NovelToon NovelToon

Jiwa Yang Tertukar

1. awal kejadian

Begini nih kalau, punya anak cewek tapi kelakuan seperti laki. Bukannya bantuin masak atau bersih-bersih malah manjat pohon jambu," omel seseorang pada sang anak karena kelakuan Nara, yang sangat bar-bar dan terlihat layaknya seorang lelaki.

"Mak, daripada Mak ngomel mulu mending tidur dah, pusing dengernya." Nara membantah ucapan emaknya dengan nada kesal.

Yah, perempuan bernama Naraya atau yang kerap dipanggil Nara. Berusia 20 tahun, kebiasaan jika berada di rumah selalu bergelantung di pohon jambu belakang rumah layaknya monyet.

Kelakuan bak laki-laki dan pekerjaannya pun sama persis yang digeluti oleh kebanyakan kaum adam. Yakni bengkel dan tingkahnya juga membuat mak Rohaya hanya mengelus dada, akan sifat sang anak.

"Kamu itu ya kalau di kasih tau. Ingat umur kamu sudah berapa! Kalau begini terus yang ada kamu jadi perawan tua," ucap mak Rohaya memperingati sang anak untuk merubah semuanya dari dalam tubuh Nara.

"Ya ela Mak, kalau jodoh gak akan ke mana! Nanti juga bakal dapat." Jawab Nara pada emaknya, dan selalu saja begitu jika diberitahu.

"Kamu ya. Jawab terus," omel mak Rohaya lagi entah harus berbuat apalagi untuk merubah sang anak.

Pernah suatu hari dipertemukan dengan sosok lelaki anak dari temannya. Bukannya hubungan baik yang terjalin. Justru Nara memukul habis anak dari temannya hingga teman dari mak Rohaya memaki-makinya dengan berbagai umpatan.

"Udah ah, aku mau tidur. Capek denger Mak ceramah mulu," ucap Nara lalu ia pun turun dari pohon jambu dan segera masuk ke dalam.

"Iya udah sana tidur, dan semoga saat kamu terbangun menjadi laki-laki di kehidupan lain beneran, sekalian kan daripada nanggung." Ucapan dari mak Rohaya tidak di gubris dan Nara pun langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur.

………….

Beberapa saat kemudian.

Aaaaaaaaaaa.

Lelaki yang baru saja terbangun dari tidurnya, dan pada saat ingin ke kamar mandi. Namun, siapa sangka jika ada yang berbeda di area sensitifnya.

"Angga! Kamu kenapa"? tanya seseorang yang langsung menghampiri putra semata wayangnya itu kala berteriak dengan sangat histeris.

" Mama, anu Ma itu tadi ada kecoa." Jawab Angga pada sang mama, karena tidak mungkin juga ia mengatakan yang sebenernya.

"Kamu kan laki, masa ia gitu saja sudah takut." Setelah mengatakan itu, mama Rena pun bergegas keluar lagi dari kamar mandi, dan hendak melanjutkan acara memasaknya.

Sedangkan Angga yang berada di dalam kamar mandi, merasa ada yang aneh.

"Kenapa gue jadi punya ginian sih, terus ini gue di tubuh siapa lagi." Angga pun bergumam seraya menahan kesal karena tiba-tiba saja dirinya menjadi seorang pria, yang seharusnya dirinya kan wanita.

Aneh bin ajaib, pikir Angga. Bagaimana bisa semua ini terjadi dalam waktu sekejap.

"Ini wajah lumayan tampan, tapi kenapa di kepala gue ada bandana?" Angga pun bertanya-tanya bukankah tubuhnya seorang pria. Yang paling membuatnya geli, sekarang dirinya sedang mengenakan kaos berwarna pink, dan bergambar hello kitty.

"Kalau gue ada di tubuh banci kaleng, terus tubuh gue gimana? Apa tubuh gue bakal koma dan apa gue juga bisa kembali ke tempat asal dimana tubuh gue berada?" Angga terus memikirkan akan nasib tubuhnya yang entah bagaimana, lalu kenapa juga dirinya harus berada di tubuh pria banci. Itu sungguh tidak lucu pikir Angga.

Angga yang masih tertegun menatap wajahnya di pantulan kaca. Tiba-tiba saja dikagetkan dengan suara mama nya.

