NovelToon NovelToon

CEO AROGAN JATUH CINTA

Menghadapi Tekanan

"KAU HARUS BERANGKAT DENGAN OKI SEKARANG JUGA!" tegas Indah, wanita berusia 34 tahun. Ketua perusahaan entertainment Fiewna itu sedang menunjuk-nunjuk vlogger terbaik di perusahaan ini dengan ekspresi marah.

Alih-alih takut karena diperingatkan sang atasan, vlogger 23 tiga tahun bernama Nora itu justru berkacak pinggang. "Bos, kau sudah janji akan berikan aku waktu cuti selama seminggu."

"Kenapa aku harus memberimu waktu cuti?" sahut Indah dengan nada sarkas. "Hasil kerjamu minggu lalu mendapatkan penilaian sangat buruk dari netizen. Perusahaan kita rugi puluhan juta cuma gara-gara kau."

Nora menghela napas. Mengalihkan pandangan dengan kesal ke arah lantai.

"Sekarang, aku tidak ingin mendengar bantahanmu lagi. Bersiaplah, bawa kamera baru di ruangan sebelah dan berangkat ke Zenaya Company!"

Nora memanyunkan bibir. Butuh waktu dua puluh detik untuk menunggu bosnya berubah pikiran.

"Apa yang kau tunggu?" seru Indah. "Cepat berangkat, atau kau akan cuti selama-lamanya!"

Nora lekas bergerak dari duduknya. Dia bangkit. Mengambil ponsel di atas meja dengan gerakan kesal. Lalu keluar dari ruangan ini. Langkahnya menggebu-gebu.

"Oki!" teriak Nora sambil menggedor salah satu pintu ruangan kerja yang berjejeran di lorong. "Oki, ayo berangkat!"

Sosok gadis bermata lebar dan berkacamata muncul dari balik pintu. Eskpresinya terlihat cerah. "Tunggu sebentar," sahutnya sambil memperbaiki kancing di depan dada yang agak longgar.

"Aku akan segera keluar. Kau tunggu di bawah saja, oke?" perintah Oki, lalu menutup pintu dengan senyuman misterius.

Nora menghela napas. Bukan hanya bosnya saja yang terlihat aneh, temannya juga sama-sama aneh siang ini.

Nora berjalan ke arah ruangan lain untuk mengambil kamera. Sejak bekerja di perusahaan ini, dia tidak begitu sering memegang kamera recorder karena Nora sendiri adalah vlogger, bukan kameramen.

Dia cuma sedang mengalami hukuman akibat kesalahannya menilai sebuah restoran mewah dan terkenal dengan dua bintang, itu membuat para penggemar restoran sekaligus pemiliknya marah besar dan berdampak pada perusahaan entertainment tempatnya bekerja.

Setelah menenteng kamera seberat tiga kilo itu, Nora berdiri di depan pintu ruangan Oki untuk menunggu gadis itu keluar.

Pintu terbuka dari dalam. Bukannya di gadis berkacamata yang keluar, justru seorang laki-laki bernama Kenan yang keluar dari sana. Nora tau Kenan adalah salah satu karyawan di bagian informasi sekaligus pacarnya Oki.

Nora menatap Kenan dengan ekspresi tak menyangka. Laki-laki itu menampilkan senyum singkat, lalu berjalan menjauh.

Beberapa saat kemudian, saat Nora masih membuka mulut dengan ekspresi tak menyangka ke arah Kenan, Oki muncul dari balik pintu sambil memperbaiki rambutnya yang berantakan.

"Bisakah kalian memesan hotel atau setidaknya tunggu sampai jam istirahat berlangsung?" usul Nora. Dia bisa menebak apa yang baru saja kedua orang itu lakukan di dalam sana.

Wajah Oki memerah. "Aku tidak punya waktu. Lupakan!" sahutnya. Dengan mudah mengubah topik pembicaraan. "Aku sudah siap. Ayo kita taklukan peristiwa demo di Zenaya Company!" serunya penuh semangat.

Nora mengedikkan bahu tak peduli. Dia bercerita tentang kekesalannya terhadap bos selama mereka berjalan ke lantai satu untuk masuk ke mobil.

"Padahal bos sudah berjanji padaku untuk memberiku waktu cuti seminggu setelah aku menghabiskan waktu lima belas hari di restoran sia_lan itu," jelas Nora saat mobil melaju.

"Kalau aku jadi kau, aku akan menuntut bos untuk menepati janjinya," sahut Oki dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.

