Hari yang sangat cerah, burung-burung terdengar saling berkicau. Tawa riang anak-anak memenuhi susana halaman mansion Evans, keluarga Greyson dan Evans berkumpul untuk berkumpul merayakan kelahiran anak kedua Agler.
"Wah, babynya lucu sekali." Ujar seorang anak berumur 10 tahun, menatap bayi yang berada di strollernya.
"Kita akan berfoto, ayo Revin!" Teriak Gilbert pada putranya yang sedati tadi memandangi sepupunya.
Revin berbalik, dia berlari menghampiri daddy nya. Semua keluarga sudah bersiap akan berfoto. Ke empat anak kembar Gilbert berada di dekat ibu mereka.
"Wah, cucu mu sudah lima saja kak!" Cetus Dirga.
Marcel tersenyum puas sambil menggendong salah satu dari ke empat cucu kembarnya. Si penggemar buah anggur, bahkan tak bisa sehari saja tidak makan anggur. Dia adalah Maiza Camelia Evans.
Marcello meminta putrinya, Emily agar memberi nama Evans pada salah satu dari ke empat anak kembarnya. Walau awalnya Gilbert, suami dari Emily tidak setuju. Namun, akhirnya Gilbert menyetujuinya. Sehingga, hanya Maiza lah satu-satunya keturunan Greyson bermarga Evans.
"Aku mau juga di gendong opa!!" Teriak kembaran Maiza, walau kembar. Mereka bukan kembar indentik. Maira Camelia Greyson, anak yang lahir paling terakhir setelah Maiza.
"Nda muat, kamu belat. Badannya becal." Ledek Maiza.
Maira melihat tubuhnya, memang dia berbadan lebih gemuk. Namun, walah begitu. Dia tetap saja lucu, bahkan Gilbert sering memuji putri-putrinya anak yang cantik.
"Aku gak gendut!!" Teriak Maira.
"Yang bilang kamu gendut ciapa?"
"Opa!!" Adu Maira.
"Hais, sudah-sudah. Sini, opa gendong dua-duanya!"
Marvel sedikit menunduk, dia mengambil Maira dan menggendongnya. Sedangkan kedua kembaran mereka yang lain, Elvano Fillbert Greyson dan Malvini Fillbert Greyson. Mereka berdua tetap berada di samping ibu mereka, Emily.
Terlihat di tengah, Agler menggendong putrinya. Di sampingnya ada sang istri yang merangkul putra pertama mereka. Reynan Evans.
Gilbert juga tak mau kalah, dia merangkul istrinya tak peduli mendapat pelototan tajam dari dua putra kembarnya. Sedangkan orang tua Gilbert, merangkul cucu pertama mereka yang berada di tengah-tengah mereka.
"Aku rangkul juga sini yang." Rayu Danzel pada istrinya.
"Ayang! malu sama mereka!!"
"Gak usah malu lah Mel, dulu aja kamu ngebet banget nikah sama berondong. Udah nikah kok malah malu!" Ledek Galang, pada kembarannya Amelia Evans.
Galang berlari ke tengah, dia memposisikan kamera dan mencari cara membuat mereka tertawa.
"MANA INI ORANG YANG BARU AJA DAPET KELUARGA BARU?! KALIAN YAH!! AYO! CEPET SENYUM!! CEPET SENYUM LU BILAANG!!" Teriak Galang membuat mereka tertawa di hadapan kamera yang terpasang.
Galang buru-buru ikut bersama mereka berfoto, dia duduk dengan bertumpu pada lututnya sambil merentangkan tangannya.
CKREK!!
Tak ada yang aneh dari foto itu, semua keluarga tertawa bahagia. Tak ada yang tahu, jika foto itu adalah awal dari kekacauan itu terjadi.
"Sudah! biar aku lihat!" Pekik Galang.
"Aku juga mau lihat om besar!" Teriak Revin.
Galang tersenyum dan mengajak Revin melihat hasil foto tersebut. Saat asik melihat, Galang mendengar sesuatu yang salah. Netranya memperhatikan sekelilingnya dengan seksama.
