💌 Selamat ulang tahun pernikahan yang ke-3, suamiku tercinta. Jangan pulang terlambat malam ini karena aku punya sesuatu untukmu! See you tonight.
Caitlyn tersenyum kecil saat pesannya terkirim pada sang suami, meskipun belum tampak centang biru di sana. Wanita cantik itu meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu bergegas keluar dari kamar setelah menghembuskan nafas begitu panjang dan berat.
Setiap kali kakinya melangkah hingga di depan pintu kamar, Caitlyn seolah sudah bersiap dengan segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dia hadapi. Oleh karena itu, tarikan nafas dan embusan yang panjang sudah menjadi kerutinan baginya selama tiga tahun ini.
Begitu keluar dan menutup pintu kamar, Caitlyn sudah memastikan bahwa topeng yang dia kenakan terpasang aman. Dagu yang terangkat itu bukanlah sebuah tanda keangkuhan, tetapi cara dia menghadapi dunia.
“Halo, Nona. Apa Anda butuh sesuatu?” sapa seorang pelayan. Melihat nyonya muda rumah ini yang tiba-tiba muncul di dapur, Dita langsung menghampiri, sedangkan pelayan lainnya sigap menunduk.
“Ah, tidak ada, Dita. Aku hanya ingin meminjam area kerjamu. Boleh?” Caitlyn menjawab pertanyaan sang pelayan yang memang sudah lumayan dekat dengannya selama dia berada di rumah ini.
Bukannya menjawab, Dita justru balik bertanya karena dia tahu persis bahwa tanpa izin darinya sekalipun, wanita itu bebas-bebas saja menggunakan area tersebut dengan segala isinya, bukan? Bahkan mengobrak-abrik tempat itu pun, tidak akan ada yang berani untuk melarangnya.
“Bolehkah saya dan yang lainnya ikut membantu, Nona?” tanya Dita penuh harap. Sudah bukan rahasia lagi bahwa si cantik Caitlyn terlalu sering menolak bantuan para pelayan jika ingin membuatkan sesuatu.
Caitlyn terkekeh kecil mendengar pertanyaan Dita sambil melangkah ke arah pantry. Semua pelayan kompak menaikan pandangan seolah bersiap menerima perintah. Hal itu membuat Caitlyn semakin terkekeh. Dia sadar betul bahwa para pelayan itu mengkhawatirkan diri mereka jika sampai suaminya melihat ini.
Kenapa? Apakah suaminya secinta itu sampai tidak rela istrinya memasak? Apakah pria itu takut sang istri terluka dan kecapaian? Jawabannya, tidak! Kenyataan yang terjadi, pria itu justru takut diracuni oleh sang istri.
Ah, bicara tentang pria dingin dan angkuh itu membuat Caitlyn semakin tidak sabar untuk malam segera tiba.
“Baiklah! Tapi cukup siapkan bahan-bahan saja, yah. Biar aku yang menyelesaikan tugasku,” jawab Caitlyn. Detik berikutnya, Caitlyn mulai menyebutkan bahan-bahan apa saja yang dia butuhkan, kemudian para pelayanan pun bergegas menyiapkan semuanya.
Wanita cantik itu lalu mencepol rambut, kemudian mengikat tali apron pada leher dan bersiap menjalankan misinya. Caitlyn terlihat mulai fokus berjibaku dengan bahan-bahan dan alat masak yang ada di depannya, sedangkan beberapa pelayan termasuk Dita tetap berdiri siap di belakangnya–menemani sekaligus siaga bilamana ada hal lain yang dibutuhkan sang nona muda.
Peluh kini terlihat menghiasi wajah cantik yang tak berbalut riasan itu. Tangannya sesekali terangkat demi menghalau bulir-bulir yang hampir menetes. Apakah Caitlyn terlihat sedang berusaha memberikan yang terbaik lewat masakannya? Tentu saja. Ini merupakan salah satu hadiah pernikahan untuk suaminya. Salah satu? Ya, salah satu. Ini mengartikan bahwa ada lagi hadiah lainnya.
Fokus Caitlyn sedikit teralihkan ketika Dita menyerahkan telepon dapur untuknya. Caitlyn menatap Dita dengan sebelah alis yang terangkat.
“Em … maaf, Nona. Tuan Muda ingin bicara dengan Anda.”