Dalam waktu kurang dari setengah jam, mereka sampai di sebuah bangunan berlantai tiga dengan parkiran yang luas. Nora tidak bisa memprediksi seluas apa parkiran itu karena perhatiannya lebih dulu tertuju pada sekumpulan orang yang sedang berteriak di depan pintu masuk gedung.

"Oh, tidak. Aku tidak pernah suka keadaan seribut ini." Nora menghela napas membayangkan dirinya berdesakan di tengah aksi demo sambil membawa kamera yang luar biasa berat.

Oki melepas sabuk pengamannya. "Ayo, sayang. Kita taklukan!" Dia membuka pintu mobil. Mendarat sempurna di atas tanah. Belum ada lima detik dia tersenyum sambil memuji betapa indah suasana ribut penuh laki-laki tampan itu, seseorang berlarian di depannya dan tak sengaja menginjak kakinya yang terbungkus sepatu.

"Eh!" pekik Oki membuat Nora tertawa dari dalam.

Sekelompok pendemo yang baru saja menginjak kaki Oki itu cuma menoleh sekilas dan langsung bergabung dengan pendemo lain, lima meter di depan sana.

"Kurasa kakiku akan diamputasi," rengek Oki sambil meloncat-loncat kesakitan.

Nora menyusul keluar dari pintu. "Aku yang akan memotongnya. Bagaimana?" sahutnya dramatis.

Oki menggeleng kesakitan. Nora mengambil kesempatan itu untuk mengambil kamera dari mobil. Dia ingin pekerjaan ini segera selesai. Dia ingin segera rebahan di kamarnya sambil menunggu gaji bulan ini tiba.

"Ayo, Oki. Jangan lebay!" desak Nora ke arah Oki yang kini berjalan tertatih-tatih. "Salah sendiri, kau terlalu bersemangat di tengah suasana menyebalkan seperti ini."

Nora harus berhati-hati untuk tidak bertabrakan dengan para pendemo. Dia menyelinap di beberapa area dan akhirnya menemukan sebuah tempat sepi.

Nora menoleh ke belakang. Dia pikir Oki ikut di belakangnya. Rupanya, gadis itu sedang ikut berteriak bersama para pendemo yang lain.

Nora menepuk kening. "OKI!" teriaknya marah. Dia tau itu cuma sia-sia karena teriakan pendemo lebih keras daripada suaranya.

Nora berjalan mendekat ke arah Oki dengan langkah tegas. Dia menarik lengan Oki sekali hentakan.

"Kita datang ke sini bukan untuk ikut demo!"

"Tapi ini tempat Via bekerja. Kita harus mendukungnya mendapatkan keadilan dari perusahaan ini," jelas Oki menggebu-gebu. Via adalah teman kecil mereka yang sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan setelah dipecat dari perusahaan ini.

Nora menepuk kening. Ini lah yang tidak dia inginkan saat bekerja dengan Oki. Dia tua benar Oki cuma sedang cari kesempatan untuk mencuri perhatian cowok-cowok tampan di sekitar sana. "Kita kerjakan dulu tugas ini, lalu kau boleh ikut demo sepuasmu. Setuju?"

Oki mengangguk setuju. "Setuju, tapi sebelum itu aku akan menemui laki-laki di ujung sana, kami baru saja berkenalan." Oki meninggalkan Nora begitu saja.

"Astaga, Oki." Nora menghela napas pasrah. Dia menunggu sampai Oki selesai bicara dengan laki-laki berkaos hitam di ujung sana. Namun hingga sepuluh menit, Nora tidak melihat tanda-tanda Oki akan kembali.

Nora mendekat ke arah Oki. Menyelinap di antara kerumunan. "Kerjakan tugasmu sendiri, aku mau pulang," kata Nora, menyerahkan kameranya kepada Oki. Dia sudah kehilangan kesabaran.

"Hey," pekik Oki tak terima. "Mana bisa kau pulang, kita bahkan belum bekerja."

"Kalau begitu, ayo lakukan sekarang!" desak Nora membuat beberapa pendemo yang sedang tidak berteriak menoleh ke arah mereka.

Oki memanyunkan bibir. Berpamitan kepada laki-laki yang baru dia ajak bicara. Lalu mengikuti Nora hingga sampai di area yang sepi.

Pria Berkemeja Biru

Oki menyelesaikan liputan singkatnya dengan cepat karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pemuda yang baru dia kenal tadi. Nora beberapa kali mengeluh karena Oki lupa apa yang harus dikatakan di depan kamera.

