Seorang dewa berdiri menatap ribuan iblis di bawah sana. Tidak ada manusia yang berani keluar, semua warga desa menutup pintu dan jendela mereka. Bahkan tandu kaisar telah meninggalkan ibu kota. Gerbang neraka telah retak, terbuka lebar.
"Agh..." Suara teriakan beberapa orang yang hendak dimangsa terdengar. Makhluk dengan wajah berlumuran tar, memiliki tinggi 4 meter, menyeret seorang pria dengan lidahnya. Liur membasahi kaki sang pria. Benar-benar ketakutan saat ini. Monster yang hanya memiliki empat lubang di pelipisnya untuk bernapas. Serta gigi-gigi runcing, untuk menghancurkan makanan. Tanpa memiliki mata, atau tangan, hanya kaki dan mulut yang besar melekat pada tubuh lengketnya.
Tidak hanya itu beberapa monster dan iblis memasuki rumah manusia. Cipratan darah ada dimana-mana. Lidah sang monster kini menyeret kaki seorang pria tua.
"Tolong..." teriaknya dengan suara ringkih.
Srash!
Goresan cahaya memanjang sejauh ribuan kilometer muncul. Sang dewa menggerakkan jarinya, menciptakan goresan cahaya bagaikan pedang raksasa. Rambut putih dengan wajah rupawan, ribuan kupu-kupu putih mengelilingi tubuhnya.
Kupu-kupu putih kecil yang membentuk tabir pelindung, bergerak ke segala penjuru untuk seluruh umat manusia yang ada di dekatnya. Tabir yang sulit untuk dipecahkan. Terasa nyaman dan hangat.
"Kalian akan mati bersamaku disini..." sang dewa tersenyum, terbatuk-batuk mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
"Agghhh!" Auman para monster terdengar, bahkan ada yang memiliki wujud bagaikan manusia, monster dengan kemampuan-kemampuan melebihi monster lainnya. Tetap bergerak menghisap habis intisari roh manusia, menghisap darah dan dagingnya. Merangkak naik lebih banyak lagi guna menguasai alam tengah.
Tanda teratai di dahi sang dewa bersinar. Tangannya meraih kecapi, cahaya silau terlihat, seiiring alunan melodi, pintu dimensi terbesar yang menarik tubuh para iblis dan monster.
"Dewa! Kau tidak akan dapat hidup! Tubuhmu telah rusak!" teriak salah seorang iblis, dengan tangan dan kaki yang terikat cahaya ditarik dalam sebuah pintu.
"Aku tau, aku akan mati di sini bersama kalian. Tapi akan juga bangkit bersama kalian." Ucapnya kembali memuntahkan darah dari mulutnya.
Saat itulah tubuh sang dewa yang melayang, terjatuh. Menjelma menjadi ribuan kupu-kupu putih yang terbang menghilang entah kemana. Bersamaan dengan seluruh monster dan iblis yang terseret masuk ke dalam gerbang. Kala itulah pintu raksasa itu membentuk segel kemudian menghilang.
Manusia yang melihatnya hanya dapat menitikan air matanya. Dewa yang selama ini melindungi mereka harus berakhir mati.
*
2500 tahun kemudian tidak ada manusia yang mengingat wajah sang dewa lagi. Hanya kuil dengan sedikit umat yang mengunjungi, serta prasasti sebagai pertanda kejadian itu pernah benar-benar terjadi, sedikit kemampuan sang dewa masih tersegel disana. Tidak ada manusia yang mempercayai tenang keberadaan pintu itu lagi. Hingga tiba-tiba pintu aneh muncul di pusat kota. Pintu pecah yang menjadi retakan dimensi. Puluhan ribu monster dan iblis datang.
Seorang Miku penjaga kuil menghancurkan prasasti, membebaskan sedikit kemampuan sang dewa yang sengaja ditinggalkan dalam prasasti. Cahaya aneh muncul, ribuan kunang-kunang yang terbang cepat ke segala arah. Menyerap masuk ke dalam tubuh ribuan manusia yang beruntung.
Banyak manusia berkemampuan khusus yang muncul. Mulai dari kemampuan es, membekukan para iblis dan monster, hingga memunculkan api. Selanjutnya mereka yang memiliki kemampuan khusus disebut sebagai Hunter.
Seseorang yang diberi kewenangan untuk membunuh monster. Semacam unit polisi khusus, namun memiliki kehormatan yang lebih tinggi dari polisi atau tentara.
Orang-orang yang terhormat bukan?
Sayangnya Enkai tidak seberuntung mereka. Seorang pemuda rupawan dengan rambut putih yang aneh. Dirinya hanya berprofesi sebagai koki, anak pungut yang mengelola restauran ayam goreng milik istrinya.