"Bunyinya ...."
Galang melihat ke sebuah air mancur, dengan rasa penasaran. Dia mendekatinya, di ikuti oleh Revin.
"Wah ada bola!" Pekik Revin dan mengambil bola yang berada di air mancur itu.
Galang masih mencari suara tersebut tanpa memperdulikan Revin yang kini berlari ke arah keluarganya dengan membawa sebuah bola.
"Suaranya jadi samar, tapi tadi dari sini. Tapi kok ...,"
Galang langsung menoleh ke arah Revin, di sana ponakannya sedang menunjukkan bola yang dia temukan pada saudaranya.
"Astaga ...." Galang berlari secepat mungkin, dia langsung merampas bola yang berada di tangan Revin dan mendengar bunyinya.
Netranya melihat sebuah hitungan mundur yang terdapat pada bola itu, ternyata itu adalah bom dengan desain bola untuk memanipulasi korbannya.
"****!!"
"MENJAUHH!!! MENJAUH DARI SINI!!" Teriak Galang sebelum dia berlari membawa bom itu.
Mereka tak mengerti, mereka hanya memperhatikan Galang yang berlari menjauh. Galang yang merasa keluarganya tak berlari juga, segera berbalik dan mengisyaratkan pada mereka jika dia memegang bom.
"Astaga, kenapa mereka belum paham juga?!" Pekik Galang.
Melihat timer nya, Galang sontak mengambil tindakan. Dia berlari ke danau samping mansion, dan melemparnya. Namun, naas nya. Gelombang ledakan bom itu tetap mengenai galang, hingga akhirnya pria itu terpental dengan keras hingga menabrak sebuah besi runcing yang menembus perutnya.
DUAAR!!
"Arghh!!"
Para wanita segera di amankan, termasuk anak-anak. Beberapa bodyguard yang berjaga segera mendekati asal suara.
Namun, saat Gilbert mengamankan keluarga kecilnya. Dia kecolongan dengan Revin, putranya segera berlari menyusul paman kesayangannya dengan raut wajah panik.
"Revin? Revin mana?!" Pekik Gilbert.
Gilbert berlari menyusul putranya yang sudah lebih dulu ke arah tepi danau.
"Galang ada di sana, dia ada disana." Histeris Amelia.
"Aku akan lihat, tetap disini!" Titah Danzel menenangkan istrinya yang sudah histeris itu.
Langkah kakinya terhenti Revin menyaksikan semuanya. Dia melihat sendiri bagaimana besi runcing yang tertempel sebagai penghalang menancap di perut Galang hingga tembus.
Hingga Gilbert Dan lainnya yang sampai di sana ikutan syok melihat semuanya.
Keluarga Syok, Revin, bocah kecil itu melangkah mendekat pada Galang. Dengan mata memerah menahan air matanya, dia memegang besi yang keluar dari perut pamannya.
(Gambar di ambil dari pinterest)
Galang menatap Revin dengan mata sayunya, dia bergerak memencet kalungnya. Sebagai tanda panggilan darurat untuk Araster.
"Om kesakitan yah? Revin minta buna obatin yah." Ujar Revin dengan suara bergetar.
Galang tersenyum menahan sakit, dia menangkup pipi Gibran dengan tangannya yang terasa dingin.
"Balas, om minta. Kamu hancurkan dia sebelum dia yang menghancurkan kamu." Sebelum akhirnya Galang menutup matanya.
"ENGGAK!! HIKS ... ENGGAAAAKKK!!"
......................
Bunyi sebuah alat pendeteksi kehidupan terdengar nyaring di sebuah ruangan, seorang anak berusia 10 tahun memandang pasien yang tertidur di brankar dengan tatapan kosong.
Puk!
Anak itu tak kaget, bahkan dia tak menoleh sedikit pun. Netranya hanya menatap kosong, dengan tangan yang sedari tadi dia genggam erat.
"Kenapa kamu ada disini? daddy sudah bilang, jangan ke kamar ini." Tegur Gilbert.