"Tanganku kram, bodoh. Cepatlah!" perintah Nora.

Oki mengangguk mengerti. "Setelah ini aku akan kembali menemui pemuda tadi. Kau bisa langsung pulang kalau itu maumu."

"Terserah," sahut Nora tak peduli.

Oki menarik napas dan mengeluarkan perlahan. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Tangannya sudah membawa mikrofon di depan dada. Barulah dia mengeluarkan suara khasnya yang sudah jadi favorit para pemirsa di televisi.

Oki menjabarkan seluruh keadaan yang terjadi secara live hari ini. Untung saja, perkataannya lancar dan tidak bertele-tele meskipun bola matanya sesekali melirik ke arah para pendemo. Nora tau Oki sedang mencari laki-laki pendemo tadi.

"Oke, cut!" pekik Nora sambil menghentikan kerja kameranya. Dia memeriksa video yang baru saja dia buat, lalu menoleh ke arah Oki yang sudah menghilang dari tempatnya barusan.

Nora menoleh ke belakang, Oki sudah berdiri di hadapan laki-laki tadi. Nora mengedikkan bahu tak peduli. Dia ingin segera sampai di kantor dan merebahkan diri di atas sofa ruangannya.

"Oki, mana kunci mobilnya?" Nora masih sempat menemui Oki agar dia bisa pulang dengan mobil kantor yang mereka bawa.

"Lalu, bagaimana aku bisa pulang nanti?"

"Aku akan mengantarmu, bagaimana?" tanya laki-laki di hadapan Oki. Tersenyum menggoda.

"Oh baiklah," sahut Oki. Wajahnya tersipu. Dia meraih kunci mobil di tas kecilnya dan memberikan kepada Nora seraya tersenyum puas.

"Aku akan bilang kepada Kenan kalau kau bersama cowok lain," ancam Nora sebelum meninggalkan Oki sendirian.

Oki sempat mencegah, tetapi dia berubah tak peduli setelah mendengar pertanyaan dari laki-laki di hadapannya tentang Kenan.

Nora bahagia dia sampai di parkiran yang lebih tenang daripada di keadaan di belakang sana. Sekarang dia harus lebih bersabar untuk menemukan mobil kantornya yang memiliki tampilan sangat pasaran. Warna abu-abu, buatan Jepang, mulus dan seperti baru, sialnya Nora lupa nomor plat mobil itu.

Nora masuk ke salah satu mobil abu-abu itu setelah dia merasa yakin itu adalah mobilnya. Nora meletakkan kamera di kursi belakang, lantas memasukkan kunci ke dalam lubangnya.

Sebelum Nora sempat memutar kunci untuk menghidupkan mesin, pintu di sampingnya dibuka dari luar oleh seseorang.

Nora sempat mengira itu adalah Oki. Namun, ketika dia menoleh, dia melihat laki-laki berpakaian formal sedang menatap balik ke arahnya dengan ekspresi terkejut.

Keduanya berada dalam keheningan selama hampir lima detik.

Nora berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa dia tidak mengenal laki-laki itu dan mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

"Maaf, kau siapa?" tanya laki-laki berkemeja biru langit itu.

Nora menatap terperangah. "Nora!" dia menjulurkan tangannya. “Apa kau minta sumbangan?”

Laki-laki itu menatap lengan bersih Nora, dia tidak menjabatnya. Justru menatap miris, membuat Nora agak tersinggung.

"Apa yang kau lakukan di mobilku?" tanya laki-laki itu.

Nora terlonjak mendengar pengakuan itu. "Maaf, ini mobilku. Bukan mobil Anda."

"Tidak, ini mobilku," sanggah laki-laki itu.

Nora menoleh ke sekeliling. Mobil ini benar-benar seperti mobil yang ia bawa dari kantor. Tidak ada satupun bagian yang bisa Nora cari sebagai perbedaan.

"Lain kali, namai mobilmu dengan cat agar orang lain tidak salah masuk!" saran Nora dengan nada sarkas. Dia keluar dari mobil dengan ekspresi kesal. "Oh ya," sambung Nora membuat laki-laki itu semakin miris melihatnya. "Tolong benahi attitude-mu, oke? Tingkahmu yang arogan itu bisa membuat orang-orang meremehkanmu meskipun penampilanmu mirip orang paling bijaksana di dunia."

