NovelToon NovelToon

Talak! Setelah Akad

Terbunuhnya Kebahagiaan

Sebuah Ikrar janji suci bergaung begitu mengharukan, Delisa Aprilia terus melafazkan doa-doa didalam benaknya berharap agar ijab kabul yang sedang ter-ikrarkan terucap dengan lancar.

Sah!

Semua mengucap syukur terlebih lagi gadis bernama Delisa Aprilia itu, ia tersenyum dan meraup wajahnya ketika mengucapkan kata syukur kepada sang pencipta.

Namun, saat ia menoleh kearah kanan, senyumnya kian berubah. Ia menyadari sesuatu yang aneh. Ya, Wahyu Nugroho sang mempelai pria, yang sudah menjadi suaminya memasang wajah begitu datar, tidak ada senyum yang tersirat, bahkan Delisa tidak mendengar kata syukur seperti yang lainnya dari Wahyu, sang suami.

Umumnya kedua pasangan yang baru saja menyelesaikan sebuah ijab qobul tentunya akan merasa lega, juga terharu bahagia tapi itu hanya dirasakan Delisa saja.

''Mas?'' Delisa meraih tangan Wahyu untuk segera ia salimi. Tapi baru saja hidung Delisa akan menyentuh punggung tangan Wahyu Sebuah kalimat membuat Delisa mematung.

"Delisa Aprilia, aku Wahyu Nugroho, men-Talak! mu sekarang juga!"

Bak seperti ribuan belati menusuk hati, seketika air mata Delisa menetes begitu saja. Pandangannya kabur karena linangan air matanya. Dengan begitu perlahan, ia mengangkat pandangannya menatap lekat wajah pria yang sudah 1 tahun dekat dengannya lalu memutuskan untuk menikah mengakhiri begitu saja hubungan yang sudah suci itu.

Semua orang terkejut, begitu juga kedua orang tua dari Delisa. Ibu Delisa sudah menangis di pelukan suaminya, ia tidak menyangka anak perempuannya mengalami nasib buruk tepat dihari bahagianya.

''Brengsek! kurang ajar! apa maksudmu, hah!'' Fauzan kakak laki-laki dari Delisa mencengkram kuat kera kemeja putih Wahyu, tidak terima atas perlakuan Wahyu terhadap adik perempuannya.

Wahyu tidak menyahutinya, ia hanya diam dengan menatap Delisa yang sudah menangis ditengah-tengah kerumunan orang yang turut mengambil Vidio di kamera ponselnya masing-masing.

''Maafkan aku Delisa,'' ucap Wahyu begitu entengnya.

''Apa, apa! maaf kau bilang? Sialan!!'' Emosi Fauza sudah tidak terbendung lagi. Satu pukulan kuat mendarat di wajah Wahyu sehingga meninggalkan memar dan ada sedikit robekan diujung bibirnya dan mengeluarkan darah.

''Ibu, bapak. Saya benar-benar minta maaf tapi ini semua demi ibu saya,'' ucapnya lagi sembari meringis menahan rasa sakit di wajah yang memar.

''Apa maksud mu! ada apa dengan ibumu!'' tanya Fauzan masih dengan amarah yang meledak-ledak.

''Ibu saya tidak merestui pernikahan ini. Dan sekarang dia sedang sakit, ini permintaannya.''

''Bodoh! jika dia tidak merestui kenapa kau bawa hubungan kalian sampai sejauh ini!!''

Bugh Bugh Bugh 👊👊👊💥

Fauzan kembali memukuli Wahyu dengan membabi buta. Sampai aparat setempat pun ikut melerai begitu pun orang tuanya yang ikut melerainya.

''Bang! sudah Bang!'' jerit Delisa yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

''Iya Bang, sudah bang, sudah. Mungkin ini sudah takdir dari yang kuasa,'' timpal Pak Herman, Bapak mereka berdua.

Fauza menoleh kearah Delisa yang masih duduk dikursi pelaminan. Ia mendorong tubuh Wahyu begitu saja lalu melangkah kearah Delisa. Fauzan memeluk erat tubuh adik perempuannya yang sedang menangis itu. Air mata Fauzan pun ikut jatuh kala mendengar tangisan sang adik yang begitu menyayat.

''Bapak!!'' pekik Ratna sang ibu membuat Fauzan dan Delisa menoleh.

Mata mereka terbelalak ketika melihat tubuh sang Ayah sudah terjatuh di lantai. Beberapa kerabat dan warga ikut membantu membawa Pak Herman ke rumah sakit.

