Bab 1
"Tiara, kamu bisa nggak sih bangun lebih pagi? Ini udah jam berapa? Kamu setiap hari bangun siang, ya?" omel seorang wanita paruh baya bernama Bu Ismiyati pada seorang wanita muda yang baru saja bangun dan bersiap untuk pergi bekerja.
Memang perbuatan wanita itu juga tidak dapat dibenarkan. Tapi sebagai istri yang bekerja, seharusnya Bu Ismiyati dapat memaklumi wanita yang tidak lain ialah menantunya sendiri.
"Maaf, Bu! Tiara ada banyak kerjaan kemarin. Tiara agak capek," ungkap seorang wanita bernama Tiara itu.
Tiara masih tetap bersikap sopan, meskipun sebenarnya wanita itu agak lelah dan jengkel. Beberapa hari ini ketenangannya mulai terusik sejak kedatangan ibu mertuanya dari kampung.
"Ibu kenapa? Pagi-pagi udah ngomel," tegur Dimas, suami dari Tiara.
"Ini istri kamu! Sudah siang begini baru bangun. Belum masak, belum cuci baju, belum bersih-bersih," ujar Bu Ismiyati mengadu.
Dimas hanya bisa tersenyum. Mereka memang sudah terbiasa dengan rutinitas seperti ini. Karena Tiara juga bekerja, Dimas pun membebaskan sang istri untuk melakukan apa pun di rumah, dan tidak memaksa Tiara untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga.
"Kamu udah jadi seorang istri, Tiara. Harusnya kamu belajar mengurus rumah dan suami!" sahut Bu Ismiyati pada Tiara.
Tiara hanya bisa mengangguk tanpa berani membantah. "Tiara biasanya juga rajin kok, Bu," timpal Dimas ikut bersuara.
Sebagai seorang suami, hanya ingin bisa dilakukan oleh Dimas. Setidaknya Dimas masih berusaha membela istrinya di depan sang ibu dan mencoba memberikan pengertian pada Bu Ismiyati.
"Kita siap-siap dulu ya, Bu? Keburu telat nanti pergi kerjanya," ucap Dimas menghentikan perdebatan kecil mereka di pagi hari.
Bu Ismiyati pun menghentikan omelannya pada sang menantu. Baru saja wanita paruh baya itu menginap beberapa hari di rumah Dimas, tapi Bu Ismiyati sudah berhasil memporak-porandakan suasana damai di rumah putranya sendiri.
"Anak muda zaman sekarang emang susah dikasih tahu," gumam Bu Ismiyati sembari melangkah meninggalkan putra dan juga menantunya.
"Jangan diambil hati, ya? Ibu emang kaya gitu," tukas Dimas berusaha menenangkan sang istri.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti. nggak akan aku masukin ke hati," timpal Tiara.
Baru diomeli sekali-dua kali saja, Tiara masih bisa menerima. "Maaf, aku bangun siang. Aku belum nyiapin sarapan buat kamu," ucap Tiara mulai merasa tidak enak hati pada Dimas, meskipun biasanya memang inilah yang terjadi saat mereka di rumah berdua.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu kamu juga capek kerja. Nggak perlu dipikirin lagi, ya?"
Usai bersiap rapi dengan pakaian kerja, Tiara bergegas mengambil dompet dan hendak pergi ke warung untuk membelikan sarapan. Ya, wanita itu memang jarang mengurus pekerjaan rumah, termasuk memasak untuk suaminya. Apalagi di waktu pagi. Tiara sudah tidak punya banyak waktu lagi.
"Kamu mau ke mana, Tiara?" tegur Bu Ismiyati pada Tiara yang hendak keluar dari rumah.
"Tiara mau beli sarapan buat Mas Dimas, Bu. Ibu pengen sarapan apa? Biar Tiara belikan sekalian," tawar Tiara pada ibu mertuanya itu.
"Kamu mau beli makanan di luar? Kamu juga jarang masak ya?" tanya Bu Ismiyati dengan nada tidak suka.
