.

‘Sreeeett.... Klaaangg! Klaaangg!!’

“Karakh tharr Dur?”

“Durr gath varash.”

“Gahh, gath varr un terra.”

Dari balik kegelapan itu, terlihat sekelompok makhluk yang menyerupai manusia kerdil dengan tinggi sekitar 1.2 meter. Tubuhnya memiliki kulit hijau gelap dengan cakar panjang di setiap jari jemarinya.

Mereka mengenakan pakaian kain sederhana yang telah robek di berbagai bagian. Termasuk juga zirah kulit ringan dan senjata ala kadarnya.

Tapi lebih dari itu, terdapat sesuatu yang menyita perhatian Lucius.

Yaitu salah seekor Goblin itu terlihat menyeret kepala seorang gadis. Rambut coklat panjang gadis itu terlihat berlumuran dengan darah. Sedangkan tubuhnya sendiri tak lagi berdaya.

‘Srruuggg!!!’

Tanpa berpikir panjang, Lucius segera menyembunyikan dirinya di balik bebatuan. Ia juga langsung mematikan sihir api yang digunakannya untuk menerangi tempat ini.

‘Sialan! Sialan!! Sialan!!! Dia benar-benar berniat untuk membunuhku?! Tapi kenapa? Kenapa?! Apa yang telah ku lakukan pada Edward dan keluarganya?! Kenapa?!’

Kekesalan dan keputusasaan mulai menyelimuti sekujur tubuhnya.

Dan tiba-tiba....

‘JLEEEBBBB!!!’

Sebuah tombak kayu menancap tepat di bahu kiri Lucius. Menembus kulit dan dagingnya dengan begitu mudahnya.

"Arrrghhh!!!" teriak Lucius kesakitan. Tangan kanannya sambil memegangi tombak kayu yang menancap di bahunya itu. Air mata mulai bercucuran karena rasa sakit yang dirasakannya.

"Karrgh! Varak durr!" ucap salah seekor Goblin itu pada temannya. Tak berselang lama, rekannya pun datang dan memberikan bantuan untuknya.

'Jleebbb!!! Zraaaashhh!!'

"Aaaaarrrrgghhhh!!!"

Rasa sakit kembali muncul. Kali ini akibat tusukan dan tebasan sebuah pedang tua di tangan Goblin itu. Melukai kedua kaki Lucius cukup parah.

Segera setelah itu, dua ekor Goblin mulai menarik kedua tangan Lucius. Menyeret tubuhnya di atas tanah, sama seperti gadis yang sebelumnya dilihatnya.

'Apa yang akan terjadi padaku? Kenapa.... Kenapa harus seperti ini? Aku.... Aku bahkan belum tahu bagaimana kabar keluarga ku.... Tapi kini....' pikir Lucius dalam hatinya dengan emosi yang campur aduk.

Rasa benci, kecewa, putus asa, juga amarah.

Tanpa sedikit pun kekuatan untuk melawan, Lucius hanya bisa terdiam menuruti apapun yang dilakukan para Goblin itu padanya.

Sedangkan darah di tubuhnya terus menerus mengalir di sepanjang jalanan goa gelap ini.

...........

Sementara itu di tempat yang sedikit jauh dari goa....

"Tu-Tuan Edward? Bukankah ini sudah cukup lama? Ha-hari juga sudah mulai gelap bukan?" tanya salah satu pengikut Edward.

"Jika Lucius dalam bahaya, bukankah itu akan cukup gawat bagi kita?" tanya pengikut yang lain.

Perkataan keduanya memang benar.

Selama berada di bawah naungan akademi, seluruh murid mendapat jaminan pembelajaran dan perlindungan yang layak.

Dan jika terdapat seorang murid yang terluka, atau bahkan mati, maka akademi akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Termasuk menghukum pelaku yang menyebabkan hal tersebut.

"Diamlah! Sekalipun dari kalangan rakyat jelata, dia juga murid akademi Damacia kan?! Tak mungkin dia akan mati begitu saja!" balas Edward kesal.