Ah, pasti beberapa panggilan tidak terjawab sudah tertera di layar ponselku.
Tanpa menjawab lagi, Caitlyn segera menerima telepon tersebut lalu menjepitnya di antara telinga dan pundak sebelah kanan. Wanita itu lalu berbicara sembari melanjutkan pekerjaannya.
📲 “Ha–”
📲 “Berani sekali kau mengacuhkan panggilanku.”
Suara berat dibumbui erangan kecil terdengar di ujung telepon. Caitlyn hanya tersenyum lebar.
📲 “Aku sedang tidak memegang ponsel, Al. Aku di dapur–”
📲 “Ck, harusnya kau tidak perlu repot-repot seperti ini. Kau bisa memesan atau meminta pelayan menyiapkannya, bukan?”
Caitlyn tertawa mendengar ucapan perhatian berbalut ketakutan itu.
📲 “Tidak perlu khawatir, sayang. Ingatlah jika ini ulang tahun pernikahan kita dan aku ingin memberikan hadiah kecil ini untukmu.”
Decakan disusul tawa kecil terdengar di telinga Caitlyn.
📲 “Kau yakin hanya hadiah ulang tahun pernikahan bukan karena kau rindu padaku?”
📲 “Apa kau keberatan dengan itu?”
📲 “Tidak juga. Ok, lakukan yang terbaik. Permintaanmu akan terkabul. See you.”
Panggilan telepon berakhir dan Caitlyn mengembalikan telepon dapur pada Dita. Wanita itu kembali fokus menyelesaikan pekerjaan yang tinggal sedikit lagi. Namun, tidak berselang lama, kemunculan ibu mertuanya mengacaukan suasana hati Caitlyn yang tadinya baik.
“Kau memang cocok jika terus menggunakan apron itu. Cantik dan terlihat pantas,” sindir Sania.
Para pelayan seketika menunduk bahkan ada yang langsung berpamitan meninggalkan tempat itu. Bukannya tidak hormat, tetapi lirikan tajam Sania merupakan perintah agar mereka segera pergi meninggalkan Caitlyn bekerja sendiri. Namun, tidak dengan Dita yang ditugaskan langsung untuk selalu menemani Caitlyn.
“Semua wanita pantas menggunakannya, Ma. Apalagi seorang istri yang tidak bekerja dan hanya mengharapkan uang dari suaminya.” Tidak kalah pedas sindiran balik yang dilontarkan Caitlyn. “Aku gak mau hanya bisa menghabiskan uangnya Lean tanpa bisa melakukan sesuatu untuk dia, Ma. Apa bedanya aku dengan benalu?” Caitlyn mengangkat pendanaannya dan langsung bertemu dengan tatapan tajam Sania.
Senyum kecil terukir menghiasi bibir tipisnya membuat Sania merasa kalah lalu mengepalkan tangan begitu kuat. Tatapan keduanya tidak jua berpindah seolah saling menyerang. Untung saja pekerjaan Caitlyn hampir selesai dan tinggal menunggu satu masakan terkahir lalu dihidangkan.
“Oh, ya. Benar sekali. Apalagi seorang istri yang tidak memilik anak. Dia harus bekerja keras untuk menyenangkan hati suami dan mertuanya. Jika tidak … kebencian dan label istri tidak berguna itu akan melekat padanya. Bukan begitu, Caitlyn sayang?” telak menikam hati Caitlyn.
Keadaan kini berbalik. Caitlyn terdiam sedangkan Sania tersenyum penuh kemenangan. Dita yang berada di sana hanya diam bak patung bernyawa seolah tidak mendengarkan apapun. Semua pelayan yang ada di rumah itu tanpa terkecuali, tahu bahwa nyonya besar dan nyonya muda rumah itu tidak saling akur. Pemandangan yang terjadi saat ini sudah bukan lagi hal baru bagi mereka.
“Apa kau ingin membakar rumah ini, hah?” bentak Sania begitu keras. Wanita paruh baya itu sembari menunjuk masakan penutup yang telah gosong hingga menimbulkan asap yang cukup tebal di sana.
Caitlyn baru tersadar dan hendak mematikan kompor, tetapi Dita sudah lebih dulu bergerak cepat. Ah, dia terlalu terpaku dengan perkataan Sania yang selalu sukses melukainya.
“Belajar lagi sana jika belum bisa bekerja dengan benar. Jangan sampai rumah ini terbakar hanya karena kecerobohanmu!” lanjut Sania berapi-api.
