''Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Fitriani binti Bapak Suhartono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas sepuluh gram di bayar tunai," ucap Rifki dengan satu tarikan napas.
''Bagaimana para saksi?" tanya penghulu pada semua tamu yang hadir.
''Sah,'' suara tamu undangan menjawab dengan serempak. Mereka ikut bahagia melihat acara ijab qabul yang berjalan dengan lancar.
Ustadz memimpin doa dan diamini seluruh tamu. Semua orang menengadahkan tangan. Mencari berkah atas pernikahan yang baru saja berlangsung. Sebagian langsung mengucapkan selamat pada sang mempelai pria. Tinggal, menunggu pengantin wanita datang.
Kok seperti nama... Ah, gak mungkin dia. Ini cuma mirip saja.
Pria keturunan Malaysia-Indonesia itu sangat tampan dengan balutan baju pengantin berwarna putih. Hidung bangir dan kulit putih serta memiliki postur tubuh yang atletis menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Namun sayang, saat ini tidak boleh dipergunakan untuk memikat wanita lagi karena ia sudah berstatus suami.
Tak ubahnya pengantin pada umumnya, Rifki menanti kehadiran pengantin wanita di sisinya. Duduk manis di depan penghulu dengan menekan dada yang terus berdebar-debar. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya akan bertemu sang istri, pasti sangat menegangkan.
Pernikahan itu terjadi atas dasar perjodohan. Rifki yang tak kunjung membawa calon istri ke rumah akhirnya dijodohkan dengan anak salah satu sahabat ayahnya. Mau tidak mau ia harus menerima daripada diasingkan di pulau terpencil, itu adalah ancaman yang sangat menakutkan baginya.
''Kok lama banget sih,'' bisik Rifki tak sabar.
''Sebentar lagi juga datang, tenang aja,'' jawab Izul, sahabat Rifki.
''Tanda tangan dulu, sambil nunggu mempelai.'' Penghulu memberikan surat nikah dan meminta Rifki tanda tangan.
Bertepatan ketika memegang pena, pengantin wanita duduk di sampingnya. Merasa sama-sama penasaran, mereka saling menoleh menatap pasangannya. Seketika ekspresi kedua pengantin itu berubah.
Rifki melebarkan mata sembari menggelengkan kepala. Seolah tak percaya bahwa wanita yang disebut namanya beberapa menit yang lalu adalah mantan kekasihnya yang diputuskan lima tahun lalu. Pun Nabila, ia terpaku dengan pria yang saat ini berstatus suaminya.
''Kamu!'' Keduanya saling menunjuk lawan dengan tatapan tajam penuh permusuhan.
''Eh, ada apa ini? Kalian saling kenal?'' tanya Ayun, ibunya Rifki.
Duduk di tengah anak dan menantunya. Menatap mereka bergantian. Dilihat dari auranya yang tampak terkejut, diyakini sepasang suami istri itu memang sudah saling kenal. Padahal…setahu keluarga, ini pertama kalinya bertemu.
Mereka belum pernah bertemu secara langsung. Sering putus dengan pacar membuat keduanya berkomitmen untuk bertemu di hari pernikahan saja. Ingin berkenalan dan berpacaran setelah menikah.
Selama ini Rifki tinggal di Malaysia dengan neneknya. Ia bekerja mengurus bisnis ayahnya di sana. Selain itu, jauh dari orang tua membuatnya bisa leluasa dan bebas bergaul dengan siapapun, termasuk dengan wanita.
Sedangkan Nabila, gadis yang baru berumur dua puluh lima tahun itu tinggal bersama ibunya. Semenjak ayahnya meninggal, ia yang mencari nafkah. Bekerja di pabrik udang menjadi aktivitasnya setiap hari. Perjodohan itu tak bisa dihindari. Namun siapa sangka, Pria yang dijodohkan dengannya adalah mantannya.
''Kenal,'' jawab Nabila santai. Memalingkan pandangannya ke arah lain.
''Sangat kenal, Bu.'' Rifki mengucap dengan nada sinis.
''Bagus dong, itu artinya kalian gak canggung lagi kalau mau malam pertama.''
Rifki menyunggingkan bibir. Malam pertama dengan wanita yang menurutnya sangat menjijikkan, oh tidak. Dirinya terlalu sempurna untuk wanita di sampingnya itu. Bahkan, ia bisa mendapatkan yang lebih cantik dan kaya. Pemikirannya memang terlalu, klise.