"Angga, kau sedang apa di kamar mandi. Cepatlah keluar!" teriak mama nya Angga, karena hampir satu jam anaknya berada di kamar mandi dan tak kunjung keluar.

"Bentar Ma, ini masih mules!" balas Angga karena ia masih tidak percaya dengan apa yang sekarang terjadi.

Tak berselang lama. Angga sudah berada di meja makan. Untuk menikmati makan malamnya karena sekarang, sudah pukul tujuh.

Mama Rena merasa aneh dengan sikap Angga, dan suaminya ternyata belum menyadari seperti yang dirasakan olehnya.

Mama Rena terus menatap ke arah Angga dengan sangat serius, dan pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Angga, tumben kamu pakai tangan. Biasanya juga kamu pakai sendok?"

Uhuk.

Uhuk.

Uhuk.

Angga tersedak saat mendengar ucapan mama Rena.

Lalu seketika ayahnya pun menoleh untuk melihatnya.

"Memangnya kenapa Ma, kalau aku pakai tangan. Menurutku ini lebih nikmat," ucap Angga dengan sedikit ragu karena jika di rumahnya sendiri, maka Nara akan memakai tangan pada saat makan.

"Gak papa, tapi aneh saja saat Mama melihat kamu menggunakan tangan." Jawab bu Rena pada Angga.

"Terus suara manja kamu sembuh, apa doa Mama di kabulkan oleh Tuhan."

Uhuk.

Uhuk.

Angga tersedak untuk kedua kalinya.

"Apa maksud orang ini, apa aku anak yang menyusahkan sampai-sampai meminta pada Tuhan?" di dalam hati Angga terus mengoceh tidak jelas, karena menurutnya keluarga ini sangatlah aneh.

"Sudah-sudah. Ini kan waktunya makan, dan untuk kamu Angga! Harusnya kan memang begitu kamu itu adalah laki-laki dan bukan perempuan. Jadi, rubah lah sikap dan kelakuan kamu." Ayah Angga pun menengahi perdebatan antara anak dan istrinya karena itu sangat mengganggu makan malamnya.

"Ayah nih apaan sih," dengus mama Rena yang tanpa sengaja menolak perubahan sang anak.

Lelaki tua itu tidak menjawab, jika menjawab pun pada akhirnya dia juga yang kalah.

………

Sedangkan di rumah mak Rohaya.

Mak Rohaya dibuat senang dan juga merasa aneh, karena tiba-tiba saja Nara ikut membantu memasak untuk makan malam. Dengan lihai jemari-jemari lentiknya itu bermain-main dengan pisau dan juga bawang-bawangan untuk menumis.

"Na, kamu sehat kan?" mak Rohaya pun langsung meletakkan tangannya ke arah kening Nara, dan memastikan jika anaknya sedang tidak demam.

"Mama ini apaan sih."

Huh.

Mak Rohaya sungguh terkejut, sepertinya anaknya tadi sempat terbentur hingga membuatnya lupa ingatan.

"Kamu sehat, dan otak kamu waras kan?" kata mak Rohaya.

"Mama, aku ini sehat, lagian kenapa sampai segitunya sama aku." Jawaban dari mulut Nara, membuat mak Rohaya mendelikkan matanya lebar-lebar.

"Apa aku sedang bermimpi," ucap mak Rohaya sambil mencubit pipinya sendiri.

Auh.

"Ini nyata," kata mak Rohaya lagi.

"Kamu biasanya manggil juga Mak, kenapa berubah jadi nyeremin gitu panggilannya." Mak Rohaya pun berujar dengan tatapan layaknya seseorang sedang mengintrogasi.

"Memangnya gak boleh ya? Aku mau ke kamar mandi bentar," ucap Nara dengan langkah kemedok.

Sesampainya di kamar mandi, Nara pun bercermin dan merasa jika ini bukanlah tubuhnya, makanya dirinya merasa asing dengan rumah sederhana ini.

"Duh, kebelet pipis aku nya." Nara pun segera berdiri di kloset, namun pada saat ingin memegang sesuatu. Nara merasakan keanehan hingga dirinya terpaksa untuk melihatnya dan.

Ahhhhhhhhhh.

"Burungku ke mana … Ahhhhhh tidak!"

2. Jiwa yang tertukar

Mendengar Nara berteriak membuat mak Rohayah bergegas menghampiri anaknya. Takut terjadi apa-apa hingga beliau langsung mendobrak pintu kamar mandi tersebut.

