NovelToon NovelToon

My Momster In-law ( Body Swap)

Swap Body

"Dindaaaa!" suara di balik pintu kamar yang memekakkan telinga sudah tidak dapat diabaikan lagi. Sejak tadi dia berusaha untuk mengabaikannya, tapi kenyataannya, tidak bisa. Dinda mengalah, lagi pula sudah biasa kan. Bangkit dan segera berjalan ke depan pintu kamar. Rasa sakit di kepalanya masih menyentak, seolah kepalanya dipukul oleh palu gadang.

"Ada apa, Bu?" tanya Dinda setalah membuka pintu. Wajah ibu mertua tetap seperti biasanya, menyeramkan dan tidak bersahabat.

"Mana Dinda, aku ingin bicara dengannya!" ucap wanita itu masih dengan amarah yang membakar. Betapa dia sangat kesal karena hingga saat ini masih belum turun untuk menyiapkan sarapan mereka.

Kebisingan di rumah itu sudah biasa. Mungkin teriakan hingga kedengaran di telinga tetangga juga lumrah dan sepertinya sudah bisa menerima kebiasaan Maya yang selalu marah-marah pada mantunya walau kadang tanpa sebab.

Ada saja yang dijadikan alasan untuk memarahi Dinda, karena memang sejak dulu dia tidak menyukai gadis itu.

Seperti dua hari lalu, pertengkaran diantara mereka tidak terelakkan lagi.

"Apa yang lakukan pada bajuku? Kau pasti sengaja!" Salak Maya melotot. Dia ingin sekali menampar Dinda lagi, tapi urung dia lakukan karena baru seminggu lalu dia sudah menampar menantunya itu.

Dewa yang melihat kembali pertengkaran itu tidak bisa berkata apapun. Sudah menjadi makanan sehari-harinya melihat istri dan juga ibunya bertengkar. Kalau sudah begini, dia hanya bisa diam, tanpa bisa membela satu diantara mereka.

Jenuh? Sudah pasti. Hari-hari Dewa dilalui dengan pertengkaran di rumahnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan.

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi di antara ibu dan istrinya hingga berdampak pada kehidupan rumah tangganya. Dinda juga berubah, bersikap dingin padanya. Tidak ada lagi kemesraan seperti dulu.

Kapan ini bermula juga dia tidak tahu, yang pasti dulu kehidupan rumah tangganya sangat bahagia. Dia ingat bagaimana sulitnya meyakinkan orang tua Dinda dan orang tuanya untuk mengizinkan mereka menikah.

Penolakan kedua orang tua Dinda tentu saja membuat Dewa putus asa. Sejengkal pun dia tidak mau mundur sebelum mendapatkan Dinda.

Dewa yang dilanda kegugupan hanya bisa meremas tangannya, tidak berani menatap mata tajam Handoyo. Walau nada bicara pria paruh baya itu lembut, tapi itu hanya berlaku untuk Dinda, padanya tatapan Handoyo sangat tajam dan bersikap tidak suka.

Wajar Handoyo bersikap seperti itu, dia memilik hadapan besar pada Dinda, kalau dia menikah, maka semua harapannya akan pupus.

Penolakan itu tidak terbantahkan. Dewa pulang dengan tangan hampa. Namun, tidak sedikitpun dia menyerah. Sesampainya di rumah dia terus memaksa Dinda memohon kembali pada orang tuanya hingga mendapatkan izin.

"Aku gak mau kehilangan kamu, Din. Kamu ngomong lagi sama papa mama mu, dan aku juga akan ngomong sama ayah dan ibu," ucap Dewa memaksa.

Pernikahan mereka harus segera terlaksana. Dia tidak bisa kehilangan Dinda. Rencana pernikahan ini memang dia yang memulai, itu karena dia sangat cemburu karena banyak yang mendekati Dinda. Mulai dari satu tingkatan Dewa, baik itu satu jurusan atau pun beda, hingga satu stambuk Dinda juga banyak yang naksir pada gadis itu.

"Kita harus menikah secepatnya!"

"Kenapa gitu, Mas?" Tanya Dinda yang merasa heran, mengapa tiba-tiba saja Dewa mengatakan hal itu. Mereka baru pulang kuliah dan sengaja singgah ke sebuah taman kota untuk bicara serius.