Usianya saat ini 20 tahun, Enkai ditemukan saat invasi para monster dan iblis dimulai. Diadopsi oleh keluarga Zen yang tidak memperlakukannya dengan baik. Hingga pada akhirnya dinikahkan dengan Sena yang memiliki luka bakar di wajahnya.
Menikah bukan karena cinta, hanya karena persahabatan dua keluarga, Sena lebih tertutup dan cendrung pendiam, selalu mendapatkan hinaan dari keluarganya. Sedangkan Enkai cenderung humoris dan banyak bicara. Mereka sudah seminggu menikah tapi masih seperti ini. Suasana yang terlihat benar-benar canggung.
Kupu-kupu putih kecil terbang menghampiri Sena. Itulah kemampuan khusus milik Enkai, kupu-kupu putih kecil yang hinggap di hadapan mesin kasir.
"Jangan melamun! Nanti uang kita malah hilang! Aku ingin makan udang malam ini. Tidak ingin paha atau dada!" teriak Enkai yang cerewet dari arah dapur.
Tapi Sena malah tersenyum-senyum tidak jelas. Padahal seminggu mereka menikah bahkan belum melakukan apapun. Paha dan dada ayam, Enkai terlalu bosan memakan makanan sisa restauran maksudnya.
Hingga suasana berubah, kala beberapa Hunter datang untuk makan di restoran. Terlihat dari seragam dan pakaian khusus mereka. Orang-orang yang benar-benar dihormati hingga beberapa pengunjung bahkan mengambil gambar mereka diam-diam.
Sena meraba wajahnya. Tidak ingin membuat para Hunter marah dan merusak restaurant miliknya.
"Enkai, bisa kamu yang mengambil pesanan mereka?" tanya Sena pelan, benar-benar wanita pemalu, menutup separuh wajahnya yang rusak dengan rambut.
"Bisa! Tapi siapa yang mau goreng ayam?" tanya Enkai, mengenyitkan keningnya."Apa kamu? Mau paha atau dada!"
"A ...aku saja yang goreng ayamnya!" Ucap Sena berjalan cepat mengambil alih pekerjaan Enkai. Paha atau dada selalu itu yang diucapkan Enkai satu minggu ini. Membuat Sena khawatir dan tidak nyaman. Kata-kata yang benar-benar ambigu baginya.
Enkai menghela napas kasar melepaskan appronnya. Setidaknya sifat Sena tidak semembosankan dalam bayangannya. Menyenangkan untuk menggodanya yang bagaikan anak kecil, terlalu pemalu.
Tangannya meraih daftar menu, serta buku kecil untuk mencatat pesanan. Terlihat empat orang Hunter di sana. Mengenakan seragam berwarna biru tua, dengan topi kombinasi antara putih dan gold. Di dadanya melekat lencana khusus yang menunjukkan tingkatan mereka.
Dirinya ingin menjadi Hunter. Sayang sekali saat mengikuti tes langsung ditolak. Tentu saja, kemampuannya hanya memunculkan kupu-kupu putih lemah tidak berdaya dan pintu yang terhubung kemanapun, dalam artian kemampuan sulap dan melarikan diri. Itulah yang dikatakan tim penilai menertawakannya.
Enkai menghela napas kasar, mungkin akan beruntung di ujian terbuka yang akan datang, dirinya akan menjadi Hunter. Mendapatkan kedudukan tinggi, kemudian dapat membuka cabang usaha ayam goreng yang baru bersama dengan Sena.
Hingga dirinya memberikan daftar menu berbagai ayam goreng pada keempat Hunter yang terhormat.
"Kalian ingin pesan apa?" tanya Enkai penuh senyuman. Melayani dengan ramah.
"Dua ayam goreng bagian paha atas, kentang goreng dua porsi, dan empat milk shake." Ucap seorang wanita berpakaian minim, mata Enkai melirik, dialah Morie, Hunter kelas A, terlihat dari lencana yang dipakainya, cukup terkenal memang karena beberapa kali tampil di TV.
"Kenapa kita makan disini!? Apa tidak ada restauran yang lebih berkelas!? Aku tidak selera!" bentak Kian, Hunter kelas C. Terlihat dari lencananya, bahkan membawa pedang dengan ukiran namanya.
"Aku yang traktir kali ini. Karena kalah judi uangku habis! Kenapa!? Kamu mau protes!?" bentak Midori saudara kembar Morie, Hunter kelas A.
Sedangkan Ryu, seorang Hunter kelas B. Hanya terdiam tidak banyak bicara hanya melihat daftar menu. Entah dia sariawan atau giginya mungkin sedikit tonggos, jadi ragu untuk membuka mulut.
"Mereka hanya orang biasa yang punya sedikit kemampuan," batin Enkai berusaha tersenyum. Tidak ingin membuat masalah, berjalan menuju dapur guna menyerahkan pesanan pada Sena.
Prang!