Tangisan Delisa semakin jadi ketika melihat tubuh sang Ayah dibawa oleh mobil salasatu kerabatnya.

Seperti pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula, ya itulah yang sangat pas terpatri dalam tragedi pernikahan Delisa.

Suara roda berangkar rumah sakit seperti alunan musik yang membuat jantung Delisa lemah. Ia ikut berlarian dengan gaun pengantin mengikuti ranjang yang diatasnya terdapat ayahandanya.

Dan dibelakang sana, Wahyu ikut mengantarkan Pak Herman, rasa bersalah tentu menghantui Wahyu karena apa yan. terjadi pada ayah Delisa karenanya.

''Pak, jangan buat Delisa takut,'' lirih Delisa disela-sela tangisnya. Tangannya masih digenggam oleh Fauzan yang berlarian juga kearah IGD rumah sakit.

''Pihak keluarga tunggu diluar!'' ucap sala seorang perawat.

Delisa terduduk dilantai dengan Fauzan yang terus menenangkan kedua wanita kesayangannya yaitu ibu dan adiknya.

''Berdoa lah, Bapak pasti baik-baik saja,'' ucap Fauzan yang meminta ketenangan dari kedua wanita itu namun dia juga tidak bisa menyembunyikan raut kekhawatirannya.

''Iya, Bapak pasti baik-baik saja,'' timpal Wahyu yang berdiri tak jauh dari mereka.

Fauzan menoleh kearah suara yang sudah sangat ia benci. Menatap nyalang wajah yang seperti tanpa dosa itu.

Ia akan beranjak namun Ratna menahan tangannya lalu memberikan gelengan kepala, seraya meminta untuk Fauza agar bisa menahan diri.

''Sudahlah Bang, kasian adik mu,'' ucap Ratna begitu lirih.

''Kenapa kau masih berada disini! kau mau pergi atau aku yang akan menendang mu!'' ucap Fauzan dengan gigi yang menggeletuk.

''Nak Wahyu, sebaiknya kamu pergi dari sini. Sudah cukup kamu memberikan luka untuk anak kami, Delisa. Jangan menambahkan lukanya lagi,'' tutur Darman, adik dari Ibu Ratna, paman Fauzan dan Delisa.

Dengan beribu-ribu rasa bersalah, akhirnya Wahyu pun berpamitan pada semua orang walaupun tidak ada satupun yang menyahutinya.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang IGD pun terbuka dan keluarlah seorang dokter dan dua perawatnya.

Fauzan, dan Delisa, juga disusul dengan yang lainnya menghampiri Dokter tersebut.

''Bagaimana Dok, Bapak saya?!''

''Maaf Mas, Pasien sudah meninggal dunia.''

Delisa menatap dengan pandangan kosong. Ujian demi ujian terus bergulir dihari yang seharusnya hari ini adalah hari paling berkesan dan bahagianya. Namun, semua itu hanyalah impian, karena nyatanya adalah, ia telah di Talak sesaat setelah Akad, dan bahkan harus menerima kenyataan kalau Ayahnya harus berpulang ke pangkuan sang khalik.

''Pak Herman mengalami serangan jantung, dan tidak bisa lagi tertolong karena sudah meninggal sebelum mendapatkan penanganan.''

Tangan Fauzan mengepal kuat, matanya memerah dengan tetesan air mata yang keluar dari ujung matanya. Ia benar-benar menyalahkan semua ini pada Wahyu yang sudah mengakibatkan meninggalnya sang Ayah.

Brukk!!

''Delisa!!'' Pekik Ratna karena anak perempuannya itu tiba-tiba jatuh pingsan.

Dengan begitu tabah, Fauzan membawa tubuh adiknya kedalam gendongannya. Ia bertekad akan menjaga Delisa dan Ibunya sebagai pengganti Ayahnya.

Para pelayat berdatangan ke kediaman Pak Herman. Delisa terduduk di samping jasad sang ayahanda. Ia terus menangisi kepergian Ayahnya.

Suara-suara sumbang terdengar begitu menganggu, rupanya para pelayat bukan hanya menyampaikan rasa belasungkawa dan mendoakan mayit, melainkan ingin melihat langsung seorang wanita yang berstatus janda setelah di Talak usai Akad.

''Pak, kenapa bapak pergi. Apa bapak merindukan Ibu, Delisa butuh Bapak,'' lirih Delisa yang terdengar oleh Fauzan yang segera membawa Delisa kedalam pelukannya.