Revin, anak itu hanya terdiam. Air matanya selalu turun, dengan menatap dengan tatapan kosong.
"Apa paman besar akan segera sadar?"
Gilbert menghembuskan nafas panjang, dia membawa Revin menjauh. Namun, putranya malah menepis tangannya dan menatapnya tajam.
"Mereka jahat! mereka jahat!" Teriak Revin.
Gilbert memejamkan matanya, tak sanggup melihat rasa trauma yang di alami putranya. Melihat bagaimana Galang tertusuk. kritis dan hampir meninggal. Beruntung, dokter mengatakan masih ada kesempatan untuk Galang bertahan. Walaupun saat ini pria itu koma, dan entah akan bangun kapan. Mereka tak peduli, mereka terus membawa Galang berobat kemana pun agar Galang kembali pulih.
"Revin!" Sentak Gilbert.
Revin tertunduk dan memukul-mukul kepalanya sendiri, anak itu berusaha menyingkirkan gambaran tentang bagaimana Galang terluka.
Gilbert segera merogoh sakunya, dia mengambil obat dan meminumkannya pada putranya itu. Tak lama, Revin berakhir tenang. Dia memejamkan matanya sebelum akhirnya Gilbert menggendong putranya itu dan membawanya pergi ke kamarnya.
Saat akan memasuki kamar, Gilbert berpapasan dengan Marcel.
"Apa Revin kambuh lagi?" Tanya MArcel.
Gilbert mengangguk kemas, bagaimana bisa ia melihat putranya setiap hari seperti ini?
"Bersiap, malam ini kita akan bertemu dengan teman ayah. Dia akan membuat Revin melupakan kejadian menyakitkan itu."
___
Hai-hai
Berjumpa lagi dengan si Revin. Tadinya author mau buat si Revin umur 10 tahunan. Tapi mikir lagi, umur 10 tahun karakternya banyak batasannya🙃. Authornya mikir, kemana mana yah kudu nebeng. Gak ada konfliknya juga kan. Nah disini Author ingin biat sebuah konflik yang gak biasa. Gak berat si, tapi mungkin agak soalnya ini action. Tapi tenang, ada si cadel kok🤭🤭
Maaf yah telat up, memang 3 hari belakang authornya demam tinggi. Tapi masih berusaha buat ngetik🤭. Mau akhir bulan, sayang kalau enggak up. Dari pagi lagi berusaha buat ini, tapi salah alur mulu. Jadi aneh.
Gak aneh kan menurut kalian😭😭 gak tahu, lagi berat banget mikir. Padahal udah tahu alurnya harus kemana, tapi kenapa susah banget di jabarin weehh😭😭
Menurut kalian, kalau pake gambar seru yah. kesannya kayak terbawa suasana🤭
8 tahun kemudian.
Seorang remaja pria masih bergelung di balik selimut tebalnya, tak peduli dengan suara burung yang berkicau dan juga matahari yang sudah naik.
Cklek!
"Astaga ... REVIN!! BANGUN!! UDAH JAM BERAPA ITU?!" Pekik seorang wanita yang masih cantik di usianya yang hampir memasuki usia 40 tahun.
Emily, membangunkan putranya yang sangat sulit di bangunkan. Dia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi.
"Revin! kamu itu baru pindah sekolah!! GAK BOLEH TELAT!! BANGUN GAK!!" Pekik Emily.
"Eunghh!!" Lenguh Revin dan terbangun dari tidurnya.
Revin memposisikan dirinya duduk, dia menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan wajah bantalnya.
"Apa sih bun, masih juga jam 8. Nantikan Mr. Wen datengnya jam sebelas. Udah ah, mau tidur lagi." Gerutu Revin dan kembali merebahkan dirinya.
"Astaga, nih anak. Hei! kamu itu sudah tidak home schooling lagi! kamu lupa hah?! yang minta sekolah siapa?!"
Revin yang tadinya memejamkan matanya, seketika membukanya dengan paksa. Dia segera terduduk dengan raut wajah yang kaget.
