Happy reading....
Pertengkaran di rumah berukuran satu petak tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak peduli pagi, siang, malam sebelum tidur pun akan ada percakapan yang bisa memancing amarah masing-masing.
Bayi Elsa menangis kencang. Ia meletakkan bayinya di atas kasur lantai yang telah tipis dan usang. Elsa lari-larian ke dapur berniat membuatkan susu untuk bayinya. Ia mengangkat tangannya menggapai kaleng susu di atas lemari dapur.
"Tunggu sebentar ya, Nak. Ibu buatkan kamu susu dulu. Tahan sebentar, ya," ujar Elsa sesekali menengok mengawasi bayinya yang menangis tanpa berhenti.
Tepat ketika Elsa membuka tutup kaleng susu bayinya, Elsa tertegun mendapati benda itu telah kosong tanpa sisa. Elsa menelan ludah susah payah, ia sampai membalikkan kaleng susunya berharap tersisa satu sendok saja agar bayinya bisa minum susu.
"Ya, Allah ..." Elsa menurunkan kedua bahunya sembari berucap istighfar.
Seolah tahu ibunya tengah sedih memikirkan nasib bayinya ke depan, bayi Elsa dan Rian menangis tambah kencang saja. Elsa menggigit bawah bibirnya menahan tangis nelangsa.
"Susu kamu habis, Nak. Tapi Ibu tidak punya uang sepeser pun. Bagaimana ini?" Elsa meremas ujung dasternya.
Elsa mendambakan kehidupan layaknya orang normal di luar sana. Elsa harus hidup susah bersama suami dan anaknya yang masih bayi. Elsa harus menahan diri agar tidak boros karena uang yang yang ia miliki cuma pas-pasan. Untuk makan saja Elsa selalu kekurangan. Alhasil, Elsa menumpuk utang di warung. Tidak jarang Elsa disindir, Elsa bersikap cuek seolah tidak ingin ambil pusing. Namun jauh dari dalam hati perempuan itu menangis.
Jika saja Elsa yang kelaparan, Elsa bisa menahan diri untuk puasa sementara waktu. Tapi bagaimana dengan bayinya? Elsa tidak mungkin tega melihat bayinya menangis karena menahan lapar.
***
Rian melangkahkan kaki tanpa tujuan yang pasti. Ia dan Elsa baru saja bertengkar hebat karena lagi-lagi istrinya mendesak Rian agar segera mencari pekerjaan tetap.
Rian menggosok belakang kepalanya yang tidak gatal. Rian tidak tahu mau ke mana lagi. Dalam isi kepalanya cuma satu; ia ingin menenangkan dirinya dulu sebelum kembali pulang ke rumah.
Elsa tidak ada habisnya menekan Rian. Setiap hari, setiap saat, seolah Rian tidak diberi kesempatan untuk menghirup udara tenang.
Pasangan itu terus bertengkar di setiap kesempatan. Ada saja percakapan yang memancing amarah masing-masing. Seperti halnya tadi pagi, Elsa mengomel panjang lebar di dalam dapur. Perempuan itu mengeluh bahan-bahan di dapur telah habis. Jangankan beras, garam sejumput pun di dapur tidak ada.
Elsa membanting alat-alat memasak di dapur. Rian yang tadinya sedang tidur langsung bangun karena merasa bising. Ia lantas keluar hendak menegur istrinya supaya tidak membuat keributan. Namun bukannya terima ditegur, Elsa malah mengomel suaminya dengan kata-kata pedas.
"Hari ini aku tidak memasak karena beras dan bahan-bahan di dapur semuanya habis. Sebaiknya hari ini kita puasa saja," ucap Elsa sembari membersihkan kompornya.
"Kamu mengutang saja dulu di warung seberang. Nanti setelah aku mendapat panggilan menjadi tukang, aku akan membayar semua utang-utangmu ke pemiliknya," ujar Rian enteng.
Ucapan Rian baru saja tentu memancing amarah Elsa. Rian seolah tidak memiliki beban ketika menyuruh istrinya untuk pergi berutang. Padahal baru dua hari lalu Elsa dimaki-maki oleh pemiliknya akibat belum mencicilnya sama sekali, sedangkan utang mereka telah menumpuk banyak.