''Dek jangan bicara begitu, Ibu Ratna juga ibu kita.'' Delisa mengangguk dan menatap sendu ibu sambung nya yang memberikan senyuman kecilnya.

''Maafkan Delisa, Bu,'' lirih Delisa.

Semua Terlihat Suram

Kejadian naas itu membuat Delisa menjadi pribadi yang sangat pendiam dan tertutup. Semua kejadian menyedihkan waktu itu merubahnya begitu saja.

DiTalak setelah Akad dan ditinggal pergi untuk selamanya oleh ayahnya, belum lagi cap sebagai janda kembang dari para tetangganya yang seakan-akan tidak sama sekali perduli akan mental Delisa yang sedang dibuat berombak.

Sudah tiga bulan setelah Pak Herman pergi, Delisa masih saja mengunjungi makam sang ayah setiap harinya tanpa terlewatkan.

Disana ia kerap menangis, meraung keras hanya untuk sekedar membebaskan hatinya dari penderitaan yang terbentuk dengan tiba-tiba itu.

Wahyu sudah tidak lagi menghubunginya sejak saat kata Talak terucap itu. Dan Delisa pun tidak berharap untuk tahu kabar dari Wahyu walaupun rasa cintanya masih besar padanya.

Fauzan dan Ratna berdiri jauh dari tempat Delisa saat ini. Ibu sambung dan kakak kandungnya itu menatap tidak tega pada gadis 21 tahun itu.

Hingga ketika munculnya sebuah ide dari Fauzan yang membuat Ratna berpikir sejenak.

''Bu, Abang mau carikan kampus untuk Delisa.''

Ratna hanya menoleh sesaat, sebenarnya ide dari Fauzan bagus tetapi ia tidak yakin kalau Delisa akan menyetujuinya karena untuk keluar kamar untuk makan saja Delisa malas. Delisa keluar kamar hanya pergi ke makam ayahnya selebihnya terus berada di kamarnya.

''Kampus Bang? tapi apa Delisa mau.''

''Fauzan bakal bicarain dengan Delisa Bu. Karena mungkin saja dengan belajar, dia akan melupakan kesedihannya.''

Maka disinilah mereka berada. Diruang tamu Fauza dan Ratna menunggu Delisa pulang dan memintanya untuk duduk bersama disana.

Tanpa menyahuti Delisa hanya menurut untuk duduk di sofa sebrang tempat Fauzan dan Ratna duduk.

''Dek, Abang sudah carikan kampus bagus untuk kamu,'' ujar Fauzan. Berharap Delisa menyahut, tapi tidak. Ia hanya diam dengan pandangan datar.

''Ibu juga sudah meninjau kampusnya, dan memang bagus,'' timpal Ratna. Namun, Delisa tetap diam.

Bukannya menyahuti, Delisa malah menoleh kearah jendela besar yang dapat melihat langsung para tetangga sedang berbincang disana dengan sesekali melirik kearah rumah mereka. Kalau bukan membicarakan salasatu penghuni rumah itu lalu apa yang mereka bicarakan.

Fauzan mengikuti arah pandang Delisa, ia pun langsung mengerti apa yang sedang adiknya pikirkan itu. ''Abang carikan kamu kampus bukan dikota ini, jadi kamu bisa sekalian mencari suasana baru,'' tutur Fauzan membuat Delisa kembali menoleh kearahnya.

''Suasana apa Bang yang dapat Delisa temukan? semua sudah terlihat suram.'' Delisa beranjak pergi, tidak ada jawaban setuju ataupun penolakan dari Delisa yang membuat Fauzan dan Ratna saling menatap bingung.

''Tuh 'kan, Ibu sudah menebaknya Bang. Adik mu tidak akan setuju,'' ucap Ratna yang terlihat murung.

''Tidak Bu. Delisa tidak menolaknya—''

''Ya tidak menolak, tapi tidak juga menerima. Lalu?'' potong Ratna.

Fauzan merasa tidak tega dengan adiknya itu. Dia tahu menjalankan kehidupan apa yang sudah terjadi pada Delisa itu pasti berat tapi dia tidak mau kalau adiknya itu terkubur di dalam lembah duka yang tidak berujung.

''Bu, seminggu lagi Fauzan berangkat. Mana tega Abang liat adik seperti itu terus,'' decih Fauzan yang sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.