Suara pecahan kaca etalase terdengar. Monster seukuran dua meter terlihat, seekor monster yang terlihat hampir seperti manusia tapi memiliki setengah tubuh bagaikan lintah. Mendesis berusaha menyerang orang-orang di sekitarnya. Mulutnya membentuk robekan memanjang dengan gigi-gigi setajam silet.
"Aaaa ...anggg..." Seorang anak menangis diangkat oleh sang monster, berteriak ketakutan. Lidah panjang monster itu menjilatnya bagaikan mencicipi rasanya.
Empat Hunter yang terlihat keren mulai bangkit, sedikit dengan pose aneh. Membuat Enkai mengenyitkan keningnya.
"Etalasenya..." gerutu Enkai merasa dirugikan.
Morie mengeluarkan pedangnya. Pedang yang tiba-tiba memanas bagaikan besi tempa. Terlihat kobaran api disana.
"Aku sudah mengincar nyawamu! Dasar monster jelek!" teriak Morie, bergerak cepat hendak membakar sang monster. Beberapa furniture restauran ayam goreng ikut terbakar karenanya.
Srash!
Sang monster tertebas, oleh sang Hunter. Memotong tangan monster setengah manusia itu. Semua orang berdecak kagum.
"Agghhh..." Auman monster yang kembali terdengar, meneteskan liur bersifat korosif, menggerus permukaan lantai keramik. Asap sedikit keluar, monster yang meludah hendak mengenai Morie. Meja, kaca, bahkan mesin kasir terkena liur yang dapat melarutkan apapun.
Morie bergerak cepat menghindar, melempar beberapa bola api pada sang monster. Hingga.
Srash!
Satu tebasan pedang api membelah sang monster menjadi dua. Semua orang yang berada di restauran mengambil gambar. Suara tepukan tangan terdengar, sang anak yang diselamatkan serta pengunjung restauran ayam goreng menatap kagum ke arah Morie.
"Aku tidak begitu hebat, hanya biasa-biasa saja." Ucap Morie sambil memainkan bola apinya. Menunjukkan kemampuannya di hadapan semua orang. Bahkan daftar menu dan sebuah kursi ikut dibakarnya. Wanita yang benar-benar gila pujian.
Tapi tetap saja, Enkai mengepalkan tangannya. Betapa banyak kerugiannya, ditambah Morie yang tidak berhenti membakar benda-benda.
Byur!
Enkai menyiram seember air padanya. Mengenyitkan keningnya, benar-benar kesal."Total kerugian karenamu 14 juta! Mau bayar cash atau pakai kartu kredit!" bentak pria cerewet itu.
Semua orang berbisik-bisik, masih mengambil gambar warga sipil yang tidak menghormati Hunter sama sekali. Hunter memang bagaikan pahlawan nasional bagi mereka. Jadi wajar saja, sosok berseragam biru dengan topi putih keemasan itu begitu dihormati.
"Kenapa kamu menyiramku!" bentak Morie, wanita dengan pakaian minim super ketat mencengkeram kerah pakaian Enkai.
"Terimakasih sudah menyelamatkan hidup pelangganku. Tapi kamu membakar beberapa barang untuk membuat pertunjukan. Aku dan istriku harus membeli peralatan yang kamu bakar. Etalase, mesin kasir, kerusakan lantai, itu tidak aku hitung karena monster yang sudah mati itu, merusaknya. Tapi meja, kursi, pajangan yang kamu bakar hanya untuk menunjukkan kamu hebat di hadapan orang-orang kan? Jadi barang-barang itu harus kamu ganti rugi." Sinis Enkai menatap tajam.
"Jika bukan karenaku, kamu dan semua orang yang ada di sini sudah mati!" teriak Morie.
"Tipikal monster tadi adalah pencari jejak. Salah satu dari kalian mengotori lantai dengan darah monster yang baru kalian bunuh di tempat lain. Jika kalian tidak datang ke restauran ini, tidak mungkin kaca jendela etalase pecah, tidak mungkin ada orang yang meminta untuk diselamatkan. Jadi 14 juta." Kata-kata dari Enkai sedikit melirik ke arah jejak sepatu Ryu yang menyisakan jejak darah berwarna hitam. Kembali menadahkan tangannya, bersikeras meminta ganti rugi.
Tipikal monster pencari jejak, biasanya datang untuk mencari jejak Hunter yang sudah membunuh anggota kelompoknya. Dapat melalui jejak darah atau pun bebauan khusus.
Beberapa pengunjung restauran mulai berbisik-bisik, membicarakan para Hunter.
"Dia benar! Biasanya menurut buku panduan, setelah Hunter bertarung melawan monster, Hunter harus membersihkan dirinya. Untuk menghindari terlacak monster lainnya."
"Tidak di sangka ada Hunter seceroboh ini. Jika mendatangi gedung pemerintahan, mungkin gedung pemerintahan yang akan diserang."