Tidak ada yang bisa Rifki katakan, semua sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang ia tak bisa mundur dari situasi yang menyebalkan itu. Harus menjalani pernikahan yang mungkin… tanpa cinta.
Setelah menandatangani buku nikah dan menyematkan cincin. Mereka langsung ke pelaminan. Tentu dengan hati kesal saat Rifki disuruh menggandeng tangan Nabila. Tidak ingin ibu dan ayahnya malu dengan sikapnya. Apalagi pesta resepsi itu dihadiri hampir ribuan tamu, dan sebagian dari mereka adalah orang-orang ternama.
Selama pesta, Rifki dan Nabila memasang wajah yang biasa saja. Sesekali tersenyum kepada tamu yang menyapa. Namun tak ada yang menyangka, jika hati dan pikiran mereka sibuk bergelut dengan apa yang akan dilakukan nanti saat berada dalam satu ruangan.
''Eh, kenapa duduknya berjauhan?'' tegur Rumi, ibunya Nabila.
Tanpa berkata, Nabila menggeser duduknya ke tengah. Itu juga dilakukan Rifki demi menghormati ibu mertuanya, tetap dengan ekspresi datar, bahkan tanpa senyum.
Sedikitpun Rifki yan menikmati pesta yang digelar sangat meriah itu. Enggan menatap wajah istrinya. Bagaimana bisa ia menikah dengan gadis yang paling dibenci. Seumur-umur tidak ingin melihatnya lagi.
Bahkan, momen enam bulan yang pernah mereka jalani bak mimpi buruk. Tidak ingin mengulang lagi dan, cukup waktu itu saja, tidak untuk sekarang.
Sungguh, Tuhan memang tak adil. Ini seperti sebuah kutukan baginya. Tentu sangat menyesal karena menerima perjodohan itu tanpa ingin tahu sosok wanita yang akan di nikahinya lebih dulu.
''Rifki,'' panggil seorang wanita dari depan pelaminan.
Seketika Rifki menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum tipis. Ia berdiri, menyambut kedatangan wanita cantik itu. Memeluknya dengan erat seperti pasangan kekasih.
Nabila hanya melihat adegan mesra mereka dari kursi. Tidak ingin menegur apa yang dilakukan suaminya. Yang penting, ia tidak mempermalukan keluarga, itu saja.
"Jaga sikapmu, Rifki!" Ayun menarik tangan sang putra. Menjauhkan dari wanita yang entah datang dari berantah mana.
Dilihat dari bajunya yang terlalu ketat dan seksi serta dandanan yang menor, diyakini itu bukan wanita baik-baik. Apalagi tadi berani memeluk Rifki yang sudah jelas menjadi milik orang.
''Siapa kamu?'' tanya Ayun ketus. Mentap sinis wanita yang berani memeluk suami orang.
''Mama saya Linda, Tante,'' jawab wanita itu sembari mengulurkan tangannya.
"Kamu tahu, 'kan? Sekarang Rifki sudah menikah, jadi jangan ganggu dia lagi. Jika kamu masih punya urat malu, turun dari sini." Menunjuk ke arah tangga pelaminan.
''Ibu, dia hanya ingin mengucapkan selamat padaku,'' bantah Rifki.
''Mengucapkan selamat tidak harus berpelukan seperti tadi, menjijikkan. Kamu dan Nabila sudah menikah, hargai istrimu." Ayun kembali mengingatkan.
''Menyakiti seorang istri sama seperti menyakiti ibumu sendiri, Rifki. Kamu sudah berjanji pada ibu akan menjadi suami yang baik, dan ibu harap bisa menunaikannya,'' tegas Ayun
Tidak ada jawaban, Rifki kembali duduk di samping Nabila, sedangkan wanita yang bernama Linda turun dan berhamburan dengan tamu lainnya. Sangat kecewa melihat kekasihnya bersanding dengan wanita lain.
Dino hanya diam saja melihat anak dan istrinya berdebat. Sebab, saat ini ia mendampingi klien penting yang datang dari Singapura.