"Utang terus, utang mulu! Tidak ada jalan keluar yang normal di kepalamu, Mas? Sepertinya kamu lebih senang melihat istrimu dipermalukan di depan banyak orang! Aku tuh malu. Malu sekali. Setiap hari mengutang, tapi tidak pernah tahu kapan punya uang! Kamu cari kerja yang benar dong! Kamu pikir menjadi tukang bangunan saja sudah cukup? Pekerjaannya tidak menentu! Kalau ada panggilan ya kamu kerja. Kalau tidak ada, ya kamu begini ... menganggur! Kerjaan kamu makan tidur terus!" omel Elsa panjang lebar.
Diomeli oleh Elsa sudah menjadi makanan Rian. Elsa seolah tidak mau mengerti kondisi finansial suaminya. Siapa yang mau hidup susah memangnya? Jangan kira Rian tidak usaha. Karena berbagai macam cara telah Rian lakukan agar diterima bekerja.
Tapi lagi-lagi terhalang oleh ijazah. Di zaman sekarang mencari kerja itu susah. Jangankan Rian yang cuma tamatan SD. Karena realitanya yang lulusan kuliah pun masih banyak yang menganggur.
***
Tangan kanannya memegangi perutnya yang terasa perih. Hari sudah semakin siang, namun Rian tidak kunjung pulang setelah terjadinya pertengkaran di antara mereka berdua. Rian telalu jengah, ia tidak tahan diomeli setiap hari oleh istrinya.
"Kalau aku cuma diam saja, aku khawatir akan ditemukan pingsan karena belum makan ..." Bibir Elsa bergerak, mengeluarkan suara lirih.
Bergelas-gelas air telah ia teguk, berharap bisa mengganjal isi perutnya yang tengah kerocongan. Namun bukan kenyang yang ia rasakan, melainkan kembung hingga ia hampir mual.
"Aku tidak punya pilihan selain pergi mengutang ke warung Bu Marni," ujar Elsa.
Ia tidak memiliki pilihan lagi selain pergi ke warung Bu Marni. Tidak apa-apa kalau pun Elsa harus dimaki-maki, asal diperbolehkan berutang walau cuma satu liter beras sekali pun.
Biarpun sudah siang hari, warung Bu Marni selalu ramai oleh pembeli. Elsa hampir sampai di warung tersebut, tapi langkahnya ragu-ragu kala melihat banyak sekali orang di sana. Elsa takut kejadian dua hari lalu terulang kembali. Elsa yang dimarahi oleh Bu Marni menjadi tontonan banyak.
"Kamu hanya perlu mendengarnya sebentar, setelah itu pulang membawa beras untuk kamu masak," ucap Elsa mencoba mendorong dirinya agar berani menghadapinya. "Lebih baik aku diomeli, tapi aku masih bisa makan."
Sebelum Elsa sampai ke warungnya, Bu Marni lebih dulu menangkap sosok cantik di depan warungnya. Bu Marni memberi kode kepada ibu-ibu yang tengah berkumpul di tempatnya.
"Lihat, dia datang kemari lagi pasti mau berutang," kata Bu Marni sinis. "Dia kira saya jualan begini tidak butuh modal? Saya pusing kalau sudah berhadapan dengan orang-orang seperti Elsa dan Rian ini! Kerjanya berutang ... terus. Tapi tidak mau bayar!" sindir Bu Marni sengaja meninggikan suaranya.
"Bu Marni, saya—"
"Apa?!" Wanita setengah baya yang biasa dipanggil Bu Marni tersebut langsung membentak Elsa. "Mau mencoba mengutang lagi? Jangan harap, Elsa! Utang kamu dari kemarin-kemarin saja belum dibayar. Sekarang mau ngutang lagi? Mending kamu pulang sana, minum air saja sampai perut kamu kembung!" amuk Bu Marni masih kesal pada Elsa dan Rian. "Tiap belanja di sini tidak pernah bawa uang. Hasil jualan juga saya puterin, supaya warung saya tetap berdiri. Kamu tahu kalau tempat saya mencari rezeki ya cuma warung ini ..."
Sejujurnya Bu Marni tidak tega membiarkan Elsa pulang tanpa beras di tangan. Tapi Bu Marni tidak bisa memberi utangan kepada Elsa setiap harinya. Catatan utang Elsa akan semakin banyak, dan Bu Marni jelas akan rugi besar.
"Saya tidak mengutangkan dagangan saya lagi. Sana kamu pulang! Bikin suasana hati saya jadi buruk saja!" bentak Bu Marni kelewat kesal.
Elsa menahan supaya tidak menangis. Harapan Elsa telah pupus. Bu Marni tidak mau memberi utang beras lagi.