"Beneran bun? daddy izinin aku sekolah di Golden school? seriusan!!" Pekik Revin.
"Haah ... kalau kamu gak mau, yaudah. Buna bilang daddy kalau ...,"
BRUGH!!!
"MUACH! MUACH! MUACH!! LOVE YOU MOMMY!" Emily terkejut saat mendapati kecup4n di pipinya dari sang putra.
"Buna memang terbaik!" Revin segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Emily menggelengkan kepalanya, dia akan berjalan keluar kamar. Namun, netranya menangkap sesuatu di meja belajar putranya.
Sebuah buku gambar yang menarik perhatian Emily, dia mendekati buku itu dan melihat apa yang Revin gambar.
"Naga lagi? kenapa dia terus menggambar naga, apa tidak bosan." Heran Emily.
Emily akan melanjutkan pergi, tetapi ada satu gambar yang membuat Emily terdiam. Seorang pria memakai topeng yang berdiri jauh dari sebuah pohon.
BRUGH!!
"HUAAA!!!"
"KAn! di bilangin bandel! jadi jatuh kan!!"
Emily menoleh ke asal suara, dia pun memutuskan untuk keluar dari kamar melihat apa yang terjadi.
"Kenapa Za?" Tanya Emily.
"Ini, si Cila kepeleset!"
Mazia, mengomeli adiknya yang saat ini hampir menangis sambil memegangi botol susunya. Tepat 4 tahun sebelumnya, Emily kembali memiliki anak. Emily sebenarnya sudah merasa cukup dengan Revin dan empat anak kembarnya. Tapi, Gilbert memaksanya untuk hamil kembali. Karena pria itu berkata, jika anak perempuan mereka baru saja dua.
"Bunaaa hiks ...." Graciella Febriana Greyson, putri bungsu keluarga Greyson.
Emily membawa putrinya ke gendongannya, dia mengecek apakah ada benjolan atau tidak di kepala putrinya itu.
"JAdi anak tuh yang anteng, jangan grasak grusuk aja kerjanya. Minun susu aja harus pecicilan dulu." Omel Mazia.
"Janan bentak bica nda?! cakit kali ku laca!" Sewot Cila menatap kesal kakaknya.
"Cila kenapa sayang?"
Suara bass dari seotang pria membuat mereka sama-sama menoleh, ternyata mereka tengah di hampiri oleh sang kepala keluarga.
"You crying baby?" Tanya Gilbert sambil melipat lengan kemejanya.
"Daddy." Cila langsung masuk ke dalam gendongan Gilbert, nemplok bak cicak pada tembok.
Melihat itu, Maiza memutar bola matanya malas. Dia dan Emily jalan ke ruang makan meninggalkan Gilbert yang berjalan bersama Cila.
...****************...
Ruang nakan sudah ramai, dimana mereka semua bersiap untuk makan dan menunggu si pemeran utama datang.
Terlihat, pria yang paling tua di antara mereka menatap satu persatu keluarganya yang ada.
"Mana Revin?"
Netranya menatap sang putri yang sedang melayani suaminya, Emily menghentikan aktifitasnya sejenak guna menjawab pertanyaan ayahnya.
"Baru aja mandi." Jawabnya.
Marcello Darren Evans, memutuskan untuk tinggal bersama putri dan juga menantunya selepas kejadian itu. Gilbert menyetujuinya, sebab dia tahu jika hanya Marcel lah orang tua kandung istrinya.
"Apa kalian benar-benar mengizinkannya masuk ke sekolah itu?" Tanya Marcel dengan sorot kata yang penuh keraguan.
Emily menatap suaminya sejenak, Gilbert tersenyum. "Sebenarnya enggak yah, kita lebih tenang kalau Revin belajar di rumah. Selepas dari rasa trauma nya, kami juga bisa memantau aktifitasnya." Jelas Gilbert.
Marcel mengerti, Revin pastinya ingin sekolah untuk sama seperti adik-adiknya. Hanya saja, rasa khawatir orang tuanya membuat Revin harus home schooling.
"MORNING!!"