"Iya! Bagaimana jika tempat yang mereka datangi adalah sekolah dasar. Entah berapa korban yang akan jatuh."
"Wajar saja pemilik kedai meminta ganti rugi."
Beberapa orang mengambil gambar menggunakan kamera phonecell mereka. Enkai terlihat tersenyum puas menatap semuanya. Para Hunter belakangan ini memang terlihat sombong, cendrung arogan. Membuat dirinya menjadi iri, andai saja dirinya tidak memiliki kemampuan rendah.
Srash!
Rambut putih Enkai hampir saja terpotong, hanya sekitar 2 helai rambut yang gugur. Bekas tebasan terlihat di belakangnya, menyisakan noda terbakar memanjang pada dinding restauran. Akibat tebasan Morie yang murka.
"Ditambah 500 ribu. 14 juta 500 ribu," kalimat dari Enkai yang tidak ingin rugi sama sekali, melirik ke arah dinding restaurannya yang menghitam.
Ryu mulai bangkit."Kalau warga sipil sepertimu tidak dapat menghargai Hunter yang bertarung mempertaruhkan nyawa kami. Untuk apa kami berada di garda terdepan membunuh monster!? Lebih baik biarkan kalian mati saja!"
"Gaji Hunter minimal ratusan juta, bahkan ada yang sampai puluhan milyar. 14 juta 500 ribu, sedekah untuk pemilik restauran kecil." Ucap Enkai tetap menadahkan tangannya.
Semua orang kembali berbisik, entah kenapa semua yang dikatakan Enkai membuat opini mereka tentang para Hunter berubah. Digaji, benar selain dihormati, Hunter juga mendapatkan gaji yang besar, diluar gajinya menjalankan misi.
"Aku akan membunuhmu!" Midori, saudara kembar Morie mengeluarkan pistol jarak dekat, menodongkan pada kepala Enkai.
Enkai menutup matanya ketakutan, namun suara seseorang membuatnya kembali membuka matanya.
"Maaf! Maaf! Ini salah Enkai! Aku akan melakukan apapun agar kalian memaafkan kami." Ucap Sena berlutut, membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai, luka lecet sedikit terlihat di sana. Entah sejak kapan wanita dengan wajah dipenuhi luka bakar itu keluar dari dapur.
Jemari tangan Enkai mengepal. Matanya memerah saat ini benar-benar tidak dapat mengira Sena berbuat begini. Berlutut di hadapan orang-orang sombong ini.
"Sena! Jangan minta maaf! Kita tidak salah! Restauran kita hampir hancur karenanya!" Suara Enkai terdengar bergetar, air matanya mengalir kali ini.
"Tampar dirimu sendiri! Maka aku akan pertimbangkan untuk memaafkan pria ini." Ucap Midori dengan senyuman yang terlihat di bibirnya.
Plak!
Plak!
Plak!
Wanita dengan setengah wajahnya tertutup rambut panjangnya itu, menampar dirinya sendiri. Cetak merah terlihat di pipinya.
"Sena hentikan!" bentak Enkai.
Plak!
Plak!
Plak!
Namun Sena masih berlutut menampar dirinya sendiri. Berharap Enkai dilepaskan.
"Wanita ini lebih tau diri dari pada dirimu!" cibir Midori tersenyum sinis, mengendalikan benda yang terbuat dari besi adalah kemampuannya sebagai seorang Hunter. Dengan mudah dapat mengendalikan arah peluru miliknya.
Emosi, kesal perasaan yang bercampur aduk dalam diri Enkai. Pria itu bergerak hendak menghentikan Sena.
Tak!
Tak!
Suara pemicu senjata api terdengar pertanda Midori berniat menembaknya. Tidak peduli apapun, Enkai tetap bergerak mendekati Sena.
Dor!
Suara letupan senjata api terdengar, tapi anehnya tidak ada yang keluar. Enkai tidak terluka sama sekali. Kini sudah berada di samping Sena.
"Hentikan!" Ucapnya memegang pergelangan tangan Sena, yang hendak kembali menampar dirinya sendiri. Matanya menatap tajam pada wanita yang tertunduk. Tangannya gemetar ketakutan.
"Jangan lukai dirimu sendiri. Nanti kamu bertambah jelek!" Enkai tersenyum mengusap pucuk kepala Sena.
"Kenapa bisa?" Gumam Midori tidak mengerti, mencobanya kekuatannya untuk mengendalikan peluru yang sebelumnya ditembakkannya. Mencari celah mendeksi keberadaan peluru.
Ueeekk!
Peluru malah menembus perut Morie, membuat wanita itu mengeluarkan darah segar dari perutnya, bahkan memuntahkan darah dari mulutnya. Peluru yang ditembakkan nya ke kepala Enkai tiba-tiba berada dalam perut Morie.