Semua orang pun terdiam. Tergambar dengan sangat jelas di wajah mereka bahwa semuanya khawatir atas keselamatan Lucius.

Setelah memikirkannya sejenak, Edward akhirnya luluh.

"Baiklah, akan ku turuti mau kalian. Aku yakin dia baik-baik saja di dalam sana." lanjut Edward yang mulai melangkahkan kakinya.

Akhirnya, kelompok Edward pun berjalan ke arah goa tersebut. Goa kecil di tengah hutan dimana mereka melemparkan Lucius kedalam.

"Luminus." ucap beberapa orang di kelompok Edward itu. Seketika, bola cahaya yang indah muncul di telapak tangan kanan mereka. Menerangi gelapnya goa ini.

Langkah demi langkah mereka lalui dengan perasaan santai. Tak ada rasa takut ataupun khawatir bagi mereka.

Lagipula, goa ini hanyalah goa biasa yang tak di huni oleh monster. Tak ada bahaya sedikit pun di dalamnya. Jika pun ada, itu hanyalah kemungkinan untuk tersesat di dalamnya.

Tentu saja....

Itu hanyalah anggapan mereka belaka dengan dasar dari berbagai rumor di kota.

Dan semua itu, seketika runtuh setelah mereka menemukan jejak darah di tanah.

"Tu-Tuan Edward?! I-ini kan?!"

Kedua mata Edward terbuka lebar. Bahkan bulu kuduknya seketika berdiri setelah menyadari apa yang ada di depan matanya.

"Kalian.... Sebelumnya tak ada jejak darah ini kan?" tanya Edward panik.

"Iya, sebelumnya sama sekali tak ada yang seperti ini...."

'Srriiingg!!!'

Dengan sigap, Edward segera menarik bilah pedang di pinggang kirinya. Mempersiapkan dirinya atas kemungkinan yang terburuk.

"Persiapkan diri kalian. Aku tak tahu apa yang menanti kita tapi.... Jika darah ini benar-benar milik Lucius...."

'Deg! Deg!'

Jantung mereka semua berdebar kencang. Rasa takut mulai memenuhi diri mereka di tengah gelap dan suramnya goa ini.

Dengan keberanian yang mereka paksakan, keenam orang itu pun menyusuri goa yang gelap ini. Mengikuti jejak darah yang ada di tanah.

'Lucius.... Jangan mati semudah itu.... Akan buruk bagiku jika kau mati....' pikir Edward dalam hatinya. Berharap agar Lucius baik-baik saja.

Chapter 3 - Neraka

'Deg! Deg!'

Langkah kaki Edward beserta kawan-kawannya seketika terhenti. Semua itu dikarenakan apa yang mereka lihat di tanah.

"Tu-Tuan Edward.... Ini.... Ke-kenapa ada dua jejak darah?"

Di hadapan mereka, kini terlihat dua jejak darah yang berbeda. Jarak antar keduanya tak jauh, juga masih terlihat baru. Dari apa yang dilihatnya, Edward dapat menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua korban di goa ini.

"Tapi siapa? Apakah ada orang lain?" tanya Edward kebingungan.

Belum sempat menjawab pertanyaan yang ada di hadapannya, Edward dan teman-temannya harus menghadapi masalah yang baru.

"Graaaarr.... Karthas durr valarr!"

Teriakan yang tak jelas apa artinya itu membuat Edward dan teman-temannya segera menoleh ke belakang.

Apa yang dilihat oleh mereka, adalah kawanan Goblin sejumlah 8 ekor. Salah satu diantaranya terlihat menyeret seorang anak kecil yang tak lagi bergerak.

"Go-Goblin?! Ja-jangan katakan Lucius...."

"Cih! Semuanya! Bersiap untuk bertarung!" teriak Edward sambil berusaha meredam rasa takutnya.

Sekalipun telah menempuh pendidikan di akademi, dirinya yang merupakan bangsawan tingkat tinggi, membuat Edward sama sekali tak memiliki pengalaman dalam pertarungan langsung.

Terlebih lagi, melawan monster seperti ini.