Mereka semua di kejutkan dengan suara keras dari tangga, tatapan mereka mengarah pada Revin yang sudah siap dengan jaket hitamnya.
"Kamu mau sekolah apa mau balap liar?" Tanya Emily dengan garang.
Revin tersenyum, dia berjalan menghampiri bundanya dan memeluknya dari belakang. Tak lupa dia mengecup pipi ibunya dengan sayang.
"Ayolah bun, ini sangat gaul." Sahut Revin.
"Hei! kamu itu masuk sekolah! bukan ajang fashion show!" Omel Emily.
Cup!
"KAMU!! KENAPA CIUM ISTRI DADDY TERUS?!" Sewot Gilbert tak tahan ketika melihat putranya kembali mencuri kecupan.
Revin meledek nakal, Gilbert segera bangkit dan mengusap pipi istrinya dengan cepat.
"Jangan cium-cium istri daddy!"
"Istri daddy itu buna aku!"
"Hais ... sudah-sudah!! duduk Revin!"
Pertengkaran mereka terhenti oleh titah sang ketua, mereka semua makan dengan tenang tanpa ada yang rusuh. Namun, tak berlangsung lama.
"Loh! ayamna Cila kok di ambil?!"
"Janan lakus jadi olang! bagi-bagi cama Cela!"
Kembaran Cila, Gracella Febriani Greyson. Merupakan kembaran dari Cila yang biasa di panggil Cela. Sifatnya tak jauh beda dengan Cila, hanya saja Cela sedikit lebih kalem. Ingat, hanya sedikit.
"Enggak bica ditu dong!!!" Cilla mengambil kembali ayamnya, tetapi Cela menariknya hingga mereka berebut ayam itu hingga terpental.
"Kan!! jatuh kan!! lakus sih!" Bentak Cela.
"Loh kok jadi Cila! kan yang lebut citu!!" Serunya tak terima.
Gilbert bangkit dari duduknya, dia kembali mengambil ayam untuk kedua putrinya itu.
"Jangan berantem bisa? ini masih banyak ayam, kenapa pada bertengkar?" Om Gilbert.
Keduanya sama-sama tertunduk, tangan mungilnya saling menggenggam.
"Solly daddy." CIcit keduanya.
Gilbert menggelengkan kepalanya, ternyata dia baru menyadari. Memiliki anak banyak sangatlah pusing, terlebih keduanya memiliki sifat yang sama dan tidak ada yang mengunci tingkah mereka.
"Makan yang tenang." Tegas Gilbert.
Keduanya kembali makan, Gilbert pun kembali ke tempatnya. Namun, belum sempat duduk dia harus di buat kesal lagi.
"Kamu ci!"
"Kamu!"
"Kamu! cakit kali ku laca!"
"Dlama cekali!"
"CILA! CELA! MAU MAKAN, ATAU MASUK KAMAR?!"
.
.
.
.
Revin sudah siap dengan motor kesayangannya yang dia beri nama Si hitam. Kini, motor itu akan dia gunakan untuk pergi ke sekolahnya. Dia tengah menunggu seseorang menjemputnya.
BRUM!!
BRUUMM!!
Revin menleg ketika melihat motor yang terhenti sejajar dengannya. Dia membuka kaca helmnya begitu pun dengan orang tadi.
"Sudah siap Rev?"
"Udah lah! ayo berangkat!" Pekik Revin.
"Si teletabis mana?" Tanyanya balik.
"Mereka naik mobil." Jawab Revin santai.
Orang itu mengangguk dan menutup kaca helmnya, tetapi sebuah teriakan menghentikan mereka melajukan motor itu.
"ABAAANGG!!"
Revin membuka kaca helmnya, dia melihat sosok kecil yang berlari dengan membawa bekal di tangannya.
"Jangan lari dek!" Pekik Revin panik melihat adiknya yang berlari dengan membawa tubuh yang gembul.
"Apa itu? bekal buat abang? waah, adik abang yang manis." Revin senang sekali di perdulikan dengan adiknya yang sayu itu.
"Bukan, tapi buat abang leynaan!!"