Kekuatan teleportasi, membuka ruang dimensi milik Enkai. Membuka ruang kecil kala peluru itu hendak keluar tepat menuju pelipisnya, celah ruang kecil yang dihubungkannya dengan perut Morie. Membuat dirinya tidak terkena tembakan, namun di perut Morie lah peluru tersebut bersarang.
"Mungkin keadilan Tuhan, karena itu peluru tiba-tiba ada di perut saudara kembarmu. 14 juta 500 ribu." Enkai kembali menadahkan tangannya, tanpa rasa bersalah. Inilah hal yang menguntungkan, semua orang menganggap remeh kemampuannya. Kemampuan untuk melarikan diri dan melakukan trik sulap kata tim penguji Hunter dulu menertawakan dirinya, yang hanya dapat mengeluarkan kupu-kupu dan membuka pintu ruang dimensi.
Dirinya tidak boleh ketahuan, jika ketahuan. Sangsi berat akan didapatkannya karena melukai Hunter level A. Mungkin dipenjara selama beberapa tahun.
Beberapa orang merekam kejadian tersebut, menipiskan bibir menahan tawanya.
Mata Midori melirik ke arah sekitar mungkin ada Hunter level tinggi yang bersembunyi diantara para pengunjung. Wanita yang menghela napasnya. Tidak ingin ceroboh."Ini! Tidak menghormati Hunter! Aku akan mengingat ini!" bentak Midori mengambil phonecellnya, mengirimkan uang melalui QR. Pergi keluar bersama tiga Hunter lainnya. Merangkul saudara kembarnya Morie yang terluka parah.
Enkai hanya tersenyum, sementara Sena masih tertunduk sambil terisak ketakutan. Wanita dengan dahi yang sedikit terluka.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya pada Enkai, padahal wanita itu sendiri terluka.
"Tidak apa-apa! Hari ini kita makan udang! Bukan paha atau dada." Ucap Enkai penuh semangat.
Tidak menyadari ada seseorang disana. Seorang pria yang tersenyum menyadari semua yang dilakukan Enkai. Menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya.
*
Malam semakin larut. Beberapa piring porsi olahan udang terhidang. Dengan cepat Enkai mengambil alat makannya menyerbu dengan cepat.
Sedangkan Sena masih menunduk menyembunyikan wajahnya sambil makan. Enkai menyipitkan matanya, mengamati Sena dari atas sampai bawah.
"Apa kamu tidak suka udang?" tanya Enkai, belum mengerti tentang wanita yang dinikahinya seminggu ini.
Sebuah pernikahan yang diatur. Keluarga Sena terlalu malu memiliki anak dengan wajah yang cacat sejak lahir. Sedangkan keluarga angkat Enkai tidak bersedia membiayai pendidikannya lebih lanjut.
Jadi jalan menikahkan dua orang ini diambil keluarga mereka. Keluarga yang hanya ingin mengusir anggota keluarga yang dianggap sebagai benalu. Dua orang yang bahkan tidak saling mengenal, harus melangsungkan pernikahan seminggu yang lalu.
"Suka," jawaban dari Sena tertunduk malu.
"Jangan ditutupi." Suara Enkai terdengar, menyelipkan anak rambut di belakang telinga Sena. Tangannya meraba pelan wajah wanita yang baru dikenalnya seminggu ini.
"Apa sakit?" tanya Enkai iba, menatap bekas tamparan di wajah Sena. Hati wanita mana yang tidak akan meleleh, menatap pemuda rupawan ini dari jarak yang begitu dekat.
Sena yang gelagapan meraih sebuah pisang yang besar dan panjang, kemudian memakannya dengan cepat, bagaikan anak monyet kecil yang lucu.
"Panjang dan besar, kamu menyukai pisang?" tanya Enkai lagi.
Wajah Sena memerah, kata-kata erotis yang menggoda menurutnya. Melarikan diri dengan cepat, menutup wajahnya sendiri karena malu.
Suara tawa Enkai terdengar. Hidup yang dikiranya akan suram setelah dipaksa meninggalkan kediaman keluarga Zen ternyata lebih terasa hangat. Apa ini yang namanya memiliki keluarga baru?
Hingga televisi yang menyala menyiarkan sebuah berita. Tentang kejadian tadi siang, lengkap dengan rekaman dirinya menyiram seorang Hunter. Dengan judul berita, warga sipil yang tidak tahu terimakasih.
"Enkai!" Tiba-tiba Sena keluar, kemudian duduk di sampingnya.
"Maaf..." itulah yang diucapkan Sena mengeluarkan phonecellnya, menunjukkan ribuan komentar buruk tentang dirinya dan Enkai di sosial media.
"Itu bukan kesalahanmu. Itu kesalahan mereka." Kalimat yang diucapkan Enkai.