"Fleme!" teriak Edward dengan keras sambil mengarahkan tangan kirinya ke depan.

Seketika, lingkaran sihir seukuran telapak tangan berwarna merah muncul di hadapannya. Melontarkan bola api yang berukuran kecil ke depan.

'Swuooosshh! Blaaaarrr!!'

Bola api itu meledak sesaat setelah mengenai tubuh salah seekor Goblin. Membakar tubuhnya tanpa sedikit pun ampunan.

Sementara itu, tangan kanan Edward menggenggam erat pedang besinya. Bersiap jika Goblin itu menyerangnya dalam jarak dekat.

'Aku berhasil membunuh satu ekor? Bagus.... Jika terus seperti ini maka....'

Sebelum senyuman Edward menjadi semakin lebar, kenyataan dunia yang kejam menamparnya begitu saja.

'Swuuusshh! Jleebbb!!!'

Sebuah anak panah dari crossbow yang dibawa oleh salah seekor Goblin itu melesat dan menembus tubuh salah satu temannya.

"Aaaarrggg!!!"

Pada saat itu lah, Edward menyadari kesalahan terbesarnya. Bahwa saat ini, lawannya bukanlah sesama manusia yang akan mengalah atau memberikan waktu untuk bernafas.

Melainkan monster, yang bertahan hidup dengan membunuh.

"Graaaaahh! Sialan! Monster sialan seperti kalian!!"

"Cepat maju! Bunuh mereka!"

Terror yang mereka lihat menjadikan semua orang panik. Termasuk Edward. Hidup dan mati mereka ditentukan saat ini juga.

Dan jika tidak bertarung dengan niat untuk membunuh, maka mereka sendiri yang akan mati.

'Klaaangg! Ttraang! Klaaangg!'

Suara benturan antara pedang milik Edward dan teman-temannya terdengar begitu nyaring di tengah goa yang sunyi ini.

Tubrukan antara kedua belah pihak terlihat begitu kacau. Sama sekali tak ada formasi atau pun rantai komando yang jelas.

Sesekali, beberapa diantara mereka melontarkan sihir tanpa koordinasi dengan yang lainnya. Ledakan api dan hantaman tanah terjadi dimana-mana membuat mereka tak hanya melukai para Goblin, tapi juga teman mereka sendiri.

Tak ingin mengalah, para Goblin itu juga bertarung sekuat tenaga mereka. Menggunakan senjata apapun yang mereka miliki. Entah itu pedang, pisau, panah, atau bahkan hanya cakar dan taring mereka.

Hingga akhirnya, pertarungan yang berlangsung selama sekitar 3 menit itu mencapai akhir.

"Hah.... Hah.... Kalian tak apa-apa?" tanya Edward dengan tubuh yang dipenuhi luka tusukan pisau.

"Aku baik-baik saja tapi...." balas salah seorang yang kini menoleh ke samping.

Tatapannya tertuju pada salah seorang temannya yang tubuhnya tertusuk lebih dari 5 anak panah. Dia adalah korban paling parah dalam pertempuran ini.

Tapi bukan berarti yang lainnya tak terluka.

Mempertimbangkan hal ini....

"Kita akan kembali ke kota dan meminta bantuan pada penjaga. Jelaskan saja kalau kita bermaksud menjelajah, lalu salah satu teman kita tertangkap oleh Goblin." jelas Edward.

Teman yang dimaksudkan olehnya, tentu saja adalah Lucius.

"Tapi bagaimana dengan...."

"Diam! Jika goa ini benar-benar sarang monster itu, menurut mu berapa banyak yang ada di dalam sana?! Melawan 8 ekor saja sudah sangat berat bagi kita jadi diam dan ikuti aku!"

Semuanya hanya bisa menundukkan kepala mereka. Sekalipun ingin menyelamatkan Lucius, mereka tak memiliki cukup kekuatan untuk itu.

Karena itu lah....

'Lucius.... Ku harap kau masih hidup.' pikir Edward dalam hatinya.

...........

Sementara itu, jauh di dalam goa....