Revin melongo, dia melihat sendiri bagaimana manjanya Cela memberi bekal itu pada Reynan. Bukan hanya mengambil hati bundanya, tapi juga adiknya.
"Ngaku, lo pake pelet kan?" Tuduh Revin pada Reynan yang tengah melempar senyum pada Cela.
Reynan tak memperdulikannya, dia malah asik mengelus rambut pendek Cela dengan sayang.
"Hati-hati yah abang,"
"Oke cantik!" Sahut Reynan mengedipkan matanya.
____
LIKE! DAN KOMEN JANGAN LUPA😍😍😍😍
Bingung cari visual buat Emily dan Gilbert😭
Ini buat Revin gimana? cocok? apa ada saran?
kalau di bawah ini buat reynan? cocok?
"Emily, apakah ada yang aneh lagi dengan Revin?"
Emily yang akan pergi dari ruang makan segera kembali ke posisinya semula. Kepalanya menggeleng, dengan kening mengerut.
"Kayaknya engga deh yah," ujar Emily.
"Syukurlah, selepas kejadian hari itu. Ayah benar-benar takut yang mereka incar adalah Revin." Lirih Marcel.
"Apa mafia itu tidak bisa di bubarkan yah?" Tanya Emily.
"Bisa, tapi ayah tidak bisa membubarkan mereka. Ayah sudah menjatuhkan ke pemimpinan pada Galang, ayah tidak tahu apakah dia sudah memilih penggantinya atau belum."
"Kalau begitu, saat ini mafia Araster masih ...,"
"Tidak, sekarang Mafia Araster sedang di nonaktifkan. Mereka bersembunyi dengan identitas mereka yang masih berstatus sebagai mafia Araster. Mereka kan terus berdiam diri hingga Galang sadar atau penggantinya kembali mengaktifkan mereka."
Emily terdiam, sudah delapan tahun mereka sejak kejadian itu terjadi. Mereka harus mencari dokter psikolog terbaik untuk mengobati psikis Revin. Sementara itu, Galang pun di bawa Dirga ke Jepang untuk berobat.
"Setidaknya Yamamura terkecoh dengan keberadaan Galang. Yang di tahu, saat ini Araster masih berkemimpinan Galang. Maka dari itu, Yamamura tak berani mengusik keluarga kita. Tapi, dimana saat Galang sadar. Disitu, kita harus bersiap. Berbeda apabila ... Galang sudah menjatuhkan kepimpinannya pada seseorang."
Emily bingung dengan dunia bawah, tak mengerti mengapa sesulit itu orang menyusahkan jalan hidup mereka. Bukankah berdamai dengan kehidupan jauh lebih menyenangkan?
"YAANGG!! YAANG!! MINTA TOLONG ANAK-ANAK NIH! AKU KAU KERJA!."
Emily menoleh pada Marcel dengan panik. "Bentar yah, pasti Cela sama si cila pengen ikut."
Marcel terkekeh, melihat putrinya ketar-ketir mengurus anak kembar itu.
"Mau ikut."
"Disini aja yah, daddy kerja sebentar doang. Abis itu pulang."
Keduanya menemplok bak koala di kaki daddy mereka, bahkan Gilbert merenggangkan kakinya ketika dua-duanya berada di kakinya.
"Cela, Cila. Ayo, daddy mau kerja." Bujuk Emily.
Mereka tak menghiraukan panggilan Emily, tetap pada pendirian mereka bahwasanya mereka akan tetap ikut.
"Nanti pulang daddy bawain es krim yah, jangan ikut oke." Bujuk Gilbert.
"Beneran?" Ucap Cela yang mulai melepas kaki Gilbert.
"Iya beneran, ayo Cila lepas kaki daddy." Bujuk Gilbert.
Setelah keduanya terlepas, barulah Gilbert menghela nafas lega.
"Benel loh! kalau nda, nanti cakit kali ku laca." Tagih Cila.
"Bener, udah. Daddy berangkat dulu."