Caitlyn menarik nafasnya dalam lalu mengembuskan dengan pelan. Dia kemudian meminta Dita menata makanan yang sudah jadi sebelumnya di ruangan khusus, di lantai 2. Ya, malam ini Caitlyn memang hanya memasak dalam jumlah kecil khusus untuk dia dan suaminya saja. Kedua mertua dan keluarga yang lain makan masakan yang disiapkan oleh pelayan di lantai satu.
Pada saat Dita meninggalkan dapur dan menuju lantai 2, Caitlyn kembali menatap ibu mertuanya dengan kedua tangan yang terlipat di dada.
“Sepertinya kau melupakan satu fakta ini, Mama mertua. Biar aku ingatkan lagi.” Caitlyn menepuk-nepuk kedua telapak tangannya seolah membersihkan dari sisa-sisa kotoran setelah memasak, kemudian dia mendekati Sania. “Rumah ini dan segala isinya sudah menjadi hak suamiku sepenuhnya tidak hanya Sanjaya Grup. Kalaupun aku membumihanguskannya dalam sekejap mata, suamiku tidak akan berkomentar dan hanya akan membangun rumah baru yang jauh lebih megah dari yang kau pijaki saat ini, Mama mertua tercinta”
Sania terbungkam dan itu membuat Caitlyn tersenyum menang lalu bergegas mengikut Dita, meninggalkan Sania dalam emosi yang tertahan.
...TBC...
...🌻🌻🌻...
Setelah memastikan semua makanan dan minuman sudah tertata dengan baik di atas meja, Caitlyn segera bergegas mempersiapkan diri.
Detik bergulir dengan begitu cepat tanpa bisa dicegah dan kini Caitlyn pun terlihat sudah siap menunggu kepulangan suaminya. Jumpsuit merah tanpa lengan dengan kerah terbuka panjang, hingga memperlihatkan belahan dadanya yang indah. Rambut panjang berwarna chestnust brown itu dibiarkan tergerai begitu saja. Caitlyn kembali mematut dirinya di depan cermin.
“Apa masih ada yang kurang?” tanyanya entah pada siapa. Mungkin saja pada pantulan dirinya dalam cermin di sana. “Ah, hampir saja lupa,” imbuhnya lagi kala baru teringat akan sesuatu.
Caitlyn menunduk dan menatap pada seperangkat keperluan wanita di seluruh dunia ini yang tersusun rapi di atas meja rias. Rapi? Bukankah harus berantakan karena Caitlyn sedang bersiap-siap? Realitanya memang rapi dan selalu seperti itu. Benda-benda yang ada di sana hampir tidak pernah bergeser dari tempatnya. Tumpukan alat make up dengan brand ternama di sana hanyalah pajangan karena sesungguhnya Caitlyn sangat malas menggunakan semua itu. Ah, tidak. Dia tidak begitu mahir mengaplikasikan alat-alat tersebut ke wajah cantiknya. Lipstik pun tidak akan dia gunakan jika bukan untuk menghadiri sebuah acara formal. Pantas saja meja rias dengan desain mewah itu selalu terlihat rapi.
Caitlyn hanya lebih senang merawat kulit dan bentuk tubuhnya daripada berias. So, tidak heran jika wanita satu ini terlihat cantik alami dengan kulit yang begitu putih, halus, lembut bagaikan susu, serta postur tubuh yang indah bak model.
Tangan Caitlyn terulur meraih lipstik, kemudian mengoleskan pada bibir tipis miliknya yang selalu berwarna alami. But not for this time. Let she sparkle with red.
“Seperti ini, ‘kan?” Berbicara sendiri sambil memperhatikan wajahnya dengan teliti. “Aku kira cukup. Jangan berlebihan, Lily. Kau akan terlihat seperti wanita malam atau bahkan seperti badut.” Caitlyn tergelak membayang ucapannya.
Selesai dengan urusan bibir, si cantik itu meraih sebotol parfum dan memberikan sentuhan terkahir untuk menyempurnakan penampilannya malam ini.
“Well, done!”
Kaki jenjang Caitlyn segera membawanya keluar dari kamar. Jangan lupa rutinitas di depan pintu. Tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, Caitlyn menaikan dagunya dan mulai berjalan bak di atas catwalk menuju ruangan khusus yang dia sendiri sudah persiapkan sebelumnya.