"Nara, kamu kenapa?" mendengar itu Nara langsung menoleh dan menatap wajah mak Rohayah. Sepertinya tidak mungkin jika dirinya mengatakan apa yang membuatnya berteriak.

"Itu Ma, ada tawon. Iya tawon yang hampir menyengatku," kata Nara pada emaknya yang terpaksa harus berbohong. Tidak mungkin baginya jika harus mengatakan kalau dirinya, tengah kehilangan sesuatu di tubuhnya.

"Tumben takut sama tawon," ucap mak Rohaya karena menurutnya. Nara sama sekali tidak punya rasa takut sedikitpun walau itu hewan melata sekalipun.

"Kan beda Ma, itu kan tawon dan bisa menyengat." Nara pun membantah dengan ekspresi yang sulit diartikan, tidak lupa bibir yang monyongkan. Lantaran merasa sebal pada mak Rohayah.

"Sudahlah, kamu ini mengganggu saja." Setelah berucap mak Rohaya langsung pergi dan melanjutkan. Pekerjaannya yang belum terselesaikan.

Sedangkan Nara menatap wajahnya di pantulan kaca. Menatap wajahnya dengan seksama, seakan ingin menertawakan dirinya sendiri di depan cermin.

"Cantik, cantikan aku, ini mah wajah bringas. Ih geli banget deh kenapa banyak bulu di kaki perempuan ini. Lagian siapa sih ini cewek jorok banget deh," gerutu Nara karena merasa jika tubuhnya kini sama sekali tidak terawat, dan membiarkan bulu-bulu itu tumbuh, di kaki serta ketiaknya.

…..

Pukul delapan pagi. Mak Rohaya berteriak memanggil Nara. Seharusnya kan anaknya sekarang sudah bersiap untuk berangkat ke bengkel, namun siapa sangka jika Nara di saat keluar dari dalam kamar. Tengah menggunakan makeup dan berdandan, dan itu membuat orang tuanya tidak jadi untuk memarahinya.

"Nara, kamu cantik banget." Mak Rohayah pun memuji Nara karena begitu sangat cantik.

Tentu cantik dong Mama, secara aku kan perempuan." Jawab Nara dengan suara yang dibuat-buat.

"Bangga bener kalau ada yang muji. Udah dah sana berangkat ke bengkel," ujar mak Rohayah pada Nara, dan itu membuat Nara seketika terdiam. Lalu senyuman yang sebelumnya mengembang, kini berubah masam.

"Kenapa itu muka?" mak Rohayah lantas bertanya dengan tatapan aneh.

"Duh bengkel, aku kan bisanya masak, buat kue sama dandan. Kenapa pula harus ke bengkel," ucap Nara dalam hati karena tidak habis pikir. Kenapa juga dirinya berada di tubuh perempuan.

"Ini itu semuanya karena ayah! Coba saja kalau ayah gak bilang seperti itu. Mana mungkin sekarang jadi perempuan beneran," gerutu Nara di dalam hati lagi.

Sekarang ia bingung, urusan perbengkelan. Nara sama sekali tidak punya skill, dan sekarang harus dihadapkan dengan keadaan seperti ini. sungguh menyebalkan pikirnya saat ini.

Nara sedari tadi hanya mondar-mandir karena sedang terjebak di tubuh seseorang membuat pikirannya kacau. Sedangkan mak Rohayah terus memanggil-manggil Nara, untuk segera keluar dari dalam kamar mandi.

Akhirnya, dengan satu helaan nafas. Lalu tidak lupa meniup poni ke atas. Jauh lebih baik dan ia pun segera keluar.

Jika Nara sedang pusing dengan pekerjaannya. Lain halnya dengan Angga, yang pusing dengan isi lemarinya.

……….

"Ini baju apaan sih, kok gini amat. Emangnya gue anak bayi apa!" gerutu Angga karena melihat semua baju tak ada yang sesuai, dengan keinginannya.

"Wah, parah bener ini orang. Gue semakin yakin kalau pemilik tubuh ini itu banci kaleng," ucap Angga lirih. Sambil terus memilih baju dan celana yang ingin dikenakannya.

Ludes sudah satu lemari di acak-acak oleh Angga. Siapa sangka jika dirinya menemukan harta karun yang yang sangat menjijikkan.

Yah, sebuah CD, dengan beragam warna layaknya pelangi.

