NovelToon NovelToon

Kembalikan Anakku

Diantar Ke Panti

Mobil mewah mas Dani yang sampai sekarang tak juga aku hafal mereknya berhenti di depan panti asuhan tempat dimana aku tumbuh besar. Sebuah kejutan yang benar-benar tidak ku sangka. Sepagi ini dibawa ke sini. Entah apa tujuannya. Saat ku tanya, ia hanya mengatakan ingin memberi kejutan untukku.

"Kenapa ke sini, mas?" pertanyaan itu kembali ku ajukan. Netraku tak lepas memandangnya, berharap ia memberikan jawaban.

"Aku pikir kamu merindukan rumah lamamu. Makanya aku memberi kejutan ini." jawabnya, asal.

"Iya sih, aku rindu Bu Tari dan adik-adik panti. Tetapi kenapa tiba-tiba membawaku ke sini? Juga Sean, kenapa aku tak boleh membawanya serta? Kan Sean belum pernah ketemu ibu dan adik-adik di sini. Aku juga ingin ia mengenal keluargaku, sama seperti ia mengenal keluarga dari pihak mas." kataku.

Agak aneh sekali sebenarnya, pagi-pagi, mas Sean mengajakku pergi keluar. Katanya mau memberiku kejutan. Saat ku tanya kemana, ia tak memberi jawaban. Pun ketika aku ingin mengajak anak semata wayang kami yang baru berusia enam bulan, mas Dani, juga tak mengizinkan, dengan alasan Sean masih tidur. Tetapi, meninggalkan Sean begini membuatku was-was. Ini pertama kalinya aku keluar rumah tanpa Sean. Biasanya, bayiku tersebut selalu ikut kemanapun aku pergi karena ia masih asi, dbf langsung denganku.

"Turunlah. Aku akan menjemput Sean." Kata mas Dani.

"Kita jemput sama-sama saja." Kataku.

"Jangan. Sudah sampai di sini masa mau balik lagi. Turunlah. Toh di rumah ada Mama, kak Dira dan baby sitter yang akan menjaga Sean. Jadi kamu bisa tenang melepas rindu di sini." katanya lagi. "Aku hanya ingin menebus kesalahanku, sudah dua tahun kamu tidak pulang, padahal kita tinggal di kota yang sama. Anggap saja ini hadiah karena kamu sudah melahirkan Sean. Bersenang-senanglah, aku akan menjemputnya." Mas Dani kembali memberi isyarat agar aku segera turun.

Alasannya masuk akal. Aku menurut, turun dari mobil, tak lama mobil suamiku langsung tancap gas tanpa memberiku kesempatan untuk pamit. Bahkan sekedar mengucap salam. "Fiuff, dia benar-benar terburu-buru." aku bergumam.

Pulang kembali ke panti asuhan tempat aku tinggal dan tumbuh besar adalah sesuatu yang aku rindukan selama dua tahun ini, sejak aku menikah dengan mas Dani, secara tidak langsung ia melarang ku untuk kembali, bahkan sekedar berkabar pun dibatasi. Makanya, kami benar-benar putus komunikasi. Padahal aku sangat merindukan Bu Tari, perempuan yang telah mengasuh dan membesarkan aku yang sejak bayi sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuaku.

Bu Tari berteman baik dengan ibu kandungku, ia yang waktu itu juga kehilangan suaminya memutuskan mengasuh aku yang memang tak punya saudara lain. Bu Tari juga merawat anak-anak lain yang tak punya keluarga hingga jadilah panti asuhan ini. Bagiku, ia tak hanya seperti pengurus panti asuhan saja, tapi sudah seperti ibu kandung sendiri sebab jasanya begitu besar kepadaku. Kalau tak ada Bu Tari, mungkin aku tak akan tumbuh menjadi seperti sekarang dan dilamar oleh mas Dani, salah seorang pemuda rupawan dengan banyak pengagumnya karena berasal dari keluarga terpandang.

"Yana?" suara Bu Tari memanggilku. Suara yang begitu aku rindukan sebab dua tahun ini benar-benar tak pernah aku dengar.