“Terima kasih, Dita. Kau boleh pergi dan melanjutkan tugasmu yang lain,” titah Caitlyn santun tetapi sedikit tegas.
“Baik, Nona. Saya permisi.” Pelayan itu sedikit membungkuk lalu segera berlalu dari sana meninggalkan Caitlyn sendiri menunggu suaminya.
Pelayan itu memang ditugaskan sedari awal tadi untuk berdiri di samping meja yang sudah tertata. Bukan apa-apa, tetapi Caitlyn memang tidak percaya dan tidak akan pernah percaya dengan ibu mertuanya. Tidak untuk sekarang maupun nanti.
Caitlyn melihat jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan tangannya dan waktu setempat menunjukkan pukul 19.20 PM.
“Sebentar lagi,” gumam Caitlyn.
Wanita itu memandang ke luar jendela dengan perasaan yang berbeda. Tiba-tiba saja senyum indah yang tercetak sedari tadi berganti senyum miris di wajahnya. Caitlyn mendongak begitu dia merasakan matanya mulai memanas.
Tidak, tidak. Tidak untuk sekarang sebelum semuanya tuntas. Tahan, Ly. Tahan ….
Dia mencoba tertawa sambari menelisik setiap sudut ruangan itu. Tidak ada yang berubah selama tiga tahun terkahir. Namun, mungkin saja setelah malam ini semuanya akan berubah. Apapun itu, Caitlyn sudah memantapkan hati jauh sebelum malam ini dan yang akan terjadi di hari esok.
Lagi-lagi dia melirik jam tangannya. “Huh, aku terlalu berharap.”
Caitlyn menertawai dirinya sendiri. Jenuh menunggu, wanita itu berdiri lalu melangkah ke arah jendela ruangan tersebut. Berhenti di sana lalu menatap keluar menyapu hamparan kota yang diterangi cahaya bulan dan lampu-lampu. Caitlyn melipat tangannya di dada kemudian menunduk menatap gerbang besar kediaman keluarga Sanjaya. Namun, Belum juga terlihat tanda-tanda kedatangan seseorang yang dia tunggu sedari tadi.
Caitlyn hendak melirik sekali lagi jam yang melingkar di tangan, tetapi suara ribut-ribut dari arah bawah menyita perhatiannya. Wanita itu segera melangkah keluar dengan langkah sedikit terburu-buru dan dia langsung disambut sang mertua di depan tangga.
“Heh, anak pungut tidak tau diri! Kau pikir kau siapa, hah? Siapa yang jadi nyonya besar di rumah ini? Berani-beraninya kau menyuruh mereka untuk melarangku naik ke atas? Wah, wah–”
“Kita bicara di atas, Ma.” Satu kalimat singkat dengan nada datar itu membuat ucapan Sania terhenti dan semakin dipenuhi emosi. Akan tetapi, dia pun melangkah mengikuti Caitlyn yang sudah berbalik pergi terlebih dahulu.
“Apa lagi yang kau inginkan?” tanya Caitlyn tanpa menaruh hormat sedikit pun. Wajah cantiknya terlihat dingin tanpa ekspresi.
“Apa lagi memangnya?” Sania balik bertanya dengan tidak tahu malunya. “Tidak perlu berbasa-basi ….” Wanita paruh baya itu menengadahkan sebelah tangannya dengan gaya angkuh. “Berikan cek atau transfer langsung ke rekening–”
“Kau tidak akan lagi mendapatkan sepeser pun. Tidak akan pernah mulai malam ini.” Rendah tetapi penuh penekanan nada bicara Caitlyn.
Melihat wajah Sania yang kaget dan shock, membuat Caitlyn semakin menaikkan wajahnya. Mata indahnya menatap sang mertua dengan sangat tajam.
“Tidak perlu terlihat shock seperti itu. Bukankah sejak awal sudah aku ingatkan bahwa hari ini akan tiba? Jangan katakan jika kau lupa akan perkataanku, Mama mertua.” Caitlyn memberi penekanan di setiap kata-kata yang terlontar.
Sania terbelalak mendengar perkataan barusan. “Kau … jangan bilang kau ingin ….” Sania tidak dapat meneruskan kata-katanya.