Biarpun Ratna bukanlah ibu kandungnya, Fauzan tetap menghormatinya layaknya seorang anak pada ibu kandungnya. Tidak ada kata tiri diantara mereka.

''Ibu juga bingung Bang, tapi ibu bakal bujuk adik mu,'' tekad Ratna.

Fauzan mengangguk, ''Tapi Bu, apa tidak apa-apa kalau Ibu ditinggal sendirian disini?''

''Tidak apa Bang. Tenang saja, tidak perlu pikirkan ibu, pikirkan adik mu dulu.''

Fauzan tersenyum senang, tidak salah ia menganggap Ratna seperti ibu kandungnya sendiri. Karena Ratna pun menyayangi mereka layaknya anak kandungnya juga.

*

"Bu kami berangkat ya, ibu jaga diri baik-baik disini."

Fauzan menyalami punggung tangan Ratna begitu juga Delisa.

Ya, Delisa telah menyetujui ide Fauzan setelah Ratna yang membujuknya. Dengan alasan kalau mendiang sang ayah pernah mengatakan sangat menginginkan dia melanjutkan pendidikannya.

Dan dengan sangat terpaksa, Delisa pun menyetujuinya walaupun berat karena dia juga tidak tega meninggalkan ibunya sendirian dirumah.

Dengan taksi merekapun meninggalkan rumah yang sudah bertahun-tahun lamanya mereka tempati bersama ayah dan ibu sambungnya.

Sampai ketika mereka pun telah sampai disebuah rumah yang tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil. Fauzan mengeluarkan koper besar milik Delisa dari bagasi taksi kemudian masuk kedalam rumah setelah membayar sesuai ongkosnya.

''Ini rumah dinas, Abang dapat dari APBN. Tidak besar seperti rumah kita tapi ini cukup untuk kamu tempati selama berkuliah,'' ujar Fauzan sembari berjalan menggeret koper milik Delisa.

''Bang kenapa tidak pinta Ibu untuk ikut?'' Fauzan menoleh, hatinya merasa lega karena mendengar adiknya sudah bisa bicara dengan nada normal tidak seperti sebelumnya yang datar dan dingin.

''Sudah, Abang sudah pinta ibu untuk ikut. Tapi Ibu menolak karena tidak mau meninggalkan rumah kenangan keluarga kita,'' jawab Fauzan dan Delisa pun mengangguk-anggukan kepalanya.

''Disana keperluan mu kuliah, tidak ada ospek kamu hanya perlu menemui dekan dan katakan kalau kamu adik ku, mengerti?''

''Mengerti Bang!''

''Kalau begitu kamu istirahat, Abang akan berangkat. Jaga diri baik-baik, cari kesibukan lain selain berkuliah.''

Fauzan pun pergi meninggalkan adik perempuannya yang mengantarnya sampai depan rumah. Fauzan adalah seorang pelaut, ia TNI angkatan laut. Sebenarnya berat meninggalkan adiknya itu dikota baru yang harus saja Delisa injakan kakinya itu. Tapi dia harus melakukannya karena dengan begitu Delisa akan dengan cepat bersosialisasi kembali dengan dunia barunya.

Delisa kembali masuk kedalam rumah, berjalan menghampiri meja yang sudah tersedia keperluan kuliahnya sampai terdapat sebuah kartu kredit dan satu amplop yang berisikan tumpukkan uang untuk keperluan nya beberapa bulan ini.

Delisa duduk disofa, ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, ya sebuah cincin yang tersimpan di kotak kaca. Air matanya kembali berderai mengingat momen haru saat kata Sah! bergaung dan kata menyakitkan yaitu 'Talak!' menyusulnya.

Dia tidak tahu nantinya akan seperti apa, tapi dia berharap tidak ada yang mengenalnya dikota itu. Rasa malu dan sedih membuat mentalnya waktu itu hancur dan itu karena Wahyu, pria yang sangat ia cintai.

''Delisa kamu harus bisa bangkit!'' gumam Delisa menyemangati dirinya sendiri sendiri.

*

Ditempat lain. Wahyu yang sedang berada disebuah pertemuan keluarga hanya bisa diam menyimak pembicaraan sampai ketika, Heni sang Ibu menyinggung tentang perjodohan antara Wahyu anaknya, dan gadis cantik yang duduk disebrang meja.

"Kita akan melanjutkan perjodohan ini, benar kan Mbak Yuni?'' ucap Heni pada wanita paruh baya seusianya yang duduk sebrang mejanya.