"Ibu!" aku berlari menuju Bu Tari, memeluknya erat untuk melepas rindu.

"Kamu sudah datang?" tanya Bu Tari, sambil melirik ke kiri dan kanan, seperti mencari seseorang.

"Ibu tahu aku mau pulang hari ini?" aku balik bertanya, sebab tak memberi tahu kepulanganku.

"Oh eh iya,"

"Oh, pasti mas Dani sudah ngabarin ibu ya? Ihhh sama istrinya main rahasia-rahasia, tapi ibu dikasih tahu." aku yang semula kesal tiba-tiba ingat kalau ini kejutan. Ya jelas mas Dani nggak akan memberi tahu aku, kalau diberitahu itu namanya bukan kejutan. Kini aku malah tersenyum kecil. "Iya Bu, aku sudah datang. Tapi sendiri, padahal aku pengen ngenalin ibu sama Sean, putraku. Hari ini usianya enam bulan. Kata orang-orang yang melihatnya, Sean mirip aku banget lho Bu," Aku membuka Hp, memperlihatkan foto-foto Sean yang menggemaskan. "Lucu kan, Bu? Lebih mirip aku ketimbang papanya. Iya, kan, Bu?" aku terus bertanya. Sementara Bu Tari hanya mengangguk-angguk. Mungkin karena tak bertemu langsung, makanya ia biasa saja. Kalau sudah ketemu, tak akan ada orang yang tahan dengan kegemasan Sean.

"Yan, masuk yuk." ajak Bu Tari.

Aku yang ingat Sean, tak langsung mengikuti ajakan Bu Tari, melainkan mengirimkan pesan pada mas Dani, untuk mempertanyakan apakah ia sudah sampai di rumah, mengingat caranya membawa mobil tadi cukup ngebut, harusnya ia sudah sampai.

Sudah lima menit pesan terkirim, tetapi belum dibuka oleh mas Dani. Aku khawatir, jangan-jangan Sean bangun, butuh asi. Makanya ku putuskan untuk menelepon, tetapi tetap saja tak ada jawaban.

"Yan? Ayo masuk." Panggil Bu Tari lagi.

"Oh ya, sebentar ya Bu, aku mau memastikan kalau mas Dani sudah sampai rumah. Khawatir Sean terbangun. Anak itu biasanya kalau bangun, usai ganti popok maunya minum susu. Kalau enggak begitu, biasanya Sean rewel." kataku. "Kemana ya mas Dani? Kenapa pesan nggak dibalas? Telepon juga enggak diangkat." aku masih sibuk menatap layar Hp yang dahulu dibelikan mas Dani sebagai hadiah karena aku hamil Sean. Momen itu adalah masa yang paling membahagiakan, tak hanya untukku, tapi juga bagi suami, ayah dan ibu mertua, juga kak Dira dan suaminya. Mereka ikut bersuka cita. Mengawal dengan ketat saat aku masih hamil hingga Sean lahir. "Duh, perasaanku enggak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu. Apa sebaiknya aku kembali saja?"

"Nanti saja Yan, masuklah dulu. Mungkin suami kamu sedang mengurus bayi kalian, nanti juga pasti ia datang." Bu Tari membimbing tanganku masuk ke dalam panti asuhan.

Begitu masuk kembali ke tempat ini, pikiranku sempat teralihkan. Memori masa kecil itu langsung muncul kembali. Dimana aku tumbuh besar di sini, bersama teman-teman sesama anak panti. Kami bermain, belajar bahkan sesekali bertengkar. Dan dengan sabarnya Bu Tari merawat dan membesarkan kami. Bu Tari tak pernah marah ketika kami berulah. Ia dengan sabar akan menasihati kami satu-persatu. Itulah kenapa aku mengatakan ia seperti ibu pengganti yang Allah hadirkan tak hanya di hidupku, tapi di hidup seluruh anak-anak penghuni panti ini. Kasih sayangnya benar-benar tulus. Aku pun sangat menyayangi Bu Tari dan selalu berharap suatu saat bisa membalas kebaikannya, entah dengan cara apa.