"Idihhh … sumpah ya, jijik gue." Angga mengambil kain dengan bentuk segitiga dengan rasa mual, ia tidak habis pikir dari kesekian barang tersebut. Tidak menemukan tempat meletakkan burung camar khusus punya pria. Dalam benaknya apakah lelaki itu memakai barang yang sering dipakainya. Ah sungguh tidak masuk akal.

"Baru, bisa juga gue pakai." Angga pun berkata sembari membolak-balikkan kain berbentuk segitiga tersebut.

Sedangkan Angga yang masih memunguti semua baju yang berada di kasur. Samar-samar ia mendengar seseorang tengah memanggilnya.

"Angga sayang! Keluar dong." Mama Angga pun menggedor pintu karena anak lelakinya sedari tadi. Belum juga menampakkan muka.

"Sebentar!" sahut Angga dari dalam.

"Bantuin Mama masak," teriak mama nya lagi.

"Huh masak." Seketika Angga tercengang karena tidak begitu fasih dengan alat per-dapuran meski dirinya di rumah mak nya dulu, kerap mendapat omelan karena tidak bisa memasak.

Sesaat.

Ceklek.

Suara pintu terbuka, dan terlihat wanita yang sangat cantik dan masih segar. Walau usianya sudah tak lagi mudah. Dengan menatap Angga dengan intens hingga sosok yang ditatap merasa tidak nyaman.

"Ke-napa Mama natap aku seperti itu?" Angga pun bertanya dengan suara yang sedikit gemetar. Pasalnya sekarang dirinya berada di rumah orang kaya, dan segala fasilitas sudah tersedia. Namun, lagi-lagi dirinya merasa asing karena rumah yang di tinggali sekarang. Bukanlah tempat sesungguhnya. Akan tetapi, ia juga harus lihai dalam berperan. Agar identitasnya tidak membuat orang curiga.

Mama Rena hanya bisa menggeleng kecil, melihat tingkah putranya sekarang.

"Kamu ngapain saja sih di dalam kamar. Buruan gih masak," titah sang mama. Namun, belum sempat Angga berjalan langkahnya dihentikan oleh ayahnya.

"Ngga, pohon mangga udah pada berbuah. Petik sana lumayan kan kalau ada yang sudah masak," ucap sang ayah yang mencegah Angga untuk ikut memasak mama Rena.

"Papi gak bisa gitu dong, Angga kan mau bantuin Mama masak." Mama Rena pun tidak terima karena sedari tadi ia menunggui sang anak. Namun, dengan mudahnya suaminya justru menyuruh Angga untuk memanen mangga, di halaman belakang.

"Angga itu anak laki. Jangan keseringan di ajari layaknya perempuan. Memangnya kamu mau anakmu jadi tulang lunak," ucap suami dari mama Rena.

"Memangnya ayam apa! Kok bisa-bisa Papi bilang seperti tulang lunak," ujar mama Rena yang semakin kesal karena ucapan suaminya itu.

"Lha emang iya kok, Angga itu gak ada jiwa lelakinya! Makanya Papi ajari bagaimana sikap seorang lelaki tulen."

"Alah, itu mah cuma akal-akalannya Papi kan, supaya Angga gak bisa kerjain ini itu." Mama Rena menatap kesal ke arah suaminya. Dengan tatapan sinis ia pun pergi meninggalkan pak Prabu.

"Gini nih, kalau anak laki tapi dibuat seperti perempuan. Lunak kan tulangnya," gumam pak Prabu sambil berjalan ke arah halaman belakang. Untuk melihat Angga memanen mangga. Sedangkan mama Rena dengan terpaksa hari ini masak sendiri tanpa ditemani oleh anaknya.

Sesampai di halaman belakang.

"Sepertinya manjat kali ya, biar cepet." Angga berkata lirih dan siap untuk naik. Baginya memanjat hal yang mudah untuknya.

Beberapa menit kemudian. Angga dengan sengaja ingin mengerjai ayahnya, dan tiba waktunya saat pak Prabu. Tepat di bawahnya.

Huaaaaaa.

Aaaaaaaa.

Setaaaaan.

Byurrrr.

3. semua karena tulang lunak

Akhirnya, pak Prabu terjebur di kolam ikan. Mungkin saking terkejutnya kala Angga mengagetkan ayahnya tadi.