"Aaaaarrrgghh! Hentikan!! Hentikan!!! Apa yang kalian lakukan?! Berhenti!!!" teriak Lucius sekuat tenaga.

Ia tak lagi mampu menahan rasa sakit yang dirasakannya saat ini. Bagaimana bisa?

Karena saat ini, tubuhnya diikat kuat di sebuah tiang kayu. Sementara itu, lengan kirinya sedang dipotong oleh salah seekor Goblin menggunakan golok tua yang telah berkarat.

"Grrrr.... Kharr ghalass thurr!" ucap Goblin itu sambil sesaat menghentikan ayunan goloknya.

Lucius sama sekali tak tahu apa arti dari perkataan itu. Tapi melihat situasi saat ini, Ia bisa sedikit memahaminya.

Terutama setelah Lucius melirik ke arah lengan kirinya yang tak kunjung terpotong. Dagingnya hanya sedikit robek disana sini, namun golok tua itu tak mampu memotong tulangnya.

Darah mengucur dengan cukup deras di lengannya, dimana darah itu ditampung pada sebuah ember kayu. Entah akan digunakan untuk apa.

Di sisi lain, gadis yang dibawa bersama dengan Lucius juga memperoleh nasib yang tak kalah mengerikan.

"Aaaarrrgghh! Toloooooong!! Ku mohoooon!! Hentikan!!" teriak gadis itu sembari menangis.

Tubuhnya yang penuh luka tusuk dan memar di berbagai tempat, kini juga harus menjadi mainan bagi para monster keji itu.

Tanpa sedikit pun ampunan, sekitar 3 ekor Goblin 'menggunakan' tubuh gadis itu sesuka hati mereka.

"Grrr.... Gaah! Khaarr thalakh tuurr!"

Setelah berhenti mengayunkan goloknya sesaat, Goblin di hadapan Lucius kini kembali berusaha. Kali ini, Ia menargetkan pada pergelangan tangan kiri Lucius terlebih dahulu.

'Braaaakkk!! Klaaakkk! Klaaaakkk! Kreettaakkk!'

Suara hantaman golok besi pada pergelangan tangan kiri manusia terdengar begitu mengerikan. Darah terus menyembur di setiap ayunannya. Bersamaan dengan itu, teriakan rasa sakit menggema di tengah goa ini.

"Aaaaaaaarrrgghhh!!!"

Dalam pikiran Lucius hanya tersisa satu hal. Yaitu mengutuk semua orang yang menyebabkan dirinya saat ini harus berada di tempat ini.

Bukan hanya Edward yang terus menerus menindas dan mengintimidasi dirinya. Tapi juga mereka yang hanya diam di tempat saat semua itu terjadi.

Tapi....

'Untuk apa aku mengutuk mereka? Memangnya.... Aku bisa selamat dari sini?' tanya Lucius pada dirinya sendiri dengan air mata yang mengalir deras.

Bersamaan dengan itu, akhirnya pergelangan tangan kiri Lucius telah terpotong. Goblin itu mengambilnya dengan penuh bahagia sebelum segera mengikat lengan kiri Lucius bagian atas dengan erat.

"Hahaha! Garakh tarr valur!"

Sekali lagi, Lucius tak tahu apa arti dari perkataan itu. Tapi melihat kondisinya, seakan-akan berarti 'aku takkan membiarkanmu mati semudah itu'.

Setelah selesai menghentikan aliran darah di lengan kiri Lucius, Goblin itu segera membakar potongan tangan kiri Lucius di bara api unggun menggunakan pedangnya sebagai tusuk.

Dan setelah dirasa cukup matang, Goblin itu menikmatinya tepat di hadapan Lucius dengan senyuman yang lebar serta air liur yang mengalir dengan deras.

'Sialan.... Apakah aku akan benar-benar mati di sini?'

Keputusasaan mulai memenuhi pikiran Lucius. Lagipula, bagaimana dia bisa selamat dari tempat yang seperti neraka ini?

Satu-satunya jalan selamat yang dapat dilihat olehnya, hanyalah kematian yang membebaskannya dari semua rasa sakit ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!