Dilarang Pulang

Sudah dua jam berlalu, belum ada tanda-tanda Mas Dani akan datang. Telepon juga belum ada tanggapan. Aku berinisiatif menelepon ke telepon rumah. Tak berapa lama panggilanku dijawab oleh Bi Ika, kepala pelayan di sana.

[Bi, saya ingin bicara dengan pak Dani.] kataku.

[Maaf Bu, pak Dani tidak di rumah!] Klik. Ia langsung menutup telepon, membuatku bingung. Sikapnya masih saja sama seperti awal aku datang ke rumah itu. Tidak ramah. Seolah aku bukan bagian dari keluarga itu, padahal aku sudah menikah dengan majikannya, berarti aku juga majikannya juga.

Tapi itu semua tak terlalu penting, sekarang aku harus tahu dimana mas Dani berada. Apa jangan-jangan ia belum sampai ke rumah karena terjadi sesuatu di jalan?

Jantungku langsung berdebar kencang. Teringat tadi saat ia meninggalkan aku sambil mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Aku langsung khawatir, makanya buru-buru pamit pada ibu Tari, tetapi di tahan sebab Bu Tari khawatir melepasku sendiri.

"Tunggu sebentar Yan, biar ibu hubungi Wisnu, supaya dia nganter kamu pulang." kata Bu Tari, sambil berlalu mengambil Hpnya.

Tak berapa lama, Wisnu, salah satu anak asuh yang dahulu tinggal di panti ini datang. Ia seangkatan denganku. Usianya lebih tua dua tahunan dariku. Wisnu sekarang tinggal tak jauh dari panti ini, ia sudah punya rumah sendiri sejak bekerja di salah satu perusahaan swasta. Kata Bu Tari, Wisnu adalah salah satu anak asuhnya yang masih sering datang ke panti ini.

"Yan, apa kabar?" kata Wisnu.

"Baik, Nu." kataku.

Aku berusaha bersikap biasa meski sebenarnya masih kaku. Persahabatan kami sempat rusak sebab Wisnu menentang pernikahanku dengan Mas Dani dengan alasan yang tidak jelas. Belakangan baru ketahuan kalau ia menyukaiku, namun terlambat menyatakan karena esoknya aku akan menikah. Saat itu ku katakan padanya untuk menghormati keputusanku, kami berdebat cukup panjang, ia bahkan sampai menuduhku sebagai perempuan matre, menikahi Mas Dani hanya karena ia lelaki kata raya. Padahal tak begitu kenyataannya. Pernikahanku itu karena cinta. Sekalipun suamiku hanya lelaki biasa, aku akan tetap memilih sebab ia lelaki pertama yang berani serius menjalin hubungan ke jenjang pernikahan.

"Wisnu ... tolong antar Yana, ya. Ibu khawatir kalau ia pulang sendiri. Tadi datang ke sini diantar suaminya, pulangnya sebaiknya diantar juga." kata Bu Tari.

Meski berat, aku akhirnya setuju juga diantar oleh Wisnu. Ia memakai mobil temannya karena aku menolak naik motor dengannya.

"Kamu ternyata enggak berubah juga ya Yan. Standarnya sudah tinggi. Perempuan cantik kebanyakan memang biasanya begitu ya, pilih-pilih!" celetuk Wisnu.

"Aku nggak mau berdebat, Nu." kataku, menghindari perdebatan karena memang sekarang yang ada di pikiranku hanyalah suami dan anakku. Kemana mas Dani? Kenapa sampai sekarang nomornya tidak aktif dan kata bi Ita ia belum juga sampai di rumah.

"Karena kenyataannya memang begitu, kan?" tuduh Wisnu lagi.

"Ni, kamu itu bisa simpati sedikit nggak sih? aku sedang banyak pikiran. Suamiku sampai detik ini entah ada dimana. Ia seperti menghilang di telan bumi!' aku terpancing juga.

"Memang dia mau menghilang, kan." celetuknya lagi.

Aku memilih diam. Terus menjawab celotehan Wisnu sama saja menabuh genderang perang. Lebih baik menyimpan energi sendiri yang sudah cukup terkuras karena panik untuk mengetahui kondisi suamiku nantinya.