Pesta yang digelar meriah itu telah usai. Hanya meninggalkan memori yang tak akan pernah terlupakan. Momen sakral yang disaksikan oleh banyaknya tamu undangan itu menyisakan seonggok kenangan indah. Sebagian keluarga pun pamit pulang. Hanya tinggal keluarga Rifky dan juga Nabila. Mereka masih sibuk berbincang. Sesekali menggoda anak dan menantunya.
''Ingat, Ki. Jangan kasar-kasar, Nabila ini masih perawan takutnya nanti dia kesakitan,'' goda Ayun sembari menepuk sang putra.
Rumi terkekeh. Ucapan itu mengingatkan saat dulu ia malam pertama dengan suaminya. Dan sekarang, akan terjadi pada putrinya.
Cih, siapa yang mau menyentuh dia. Pacaran enam bulan saja gak betah dengan penampilannya, apalagi ini harus bertemu setiap hari, bisa-bisa stres.
Rifki hanya tersenyum kecut. Sedikitpun tak ada selera dengan wanita yang ada di sampingnya. Untuk saat ini sih memang terlihat cantik. Gaun yang melekat di tubuhnya juga pas, make up natural menyempurnakan wajahnya. Bibirnya memerah pun terlihat begitu menggoda bagi sebagian pria. Namun Tidak bagi Rifki, tetap Linda yang ada di hatinya.
''Ya sudah, ibu pulang dulu. Kalian nikmati malam ini ya, cepat berikan cucu untuk kami.'' Ayun berbisik di telinga Nabila yang membuat gadis itu tersipu.
Namun, senyumnya lenyap seketika menatap wajah datar Rifki.
''Kami pulang dulu ya, Nak. Jaga Nabila baik-baik.'' Reno menepuk bahu Rifki dengan pelan. Percaya pria itu bisa menjaga Nabila dengan baik.
Seluruh keluarga sudah pergi. Kini hanya tinggal Nabila dan Rifky. Mereka saling menjauh, menjaga jarak antara keduanya.
''Aku gak mau tidur satu ranjang sama kamu,'' ucap Rifki serius.
Nabila berdecak. ''Siapa juga yang mau tidur sama kamu. Lebih baik aku tidur di lantai daripada harus di ranjang denganmu,'' jawab Nabila tak kalah ketus. Harus membalas apa yang dilakukan Rifki demi menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita.
Gadis itu mengangkat gaunnya. Berjalan lenggang menghampiri resepsionis yang bertugas. Meminta kamar satu lagi untuk dirinya. Tentu, dengan beberapa alasan.
''Tidak bisa, Mbak. Ini amanah dari keluarga mas Rifki,'' tolak resepsionis tegas.
Mereka ingin menjaga amanah yang diberikan keluarga Rifki. Tidak ingin mengingkarinya. Meski Nabila terus memohon, tetap tidak akan dikabulkan.
Terpaksa Nabila menghampiri Rifki dan mengatakan tentang penolakan resepsionis tadi.
''Terserah kamu mau tidur di mana, pokoknya aku gak mau satu ranjang sama kamu, menjijikkan.'' Rifki melangkahkan menuju kamar. Pun Nabila yang mengikutinya dari belakang. Tidak mungkin dia pulang atau tidur di lobi, apa kata orang nanti.
Meski sakit hati dengan ucapan Rifki, ia tetap menahannya. Menganggap setiap penghinaan itu adalah angin yang sekedar berhembus. Akan hilang berhamburan dengan udara lainnya.
Sepanjang perjalanan menuju kamar pengantin, mereka saling diam. Bahkan, jalannya pun dengan jarak yang lumayan jauh. Seperti bukan pasangan saja membuat pelayan hotel yang melintas heran.
Setibanya di lantai tiga, Rifki menghentikan langkahnya saat melihat Linda berdiri di depan pintu kamarnya. Nabila yang tak menyadari sang suami berhenti pun terus berjalan. Naas, kepalanya menabrak punggung pria tersebut.
''Awww…'' Nabila mengusap keningnya yang terasa perih. Kemudian, menepuk punggung Rifki sekeras mungkin.
''Kenapa gak bilang kalau mau berhenti sih?'' ucapnya kesal.
Menggeser tubuhnya dan mengikuti ke mana arah mata Rifki memandang. Kini, ia tahu kenapa sang suami berhenti, ternyata ada wanita yang tadi sempat memeluknya di pelaminan.