"Memangnya kamu gak mau nikah sama aku?" Tanya Dewa dengan tatapan serius. Dia takut kalau banyaknya perhatian yang diterima Dinda dari beberapa pria di kampus mereka membuat gadis itu tidak menyukainya lagi.

Sikap posesif nya memang sangat besar terhadap Dinda. Gadis itu adalah pacarnya yang kedua. Dulu, Dewa sangat trauma setelah ditinggalkan tanpa sebab oleh kekasihnya, Helga. Hidupnya hancur, tidak terarah. Membenci semua orang yang ada disekitarnya, hidup terpuruk dan tidak punya semangat.

Suatu hari tanpa sengaja dia mau ke kampus, untuk mengurus perpanjangan cuti, di sana lah dia pertama kali bertemu Dinda dan langsung jatuh cinta.

"Aku mau nikah, tapi kenapa tiba-tiba begini? Aku masih baru masuk kuliah, Mas. Kita juga pacaran baru enam bulan," ucap Dinda mengerutkan kening. Dia menyelidik apa Dewa salah makan obat hingga berbicara aneh seperti ini.

"Aku gak mau kehilangan kamu, Din. Aku mohon sayang, menikah'lah denganku. Aku akan segera lulus kuliah, dan meneruskan perusahaan ayah, semua akan baik-baik saja. Gak ada penderitaan yang akan kamu dapat, hanya kebahagiaan dan juga cinta yang akan ku berikan," ucap Dewa menggenggam tangan Dinda, mencium punggung tangan gadis itu.

Dinda yang juga sangat mencintai Dewa hanya bisa mengangguk dengan perasaan berbunga. Dia merasa beruntung dicintai oleh Dewa yang juga idola di kampus mereka.

Tidak banyak gadis yang menikahi pacar sekaligus cinta pertamanya, bukan? "Aku mau, Mas," jawab Dinda tersenyum.

***

"Apa katamu? Menikah? Apa aku sudah gila, Wa? Dari mana kau punya pikiran seperti itu?" Hardik Maya berang kala setelah makan malam keluarga, Dewa mengutarakan niatnya.

"Aku serius, Bu, Yah. Aku ingin menikah dengan Dinda," ucap Dewa tegas. Dia tidak boleh gagal menikahi Dinda, walau makian dari orang tuanya menjadi imbalannya.

"Ibu gak setuju! Kamu anak Ayah dan Ibu satu-satunya. Kuliah pun belum selesai, malah ingin nikah. Buang jauh-jauh pikiranmu itu!" Kembali Maya melakukan aksi protesnya. Gala, ayahnya hanya bisa diam.

Pria itu tidak banyak bicara. Dia tidak suka keributan dan bersikap bersahaja, membuat dalam rumah tangganya Maya yang lebih banyak bicara dan mengambil keputusan soal masalah di dalam rumah tangga mereka.

Maya sendiri punya alasan besar mengapa menolak keinginan Dewa ingin menikahi Dinda. Bagaimana mungkin dia bisa menerima anak dari mantan kekasihnya itu.

Maya seharusnya menikah dengan Handoyo, sudah lama bersama bahkan sudah ada rencana ke jenjang lebih tinggi. Namun, Reni yang merupakan putri dari bos Handoyo di kantor, hamil. Keduanya mengikuti pesta perayaan ulang tahun perusahaan, hingga mabuk tak sadarkan diri, dan berakhir di atas ranjang.

Hati Maya tentu saja hancur seketika. Bersumpah akan menuntut balas dendam pada Handoyo dan Reni. Siapa sangka, setelah berpuluh tahun tidak ada kabar, justru kini anak mereka yang justru saling berhubungan dan jatuh cinta.

Merasa kalau permintaannya akan ditolak, Dewa segera putar otak, memikirkan alasan agar orang tuanya menyetujui permohonannya.

"Gak bisa, Bu, aku harus segera menikahi Dinda, karena saat ini dia... Dia sedang hamil, Bu!" ujar Dewa yang entah dari mana punya pemikiran itu. Tiba-tiba saja terbayang di matanya kalau Dinda sedang hamil.

Akhirnya pernikahan itu tidak bisa ditolak oleh keluarga Dewa, dan sejak itu bagi Maya, Dinda adalah virus dan harus dimusnahkan, dan orang yang paling dia benci.