"Kalau Bu Marni tidak memberiku utang beras lagi, aku cari pinjaman ke siapa? Mas Rian juga tidak bisa diandalkan," gumam Elsa memelas.
"Elsa! Tunggu," cegah seseorang dari balik punggung Elsa.
BERSAMBUNG.....
Happy reading....
Suara familiar di belakang punggungnya sukses menarik perhatian Elsa. Wajah melas Elsa terangkat naik ketika menemukan sepasang kaki mengenakan sandal jepit warna putih-oranye.
Orang yang memanggil Elsa adalah salah seorang tetangga yang biasa dipanggil Mak Ratih. Wanita setengah baya tersebut setengah lari-lari menghampiri Elsa yang mematung di tengah jalan. Mak Ratih menatap prihatin sosok cantik kuyuh di depannya. Dalam hatinya sayang sekali perempuan secantik Elsa tampak tidak terawat karena tekanan ekonomi. Semua orang di kampung itu tahu kalau Elsa dan Rian sering kesulitan ekonomi. Bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur sekali.
"Oh, Mak Ratih! Ada apa, Mak?" Elsa ikut mendekat.
"Kamu dari tadi Mak panggil-panggil tapi tidak didengar." Mak Ratih setengah cemberut. "Kamu habis dari mana, Sa? Kok, sendirian saja? Bayi kamu mana?" tanya Mak Ratih celingukkan.
"Di rumah lagi tidur, Mak," jawab Elsa canggung.
Ia tengah menahan perutnya yang terasa perih akibat belum makan apa-apa sejak tadi pagi. Lagi pula apa yang mau dimakan kalau beras saja tidak punya? Berutang pun tidak diberi oleh yang punya warung. Terpaksa Elsa akan mengganjal perutnya dengan minum air putih yang banyak. Kembung pun tak masalah, karena Elsa tidak punya pilihan lagi.
"Kenapa ditinggal, Sa? Kalau jatuh, gimana? Oh, mungkin dijaga sama Rian, ya?" tebak Mak Ratih.
Elsa tidak dapat menjawab pertanyaan wanita setengah baya itu. Jangankan menjaga bayinya, Elsa bahkan tidak tahu ke mana perginya Rian sekarang. Pria itu seolah tidak memiliki tanggung jawab atas istri dan bayinya yang butuh makan.
Salah kalau Elsa meminta kepada Rian agar memberi kehidupan lebih layak? Elsa malu kalau harus menjadi tontonan ibu-ibu seperti tadi. Tidak ada satu pun yang mengulurkan tangannya untuk Elsa. Mereka malah menikmati Elsa tengah dimaki-maki oleh Bu Marni, si pemilik warung seberang rumah.
"Sa, diajak ngomong malah melamun! Lagi mikirin apa sih? Oh, ya. Kamu di rumah lagi masak apa? Mak semalam bikin sayur lodeh satu panci besar karena ada kunjungan saudara ke rumah. Sekarang sayurnya masih banyak. Mak bagi-bagi ke tetangga. Terus Mak lihat kamu lagi jalan sendirian. Kamu mau tidak sayur lodehnya, Sa? Kalau mau Mak kirim ke rumah kamu ya."
Kedua bola mata Elsa bergerak penuh binar. Benar ucapan orang, bantuan bisa datang dari mana saja kalah sedang sulit. Elsa tadinya mau mengutang ke warungnya Bu Mirna, tapi berakhir dimaki-maki depan banyak orang. Mau membela diri, nyatanya Elsa berada di pihak yang salah.
"Tidak usah Mak yang antar. Aku ikut ke rumah Mak saja, bagaimana? Biar Mak Ratih tidak wara-wiri. Aku kasihan kalau Mak capek," ucap Elsa. Ia antusias karena ada yang memberinya makanan.
Memang selama ini Mak Ratih sering memberi makanan kepada Elsa. Entah itu sayur sisa kemarin, Mak Ratih masak terlalu banyak, Elsa tidak pernah absen dari daftar nama orang-orang yang akan akan Mak Ratih beri makanan.
"Terus bayi kamu bagaimana, Sa? Ditinggal lebih lama, dong!" seru Mak Ratih khawatir.
"Aman di rumah, Mak. Faqih anteng kalau tidur, kok. Lagi pula rumahnya Mak kan dekat. Tidak akan lama."
"Oh, ya sudah kalau kamu mau ambil sendiri. Ikut Mak pulang, yuk! Nanti Mak kasih nasinya sekalian. Kamu masak nasi, tidak?"