''Dia pacar kamu?'' tanya Nabila tanpa aling-aling.
''Iya,'' jawab Rifki jujur.
Linda berjalan menghampiri Rifki dan kembali memeluk pria itu dengan erat seperti saat di pelaminan. Tak peduli dengan Nabila yang berstatus istri, yang penting ia bisa menyalurkan kesedihannya karena ditinggal menikah sang pacar.
''Maafkan aku, Lin. Aku gak bisa menolak perjodohan dari orang tuaku. Tapi aku janji akan mencari cara untuk bisa lepas dari semua ini. Kamu sabar saja.'' Rifki membalas pelukan hangat itu. Sesekali mengusap lembut punggung sang kekasih yang masih tenggelam dalam tangis.
Sedangkan Nabila, gadis itu hanya menjadi penonton setia. Seperti tadi, ia mencerna percakapan antara suami dan wanita asing itu. Melihat kemesraan mereka sepertinya Rifki memang sangat mencintai Linda.
''Sekarang kamu pulang ya, besok aku akan datang ke apartemen kamu." Rifki melepas pelukannya.
''Gak mau, aku mau di sini dulu sama kamu, masih kangen,'' ucap Linda manja.
Udah dewasa juga, masih kayak anak kecil saja.
Rifki tidak bisa menolak permintaan Linda. Ia mengajak gadis itu ke kamarnya tanpa izin dari Nabila. Sedikitpun tak memikirkan perasaan gadis itu. Meskipun tak saling cinta, seharusnya tetap menjaga ikatan suci yang baru saja diucapkan. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi pengantin baru justru berubah miris. Ada orang ketiga di antara mereka.
''Aku ke kamar mandi dulu. Kamu di sini saja,'' suruh Rifki dan langsung mendapat jawaban anggukan.
Hampir saja Linda naik ke atas ranjang, Nabila menarik tangan wanita itu dari belakang.
''Maaf ya Mbak. Dari tadi aku diam bukan berarti membiarkan kamu berbuat seenaknya saja. Aku dan Rifky memang dijodohkan dan tidak saling cinta, tapi pernikahan itu sah secara agama dan negara. Jadi aku harap Mbak sadar diri. Kalau kalian mau berzina tolong jangan di depanku. Oke.'' Nabila membuka lemari yang dipenuhi baju-baju miliknya dan juga milik Rifki.
Linda menghentakkan kakinya. Berdecak kesal karena Nabila berani melarangnya. Tak disangka, gadis yang terlihat sangat lugu dan bodoh itu berani padanya.
Mengambil piyama dan membawanya ke depan kamar mandi. Menunggu Rifki yang sepertinya sedang mandi di dalam.
Sementara Linda hanya mematung di sisi ranjang sambil menunggu sang kekasih keluar.
Pintu kamar mandi dibuka dari dalam. Rifki keluar, pria itu hanya memakai handuk yang membelit di pinggangnya. Memamerkan dada bidangnya yang begitu putih dengan hiasan buliran air. Ketampanannya memang tak diragukan lagi. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun masih memesona.
''Bilangin sama pacar kamu. Kalau berada di lingkungan orang harus punya sopan santun. Dan kalau mau mesra dengan kamu, cari tempat lain, bukan di kandang istri dari pacarnya,'' omel Nabila tanpa rasa takut.
Rifki terdiam. Melanjutkan langkahnya menghampiri Linda tanpa menghiraukan ucapan Nabila yang menurutnya sangat tak penting.
Sementara Nabila langsung ke kamar mandi. Menutup pintu dengan keras menandakan bahwa ia masih marah dengan tingkah polah Linda.
''Dasar manusia gak ada yang punya adab. Apa dari kecil mereka gak pernah diajari sopan santun?'' gerutu Nabila kesal.
Bagaimana tidak, baru beberapa jam menjadi istri Rifki Ananda. Ia sudah dihadapkan dengan orang ketiga.
Aku harus sabar sampai waktu itu tiba. Semoga ada jalan terbaik untukku.
Layaknya di kamarnya sendiri, Nabila melakukan aktivitasnya setelah mandi, seperti mengeringkan rambut dan juga memakai make up sebelum tidur. Di kamar itu memang sudah disiapkan alat-alat kecantikan lengkap dan juga baju-baju mahal. Tentu, itu adalah hadiah dari ibu mertuanya, orang yang paling antusias dengan pernikahan itu.