Sampai di depan pintu gerbang rumah besar mertuaku, aku segera turun. Berlari memanggil penjaga gerbang, agar mereka membukakan pagar setinggi dua meter itu. Aku ingin masuk ke dalam, bertemu Sean. Sudah waktunya memberinya asi. Tetapi, pak Ciko, ketua keamanan di rumah ini melarang dua orang satpam yang biasa berjaga membukakan pintu.

"Maaf Bu Yana, tapi kata pak Ciko Bu Yana dilarang masuk." kata satpam yang bernama Rizal tersebut.

"Dilarang masuk? Maksudnya bagaimana? Saya istrinya mas Dani, ibunya Sean, menantu di rumah ini. Kenapa dilarang masuk, ini kan rumah saya juga? Memangnya ada apa? Lalu, bagaimana caranya saya bisa ketemu putra saya kalau saya engga bisa masuk?" Aku mengajukan banyak pertanyaan. Tetapi satpam itu tak bisa menjawab satupun pertanyaanku.

"Maaf ibu, tetapi itu perintah. Mohon mengerti, saya nggak bisa membiarkan ibu masuk." satpam itu langsung pamit, ia kembali ke pos yang berada beberapa meter dari gerbang.

"Hei hei tunggu dulu, jangan pergi!" aku berteriak histeris. Tak paham dengan ini semua.

Apakah ini mimpi? Aku mencoba mencubit tanganku. Sakit. Jadi ini bukan mimpi? Lalu kenapa semuanya jadi begini?

Tadi, semuanya baik-baik saja. Begitupun hari-hari sebelumnya. Tak ada yang janggal. Akupun sangat yakin tak melakukan kesalahan yang membuatku harus di usir dari rumah besar ini. Tetapi kenapa sekarang aku gak boleh pulang?

Mas Dani kemana? Bagaimana dengan kondisi Sean. Bayiku itu pasti rewel sebab sudah hampir tiga jam tidak mendapatkan asi. Aku benar-benar bimbang dibuatnya.

"Pak tolonglah pak, bukakan gerbang ini. Anak saya di dalam. Suami saya enggak tahu ada dimana. Dari tadi saya tidak bisa menghubunginya. Kalau tidak, tolong panggilkan Mama mertua saya. Izinkan saya bicara dengannya sebentar saja." pintaku sambil sedikit berteriak agar satpam itu mendengar. Tapi hasilnya nihil.

Tak ingin menunggu lebih lama lagi, aku kembali menelepon ke rumah. Lagi-lagi bi Ita yang mengangkat telepon, ia mengatakan padaku agar tak lagi menghubungi telepon rumah ini karena hasilnya akan sia-sia saja.

[Anda itu bukan bagian dari keluarga ini. Waktu anda sudah berakhir, jadi sekarang pergilah dari rumah ini. Paham!] bentak Bi Ita.

[Apa maksudnya? Jangan sembarang bicara. Saya itu istrinya mas Dani, ibunya Sean. Lagipula kalaupun waktu saya sudah habis yang entah apa artinya, tolong keluarkan putra saya dari sana. Sekarang saya ada di gerbang depan. Saya ingin ketemu Sean. Saya mohon dengan sangat untuk membawanya keluar.] pintaku.

[Heh, paham nggak. Sudah dikatakan kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Sudah sana pergi, kembalilah ke asal kamu. Jangan pernah berharap menjadi nyonya di keluarga ini karena kamu nggak pantas menjadi istri pak Dani.] kata bi Ita, lalu menutup telepon.

Nafasku rasanya sesak. Ada banyak pertanyaan yang membuatku tak bisa berpikir jernih. Ada apa ini. Kenapa para pekerja di rumah ini berani melarang ku masuk ke dalam? Padahal jelas-jelas aku adalah menantu di keluarga ini.

Awal datang ke sini, tak ada seorangpun yang berani bersikap seperti itu meski aku tahu Bi Ita gak menyukaiku. Ia selalu melayani segala keperluanku dengan ogah-ogahan, namun tak berani menunjukkan secara langsung ketidak sukaannya tersebut, tapi entah kenapa sekarang ia malah begitu lancang.