"Kenapa kau hanya berdiri saja, Dewa! Cepat bangunkan istrimu! Apa dia pikir dia ratu di rumah ini, tidur sampai jam segini!" Salak Maya menatap tajam sosok wanita yang ada di atas ranjang. Dinda yang saat itu ikut melihat ke arah ranjang, tiba-tiba pucat melihat tubuhnya berbaring di sana.

Bertukar Tubuh

Maya melangkah melewati Dinda yang masih membeku di ambang pintu kamarnya. Tidak sekalipun dia berkedip memandang ke arah tubuhnya yang tergolek di atas ranjang.

Sebisa mungkin dia mencoba mengajak otaknya untuk berpikir tentang apa yang terjadi. Dia ada di sini, tapi mengapa dirinya juga ada di sana?

"Bangun kau, Pemalas! Jangan pikir karena ini adalah hari libur, kau bisa bermalas-malasan!" hardik Maya menggoyangkan tubuh Dinda, berulang kali hingga gadis itu membuka mata.

"Ibu...," suara Dinda tercekat, kerongkongannya kering, mengucek mata berusaha menerima cahaya yang masuk.

Dia melihat ke arah Maya dengan mata memicing, lalu ke arah Dinda yang masih di sana. Sepertinya kakinya sudah berakar menembus lantai kamar.

"Lihat'kan Dewa, ini lah alasan Ibu tidak menyukai istrimu ini!" Ucap Maya melihat ke arah tubuh Dewa yang ada di ambang pintu. "Selamanya ibu akan tetap tidak bisa menerima wanita itu!" Ucap Maya melangkah pergi, dan saat melewati sosok Dewa yang dia lihat diambang pintu, Maya berhenti. "Segeralah bercerai, dan menikah dengan Gina!"

Hati Dinda perih mendengar hal itu, dikepalnya tinju, menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Perkataan mertuanya kembali membawanya pada masa itu, awal kakinya melangkah ke rumah yang memberinya kesedihan.

"Saaaah!" Teriakan para tamu undangan sekaligus saksi di acar pernikahan itu menjadi penanda kalau Dewa dan Dinda kini sudah menjadi suami istri. Senyum bahagia dan lega terlihat di wajah Dewa, sementara Dinda hanya bisa terisak haru. Terlebih saat mendengar nasehat ayah dan ibunya.

"Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Ikut apa kata suamimu, karena sekarang dia adalah suamimu. Hargai dan sayangi mertuamu, karena sekarang mereka juga adalah orang tuamu," ucap sang ayah memeluk putrinya sesaat setelah Dewa usai mengucapkan janji suci atas Dinda.

Semua tamu sudah pulang. Pernikahan itu memang tidak dilangsungkan secara besar-besaran, hal itu sesuai permintaan Maya karena melihat kondisi Dinda saat ini.

Reni juga setuju. Mereka hanya memikirkan kesehatan Dinda, tidak ingin terlalu lelah yang nantinya bisa berakibat buruk terhadap gadis itu.

"Kamu belum ganti baju, Din?" Tanya Dewa saat mendapati istrinya itu sedang duduk di tepi ranjang kamar Dewa yang kini menjadi kamar mereka bersama.

Dinda mengangkat kepalanya melotot pada Dewa, lalu menunduk kembali. Dia masih kesal pada suaminya itu. Demi cinta dia ikut dalam sandiwara Dewa, membohongi orang tuanya.

Dewa mendekat, berjongkok di depan gadis itu dan mengangkat dagu Dinda. "Kamu marah ya, sama aku? Aku minta maaf, Sayang. Aku lakukan itu karena ingin mendapatkan izin dan restu agar kita bisa menikah," ucap Dewa dengan lembut.

Hanya karena mengatakan Dinda sedang hamil, maka kedua orang tua mereka mengizinkan pernikahan itu terjadi.

"Tapi gimana kalau sampai orang tuamu tahu kalau kita bohong?" Tanya Dinda, ada ketakutan dalam suaranya.

Dewa bangkit, duduk di sebelah Dinda, menarik tubuh gadis itu agar bersandar di pundaknya.

"Kita akan menjelaskan hal itu," jawab Dewa seolah tidak yakin. Dia juga sebenarnya bingung bagaimana menjelaskan pada ibunya.

Kekhawatiran Dinda terbukti. Selama berbulan menikah, mereka menyembunyikan rahasia itu, berharap bahwa Dinda akan segera hamil, hingga tidak perlu mengungkap kebenaran.