Nora menarik napas. "Aku sedang bicara tentang tanganku yang kau sia-siakan." Dia mengulurkan tangannya untuk mengingatkan laki-laki itu tentang perkenalannya yang tidak disahut.

"Ada masalah, Nona?" tanya suara tinggi dan dalam dari belakang Nora.

Nora menoleh ke belakang. Dia melihat laki-laki tinggi berbadan besar yang mengenakan pakaian hitam.

Nora sempat mengira orang-orang ini adalah pihak keamanan yang melihatnya ribut dengan laki-laki berkemeja biru tadi.

"Ya, dia mengabaikanku seolah dia paling benar di dunia ini. Tolong sampaikan kepadanya tidak butuh wajah arogan seperti itu untuk memberitahuku bahwa aku bersalah."

Lalu Nora berjalan menjauh. Dua laki-laki berbadan besar itu saling memandang keheranan, lalu menemui laki-laki berkemeja biru.

Nora menghela napas puas setelah menemukan mobilnya sekaligus melihat laki-laki berkemeja biru itu sedang diajak bicara oleh dua pihak keamanan. Peristiwa tadi adalah satu-satunya hal yang bisa membuat Nora tersenyum hari ini.

Nora kembali ke kantornya dengan perasaan lega. Dia bisa berdendang mengiringi lagu yang diputar di radio ketika perjalanan pulang.

Sesampainya di kantor, Nora naik ke lantai tiga, tempat ruangannya berada. Sebisa mungkin menghindari ruangan Indah, agar dia tidak diceramahi lagi.

Nora membelok ke lorong dapur, itu adalah jalan alternatifnya agar bisa menghindari ruangan bosnya.

"Nora!" seru seseorang dari belakang Nora.

Nora mengerling tegang. Itu adalah suara yang sejak tadi dia hindari. Karena dia sudah berhenti, mau tak mau dia berbalik untuk berhadapan dengan Indah.

"Mana Oki?" tanya Indah dengan ekspresi heran.

"Eh, dia masih di sana."

"Kalian sudah selesai?"

"Karena itulah aku pulang."

Indah meneliti ekspresi Nora untuk mencari kesalahan di tiap sudut wajahnya. "Kau tidak bohong, 'kan?"

"Ya. Oki pulang telat karena dia sedang berkencan dengan salah satu pendemo. Biar kuberitahu yang terburuk, Bos." Nora berjalan lebih dekat ke arah Indah. "Oki mengencani pria lebih buruk dari Kenan. Dia pendek dan gemuk. Aghr ... Kenan lima kali lebih tampan darinya."

Indah berubah antusias. "Kurasa kau harus beritahukan kepada Kenan tentang masalah ini."

"Ya, aku sudah berencana untuk memberitahunya nanti," sahut Nora sambil berjalan menjauh. Dia senang topik itu bisa membuat fokus Indah teralihkan.

"Tunggu, Nora!" seru Indah sebelum Nora sampai di ruangannya.

Nora menggigit bibirnya karena gemas. Tinggal selangkah lagi dia menghilang dari jarak pandang Indah. Apalagi yang akan bosnya itu katakan?

"Kau bawa kamera, 'kan? Mana kameranya?"

Nora mendelik terkejut. Jantungnya berdetak lebih lambat saat dia mengingat kecerobohannya. Kamera itu ia tinggalkan di dalam mobil laki-laki berkemeja biru langit tadi.

Nora kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa menjawab Indah karena masih terlalu syok.

"Kenapa?" tanya Indah kebingungan. Dia sadar ada sesuatu yang Nora sembunyikan darinya. "Jangan bilang, sejak tadi kau berada di ruanganmu alih-alih pergi bersama Oki, karena itulah kau tidak bawa kamera."

Nora memaksakan diri untuk bicara meskipun suaranya sangat sulit dikeluarkan. "S-sebenarnya ... kamera itu tertinggal."

"Hah?!" Indah menatap syok. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak sengaja meninggalkannya di mobil orang lain."

Indah menatap marah. "Kamera itu baru dan harganya lima kali lipat gajimu dalam sebulan. Jangan mengada-ngada!" nadanya naik satu oktaf.

"M-maaf," sahut Nora ketakutan.

"Temukan kamera itu atau kau tidak akan dapat gaji selama lima bulan ke depan."

"Iya, Bos. Tenang saja, aku akan temukan," sahut Nora berusaha memberanikan diri.

"Aku pegang janjimu!" sahut Indah. Lalu meninggalkan Nora dengan langkah kesal.