Siapa Yang Menculik Sean

"Aku nggak boleh masuk ke dalam." Kataku pada Wisnu, aku tak punya pilihan lain selain bicara dengannya padahal butuh teman untuk diskusi. "Padahal ada anakku di sana. Aku ahrus bertemu Sean, ia membutuhkan aku saat ini. Lalu sekarang aku harus bagaimana? Suami tak bisa dihubungi, mertua bahkan kakak ipar pun tak menghiraukan aku. Semuanya sulit dihubungi. Sementara, satu-satunya yang bisa aku hubungi hanya Pembantu di rumah ini, namun ia menolak memberikan informasi, bahkan terang-terangan mengusirku. Ini benar-benar aneh." Kataku. Air mata itu akhirnya tumpah juga. Sebagai seorang ibu, meski berusaha setegar mungkin namun tetap saja aku tak bisa.. perahananku runtuh juga. Aku tak bisa menahan rasa rindu pada Sean dan rasa khawatir yang amat tinggi pada suamiku. "Kenapa diam saja? Jangan seperti patung. Bicaralah!" Kataku pada Wisnu yang masih menutup mulutnya, seolah apa yang aku katakan tadi hanya angin lalu.

"Aku harus bicara apa?" Ia balik bertanya, seolah kejadian ini bukan apa-apa.

"Kamu benar-benar nggak punya hati ya, Nu. Aku seorang istri yang nggak bisa menghubungi suamiku, nggak tahu bagaimana kondisi anakku sekarang dan butuh masukan dari kamu tapi kamu enggak bisa memberikan sedikit saja masukan untukku? Setidaknya sebagai seorang manusia kamu bisa prihatin kan padaku?" Aku semakin meradang.

"Yang nggak punya hati itu bukan aku, Yan. Tapi suami kamu. Ngerti! Harusnya, ia yang dahulu kamu bangga-banggakan itu bisa memberikan ketenangan untuk kamu, bukan dari aku yang nggak berguna untuk kamu. Sadarlah Yana, kamu tak diharapkan di sini, kamu hanya dimanfaatkan. Sekarang lupakan saja semuanya dan mulai hidup baru!"

"Tega ya kamu?" Aku menatap Wisnu tak percaya. Dalam situasi seperti ini ia masih memikirkan perasannya. Sekarang ini sangat urgent, ada seorang ibu yang tak bisa bertemu anaknya padahal anaknya harusnya mendapatkan asi sejak beberapa jam lalu. "Antarkan aku ke kantor polisi!" Kataku.

"Hah, ngapain?"

"Aku akan melaporkan satpam dan pembantu itu karena melarangku masuk. Kapan perlu aku akan membuat mereka di penjara."

"Kamu yakin bisa melakukan itu? Bukannya mereka hanya pembantu dan satpam yang melaksanakan sesuatu karena perintah?"

"Apa maksudnya?"

"Ya cerna saja sendiri, Yan."

Aghhh, aku benar-benar bingung. Nggak tahu harus berkata apa. Kepalaku nyaris pecah sementara badanku mulai nyeri karena tak bisa memberikan asi. Saat seperti itu, Wisnu malah memberi usul agar kami pulang ke panti saja sebab aku butuh istirahat. Tapi sebesar bukan itu yang aku butuhkan. Aku butuh anakku. Okelah tak bisa ketemu mas Dani, tak tahu keberadaannya. Aku masih bisa menahan diri tapi tidak dengan anakku. Ia masih bayi, batu masuk enam bulan dan sangat membutuhkan aku. Bagaimana mungkin aku bisa berjauhan dengannya. Rasanya sangat menyesal sekali kenapa tadi mau pergi begitu saja tanpa membawa Sean. Sekarang anak itu pasti menangis mencari-cari aku ibunya.

Air mataku tak bisa berhenti. Aku kembali turun, memohon pada satpam agar membukakan pintu. Bahkan aku berjanji akan menanggung semua akibat kalau ada yang marah jika gerbang ini dibuka.