Gilbert memeluk istrinya, mengecup keningnya singkat. Tatapannya melirik kedua anaknya yang mendongak menatap mereka.
Kedua tangan Gilbert menutupi mata kedua putrinya, dengan tersenyum nakal Gilbert mendekatkan wajahnya pada Emily.
Cup!
"Nakal kamu mas!" Pekik malu Emily sambil memegangi bibirnya.
"DADDY!!!" Rengek keduanya.
Gilbert dan Emily tertawa mendengar pekikan keras keduanya yang merasa kesal dengannya.
.
.
.
.
...GOLDEN SCHOOL...
Motor Revin dan Reynan memasuki kawasan Golden School. Kedatangan mereka membuat banyak murid menatap mereka dengan wajah kagum.
Saat motor Revin berjalan lebih dulu dari Reynan, tapi dia harus terhalangi dengan tiga orang pelajar perempuan yang bergosip sambil berjalan santai di tengah jalan.
"Iya, kemarin gue baru denger katanya sih ada kepala sekolah baru."
"Biarlah, yang penting gak banyak aturan." Ujar temannya cuek.
"Bukan banyak lagi, ini lebih banyak!"
"Oh ya! astaga,"
TIN!!
TIN!!
TIN!!
Ketiga siswi itu berbalik dan menepi, mereka melotot tak terima ketika di klakson seperti tadi.
"HEI!! INI BUAT PEJALAN KAKI!" Teriak siswi yang berada di tengah.
(Anastasia, seorang remaja berumur 18 tahun. Identitasnya bersifat rahasia, tapi banyak yang mengenalnya sebagai anak dari pengusaha ternama. Hanya memiliki satu saudara laki-laki.)
Revin menulikan pendengarannya, dia tetap melajukan motornya meninggalkan ketiga siswi itu dengan cuek.
"Asem banget tuh cowok!!" Pekiknya.
"Sabar na, sabar. Kata emak gue, orang sabar pacarnya banyak." Ujar teman Ana sambil mengipasinya.
"Kesabaran gue setipis tisu! tapi banyak tuh yang antri!"
(Jingga putri Aryan, putri bungsu keluarga Aryan. Ayahnya seorang pengusaha tambang, jadi tak heran jika dia bisa masuk ke sekolah elit ini.)
"Eh, tapi kalau di liat-liat cakep juga yah. Keren gitu." Ujar Jingga.
"Mata lo keren! berandalan begitu! mau sekolah apa mau balap liar!"
(Si tukang ceplas-ceplos, Aileen Nathania Alexander. Merupakan putri tunggal Alexander Group. Dimana sang ayah merupakan pemilik perusahaan televisi terbesar.)
"Mata gue keren yah, coba Ana liat mata gue!" Pekik Jingga."
Ana memutar bola matanya malas. Hatinya tengah jengkel, dan di buat jengkel dengan temannya itu.
Brum!!
Brum!!
Ketiganya kembali menoleh saat melihat dua mobil membelah kerumunan, keduanya menutup mulutnya saat tau siapa yang ada di dalam mobil itu.
"Waaahh pangeran aku." Pekik Ana.
"Lah, tapi kan ... bukannya dia udah nolak kamu yah?" Ana mendelik menatap Jingga yang dengan polosnya membuat dirinya kembali mengingat saat cintanya di tolak.
.
.
.
.
Motor Reynan dan Revin berhenti di parkiran khusus motor, keduanya membuka helmnya dan menyugar rambut mereka.
"Langsung ke kelas?" Tanya Revin.
"Lo ke ruang kepsek dulu buat data. Apa perlu di anter?"
"Emang lo kira gue bocil!" Reynan terkekeh, dia turun dari motor di ikuti Revin yang tak lama menyusul.
Tepat saat mereka akan pergi, dua buah mobil berhenti tepat di sebelah motor mereka. Reynan tahu siapa mereka, tapi tidak dengan Revin yang baru saja masuk.
"Ini kan parkiran motor? apa mereka gak baca ada plang gede begini?!"
Reynan menepuk pundak Revin dan menariknya agar tak mencari masalah dengan si pemilik mobil.