“Ya, tentu saja. Aku sudah memutuskan untuk tidak akan lagi menjadi alatmu–”
Sania tiba-tiba tertawa keras membuat Caitlyn keheranan melihatnya.
“Kau pikir kau bisa hidup tanpa keluarga ini? Bahkan sejak kau dipungut pun uang dari keluarga inilah yang membesarkanmu.” Sania mencengkram pipi mulus Caitlyn. “Lihat dirimu. Semua yang menempel padamu ini apakah uang dari nenek moyangmu yang sudah menelantarkanmu, hah? Apa kau bisa hidup tanpa kemewahan ini? Belagu juga liat kondisinya, Menantu tidak tau diri!” Semakin mengencangkan cengkramannya.
Namun, tindakan itu tidak berlanjut karena suara yang memanggil Sania dari arah tangga terdengar begitu nyaring. Sania melepaskan Caitlyn tetapi disertai ancaman kecil.
“Transfer malam ini juga atau–”
“Atau apa?” potong Caitlyn dengan cepat.
“Akan kuberitahu soal dirimu yang diam-diam sering mengunjungi seorang pria di ap–”
“Permisi, Nyonya besar. Nyonya Sanju mencari Anda dan beliau menunggu di bawah.” Seorang pelayan datang menghentikan ucapan Sania.
Wanita itu melepaskan Caitlyn dan segera turun menemui mertuanya diikuti sang pelayan tadi. Sementara itu, Caitlyn terdiam dengan tubuh menegang. Dia tidak akan menyangka jika Sania akan memata-matai urusan pribadinya sejauh ini.
Caitlyn berbalik dan berlari kecil menuju ruangan tadi. Dia langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kursi dengan ukiran kayu di sana. Wajahnya terlihat sedikit kacau dan juga panik. Namun, Caitlyn berusaha menyetel kembali raut wajahnya seceria mungkin.
Usahanya tidak sia-sia karena tidak lama setelah itu, sang suami yang dia nanti sedari tadi akhirnya tiba di rumah.
Caitlyn mengangkat menoleh begitu mendengar bunyi derap langkah yang mendekat memasuki ruangan. Senyum lebar terukir di wajahnya saat melihat dia yang datang. Namun, ….
Kenapa? Ada apa?
Caitlyn bertanya dalam hati sambil menatap sekeliling mencari jawaban atas diamnya sang suami di depan pintu ruangan itu. Lelaki itu berhenti melangkah dan terdiam di tempat dengan pandangan yang lurus ke depan. Beberapa detik kemudian dia menggeleng cepat lalu kembali melangkah menghampiri istrinya.
“Kau sudah lama menunggu?” tanya Lean, suami Caitlyn. Pria itu langsung duduk bersebrangan dengan istrinya.
Caitlyn masih merasa bingung dengan sikap suaminya yang tadinya terdiam sejenak, kini berdehem berulangkali terlihat sangat tidak nyaman. Apakah suaminya ini sedang gugup? Oh, halo … yang benar saja seorang Aleandro Sanjaya gugup karena berduaan dengan istrinya yang bahkan tidak dia cintai sama sekali? Lelucon konyol macam apa ini? Begitu yang terlintas di benak Caitlyn.
“Kalau aku bilang iya kau tidak akan percaya seperti biasanya,” jawab Caitlyn dengan tenang.
Lean tersenyum culas sembari sedikit melonggarkan dasinya. “Jadi hanya ini kejutanmu?”
Pria itu menatap beberapa menu di atas meja dan bergantian menatap istrinya.
“Adakah hal lain yang kau butuhkan lagi di dunia ini? Sedangkan kau telah memiliki segalanya.” Caitlyn masih dengan senyum yang sama.
“Sudah kuduga. Kejutanmu tidak pernah membuatku terkejut tapi tetap saja aku senang.” Ya itulah Lean. Tidak benar-benar peduli dengan apa yang dilakukan istrinya. Akan tetapi ada hal-hal kecil yang disenangi lelaki ini dari diri Caitlyn yaitu perhatian. Apapun bentuk perhatian itu, asalkan bukan makanan. Ingat, dia sangat takut diracuni sang istri. What the hell?
“Kau tidak sedang ingin membunuhku, ‘kan?” tanyanya memastikan dengan mata memicing.