Sesekali melirik ke arah Rifki dan Linda yang asyik mengobrol di sofa. Menatap mereka dengan tatapan sinis. Seperti tak mengenal dosa saja harus berpacaran di depan istrinya.
Beranjak dari duduknya mendekati sang suami yang dari tadi tak menghiraukannya sedikitpun.
''Aku tidur di mana?'' tanya Nabila. Bukan mencari perhatian, tapi takut salah tempat dan akan menjadi perdebatan.
''Tidur saja di bawah.'' Menyungutkan kepalanya ke arah lantai yang dipenuhi dengan kelopak mawar dan lilin.
Terpaksa, Nabila harus membersihkannya dulu sebelum menempatinya. Ia mengambil semua lilin dan membuangnya ke tong sampah. Mengumpulkan semua hiasan-hiasan yang disusun se-rapi mungkin dan memungutnya. Setelah semuanya bersih, ia segera mengambil karpet dan melebarkannya. Juga mengambil satu bantal dan guling. Segera membaringkan tubuhnya untuk mengurangi rasa lelah akibat kelamaan pesta. Tak lupa membungkam telinganya dengan kapas agar tak bisa mendengar pembicaraan antara suami dan juga jalangnya.
''Kamu gak kasihan sama istrimu, menyedihkan sekali nasibnya." Linda menatap Nabila yang mulai tertidur.
''Untuk apa kasihan, dengan begini dia gak akan betah menjadi istriku dan meminta cerai, setelah itu baru kita menikah,'' ucap Rifki yakin.
Di tengah malam, Nabila membuka mata. Mengedarkan pandangannya menyusuri ruangan yang lumayan gelap. Rupanya Rifki sudah menggantinya dengan lampu temaram. Mengusap perutnya yang terasa lapar.
''Tumben gini amat, biasanya juga jam segini belum lapar.'' Mengingat-ingat terakhir makan. Benar saja, ternyata ia makan terakhir sarapan pagi. Setelah itu sudah tak sempat karena sibuk dengan acara pernikahan.
Terpaksa terbangun. Menguncir rambutnya dengan asal. Menatap Rifki yang tampak terlelap.
''Ternyata masih sedikit waras. Aku kira dia tidur dengan pacarnya yang sok kecantikan itu.'' Melangkah dengan pelan dan membuka pintu. Menoleh ke kiri kanan. Sepi, tidak ada siapapun orang yang melintasi lorong. Wajar, baru jam satu pagi, pasti semua orang istirahat. Terlebih kamar yang ia tempati adalah swet room dan hanya ada beberapa tempat saja.
''Minta bantuin Rifki sajalah, daripada takut sendiri.''
Menutup pintunya lagi. Mendekati Rifki dan menggoyang-goyangkan lengan pria tersebut. Sesekali memanggil namanya dengan suara pelan.
''Aku lapar, Ki. Ayolah, sekali saja bantuin,'' ucap Nabila memohon.
Rifki berdecak kesal. Bukannya bangun, pria itu justru meringkuk memunggungi Nabila. Melanjutkan mimpinya yang sempat terpotong.
Jika sudah seperti ini, Nabila tak berani membangunkannya, takut Rifki marah-marah. Akhirnya ia menghubungi resepsionis melalui telepon khusus. Memesan makanan juga nimunan plus cemilan untuk menemaninya berjaga.
Tak lama berselang pintu diketuk dari arah luar. Nabila segera membukanya dan mengambil makanan pesananannya lalu meletakkan di meja. Sebelum makan, ia menyalakan lampu utama.
''Apaan sih ini?" gerutu Rifki sembari menutup wajahnya dengan bantal ketika merasakan silau di matanya.
''Siapa yang nyalain lampu?'' imbuhnya semakin kesal.
''Aku,'' jawab Nabila sengit.
Mendengar suara yang menurutnya asing membuat Rifki terkejut dan sontak membuka mata lebar-lebar. Mengingat-ingat apa saja yang terjadi hingga mantannya itu bisa berada di kamarnya. Ah, ternyata dia lupa kalau sekarang sudah menjadi suaminya Nabila.