"Padahal aku tidak berjanji," gerutu Nora sambil mengingat-ingat perkataannya tadi. "Terserah. Aku harus temukan laki-laki arogan itu agar pekerjaanku selamat." Dia masuk ruangannya dengan perasaan cemas.

Tidak Bisa Tenang

Mencari seorang laki-laki tak dikenal adalah pekerjaan yang sangat sulit, bahkan ketika kau baru membayangkannya. Begitulah anggapan Nora sehingga dia belum bergerak sejak dimarahi Naina satu jam yang lalu.

Meskipun begitu, Nora bukannya sedang duduk santai sambil makan es krim seperti kebiasaannya ketika gabut. Kini dia sedang mondar-mandir di ruangannya sambil mencari cara agar bisa menemukan laki-laki itu.

"Oki masih di sana, siapa tau dia bisa membantuku," gerutu Nora sambil menelepon nomor Oki.

Tidak ada tanda-tanda Oki akan menjawab panggilannya. Dia sudah mencoba hingga lima kali dan semuanya gagal.

"Teman macam apa dia ini," umpat Nora sambil melempar ponselnya ke atas sofa di samping kaca.

Kaki Nora terasa kram, barulah dia memutuskan untuk duduk di kursi kerjanya. Membuka laptop yang berisi puluhan hujatan netizen oleh penilaiannya terhadap restoran Daisy. Beberapa orang membela Nora. Nora yakin orang-orang itu adalah orang jujur yang tidak dibayar oleh pemilik restoran untuk memalsukan penilaian mereka.

Nora menghela napas. Sekacau apa pun keadaan di media sosialnya, ada yang lebih kacau lagi dari semua itu. Kekacauan itu berdampak pada gajinya selama lima bulan yang akan segera ditahan. Nora tidak mau bekerja secara cuma-cuma selama lima bulan ke depan.

Nora bangkit dengan tegap. Dia sudah memutuskan untuk mendatangi Zenaya Company, siapa tau laki-laki berkemeja biru itu masih di sana, sedang dieksekusi oleh para pihak keamanan. Dia harus cepat-cepat kembali sebelum pria itu pergi.

"Eh," pekik Nora saat sudut matanya tak sengaja melirik ke arah arloji di tangan kirinya. "Ini sudah jam empat, waktunya pulang," gerutunya sambil berpikir.

Dia melihat dari kaca pintu, para karyawan mulai berjalan ke arah lift untuk turun. Mereka akan pulang dan bersantai di rumah, kenapa dia masih harus susah-susah bekerja?

Nora mengedikkan bahu tak peduli. Dia ingin merendam tubuhnya di bak mandi panas setelah pulang nanti agar seluruh beban di pundaknya menghilang.

Nora mengemasi seluruh barang-barangnya. Menatap layar ponsel, mengira ada notifikasi dari nomor Oki, tapi ternyata tidak ada. Dia berjalan keluar sambil menenteng tasnya.

Nora ikut berdesakan di lift berkapasitas lima belas orang itu. Posisinya sangat menyedihkan di pojokkan. Karena dalam keadaan lelah dan frustasi, dia memilih diam alih-alih bercerita dengan rekan kerja di sampingnya.

Lift terbuka dua menit kemudian, Nora mengantri keluar. Ternyata lantai satu sudah kosong entah sejak kapan.

"Lihat, mereka sangat bersemangat untuk pulang. Aku masih terlalu rajin karena pulang paling terakhir. Jadi, kenapa aku harus lembur hanya untuk mengambil kamera di tempat yang tidak pasti?"

Nora memuji diri sendiri dalam hati saat dia berjalan ke arah pintu keluar.

"Nora!" sapa Kenan saat Nora melakukan absen finger print tepat di depan pintu. "Kau lihat Oki?"

Nora menatap syok. "Oh tidak, aku lupa bilang kalau dia masih belum kembali dari Zenaya C."

Kenan mengerling. "Kenapa? Memangnya dia ikut demo?"

"Ya ...," sahut Nora dengan nada menggantung. Dia tidak tega mengatakan sejujurnya bahwa Oki sedang berduaan dengan laki-laki lain sehingga lupa pulang. Kenan dan Oki baru beberapa minggu lalu jadian setelah lebih dari tujuh tahun berteman. Nora tidak mau tanggung jawab dengan kerusakan hubungan mereka.

"Kenapa dia ikut demo? Dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kasus di sana?"

Nora menampilkan ekspresi tak mengerti. "Sebaiknya kau cari tau sendiri," katanya sambil menepuk bahu Kenan untuk menenangkan pria itu.