Caitlyn terkekeh. “Kalaupun iya, kenapa tidak aku lakukan saja sejak tiga tahun lalu?” Dia makin tertawa melihat Lean yang tersenyum masam. “Happy anniversary, Al.” Entah mengapa, ucapan itu terdengar sangat tulus di telinga Lean. Tidak seperti ucapan yang sudah-sudah.
Sepasang suami-isteri itu lalu menikmati makan malam dalam diam, hingga Caitlyn menawarkan wine untuk Lean. Pria itu menerima dan keduanya pun bersulang.
Lean terus meneguk minuman dari hasil fermentasi itu sembari berceloteh banyak dengan sang istri. Caitlyn tersenyum kecil. Dia tahu persis bahwa jika ingin membuat pria ini banyak bicara, maka dia hanya perlu sedikit wine. Dia yang sedari tampak menghindari tatapan sang istri, kini mulai bisa menatap dengan sesukanya.
Caitlyn bangkit berdiri lalu menghentikan tangan Lean yang hampir saja menuangkan wine ke dalam gelasnya untuk kesekian kali.
“Cukup, Al. Aku masih punya sesuatu untukmu.” Hendak menarik tangan Lean dan melangkah, tetapi tubuhnya justru ditarik dan tenggelam dalam dekapan Lean.
“Aku tau yang ingin kau perlihatkan. Bukankah ini?” Lean menarik bagian depan baju istrinya memperlihatkan pemandangan yang membangkitkan gairah.
“Bukan–”
Ucapan Caitlyn terhenti saat Lean dengan cepat menyambar bibir tipisnya yang sedari tadi terlihat menggoda. Ah, seharusnya Caitlyn memperkirakan hal ini sebelumnya. Dalam keadaan mabuk, Lean akan bersemangat untuk menyakitinya dengan sentuhan-sentuhan brutal seperti ini. Bodoh, itulah kata yang tepat untuk Caitlyn saat ini.
“Apalagi yang bisa kau lakukan selain memberikan tubuhmu ini, hm?” Kembali dia meraup bibir Caitlyn, tetapi sebentar saja. Dia kemudian menariknya menuju ke kamar.
Lean langsung mendorong pelan tubuh istrinya ke atas ranjang dan dia ikut berbaring menindih tubuh yang jauh lebih kecil darinya itu.
“Kenapa kau terlihat begitu cantik malam ini? Mau sengaja ingin menggodaku, ‘kan?”
Lean bangkit dari atas tubuh sang istri setelah memberikan satu kissmark di leher jenjangnya. Pria itu melepaskan dasi dan juga jas, lalu melemparkan ke sembarang arah. Dia bahkan melepas tiap kancing kemejanya dengan tidak sabar.
“Padahal kau bisa memintanya jika kau ingin,” ucap Lean dengan suara berat.
Caitlyn hanya memperhatikan setiap gerakan sang suami dengan tenang, hingga tangan besar itu berada pada kancing terkahir, Caitlyn lantas bangkit dan mengucapkan satu kalimat yang mampu menghentikan gerakan Lean.
“Mari kita bercerai, Al!”
Seketika Lean mematung di tempatnya. Meskipun wajah itu tidak menujukkan keterkejutan, tetapi Caitlyn yakin bahwa Lean mendengar ucapannya. Detik berikutnya Lean tertawa remeh.
“Berhenti bercanda! Aku tidak lagi berhasrat.” Lean menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, tetapi perkataan Caitlyn selanjutnya kembali menarik dia untuk bangun.
“Aku serius, Al. Ayo, bercerai! Kita lepaskan diri kita dari ikatan penuh drama ini,” jelas Caitlyn.
“Sebenarnya aku yang mabuk atau kau, hah?” Lean berdecak lalu mengancingkan bajunya kembali dan hendak melangkah keluar, tetapi Caitlyn menahannya.
“Aku tidak mabuk, Al. Aku serius. Bukankah ini yang kita inginkan bersama?” Sekali lagi Caitlyn meyakinkan.
“Jadi ini kejutan yang kau maksud itu?” tanya Lean tanpa berbalik menatap Caitlyn.
“Ya. Kali ini kau terkejut sekaligus bahagia, bukan?” Entahlah, tetapi ucapan itu menembus hati Lean.
“Tidurlah! Kau tampak kelelahan mempersiapkan kejutan ini, bukan? Aku akan keluar sebentar.” Setelah mengucapkan itu, Lean segera menghilang dari sana tanpa mau mendengarkan panggilan Caitlyn sedikit pun.