Elsa menggeleng. "Tidak, Mak," cicitnya.
Mak Ratih tidak perlu banyak bertanya karena ia sudah tahu alasannya kenapa Elsa tidak memiliki nasi di rumah. Mak Ratih lantas mengajak Elsa pulang bersamanya. Mak Ratih bahkan menjanjikan lauk-pauk sisa semalam.
Ketika tutup pancinya dibuka, aroma wangi dari dalam sana tercium sampai ke luar rumah. Elsa mengusap perutnya, menahan air liurnya yang hampir menetes.
Sayur lodeh buatan Mak Ratih diberi banyak toping seperti udang, potongan kikil, serta tahu dan tempe. Elsa mendekatkan tubuhnya ke samping Mak Ratih, tatapannya fokus pada sayur lodeh di atas kompor.
"Wangi sekali, Mak," puji Elsa memejamkan matanya. "Belum makan saja, aku sudah ngiler. Mak Ratih memang paling jago memasak!" tambahku.
"Manis banget mulut kamu kalau memuji, Sa." Mak Ratih terkekeh-kekeh.
Mak Ratih meminjami Elsa satu susun rantang warna putih bercorak. Dari rantang paling bawah, Mak Ratih mengisinya dengan nasi. Di tengah ada tahu dan tempe yang dihangatkan oleh Mak Ratih. Dan rantang paling atas berisi sayur lodeh yang diisi penuh oleh Mak Ratih.
Elsa menelan ludahnya kasar. Ia jadi ingin buru-buru pulang ke rumah untuk makan makanan pemberian Mak Ratih.
"Nih, kamu bawa pulang dan makan bersama Rian. Mak sengaja membawakan banyak makanan untuk kalian." Mak Ratih berbicara sambil memasang tutup rantangnya. "Jangan lupa kembalikan rantangnya, ya." Mak Ratih sengaja menggoda Elsa supaya tidak murung terus.
Mak Ratih mengangsurkan rantang tiga susun tersebut kepada Elsa. Diterimanya dengan senang hati oleh perempuan itu. Dalam hati Elsa mengucap syukur. Ternyata di dunia ini masih ada orang yang begitu baik padanya.
"Terima kasih atas makanan yang Mak Ratih beri. Aku pasti akan memakannya habis tanpa sisa." Elsa sudah bisa tertawa. "Aku pulang dulu kalau begitu ya, Mak. Besok aku antar rantang punya Mak."
"Ya sudah sana, Sa. Cepatlah pulang. Kasihan Faqih di rumah tidak ada yang menemani."
"Iya, Mak." Elsa mengangguk kecil.
Baru beberapa langkah Elsa berjalan hendak meninggalkan dapur Mak Ratih, wanita setengah baya itu lantas berlari memanggil Elsa sembari menggenggam sesuatu di tangannya.
"Sa, tunggu, Sa!" seru Mak Ratih hampir tersandung sandalnya sendiri.
Elsa menengok. Perlahan ia memutar badannya menghadap pada Mak Ratih. "Ada apa, Mak?" tanya Elsa polos.
Mak Ratih menyambar tangan Elsa. Ia lantas menjejalkan selembar uang ke tangan Elsa. Lalu Mak Ratih berbisik, "Mak tidak bisa memberi banyak. Tapi semoga yang itu berguna untuk keluarga kalian. Yang sabar ya, Sa. Terkadang kita perlu menjadi kuat agar bisa bertahan. Asal kamu tidak putus asa, dan jangan lupa berdoa."
Hati Elsa seketika tersenyuh. Ia sampai kehilangan kata-katanya. Elsa cuma bisa mengangguk, menatap Mak Ratih dengan tatapan yang sulit diartikan.
Elsa lantas pamit pulang ke rumah setelah ia mendapatkan bantuan dari Mak Ratih berupa makanan dan uang untuk membeli beras dan susu untuk Faqih.
Seoeninggal Elsa dari rumahnya, Mak Ratih mengusap dadanya naik turun. Mak Ratih sangat prihatin melihat kondisi Elsa dan Rian.
Sebenarnya Mak Ratih ada di warung Bu Marni saat Elsa dimarahi di sana. Mak Ratih sengaja pergi tidak jadi belanja sayur karena tidak tega melihat perempuan beranak satu itu dimarahi habis-habisan. Kenapa tidak bicara terus terang saja kalau memang tidak bersedia memberi utangan? Kenapa harus dimarahi dulu—itu pun Elsa tidak diberi satu liter beras pun.