''Benar, sejak dulu kita sudah bicarakan ini bukan?''

''Bu, apa maksudnya?'' tanya Fauzan berbisik.

Hari Pertama

Seorang pria dan seorang wanita tengah duduk berdua disalasatu meja restoran. Keduanya masih saling membungkam, tidak ada obrolan selama beberapa menit ini. Sampai ketika si wanita lah yang mengambil inisiatif untuk bicara lebih dulu.

''Wahyu, kamu masih inget aku 'kan?'' tanyanya memulai pembicaraan.

''Iya,'' sahut Wahyu dengan singkat.

''Emm, enggak sangka ya ternyata kita udah dijodohin dari kecil.'' Wahyu hanya diam. Sungguh dia benar-benar merasa tidak nyaman berada disana, tapi sang Ibu, Heni. Terus memaksa untuk tetap disana.

''Rika, sebelumnya maaf. Kalau bisa kamu pikirkan tentang perjodohan ini, karena aku mau fokus dengan karir ku dulu,'' ujar Wahyu kemudian.

''Sebenarnya aku juga mau fokus dengan kuliah ku dulu. Tapi ibu ku terus memaksa. Kita coba aja dulu ya,'' tuturnya dan Wahyu tidak bisa lagi menyahutinya.

Dimeja lain, Heni dan Yuni, kedua ibu mereka. Sedang berbincang sembari mengawasi anak-anak mereka.

''Mbak Yun, pokoknya mereka harus berjodoh,'' ucap Heni, ini dari Wahyu.

''Ith semua kira serahkan sama mereka. kalau mereka cocok dilanjut, tapi kalau sala satu dari mereka merasa tidak cocok, kita tidak bisa memaksa Hen.''

''Kalau anak ku pasti bersedia, karena dia anak yang penurut, buktinya aku minta dia membatalkan pernikahannya saja dia menurut,'' ucap Heni membanggakan dirinya.

Dan ternyata penuturannya membuat Yuni, ibu dari Rika terkejut. Pasalnya memang dia sendiri tidak tahu kabar kalau Wahyu, pemuda yang akan dijodohkan nya dengan sang anak rupanya sudah hampir menikah, bahkan sudah menikah lalu menjatuhkan talaknya tepat setelah selesainya akad.

''Membatalkan pernikahannya? maksudnya bagaimana Hen?!''

''Iya, si Wahyu sebenarnya sudah memiliki calon istri, tapi mengingat aku memiliki janji padamu, untuk menjodohkan anak kita berdua aku memintanya membatalkannya dan dia menurut,'' ucap Heni sedikit berbohong karena nyatanya bukan hanya calon istri, bahkan Wahyu sendiri sudah sah menjadi suami dari Delisa yang seketika berucap Talak karena permintaannya.

Yuni, wanita paru baya itu sedikit tersentak. Dia seorang ibu dari anak gadis, hati ya merasa tidak nyaman mendengar pengakuan Heni sahabat karibnya itu. Membayangkan pernikahan anak gadisnya batal saja ia merasa merinding bagaimana kalau dia tahu kalau sebenarnya pernikahan anak Heni bukanlah batal tetapi sudah terlaksana namun harus gugur karena keegoisannya.

Ya Heni adalah tipe ibu yang harus dituruti permintaannya, ia menganggap seorang anak harus membalas pengorbanannya selama dia merawat sang anak sedari kecil. Untuk membatalkan pernikahan ia anggap sebuah salasatu pengorbanan kecil dibanding dengan pengorbanannya selama ini.

Heni menganggap kalau anak laki-laki nya harus terus berbakti kepadanya, walau memang semestinya begitu. Namun dia lupa kalau ada anak keluarga lain yang hancur mentalnya karena bukti bakti anaknya sendiri padanya.

Dijaman sekarang apakah masih ada orang tua seperti ibu Heni ini? aku rasa masih ada. Orang tua seperti ini pasti terus berpikir kalau sang anak berhutang budi sampai kapanpun padanya, sampai dia lupa kalau anak juga memiliki kebahagiaan nya sendiri.

*

Hari dimana jadwal Delisa pertama berkuliah pun tiba. Dengan berbekal beberapa berkas, Delisa menghampiri ruang dekan untuk mengatakan kalau dia adalah adik dari Fauzan yang ternyata dekan itu sendiri sangat mengenal Fauzan.

"Kalau begitu, biar saya antar kekelas mu ya?" ucap Dekan fakultas itu pada Delisa.

"Terima kasih Pak!"