"Dasar anak durhaka, bisa-bisanya orang tua di kerjain." Pak Prabu mendengus kesal karena kelakuan Angga yang tiba-tiba suka jahil. Padahal anaknya tak sekalipun berlaku seperti ini sebelumnya.

Mendengar keributan di halaman belakang. Mama Rena pun langsung melihat, untuk memastikan apa yang diperdebatkan oleh dua laki-laki tersebut.

"Papi!" Melihat suaminya terjebur di kolam. Mama Rena lantas langsung menghampiri sang suami.

"Papi, Papi kenapa nyemplung. Bukannya ikannya di kasih makan malah berendam. Memangnya tadi gak mandi?" sebuah pertanyaan konyol keluar dari mulut sang istri. Sehingga membuat pak Prabu langsung menepuk jidatnya.

Sedangkan Angga yang masih bergelantung di atas pohon. Merasa perutnya sakit akibat menahan tawa.

"Sungguh manusia aneh," batin Angga sembari tertawa.

Menyadari kedua orang tuanya sedang memelototinya. Membuat Angga seketika bungkam, dan tidak lagi tertawa.

Ada yang aneh dari pemandangan tersebut. Setelah menatap Angga yang bergelantung. Pasangan pasutri pun saling tatap. Pasalnya ini adalah pemandangan langka bagi mereka berdua. Bagaimana bisa, Angga yang seorang tulang lunak bisa memanjat pohon mangga. Sampai bergelantung pula, itu mengapa keduanya merasa aneh.

"Apa jangan-jangan anak kamu sudah tobat, atau habis terjungkal?" pak Prabu berucap dengan keadaan yang masih tercengang.

"Sepertinya anak kita semalam habis dapat Wahyu, dan pada akhirnya jadi tulen." Jawab mama Rena dengan bahu yang terangkat.

Keduanya saling berbisik, hingga membuat Angga penasaran. Apa yang sedang mereka bicarakan.

"Kalian sehatkan," kata Angga yang tiba-tiba menghampiri ayah dan mama nya.

"Memang kami ini sakit apa!" seru pak Prabu pada Angga.

"Iya kali saja. Kalian habis terjungkal makanya sekarang jadi aneh," ujar Angga dan bersiap untuk memunguti mangga, yang ia ambil tadi.

"Bukan kami yang aneh, tapi kamu!" timpal mama Rena.

"Kok jadi aku," kata Angga sambil menunjuknya dirinya sendiri.

"Cara bicaramu bukan lagi seperti tulang lunak, dan terkesan pria tulen."

"Iya, gaya berjalan mu juga sangat gagah." Mama Rena tak mau ketinggalan, beliau ikut menyahuti dan menjelaskan apa yang sudah ia pikirkan sedari pagi tadi.

Angga yang mendengar itu pun langsung menelan ludah, dengan susah payah. Tidak dipungkiri jika dirinya juga was-was. Orang tua tidak akan lupa sifat anaknya. Maka dari itu Angga sepertinya harus hati-hati dalam melakukan sesuatu hal.

"Ayah, Mama. Masuk yuk. Angga gerah nih mau mandi, tuh mangganya juga udah dapat kan." Angga pun mencoba untuk mengalihkan pembicaraan agar tak semakin luas nantinya.

"Hmmm … baiklah," ucap mama Rena setelah menimang-nimang ucapan Angga.

Hufff.

"Hampir saja," ucap Angga lega dan tangannya tak lupa mengusap keningnya. Yang sudah dipenuhi oleh keringat.

"Apa kabar ya diri gue di rumah. Apa tubuhku baik-baik saja? Atau tubuhku sudah tidak berdaya," rutuk Angga dengan mimik muka yang sedih.

"Ngga, setelah mandi. Jangan lupa beli beli lontong kikil di warung langganan yah. Tiba-tiba mama pengen makan pedes-pedes," ucap mama Rena dengan bibir layaknya sedang menelan perasan jeruk nipis.

"Iya Mama, aku aku mandi dulu ya." Angga pun segera berpamitan dan sekarang sudah berada di dalam kamar mandi.

"Aneh deh. Sebenarnya ini orang. Laki apa perempuan sih. Hampir semua barang itu milik cewek. Gila-gila, terus ini lagi kacamata kuda buat apa coba. Ini badan kan gak punya gunung kembar, terus buat apaan lagi."

Beberapa saat kemudian.