BERSAMBUNG....
Hapoy reading....
Rian memutuskan untuk pulang ke rumah setelah lelah berkeliling tanpa tujuan arah yang jelas. Sekitar pukul tiga sore lewat, Rian sampai di rumah satu petaknya. Dalam hati Rian telah menyiapkan diri jika sewaktu-waktu Elsa akan mengomeli dirinya. Terserah Elsa mau mengatai Rian apa. Rian akan tetap pulang untuk istirahat.
Sesampainya di rumah, Rian menemukan rumahnya yang kosong. Pintunya dibiarkan ditutup tapi tidak dikunci. Rian pergi ke kamar, namun hanya menemukan Faqih—putranya yang masih bayi tengah berbaring di lantai kamar.
"Faqih," panggil Rian terkejut.
Bagaimana Rian tidak kaget jika mendapati Faqih di bawah—seolah bayi itu baru saja jatuh dari ranjang. Rian terperangah, ia lari-lari lalu menggendong Faqih yang diam dan hanya menggerakkan sepasang bulu matanya yang naik dan turun.
Rian menemukan jejak air mata di sudut mata Faqih. Rian seketika khawatir, apa lagi Faqih tampak diam ketika pertama kali ia menemukan sangat bayi.
Muncul rasa marah di hati Rian. Faqih kemungkinan jatuh di ranjang di saat tidak ada satu pun orang di rumah. Rian memindahkan Faqih ke atas ranjang, untuk berjaga sewaktu-waktu takut Faqih jatuh lagi, Rian menemani putranya sampai jatuh tertidur.
"Keterlaluan Elsa." Rian mengepalkan tangannya menahan geram. "Sudah tahu Faqih masih bayi, tapi malah ditinggal sendirian di rumah!"
Tidak berselang lama Rian menemani Faqih, Elsa pulang dengan wajah yang teramat senang. Ia tidak jadi meminum air putih sampai perutnya kembung. Karena hari ini ia bisa makan makanan enak pemberian dari Mak Ratih.
Mendengar langkah kaki istrinya, Rian lantas keluar meninggalkan Faqih di kamar. Tidak lupa Rian memasang guling di kanan dan kiri Faqih agar bayi itu aman ketika ditinggal orang tuanya.
Di sisi lain Elsa pergi ke dapur untuk memindahkan sayur loder beserta lauknya ke atas piringnya sendiri. Rantang susun milik Mak Ratih dibawa ke tempat cucian piring. Setelah selesai makan nanti, Elsa akan mencucinya lalu menganyarnya ke rumah Mak Ratih langsung.
"Bagus, ya. Kamu di sini makan enak-enak, sedangkan aku pergi tidak tahu arah. Kamu mengeluh tidak ada bahan makanan untuk dimasak. Lalu, ini apa, Sa?" tunjuk Rian ke piring Elsa.
Nasi di atas piringnya hampir menggunung. Belum lagi oleh Elsa dituangkan sayur nangka beserta kuah santannya ke nasinya.
Elsa terkejut mendapati suaminya pulang ke rumah. Elsa melengos, menanggapi sindiran suaminya yang tidak berguna itu.
"Pada nyatanya memang tidak ada yang bisa dimasak, Mas," jawab Elsa santai. "Seharian aku kelaparan. Aku pergi ke warung Bu Marni hendak mengutang beras. Tapi di sana aku dimaki tanpa belas kasih."
"Halah! Kamu cuma alasan saja. Bilang saja kamu sengaja ingin menelan aku, kan? Padahal kamu masih punya uang simpanan untuk diri kamu sendiri. Aku tidak menyangka kamu akan melakukan hal kejam begini, Sa. Aku bahkan belum makan juga," keluh Rian memelas.
"Mas mau makan? Kerja makanya, Mas! Kerja!" omel Elsa meradang. "Jangan bisanya kamu mengeluh begini dan begitu kalau usaha saja kamu tidak pernah!"
"Tidak pernah usaha kamu bilang, Sa?" protes Rian tidak terima dibilang begitu.
"Kenyatanyaan benar, kan? Kamu kebanyakan di rumah! Setiap hari kamu tidur, makan, tidur lalu makan lagi. Bahkan untuk membantu aku menyelesaikan tugas rumah saja, kamu nyatanya enggan!" pekik Elsa tepat di depan wajah Rian.