*
Namun, hal yang buruk mereka dapatkan keesokan harinya. Tidak ada satu pelanggan pun yang datang, setelah restauran sedikit di renovasi.
Tulisan gravity sengaja ditulis di kaca etalase toko yang baru diganti.
'Muka jelek dan suaminya pantas mati.' Kalimat yang tertulis di kaca etalase.
Sena hanya diam di samping meja kasir. Tidak begitu peduli, hingga Enkai menariknya.
"Kita bersihkan sama-sama..." Ucap pemuda berambut putih menyodorkan alat pembersih kaca. Sena mengangguk, walaupun mereka tidur terpisah setiap malam. Tapi Sena cukup senang memiliki suami yang menghargainya.
Dua orang yang membersihkan kaca jendela etalase bersama-sama.
"Kai!" Seseorang yang mengawasi Enkai dari atap gedung tersenyum. Mengeluarkan monster kecil yang akan bertambah besar kurang dari 24 jam. Pria dengan bola mata sedikit memerah. Monster yang akan terus membesar menghancurkan kota.
Wajah pemuda yang berdiri di atas gedung pencakar langit tersenyum."Kai!" ucapnya, menggunakan kemampuannya.
Tanda aneh muncul di tangannya. Segel aneh yang memunculkan monster kecil. Bungkus take a way dari restauran ayam goreng disodorkannya pada sang monster.
"Makan dan cerna wanita dengan bau ini," ucapnya tersenyum, membelai pucuk kepala monster kecil berlumuran tar.
Pemuda yang sebelumnya berada di restauran ayam goreng. Menyadari kemampuan khusus yang dimiliki Enkai. Ini menjadi semakin menarik baginya. Seorang pemuda berambut kuning yang menatap ke arah langit sembari tersenyum.
*
Dua orang memperbaiki beberapa peralatan restauran yang rusak. Sesekali Enkai melirik ke arah Sena. Mungkin rasa syukur wanita ini masih hidup. Merasakan bagaimana memiliki orang yang khawatir padanya.
Tangannya meraih tubuh Sena, tiba-tiba memeluknya.
"E... Enkai." Wanita itu benar-benar gugup saat ini.
"Terimakasih," hanya itulah yang diucapkan Enkai dalam senyuman. Tidak pernah ada orang yang menghargainya seperti ini di keluarga Zen.
"Bagaimana jika ada orang yang datang?" tanya Sena ragu.
"Tidak ada orang yang datang. Kamu sendiri menonton televisi kan? Kita adalah warga sipil yang tidak menghormati Hunter. Maaf, membuat usaha kita seperti ini." Kalimat yang diucapkan Enkai, melepaskan pelukannya.
"Tidak apa-apa. Mulai sekarang kita berteman." Ucap Sena ragu, tertunduk terlihat benar-benar malu. Senyuman tipis di wajahnya yang rusak, terlihat bagaikan bekas luka bakar. Rambut masih menutupi separuh wajahnya.
"Iya! Suami-istri yang berteman." Enkai tersenyum, menarik tangannya. Mungkin hari libur yang dimanfaatkan untuk membersikan seluruh area restauran.
*
Srak!
Restauran ayam goreng mereka tutup, waktu masih menunjukkan pukul 7 malam. Seperti sudah diduga, tidak ada yang sudi makan di restauran mereka setelah kejadian sebelumnya.
Rasa bersalah menghinggapi diri Enkai. Bagaimana pun ini salahnya, andaikan dirinya hanya diam dan menunduk, semuanya tidak akan terjadi. Benda-benda putih terjatuh di dekatnya. Jemari tangannya terulur, salju pertama musim dingin telah turun.
Sena kini tengah membuang sampah, di area belakang restauran. Sedangkan dirinya berada di area depan restauran, menunggu wanita itu datang. Cukup lama memang, terasa cukup lama.
Ada tiga jenis sampah yang harus dipilah. Satu persatu dimasukkan oleh Sena, menahan hawa dingin yang menusuk. Menggosok-gosokan tangannya yang putih pucat.
Plak!
Seorang anak melemparnya dengan sayuran busuk.
"Ibu! Orang ini yang tidak menghargai Hunter! Tidak tau malu!" teriak sang anak. Sedangkan Sena hanya tertunduk, mengibaskan pakaiannya yang kotor. Kemudian memungut sampah yang dilemparkan sang anak. Memasukkannya ke dalam tempat sampah.
"Wajah buruk, kelakuannya juga buruk." Cibir ibu sang anak tanpa rasa bersalah sama sekali.
Brak!
Sekantong sampah dilemparkannya pada tubuh Sena. Wanita itu hanya diam tanpa ekspresi tidak menangis sama sekali. Sudah terbiasa, orang sepertinya memang harus merendah agar dapat tetap hidup.