Namun, setelah enam bulan pernikahan yang begitu bahagia, Maya bertanya mengenai tubuh Dinda yang tidak berubah. Perutnya tetap datar, tidak ada tanda kehamilan.

"Sudah menikah enam bulan, kenapa perutmu belum juga membesar? Apa benar kalian sudah periksa?" Tanya Maya siang itu. Dia sudah memperhatikan menantunya belakangan ini. Bersikap seperti bukan wanita yang sedang hamil. Pulang kuliah biasanya dia masuk kamar, entah mengapa kali ini dia menemani mertuanya merawat tanamannya.

"Itu... Mmmm..." Dinda benar-benar bingung. Dia harus jawab apa. Dewa juga sedang tidak ada di rumah. Pria itu mulai bekerja begitu wisuda semester lalu.

Maya meletakkan gunting tamannya, menoleh ke arah Dinda dan duduk di samping gadis itu, tanpa Maya sadari dia sudah memberikan tekanan pada Dinda.

"Jangan-jangan sebenarnya kamu tidak hamil? Selama ini kalian bohongi kami? Jawab!" Bentak Maya. Suara keras Maya membuat Dinda yang dibawah tekanan dan perasaan bersalah, menangis terisak. Dia turun dari kursinya lalu sudut menyentuh kaki Maya.

"Aku minta maaf, Ibu. Aku bersalah karena sudah berbohong pada Ibu selama ini," ucapnya disela tangisnya. Dia tidak menyangka kalau kebohongan yang mereka simpan selama enam bulan ini akan terbongkar juga hari ini.

Amarah sudah menguasai Maya. Dia menatap penuh amarah dan jijik pada Dinda. Pada awalnya dia memang tidak menyukai Dinda karena menganggap Dinda lah yang mempengaruhi Dewa untuk menikah muda.

Plak!

Tamparan pertama yang Dinda terima dari mertuanya. Dinda tersentak, menatap mertuanya dengan memegangi pipinya yang memerah dan terasa sakit.

"Firasatku yang mengatakan bahwa kau adalah wanita tidak benar, terbukti sudah. Seandainya aku tahu bahwa kau sudah menipu kami, seujung kuku pun aku tidak akan menyetujui kau menjadi menantuku!" Umpat Maya dengan emosi yang menyala.

Tanpa iba, Maya mendorong tubuh Dinda dengan kakinya hingga gadis itu terdorong dan Maya bisa melewatinya.

"Maafkan aku, Ibu. Aku gak bermaksud membohongi kalian," ratap Dinda, tapi nyatanya hal itu tidak berpengaruh pada Maya. Kebenciannya semakin berurat setelah mendengar kenyataan pahit ini.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah memaafkan mu!" Maya bergegas masuk ke dalam rumah setelah meneriakkan kalimat itu.

Tinggal'lah Dinda meratapi nasibnya. Dadanya sesak. Pada awal Dewa mengatakan rencananya perihal kebohongan ini, Dinda sudah menolaknya, tapi Dewa mohon agar mau melakukan demi bisa menikah. Lihatlah, buah dari kebohongan mereka, Dinda yang akhirnya dibenci oleh mertuanya kini.

Dewa ingin kembali mengempaskan tubuhnya ke kasur setelah dipastikan Maya sudah pergi, tapi penggalan ingatan saat melihat ke arah Dinda yang ada di ambang pintu membuatnya batal melakukan niatnya, justru menegakkan tubuhnya dan menatap lekat pada Dinda yang sudah menutup pintu dan berjalan ke arahnya, sama pucat nya dengan dirinya.

"I-ini, A-apa yang terjadi, Din? Kenapa begini?" Tanya Dewa hampir tanpa suara. Meraba dadanya yang kini lebih berisi, membusung ke depan lalu bergegas melihat ke balik selimut, membuka celana pendek yang dia kenal sangat disukai Dinda saat tidur.

"Gak... Ini gak mungkin kan? Dindaaaaaaa!" jeritnya menatap sang istri yang juga seperti mayat hidup. Hanya saja Dinda lebih kehilangan suara saat shock seperti ini.

"Ya, Tuhan.... Apa yang sudah terjadi? Kenapa tubuhku ada padamu, dan aku dalam tubuhmu?" Pekiknya menjambak rambut Dinda seperti yang biasa dia lakukan pada rambutnya.