...TBC...
...🌻🌻🌻...
Dering ponsel yang terdengar memekik di pagi hari, serta-merta membangunkan Sania dari tidur nyenyaknya. Wanita itu segera bangun dan terduduk di bibir ranjang dengan kaki yang menjuntai ke bawah, kemudian meraih ponsel dari atas nakas yang berada tidak jauh dari tempatnya.
Tanpa perlu melihat nama penelpon, Sania sudah tahu pasti siapa orangnya.
📲 “Apalagi, sayang. Kau mengganggu tidur mama sepagi ini.”
📲 “Aku gak peduli, ma. Lagian ini udah siang, ‘kan? Ayolah, Ma. Aku butuh uang sekarang.”
Sania tidak menjawab. Wanita itu melirik ke sisi kanan ranjang di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. Tidak ingin membangunkannya, Sania lantas bangkit dan berjalan menuju balkon.
📲 “Sabar, Cel. Kau tahu, ‘kan, mama harus berdebat dulu dengan anak pungut itu, sayang?”
📲 “Makanya mama jangan terlalu lembek sama wanita ular itu. Sesekali beri dia pelajaran biar gak makin ngelunjak.”
📲 “Iya, iya. Baiklah. Sepertinya kakakmu itu tidak di rumah. Mama akan menemui anak pungut itu setelah ini. Sudah dulu, yah, jaga dirimu.”
Panggilan telepon itu berakhir dengan Sania yang memijat-mijat pelipisnya. Sepagi ini dia sudah dibikin pusing dengan tingkah anak bungsunya yang meminta uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Apakah Sania tidak bisa memberikannya? Bukankah suaminya adalah salah satu keturunan Sanjaya yang mana harta mereka tidak akan pernah habis tujuh turunan dan delapan tanjakan?
Tentu saja, tetapi untuk memperoleh bahkan menggunakan semua itu tidak semudah dulu yang sering Sania lakukan. Satu kesalahan fatal yang dilakukan Sania membuat semua akses untuk menggunakan fasilitas keluarga Sanjaya terpaksa ditutup suaminya sendiri.
Harusnya Sania mensyukuri ini karena perbuatannya tidak sampai diketahui ibu mertuanya, Nyonya Sanju. Hanya karena menuruti keinginan sang putri kala itu, Sania melakukan segalanya yang membuat, Hadya, sang suami marah dan mencabut semua hak-hak yang digunakan Sania.
Konon katanya, sejak dulu keluarga Sanjaya sangat menjunjung harkat dan martabat keluarga mereka. Reputasi dan nama baik bagi keluarga konglomerat satu ini sangatlah penting. Oleh sebab itu, 3 tahun lalu Sania harus menggelontorkan biaya yang tidak sedikit untuk membungkam beberapa media yang memperoleh video syur Cecilia dengan seorang pria di sebuah kamar hotel. Selain itu, Sania juga harus membayar ganti rugi atas pembatalan kontrak yang dilakukan Cecilia dengan agensi yang menaunginya. For you information, Cecilia adalah anak bungsu Sania dan Hadya, berprofesi sebagai seorang model.
Namun, karirnya tiba-tiba dia tinggalkan begitu saja dan memilih ke luar negeri sejak tiga tahun terakhir. Kepergiannya pun bahkan meninggalkan sederet tagihan yang harus dibayar Sania. Hadya yang mengetahui ini terpaksa memblokir semua kartu yang digunakan sang istri maupun putrinya. Bukan apa-apa, dia hanya ingin memberikan pelajaran kecil bagi ibu dan anak itu. Hadya khawatir jika terus berlanjut dan diketahui ibunya, Nyonya Sanju, bisa menjadi masalah besar.
Sejak hari itu, Sania tidak lagi bebas mengeluarkan uang. Maka dari itu, dia mulai menggunakan Caitlyn sebagai jalan satu-satunya untuk memperoleh semua itu kembali. Dari sinilah drama hubungan Caitlyn dan Aleandro bermula.
“Pagi-pagi kok ngelamun, Ma.” Hadya datang seraya memberikan pelukan hangat pada istrinya, membuat Sania tersadar dan berhenti memikirkan masa lalu.
“Eh … enggak, Pa. Mama hanya ingin menghirup udara segar aja.” Sania agak kaget memang tetapi masih mampu bersikap normal. “Mau kopi?” tanya Sania sedikit memberikan senyum.