''Ngapain kamu menyalakan lampu segala? Aku gak bisa tidur,'' bentak Rifki dengan nada tinggi.
''Aku mau makan sebentar, kalau sudah selesai manti aku matikan lagi,'' jawab Nabila jujur.
Rifki tak menjawab, ia hanya menatap seporsi makanan di atas meja lalu beralih menatap pinggang Nabila yang jauh dari kata ramping. Sangat berbeda dengan Linda, wanita itu terlihat sangat cantik dan mendekati sempurna. Selalu memperhatikan penampilannya. Menjaga postur tubuh supaya tetap terlihat seksi.
Pantas saja dia gendut, rupanya suka makan malam-malam begini. Bisa bisanya aku pernah pacaran sama dia dan menikahinya setelah menjadi mantan.
Hanya mengucap dalam hati.
Rifki jadi ingat dengan pertemuan mereka pertama kali. Waktu itu ia melihat Nabila masih terlihat sangat polos dan bodoh. Penampilannya tentu khas gadis kampung. Memakai kemeja dilipat dan juga rok pendek hitam. Rambut dikuncir kuda, memamerkan leher jenjangnya yang lumayan putih. Sosoknya yang pendiam dan ramah membuat Rifki penasaran, akhirnya dengan konyol ia menembak gadis itu.
Tanpa banyak kata, Nabila langsung menerimanya, selain tampan rupawan, juga mengira Rifki adalah pria baik-baik yang berkomitmen. Hubungan mereka terjalin, hampir setiap hari bertemu dan jalan.
Disaat itu hati Rifki goyah ketika melihat wanita yang lebih cantik hadir di tengah hubungannya dengan Nabila. Ia tergoda hingga menganggap Nabila tak cantik lagi.
Apalagi penampilannya yang sangat sederhana membuatnya sering kali malu saat bertemu sahabatnya. Seketika itu ia memutuskan Nabila dengan alasan tidak cocok. Sejak saat itu, Rifki selalu membanding-bandingkan dengan kecantikan setiap wanita yang dekat dengannya.
Hingga terakhir hatinya berlabuh pada seorang model cantik yang bernama Linda Hastuti. Namun sayang, kisah cintanya terhalang oleh pernikahannya dengan pacar pertamanya.
''Besok kita akan tinggal satu rumah. Tapi tenang saja, kamu bebas melakukan apapun, begitu juga denganku. Anggap saja pernikahan ini tidak pernah terjadi, nanti kalau aku sudah punya cara yang tepat, kita akan bercerai.''
Nabila meletakkan sendok dengan kasar lalu berdiri dari duduknya. Menghampiri Rifki yang menurutnya bicara asal. Bukan ia tidak ingin cerai hanya saja… Itu adalah perbuatan yang sangat keliru.
''Kamu pikir pernikahan itu permainan? Gila. Setiap ucapan itu akan diminta pertanggung jawabannya kelak, jadi jangan pernah main-main, ketika kamu sudah berjanji di hadapan Allah maka jangan mengingkarinya,'' ucap Nabila tak terima.
''Kamu pikir aku mau mempunyai istri sepertimu terus-terusan, itu lebih gila, Nabila. Menikah denganmu seperti kutukan bagiku,'' sergah Rifki.
''Tapi bukan seperti itu caranya. Pasrahkan saja ama Allah. Menurutku caramu itu tidak benar. mempermainkan pernikahan sama saja artinya dengan mempermainkan hukum Allah dan hal itu termasuk dosa besar,'' terang Nabila panjang lebar.
''Bilang saja kalau kamu memang ingin menjadi Nyonya Rifki, sok-sokan ngomongin dosa besar,'' cibir Rifki sinis.
Nabila memejamkan matanya. Kini, ia baru tahu watak Rifki yang sesungguhnya. Ia tidak menyesal dengan pernikahan itu. Sebab, apapun yang terjadi atas kuasa Allah. Tidak ada manusia yang bisa melawan takdir. Selepas jodoh ataupun tidak, itu pun atas kehendak-Nya.
''Terserah apa katamu, aku sudah mengingatkan. Setidaknya aku melakukan salah satu kewajibanku, yaitu mengingatkan disaat suami salah.''
Keluar dari kamar itu. Menghindari perdebatan dengan Rifki yang entah sampai kapan berakhir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!