"Lepaskan tanganmu, dari rambutku!" Tukas Dinda menarik tangan Dewa dari rambut indahnya.

"Kau bisa sesantai ini? Apa kau tahu artinya ini? Gak... Ini gak mungkin terjadi!" Dewa masih dirasuki kebingungan, bagaimana berpikir tetap saja tidak bisa diterima akal sehat.

"Ini seperti cerita dalam film yang aku tonton!" Desis Dinda kembali melirik benda di balik celana yang saat ini melekat pada tubuh Dewa.

"Maksud kamu?"

"Swap Body," tukas Dinda yang kini sudah kembali akal sehatnya dan kemudian keduanya sama-sama berteriak.

Mungkin semesta ingin menciptakan cerita berbeda dari mereka. Pertengkaran hebat terjadi malam sebelumnya. Keduanya sudah sama-sama diambang batas kesabaran masing-masing. Sama-sama penuh ego dan merasa paling benar.

Dinda pergi malam itu juga dari rumah, kembali ke rumah orang tuanya. Dua hari tanpa ada komunikasi, Dewa akhirnya menjemputnya, meminta untuk bicara berdua, demi kebaikan kedua anak kembar mereka.

"Jadi kau tetap akan menikah dengan Gina?" tanya Dinda dengan rasa sakit. Malam itu dia memilih bar tempat mereka bicara.

"Kau tahu betul ini keinginan Ibu, lagi pula mungkin ini yang terbaik bagi kita. Sadarkah kau beberapa tahun belakangan ini, kita selalu bertengkar? Tidak ada rasa nyaman dalam hubungan kita lagi," jawab Dewa yang membuat Dinda mengepal tinju di sisi tubuhnya. Luka dalam hatinya kembali menganga.

"Baiklah, kalau begitu, silakan kau menikah, tapi ceraikan dulu aku!" ucap Dinda dengan segenap rasa kecewa, sakit dan harga dirinya, seraya menghabiskan minuman dalam gelasnya.

Janji Jiwa

Sudah setengah jam lebih pasangan suami istri itu mondar-mandir di dalam kamar. Teriakan Maya dari lantai bawah sepakat untuk diabaikan. Ada hal yang terpenting yang harus mereka selesaikan saat ini.

"Ibu kamu itu selalu teriak, memangnya ini di hutan!" seru Dinda menghentakkan kaki ke lantai. Kalut pikirannya ditambah lagi dengan tingkah ibu mertuanya membuatnya hilang kesabaran pagi ini.

"Din, itu ibuku," sambar Dewa tidak terima kalau ibunya dijelekkan.

"Ya, iya memang ibu kamu, yang bilang ibuku, siapa?" jawabnya asal. Satu hal yang dia sadari dari kekacauan yang terjadi ini, dalam tubu Dewa, Maya tidak akan mungkin menganiaya dirinya.

"Jadi gimana ini? Masa kita harus menjalani hidup dengan keadaan terbalik begini? Kamu harus bantu mikir, kenapa kita bisa sampai ketukar," ucap Dewa memijit pelipisnya. Sejauh apapun memikirkannya dia tidak bisa mengerti mengapa mereka bisa tertukar begini.

Hingga saat ini, Dewa masih belum berani melihat cermin, belum sanggup melihat bagian tubuhnya yang berubah, meski itu milik istrinya sendiri. Padahal dia sudah kebelet ingin buang air kecil. Takutnya saat di kamar mandi, Dewa jadi bingung, antara mau jongkok atau berdiri.

Tahu lah, dia geli. Dewa kadang heran, mengapa ada pria yang justru suka memiliki semua yang ada di tubuh wanita untuk ada di tubuhnya. Padahal Tuhan sudah menciptakan sesuai kodratnya masing-masing.

Keduanya duduk di tepi ranjang, mengurut step by step yang mereka lakukan hingga bangun di pagi hari dalam keadaan sudah bertukar jiwa begini.

"Janji Jiwa!"

"Janji Jiwa!"

Pekik keduanya serentak. Tampaknya mereka berdua bertemu dalam satu pikiran.

"Benar, banget. Tadi malam kita kesana. Kamu ngajak bicara soal anak-anak sebelum kamu nikah sama Gina!" ucap Dinda menggigit kukunya sembari terus berpikir. Kebiasaan Dinda yang tidak pernah hilang, terlebih di saat panik.