Salah satu alasan Elsa sangat muak kepada Rian, suaminya, tidak pernah kelihatan berusaha mencari pekerjaan. Setiap kali didesak agar mencari pekerjaan di luar sana, pasti jawaban Rian karena ia tidak memiki ijazah. Ia cuma tamatan sekolah dasar. Tidak ada yang mau menerimanya bekerja.
"Kamu bisa kerja apa saja, Mas. Ada kok banyak contoh orang-orang yang mendapat pekerjaan tetap walau cuma di toko, jadi tukang parkir, menjadi tukang cuci piring di depot makanan. Ada banyak sekali profesi yang bisa Rian lakukan selama mau dan serius mencari pekerjaan.
Elsa sudah jengah menghadapi sikap Rian. Hidup mereka masih begini-begini saja. Masalah yang mereka hadapi hanya soal uang, uang, dan uang. Entah sampai kapan Elsa harus terjebak dalam kehidupan semuanya serba kekurangan.
Harga diri Rian seolah terinjak-injak tidak berarti. Ia adalah seodnag Kepala rumah tangga, tapi Elsa sepertinya tidak pernah menghargai keberadaannya. Tidak menghormatinya cuma karena Rian lebih banyak di rumah daripada bekerja.
"Kamu tidak lelah memangnya Mas hidup seperti ini terus? Aku saja sudah bosan. Aku ingin keluar dari zona mengerikan ini. Tapi rupanya kamu suka sekali dengan kehidupan kita yang tidak kunjung maju." Elsa urung makan. Selera makannya seketika terjun bebas karena Rian.
Siapa yang tidak ingin hidupnya berubah? Rian pun ingin. Tidak cuma Elsa saja. Tapi masalahnya usaha Rian belum membuahkan hasil. Rian sudah menghubungi teman-temannya. Jika ada lowongan pekerjaan tanpa melihat ijazah, Rian bersedia. Ia ingin membuktikan kalau Rian tidak tinggal diam saja tanpa melakukan apa-apa. Elsa saja yang mengelak, tidak menghargai usaha Rian.
Duk! Duk! Duk!
Elsa merapatkan bibirnya rapat. Di luar pintu seseorang mengetuk pintu rumahnya sangat kasar. Elsa dan Rian saling menatap dalam diam. Air muka Elsa dan Rian seketika berubah. Tebakan pasangan suami dan istri itu, bisa jadi orang di luar adalah rentenir.
"Mereka datang lagi," bisik Rian memberitahu. "Kamu sudah kunci pintunya dari dalam?" tanya Rian dengan suara paling pelan sekali.
"Sudah," jawab Elsa.
Sementara itu kondisi di luar rumah sudah tamai oleh para tetangga. Kejadian seperti ini ketika Rian ditagih dari satu rentenir ke rentenir lain memang bukan kejadian langkah lagi. Mereka sampai ikut kepikiran, dari mana Rian mendapatkan uang untuk membayar semua utang-utangnya, kalau bekerja saja serabutan.
"Rian! Rian! Buka pintunya sekarang juga, atau kami akan merobohkannya! Kami tahu kamu sedang ada di dalam! Jangan sembunyi kamu, Rian!" teriak salah seorang pesuruh rentenir.
Pria berbadan besar tersebut mencoba menarik handle pintu. Elsa dan Rian langsung gemetaran menahan takut. Kalau mereka sampai membuka paksa pintunya, bagaimana?
Pengawal sang rentenir menanyai salah satu tetangga Rian dan Elsa. Tetangga itu mengaku melihat Elsa dan Rian masuk ke dalam rumah secara bergantian. Bahkan ada dua pasang sandal di depan pintu rumahnya.
"Jadi mereka benar-benar ada di rumah?" gumamnya. "Rupanya Rian mau main-main dengan kita?"
Rian menyambar tangan Elsa menuju ke dalam kamar. Rian menutup pintu, tidak lupa menguncinya rapat. Ia tidak memiliki keberanian bertemu langsung dengan para pesuruh rentenir itu.
"Kita sembunyi dulu. Jangan pernah keluar rumah sekali pun ada keperluan! Kamu mengerti, kan?" minta Rian kepada Elsa.
"Mau sampai kapan kita akan sembunyi, Mas? Kapan?" gerutu Elsa hampir menangis.
Rian diam mematung. Pertanyaan Elsa baru saja membuat Rian bingung harus memberi jawaban seperti apa. Karena Rian pun tidak tahu sampai kapan ia dan Elsa harus kucing-kucingan.
BERSAMBUNG....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!