Angga sudah keluar dari kamar mandi, dan sudah memilih baju. Namun, lagi-lagi Angga dibuat tercengang dengan penemuannya lagi. Di dalam lemari pakaian.

"Dasar wong edan," umpat Angga yang merasa jika dirinya terus-terusan berada di sini. Itu akan membuatnya ikut gila juga.

"Angga, cepetan kamu ini lelet sekali sih." Belum ada setengah jam. Mama Rena sudah berteriak, semua orang pun yang berada di rumah nampak kaget mungkin saking kerasnya, yang mengalahkan soun sistem

Sedangkan Angga dengan keadaan terpaksa, mau tak mau harus mengenakan baju berwarna kuning. Tidak lupa gambar kucing cantik menghiasi warna bajunya.

“Kenapa tidak ada baju yang sesuai dengan keinginanku. Semua baju seperti ini, apa gue harus bener-bener jadi Angga!” umpat Angga dengan wajah jengah nya.

Merasa kesal kala mama Rena terus memanggilnya, akhirnya ia pun keluar juga.

“Kamu itu ya, kebiasaan banget. Lama-lama di depan kaca mau ngapain sih!” saat Angga keluar dari kamar. Sebuah lontaran tak enak di dengar tengah menyambutnya.

“Udah ah, jangan ceramah terus Mama. Katanya mau beli lontong kikil. Yang sebetulnya ia tahu warung siapa yang nantinya ia kunjungi.

………………

Sedangkan di jalan Nara nampak kebingungan karena harus datang ke bengkel, tempatnya ia bekerja. Kalau harus disuruh memperbaiki mana bisa dirinya.

Jangankan memperbaiki, ia pun sama sekali tidak tahu mana kunci inggris satu dan dua. Obeng ataupun peralatan yang lain, yang pasti teman dari si obeng itu. Nara tidak dapat mengenalinya satu persatu.

“Duh, kenapa jadi seperti ini. Aku kan sama sekali tidak tahu apa-apa! Mana mungkin harus bekerja ke bengkel,” dengus Nara dengan ekspresi layaknya perempuan yang sedang merajuk. Tidak lupa baju yang di remet-remet hingga terlihat kusut, dan untung saya tidak mirip dengan tahu remet itu baju.

Nara terus merutuki nasibnya. Di satu sisi ia sekarang sangat bahagia dengan keadaan tubuhnya yang sekarang, karena seperti menemukan jati dirinya. Sifat kemayu, suka dengan barang milik wanita. Terasa menemukan kehidupan apa yang diinginkan.

Hobi masak, dan membuat kue. Itulah kesukaannya kala berada di rumah, tapi sekarang keadaan berbeda. Dirinya memiliki tubuh baru, dan entah nasib tubuhnya yang saat ini berada di rumah.

“Eh Nara, kenapa lo ngelamun?” sosok Jali rekan kerjanya tengah menegurnya. Itu karena Nara bagai orang yang tak punya rumah dan terlihat lesu.

“Kamu siapa?” Nara justru bertanya balik. Siapa pemuda tersebut karena merasa asing, dan tidak pernah bertemu sebelumnya.

“Apa kamu habis terbentur,” ucap Jali dengan pikiran terasa jika semua ini adalah lelucon.

“Tidak, karena aku memang tidak mengenal kamu.” Nara pun mengatakan pada pria tersebut. Kalau memang dirinya tidak kenal.

“Nara jangan bercanda!” sungut Jali yang masih setia duduk di atas motornya dan segera menyelesaikan permainan yang dibuat Nara.

“Siapa yang bercanda!” balas Nara, dan tidak lupa meniup anak poninya dan itu membuat Jali heran.

“Tunggu, tunggu. Sejak kapa elo niup poni dan punya poni?” tanya Jali yang tidak sabar untuk mengetahui Nara, yang sepertinya sakit otak.

“Se-jak tadi, iya sejak tadi. memangnya tidak boleh, ya.” Jawa Nara yang sekarang berubah jadi polos.

"Apa ini teman Nara?" dalam hatinya Nara bertanya-tanya jika benar ia pun harus waspada agar tidak ada yang tahu, tentang dirinya yang sekarang.

"Gak panas kok, tapi kenapa elo seperti tulang lunak, Nara."

"Jangan pegang-pegang," seru Nara.

"Sepertinya otakmu perlu di ruqyah."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!