Hadya melepas pelukannya, lalu memberikan kecupan di pipi sang istri. “Boleh, tapi setelah mandi dan tolong antarkan ke ruang kerja papa yah.”
Sania mengangguk tanpa menjawab. Dalam hati wanita itu meminta suaminya beraktivitas di luar saja agar dia bisa lebih leluasa menjalankan rencananya.
Hadya memang sudah jarang ke kantor sejak Ibunya resmi memberikan hak waris pada putranya, Aleandro, untuk mengelola segala bisnis Sanjaya Grup. Hadya hanya sesekali ke kantor pusat untuk memantau segala sesuatu berjalan dengan semestinya. Dia berpikir bahwa Lean masih terlalu muda untuk diberikan beban sebesar itu. Oleh karena itu, Hadya masih terus menemani sang putra meski dari rumah sekalipun.
“Buatkan kopi untuk suamiku,” perintah Sania pada salah satu pelayan di dapur.
“Selamat pagi, Nyonya. Baik.” Pelayan itu menunduk seraya memberikan salam baru setelah itu dia melakukan yang diperintahkan oleh Sania.
“Wanita tidak tau diri itu belum juga turun?” Sengaja bertanya tentang Caitlyn. Para pelayan sudah tidak lagi kaget mendengar makian Sania pada nyonya muda rumah itu. Mereka hanya diam dan menunduk. “Benar-benar tidak tahu diri. Sudah jam berapa ini? Dengan enaknya dia masih tiduran jam segini.” Sania melirik jam besar lalu menghembuskan nafasnya kesal.
Beberapa menit kemudian pelayan selesai membuatkan kopi, Sania langsung mengambilnya dan mengantarkan ke ruang kerja sang suami.
Tidak lama kemudian, giliran Caitlyn yang mendatangi dapur.
“Selamat pagi!” sapa Caitlyn full senyum.
“Selamat pagi, Nona. Anda butuh sesuatu?” tanya pelayan di sana.
“Ya, tolong buatkan 1 gelas jus bit untuk nenek.” Kali ini Caitlyn membiarkan pelayan yang membuatnya.
“Itu saja, Nona?” tanya pelayan sekali lagi.
“Emm, sebenarnya … aku ingin makan sesuatu. Tapi–”
“Aku yang akan membuatkannya, Nona. Katakan saja apa yang Nona inginkan.” Dina tiba-tiba sudah ada dan menyahut perkataan Caitlyn.
“Tinkyuw, Dita. Kau sangat memahami ku. Aku ingin makan brioche pagi ini. Tolong buatkan, yah,” ucap Caitlyn dengan wajah memelas.
Dita maupun pelayan yang lain terbelalak. Bukan kaget atau merasa keberatan. Tetapi permintaan ini agak aneh dan tidak biasa. Brioche adalah sarapan kesukaan Lean, sedangkan mereka tahu betul bahwa Caitlyn tidak pernah suka dengan makanan tersebut.
“Brioche? A-anda serius, Nona? Ma-maksudnya ini untuk Nona apa untuk Tuan Lean?” tanya Dita memastikan.
“Untukku tentu saja. Tuanmu itu sedang tidak di rumah–”
“Kata siapa? Aku di sini.” Lean tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
Caitlyn berbalik lalu menatap suaminya dengan tatapan datar. Melihat senyum kecil di bibir Lean, Caitlyn merasa ini adalah momen yang pas untuk kembali membahas perceraian.
Aku sangat berharap pagi ini kau menyetujuinya ….
“Dita, tolong buatkan 1 gelas teh jahe–”
“Tidak perlu. Aku sedang tidak mabuk.” Lean memotong cepat ucapan sang istri.
Caitlyn mengangguk dan tersenyum. “Ok, kalau begitu tunggu aku di kamar. Aku akan mengantarkan jus ini untuk nenek. Sebentar saja.”
Caitlyn segera menghilang dari sana, sedangkan Lean berusaha menghentikan langkah sang istri tetapi sedikit pun Caitlyn tidak menggubris.
“Hei, sebentar. Aku tidak ingin membahas apapun!” Lean sedikit berteriak.
“Kita perlu bicara!” balas Caitlyn setengah ikut berteriak karena mulai menjauh.
...TBC...
...🌻🌻🌻...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!