"Aku emosi setiap lewat di depan restauran kalian! Aku sumpahi restauran kalian bangkrut!" Wanita paruh baya yang pergi meninggalkan Sena.
Barulah air mata itu mengalir. Restauran ayam goreng yang sejatinya warisan satu-satunya dari almarhum ibunya. Tidak ada satupun harta Keluarga Wei yang didapatkannya. Ayahnya tidak sudi memiliki anak cacat sepertinya. Menikahkannya pada usia yang terbilang muda, hanya agar dirinya tidak mencemari pemandangan indah di rumah keluarga Wei. Semua saudaranya cantik dan tampan, lalu kenapa hanya wajahnya yang seperti ini.
Sena hanya terdiam menghapus air matanya. Tidak ingin terlihat sedih di hadapan Enkai.
Dari sudut terlihat bayangan aneh, suara benda-benda diseret terdengar.
Srak!
Srak!
Srak!
Tidak ada apapun kala Sena melirik sudut yang gelap. Hanya ada sesuatu yang besar seperti bangunan. Dirinya kembali fokus memilah sampah.
Srak!
Hanya beberapa saat suara itu kembali terdengar. Matanya kembali melirik, seingatnya disana tidak adalah lapangan kosong. Tapi tiba-tiba ada bangunan, jantungnya berdegup cepat saat ini tangannya gemetar.
Dan benar saja kala dirinya melirik ke belakang mata merah menyala terlihat. Bau tar menyengat tercium. Tentakel-tentakel dari tar hitam lengket menyerap orang bahkan benda-benda di sekitarnya.
"Agghhh!" Monster yang berteriak nyaring, menemukan bau wanita yang dicarinya. Tinggi sang monster yang pada awalnya hanya 25 centimeter kini telah berubah menjadi 30 meter.
Kaki Sena gemetar saat ini. Melihat orang-orang yang ada di kulit sang monster, tertempel tidak sadarkan diri dalam lautan tar. Menangis, ketakutan berusaha untuk berlari, menjauhi area restauran. Tidak ingin Enkai tertangkap. Namun, kakinya pada akhirnya terjerat tentakel. Memegang tiang listrik pun percuma. Pegangannya terlepas, selanjutnya tertempel di tubuh sang monster dengan tubuh yang diserap perlahan.
*
Tidak menyadari segalanya, Enkai membeli jepit rambut kecil dengan harga murah. Sudah 30 menit dirinya menunggu kedatangan Sena.
Menghela napas berkali-kali merasa kedinginan. Beberapa warga sipil terlihat berlari, beberapa Hunter ada disana menggunakan kemampuan mereka.
Seekor monster dengan tinggi yang kini sudah mencapai 35 meter.
"Gelang Api!" seorang Hunter menahan gerakan monster. Sedangkan dua Hunter lainnya menyelamatkan orang orang yang terperangkap dalam kulit sang monster.
Satu persatu mereka selamatkan.
"Agghhh!" sang monster meraung ganas.
Prang!
Gelang Api yang dibuat untuk menahan gerakan sang monster hancur. Pada awalnya Enkai ingin melarikan diri, namun langkahnya terhenti kala menyadari Sena ada di sana.
Jemari tangannya mengepal, menggenggam jepit rambut yang baru dibelikannya. Pemuda yang akan merendahkan harga dirinya seperti yang sena lakukan.
Berlari menghampiri Hunter dengan level S tersebut. Eiji itulah namanya.
"Tolong kunci gerakannya lagi! Istriku ada disana..." pinta Enkai memelas.
"Sebagai warga sipil kamu seharusnya menyingkir! Ini terlalu bahaya! Sebentar lagi Hunter dengan kemampuan api yang lebih tinggi akan tiba. Kami akan membakar monster ini sebelum bertambah besar lagi!" Ucap Eiji, kapten dalam misi ini.
"Tahan gerakannya 2 menit saja! Aku sendiri yang akan menyelamatkan Sena!" teriak Enkai, berlutut di hadapan sang Hunter. Air matanya benar-benar mengalir saat ini. Pria yang ketakutan, menatap Sena hampir tertelan. Hanya Sena yang tidak diselamatkan, mengapa hanya Sena.
Hingga Ryu terlihat berjalan mendekat."Bukankah ini pria yang membuat Morie harus dirawat? Pria yang merendahkan seorang Hunter. Untuk apa kami menyelamatkan istrimu?" tanyanya mencemooh.
Rekan-rekan Ryu mulai berjalan mendekat. Menertawakan warga sipil yang kini berlutut di hadapan Eiji.
"Dengar istrimu yang buruk rupa pantas mati. Walaupun kapten Eiji bersedia menahan gerakan monster, kami juga tidak akan sudi menyelamatkan istrimu. Biarkan dia membusuk, hingga kamu dapat lebih menghargai kami yang berada di garda terdepan menghadapi monster dan iblis," Kata-kata sinis dari mulut Ryu. Sedangkan delapan Hunter lain yang ada dalam misi yang sama juga menertawakan Enkai.