"Jangan sungkan, kamu adalah adik Fauzan. kakak mu orang baik dan pintar, saya sendiri memiliki hutang budi padanya."

Delisa hanya mengangguk karena dia sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Dekan tersebut.

"Ini kelas kamu, saya hanya bisa antar kamu sampai disini. Belajarlah yang baik, buktikan kalau kamu adik yang pintar seperti kakak mu!"

"Baik pak, terima kasih.''

Delisa pun masuk kedalam kelas yang masih sepi, hanya ada tiga mahasiswa yang duduk berjarak.

Delisa duduk disudut kelas, datang kekampus sepagi ini membuat dia sampai melupakan sarapannya. Iapun memutuskan untuk pergi mencari kantin.

Diperjalanan menuju kantin sesuai instruksi papan penunjuk arah, Delisa pun terus mengikuti petunjuk tapi ia tidak tahu ternyata papan itu salah menghadap arah. Ia malah masuk kedalam ruangan musik, yang dimana disana terdapat beberapa mahasiswa yang sedang berlatih.

''Oh maaf!'' ucap Delisa ketika membuka pintu ruangan yang kebetulan semua mahasiswa disana memandangnya.

Delisa akan pergi, tapi salasatu pemuda memanggilnya.

''Hei!!''

Delisa pun berbalik. ''Ya?''

''Ada apa kamu kesini?''

''Maaf kak, aku salah jalan, aku mencari kantin,'' sahut Delisa dengan gugup.

laki-laki itu melirik papan arah yang ternyata memang menunjuk keruangan itu. ''Oh pantas, kapan pihak kampus akan menggantinya,'' gumam lelaki itu.

''Kantin kearah sana. Emmm kamu mahasiswa baru?'' tanyanya dan Delisa mengangguk.

''Perkenalkan aku Hary, kamu?'' lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Hary mengulurkan tangannya pada Delisa yang menyambutnya ragu.

''Aku Delisa, kak.''

''Nama yang cantik seperti orangnya,'' goda Hary yang didengar oleh teman-temannya lalu mendapatkan sorakan ejekan.

''Buaya beraksi!!!!'' sorak salasatu mahasiswa yang duduk dibalik alat musik Drum.

Delisa menatap satu persatu, mahasiswa yang ikut menyorak, dan ada satu lelaki yang hanya duduk diam memandangnya dingin, seketika membuat Delisa menunduk takut, dan melepaskan tangannya dari genggaman Hary.

''Maaf kak, kalau begitu saya pamit. Permisi!''

''Aahh iya.''

Delisa berlalu pergi tapi Hary masih setia di depan depan pintu memperhatikan langkah Delisa yang sedikit cepat.

''Kalau ada yang menggoda mu, sebut saja namaku!!'' teriak Hary yang tidak sama sekali Delisa sahuti.

''Har! mau sampai berapa gadis kamu kencani, kurang puas kah?'' ledek temannya yang bernama Gery dan disusul gelak tawa oleh semuanya terkecuali satu lelaki yang masih duduk membetulkan tali senar gitarnya.

''Dia cantik sekali, sampai lupa aku punya si Rika,'' ucap Hary yang kembali melangkah untuk bergabung.

''Rika gadis perundung itu? apa yang kau lihat darinya. Cih! aku bahkan jijik dengan tingkahnya,'' timpal lainnya.

''Ya sebenarnya aku juga malas, tapi karena Rika adalah anak dari Dekan, aku harus mencari keuntungan dari itu,'' sahut Hary.

''Kalian lanjutkan, aku mau ke toilet!'' ucap Alvin, mahasiswa yang sejak tadi hanya diam.

Di kantin, Delisa sudah memesan makanan pilihannya yaitu satu mangkok bubur ayam, dia pun menunggu dimeja nya tapi karena kantin sedang ramai ia pun harus menunggu beberapa saat untuk bubur pesanannya.

''Hai! boleh gabung?'' ucap seorang gadis sebayanya.

''Silahkan!''

''Pesan Bubur juga?'' tanyanya dan di angguki Delisa.

''Anak baru ya?'' Delisa tersenyum untuk menjawabnya.

''Bubur Pak Jono ini enak lho. Oh ya, aku Diva.''

''Delisa.''

''Silahkan buburnya neng-neng,'' ucap penjual bubur.

Merekapun memakan sarapannya sembari sesekali berbincang tanpa disadari ada seseorang yang terus memperhatikan Delisa dari meja no 3.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!