Kenan menatap frustrasi.

Nora lebih dulu keluar sehingga dia tidak tahu apa yang Kenan lakukan selanjutnya. Nora lebih mementingkan kegelisahannya yang sudah tak sabar sampai rumah. Dia hanya menginginkan satu hal, ketenangan.

***

Mobil hitam Nora masuk ke sebuah area luas yang merupakan taman sekaligus parkiran di samping rumahnya. Nora sadar keputusannya kembali ke rumah untuk mencari ketenangan tidak sepenuhnya benar. Ternyata ada tamu yang sedang mampir ke rumahnya. Dia melihat dua buah mobil terparkir di ujung parkiran. Mungkin sekitar lima sampai enam orang.

Nora menatap ke arah pintu utama yang terbuka lebar. Dia tidak akan masuk lewat sana, apa pun yang terjadi. Karena itulah dia memilih untuk masuk lewat pintu belakang, pintu yang langsung berhubungan dengan dapur.

Para pelayan sedang bekerja ekstra membuat banyak makanan ketika Nora masuk.

"Ada apa ini?" tanya Nora ke arah para pelayan itu.

"Ada tamu, Non," sahut salah satu pelayan. "Calon suaminya Non Andin."

Nora mengangguk takjub. Andin adalah kakak perempuan yang usianya empat tahun lebih tua darinya. Dia bahkan tidak tahu kalau Andin yang polos dan naif itu punya pacar dan mereka akan segera menikah.

Nora harus masuk melewati ruang tamu mencapai tangga menuju kamarnya. Dengan sangat hati-hati, dia melalui ruang tamu tanpa menoleh sedikitpun ke arah kesepuluh orang di sofa sana. Dia tidak mau ikut berinteraksi, apalagi acara ini sama sekali tidak ada kaitan dengannya.

"Dia Nora, adiknya Andin," kata Eza, sang ayah, sambil menunjuk Nora yang masih pura-pura tak mendengar.

Nora semakin mempercepat langkahnya agar dia segera keluar dari jarak pandang mereka. Setelah mencapai tangga kelima belas, barulah dia menghela napas lega. Suara di bawah sana tersisa sayup-sayup jika di dengar dari sini.

Karena agak gugup, Nora hanya mengingat satu hal dari ucapan tamu-tamu itu. Mereka memuji Nora mirip Andin, padahal dia sangat berbeda dengan Andin. Andin naif dan polos, sedangkan Nora keras kepala dan pemarah. Sangat tidak mirip.

Nora melempar tasnya ke atas ranjang. Melepas pakaian luarnya dan berlarian ke kamar mandi untuk menyiapkan ritual mandinya.

Begitu tubuhnya masuk ke dalam bak panas berisi busa dan beraroma menyejukan, barulah dia bisa merasakan ketenangan hidup di dunia ini. Suasana ini adalah satu-satunya hal yang bisa membuat Nora lupa segala masalahnya. Namun, kenapa kali berbeda? Kenapa saat dia menutup mata untuk menikmati kehangatan, justru yang muncul dalam kegelapan adalah wajah si laki-laki berkemeja biru itu?

Nora menggeram marah. Berusaha rileks lagi. Lalu dia gagal lagi.

"Siapa sebenarnya pria itu? Apa kau pernah melihatnya sebelumnya?" pikir Nora yang akhirnya kehilangan kesabaran.

Nora sama sekali tidak menikmati berendam air hangat sore ini. Bukannya tenang, justru dia semakin frustrasi. Karena itulah dia mengakhiri kegiatan itu dua kali lebih awal daripada biasanya.

Nora lekas memakai pakaian gantinya dan kembali ke kamar tidur. Rupanya, ada sang ayah sedang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar dan menusuk. Nora pun mengalihkan pandangan karena gugup.

"Kau tau apa yang harus dilakukan ketika ada tamu?" tanya Eza dengan nada dalam dan tegas. "Setidaknya, tersenyum. Jika kau tidak mau menyapa."

Nora mengakui kesalahannya dalam hati. Ini adalah pelajaran kesekian kalinya yang ayahnya berikan dalam satu hari terakhir.

"Bersihkan ruang tamu sebelum kau tidur. Para pelayan sibuk membuat makanan!" perintah Eza sambil berlalu dari ambang pintu.

Nora tau itu adalah sebuah hukuman atas kesalahannya. Mau tak mau dia harus melakukannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!