Pemuda itu bangkit, kemudian tersenyum."Kamu kapten mereka kan? Mulut kalian seperti sampah! Seumur hidupku impianku adalah menjadi Hunter. Tapi sekarang tidak lagi. Jika Sena mati maka kalian juga harus mati." Kata-kata dari mulut Enkai penuh penekanan.
Pemuda yang bergerak cepat berlari mendekati area pasar dimana sang monster berada. Jarak yang kini benar-benar jauh, mengingat monster tersebut bergerak dengan lebih cepat.
Dalam keadaan emosional, aura aneh ada dalam dirinya. Matanya menelisik mengamati beberapa wartawan mengambil gambar monster. Tidak, dirinya akan menyelamatkan Sena, tidak akan menunjukkan bakatnya sama sekali.
Berjalan melewati area pasar yang telah kosong. Topeng Inari diraihnya asal. Pemuda yang mengaktifkan kekuatan aneh dalam dirinya.
Ribuan kupu-kupu berterbangan di sekitarnya. Tidak mempedulikannya apapun. Tiba-tiba kupu-kupu putih yang rapuh berubah menjadi kupu-kupu besi.
Dirinya tidak pernah melompat setinggi ini. Kenapa tidak jatuh? Dirinya melayang? Itulah yang disadari Enkai saat ini. Pemuda yang melompat dari gedung pencakar langit. Guna menuju ke tempat Sena berada.
Beberapa wartawan mulai merekam kejadian tersebut.
"Monster setinggi 35 meter muncul. Hunter level S, bahkan tidak dapat menghentikannya. Saat ini departemen keamanan tengah meminta bantuan ke pusat, untuk mengirim beberapa Hunter lagi." Ucap sang wartawan.
"Apa itu?" tiba-tiba sang kameraman menunjuk ke arah samping monster. Seorang pemuda dengan wajah tertutup topeng Inari berada disana. Dengan tubuh melayang, dikelilingi ribuan kupu-kupu yang terbuat dari besi.
"Kami laporkan dari tempat kejadian, tiba-tiba muncul Hunter dengan kemampuan aneh. Apa ini pasukan rahasia dari kantor pusat? Tapi Hunter kali ini tidak menggunakan seragam atau lencana." Sang reporter terlihat antusias, untuk pertama kalinya melihat Hunter dengan kemampuan yang terbilang aneh.
Tangan Enkai mengarah pada sang monster, kala itulah ribuan kupu-kupu yang terbuat dari besi mengoyak tubuhnya.
"Agghhh!" teriakan monster menggema.
Pemuda yang kemudian menggerakkan tubuhnya, bagaikan memiliki pijakan tidak terlihat, meraih tubuh Sena yang berlumuran tar.
"Sial!" teriak Enkai yang merasa kesulitan melepaskannya.
"Hubungkan dimensi ke samudra! Dengan air laut paling hangat!" itulah yang ada di fikirannya. Tapi entah kenapa sebuah pintu besar yang aneh terbuka, air laut yang hangat membanjiri. Kupu-kupu besi mengoyak tubuh sang monster lebih banyak hingga akhirnya terlarut ke dalam air laut.
Pemuda yang kemudian bergerak pergi membuka pintu ruang dimensi lainnya. Melompat menghilang dari bidikan kamera wartawan.
Semua orang tertegun saat itu. Bahkan sebuah kapal selam dan kapal Ferry terdampar di tengah kota.
Beberapa orang turun dari kapal Ferry. Bicara menggunakan bahasa Inggris. Terlihat menggunakan pakaian ala Hawaii.
"Kita dimana? Bukannya tujuan setelah ini Pearl Harbor (pelabuhan di Hawai)" tanya seorang wisatawan heran.
Sedangkan seorang peneliti keluar dari kapal selam."Inikah Atlantis yang tenggelam?" tanyanya karena hal terakhir yang diingatnya dirinya ada di laut dengan kedalaman 3000 meter. Tapi dapat tiba-tiba ada di daratan.
Wartawan tertegun belum dapat berfikir seluruh tubuhnya basah dengan air. Hingga dirinya menyadari kamera yang masih menyala.
"Siapa identitas Hunter tadi? Apa dia Hunter dari kantor pusat. Kami akan meminta keterangan langsung dari kapten Eiji." Ucap sang wartawan melihat kedatangan Eiji.
"Apa dia Hunter dari kantor pusat!?" tanya sang wartawan. Tapi Eiji hanya diam, menyadari pasukan Hunter bantuan belum datang sama sekali.
*
Apa yang dilakukan Enkai saat ini? Tentu saja mandi dengan Sena karena tubuh mereka yang berlumuran tar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!