"Pak saya mohon, anak saya ada di dalam. Saya harus bertemu anak saya. Usianya masih enam bulan, bapak tahu kan anak bayi membutuhkan ibunya. Saya hanya ingin anak saya. Setelah itu kalau saya harus keluar nggak apa-apa tapi tolong ijinkan saya ketemu anak saya dulu. Kasihan dia, pak. Tolonglah." Pintaku sambil menangis, bahkan aku nyaris berlutut agar ia mau membuka gerbang.

"Ibu maaf, bukannya saya nggak kasihan pada ibu. Saya tahu ibu pasti sangat sedih sekali tapi saya nggak bisa melakukannya Bu karena begitulah perintah yang diberikan." Satpam itu bicara dengan mata berkaca-kaca. "Bu," ia sedikit berbisik. "Ini sebenarnya rahasia dan saya tak bisa memberitahu ibu tapi percayalah, informasi yang saya sampaikan ini benar. Putra ibu sudah tidak di rumah ini." Katanya.

"Apa? Sean tidak di sini? Bagaimana mungkin anda berkata begitu? Tapi pagi saya meninggalkan Sean di sini kok. Dia masih di kamar. Masih tertidur saat saya pergi bersama suami saya. Jadi siapa yang membawanya pergi? Enggak mungkin kan bayi enam bulan pergi sendi?"

"Ya Bu, ada yang membawanya, naik mobil. Tak lama diikuti mobil nyonya dan tuan besar. Lalu mobil ibu Dira dan suaminya. Jadi ada tiga mobil yang meninggalkan rumah ini. Saya tidak tahu apakah mereka pergi bersama atau tidak tapi yang jelas mereka sudah tak ada di rumah ini. Di sini hanya ada para pembantu dan kepala keamanan. Hanya itu saja Bu. Jadi percuma kalau ibu mencari den Sean di sini sebab ia tak ada di sini." Kata satpam itu

Tak ada alasan untuk tak percaya sebab dari mimik wajahnya aku tahu ia jujur. Sejak awal ia juga berlaku sopan kepadaku. Ia sangat menghormati aku layaknya majikan seharunya. Hanya saja yang membuatku bingung, kemana Sean pergi dan siapa yang membawanya? Juga kemana papa, mama mertua, kak Dira dan suaminya? Juga dimana mas Dani berada? Aku lagi-lagi dibuat bingung, dipaksa memecahkan teka-teki yang tak ku mengerti.

"Jadi sekarang saya harus bagaimana?" Tanyaku.

"Sebaiknya ibu lapor ke polisi saja sebab saya tak tahu harus memilih jalan apa lagi. Menunggu di sini hanya akan sia-sia. Saya malah tidak yakin mereka akan kembali. Tapi kalau mereka kembali saya akan mengabari ibu." Satpam itu memberikan sepotong kecil kertas berisi nomor Hpnya. Ia mengatakan agar aku mengirimkan nomorku agar nanti saat Sean datang kembali maka aku bisa menghubungi nomornya.

"Baiklah, terimakasih banyak pak. Saya tak akan pernah melupakan kebaikan bapak." Kataku. Berulang kali aku menundukkan kepala padanya sebagai ucapan terimakasih. Lalu bergegas naik ke mobil Wisnu untuk minta diantar ke kantor polisi. Tapi lagi-lagi Wisnu menolak.

"Memangnya ada apa, Yan? Kenapa harus lapor polisi? Anakmu ada di rumah kalian sendiri kenapa juga harus lapor polisi?" tanya Wisnu dengan entengnya. Ia tak juga prihatin padahal aku sudah berlinang air mata menjelaskan semuanya. Seorang ibu yang tak bisa bertemu bayinya tak akan bisa baik-baik saja seperti yang ia katakan.

"Kamu ya, nggak bisa merasakan prihatin sama orang lain. Benar-benar nggak punya perasaan. Kalau kamu enggak mau membantu ya sudah, aku bisa pergi sendiri!" Kataku dengan kesalnya. Lalu bergegas turun dari mobilnya, menyetop taksi yang kebetulan lewat. Aku tak akan berharap di tolong oleh manusia seegois Wisnu. Rupanya ia masih belum melupakan kemarahannya. Hanya karena ditolak makanya ia benar-benar membenciku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!