"Gak bisa gitu dong! Peraturan tetap peraturan!"
"Rev! rev! gak bisa gitu!!" Panik Reynan.
Tok!
Tok!!
"KELUAR LO! GAK BACA APA PLANGNYA HA!!"
Revin memundurkan langkahnya saat mobil itu akan terbuka, menunggu kehadiran sang pemilik mobil.
Tiga orang keluar dari pemilik mobil pertama, tiga-tiganya seorang pria menatap Revin dengan kaca kata hitamnya.
"Pantesan gak keliatan, kaca matanya hitam. Lain kali, pake kaca mata yang jernih! jangan hitam! jadi gak keliatan kan lo!"
Reynan hanya bisa menutup wajahnya, kalau tahu begini dia lebih baik berangkat duluan saja tadi.
Namun, ketiganya tak berkata apapun. Hanya diam menatap Revin dengan tatapan datar. Reynan tidak ingin Revin terkena masalah di awal sekolah, maka dari itu dia menarik kasar jaket Revin untuk memasuki sekolah.
"Siapa dia? murid baru? berani bentak kita?" Ujar salah satu dari mereka setelah Revin dan Reynan pergi.
"Biar." Sahut yang lain dan berjalan lebih dulu.
Tak lama, keluarlah penumpang dari mobil yang lain. Terlihat dua orang siswi menghampiri keduanya dengan tatapan bingung.
"Bilang apa mereka?" Tanya salah satu dari dua siswi itu.
"Gak penting."
.
.
.
.
Sampai di ruang kepsek, Revin mengomel kesal karena Reynan menariknya pergi sebelum dirinya bisa menyingkirkan mobil itu dari parkiran motor.
"Please yah Rev, jangan cari masalah sama mereka."
"Kenapa emangnya?" Bingung Revin.
Reynan membenarkan tas punggung nya, lidahnya membasahi bibir bawahnya sejenak.
"Mereka aneh."
"Aneh?" Beo Revin.
Reynan mengangguk. "Semenjak ada mereka disini, banyak di temukan mayat di sekolah."
Revin melotot kaget. Tiba-tiba dia bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi di sekolah.
"Mereka yang bunuh?" Tanya Revin.
Reynan menggeleng. "Gak tahu si pastinya, tapi jejak pembunuhan nya itu bersih. Gak ada secuil pun jejaknya,"
"Lo fitnah dong namanya." Sewot Revin.
Reynan menggeleng, dia bukan fitnah. Namun, dia pernah sekali melihat dengan mata kepalanya sendiri salah satu dari mereka tampak mencurigakan.
"Gue pernah jadi saksi matanya." Bisik Reynan sambil menoleh ke kanan dan kekiri.
"Aaaaanj! serius! ah, gak jadi sekolah disini gue. Mau balik home schooling aja." Takut Revin.
Reynan memukul keplaa Revin dengan kencang.
"GUNANYA KAKEK BESAR NGAJARIN ILMU BELA DIRI SAMA SENJATA APA KALAU GAK DI GUNAIN!" Kesalnya.
Revin menyengir, dia melihat Reynan yang memakai sebuah alat di telinganya. Bentuknya seperti earphone, hanya saja fungsinya untuk menangkap suara senjata yang suaranya cenderung halus hingga nyaris tak terdengar.
Tatapan Reynan mengarah pada kalung yang Revin pakai, dia menatap Revin seakan bertanya.
"Lo pake kalung itu ke sekolah?" Tanya Reynan.
"Iya, kenapa?" Bingung Revin.
"Enggak, takut di razia aja." Sahut Reynan.
Revin mengangguk, dia memasukkan kalungnya ke dalam seragamnya.
Cklek!
"Kenapa kalian berdiri saja? kamu anak baru kan? ayo masuk!" Tegur seorang guru.
Revin mengangguk lalu masuk ke dalam ruang kepsek, sedangkan Reynan dia berjalan menuju kelasnya.
______
LIKE! LIKE! KOMEN JANGAN LUPA😍😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!