"Terus kita minum, terus minum sampai mabok, kamu ngoceh-ngoceh gak jelas ngumpat bahkan maki-maki aku dan juga ngatain ibu Momster!" lanjut Dewa mengingat semua. Senyumnya terbit kala mendapati setitik pencerahan akar runtutan kejadian yang menimpa mereka.

Gadis itu memicingkan mata, kala mengingat tingkah memalukan yang sudah dia buat di bar itu, tapi coba doa tepis. Namanya juga orang mabuk, ya?

Dinda ingin melanjutkan, tapi semangat nya turun, kala menyadari kalau yang diingat suaminya itu hanya bagian terburuk atas kejadian malam itu.

Dia mengakui kalau dirinya sudah mengatai ibu mertuanya monster berwujud mertua, suka memerintah, suka ikut campur urusan rumah tangga mereka. Dan perihal Dewa yang ingin menikah lagi karena suruhan ibunya, semakin menambah daftar kebencian Dinda padanya.

Potongan-potongan kejadian malam itu muncul semakin jelas. Mereka berdua keluar dari bar, itu pun karena pemiliknya memaksa mereka keluar karena sudah buat rusuh.

Bagaimana tidak, Dinda teriak-teriak memaki nama-nama yang ada dalam list orang yang dia benci, bahkan Dewa juga ada di dalamnya.

"Dewa sialan! Kau ingin menikah lagi? Memangnya secantik apa sih mantan kamu itu? Dasar pelacur dia, pelakor gak tahu diri, mau menikah dengan suami orang!" pekiknya tersengal-sengal. Tanpa sadar sudah membuka sepatu dan naik ke atas meja dan melompat-lompat bagai anak kecil.

"Bu Maya monster, keterlaluan! Ibu sudah merusak rumah tanggaku!" kembali mengumpat. Lalu ada nama Gina yang tidak luput dari makian, disebut pelakor, bahkan sumpahi nya agar setiap ingin bercinta dengan Dewa, maka dia akan melihat Snoopy Dewa seperti orca, jadi gak berani ngangkang.

Semua umpatan dan sumpah serapah itu dia katakan semuanya, memuaskan sesak dalam hati.

"Sudah, Bu, silakan turun," ucap pelayan bar, menarik membantu Dinda turun dan segera mengusir keduanya keluar.

"Lihatkan, kita di usir, dan semua ini salahmu! Harusnya kita ke sini untuk bicara baik-baik, tapi kau malah mengajak ku mabuk, sampai diusir begini!" hardik Dewa memegang tangan istrinya, takut Dinda tersandung karena tidak punya keseimbangan.

"Lihat, itu air mancur," jerit Dinda melepas pegangan Dewa dan segera berlari mendekati kolam air mancur itu. Tidak terlalu luas, tapi cukup indah dipandang mata. Airnya jernih mengalir dengan menimbulkan suara yang begitu menenangkan. Belum lagi di tengahnya ada patung cupid yang sedang memegang panah.

Dinda mengamati kolam itu. Bunyi suara air yang mengalir membuat suasana tampak begitu teduh. Dinda bahkan mencelupkan jatinya. Air begitu dingin dan benar dugaannya, sangat sejuk.

Sepintas, Diwa yang berada di dekatnya menatap Dinda dengan penuh takjub. Ingin sekali menentang perintah ibunya yang memaksa dirinya untuk menikahi Gina.

Seluruh sisi hatinya hanya untuk Dinda, hanya saja cekcok dan juga sering ribut dalam rumah tangganya membuat Dewa sedikit banyak jadi jemu.

"Aku ingin sekali menjadi diri mu, Din, agar tidak perlu lagi menikahi Gina!" batin Dewa menatap lekat wajah Dinda. Di saat yang bersamaan, Dinda juga mengalihkan pandangannya dari air mancur ke arah Dewa.

"Seandainya kamu jadi aku, Wa, agar bisa merasakan hancur dan sedih hatiku. Aku juga pasti bisa menjalani kehidupan mu dengan tenang," batin Dinda.

Tidak ada hujan saat itu, tapi terdengar bunyi petir, tepat saat keduanya mendekat dan menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang panjang. Seperti sudah dikehendaki alam, saat itu pun bintang jatuh muncul, mengabulkan permintaan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!