Lagi-lagi hal ini menjadi masalah bagi Bu Ismiyati. Bangun siang, jadi masalah. Beli sarapan juga jadi masalah.
"Iya, Bu. Udah nggak ada waktu lagi buat masak. Jadi Tiara mau beli makan di luar aja. Ada banyak warung yang udah buka jam segini, Bu," ujar Tiara mencoba memberikan penjelasan dengan sopan.
"Udah tahu suami kerja pagi, pastinya butuh sarapan. Harusnya kamu bangun lebih pagi buat masakin suami," sahut Bu Ismiyati menyalahkan Tiara yang bangun siang.
Memang perkataan Bu Ismiyati juga tidak salah. Tapi dari sudut pandang Tiara, wanita itu merasa tidak mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai istri. Tiara masih tetap berusaha melayani suaminya dengan baik, disaat ia juga menyibukkan diri bekerja di luar untuk membantu finansial keluarga.
"Maaf, Bu. Besok Tiara pasti bangun lebih pagi. Hari ini kita beli makanan di luar aja, ya?" sahut Tiara dengan sabar.
Bu Ismiyati hanya diam. Baru tinggal beberapa hari di rumah itu saja sudah membuat Bu Ismiyati merasa gerah melihat tingkah Tiara dalam mengurus rumah dan juga putranya.
"Tiara pergi dulu, Bu!"
Usai menikmati sarapan bersama dengan Bu Ismiyati dan juga Dimas, Tiara dan Dimas pun bergegas berpamitan pada Bu Ismiyati untuk berangkat bekerja.
Dimas dan Tiara bekerja di tempat yang berbeda. Dimas bekerja sebagai seorang kepala security di PT Robycon, sementara Tiara bekerja sebagai supervisor di PT Karpala.
"Kami berangkat dulu ya, Bu?" Dimas dan Tiara bergantian mengecup punggung tangan Bu Ismiyati.
"Hati-hati, ya!" sahut Bu Ismiyati sembari menatap tas besar yang dibawa oleh sang menantu.
"Tiara, kamu bawa apa?" tanya Bu Ismiyati keheranan melihat menantunya membawa tas besar saat hendak berangkat kerja.
"Oh ini, Bu? Ini baju kotor. Nanti Tiara mau sekalian mampir ke tempat laundry," ungkap Tiara.
"Apa? Tempat laundry?" tanya Bu Ismiyati dengan dahi berkerut. "Kenapa mesti ke tempat laundry? Kalian kan punya mesin cuci sendiri!" sahut Bu Ismiyati.
Lagi-lagi Tiara melakukan hal yang tidak disukai oleh Bu Ismiyati. Setiap hal yang dilakukan oleh Tiara pasti dikomentari oleh ibu mertuanya itu.
"Nyuci baju aja kamu juga nggak mau?" omel Bu Ismiyati.
"Bukan begitu, Bu. Laundry baju sekali-sekali juga nggak masalah, kan?" sela Dimas ikut menimpali.
Sebelum perdebatan menjadi panjang, Dimas pun segera membawa istrinya pergi dari rumah. "Udah dulu ya, Bu! Kami berangkat dulu!" ucap Dimas.
"Tolong maklumi Ibu, ya?" pinta Dimas pada sang istri.
"Sekali dua kali aku masih bisa nahan, Mas. Tapi kalau berkali-kali, aku nggak janji bisa memaklumi lagi."
****
"Kamu baru pulang?" sapa Bu Ismiyati pada Dimas.
Dimas segera menghampiri sang ibu dan menemani Bu Ismiyati yang tengah duduk bersantai di kursi teras itu. "Dimas bawain martabak buat Ibu!" cetus Dimas sembari menyodorkan makanan hangat itu pada Bu Ismiyati.
"Ibu masih kenyang. Kamu buruan mandi sana!"
Bukannya masuk ke dalam rumah, Dimas pun memilih untuk duduk di teras bersama dengan sang ibu. "Dimas mau istirahat dulu."
"Ibu betah nggak di sini?" tanya Dimas mulai membuka perbincangan. "Di sini beda jauh sama di Sukoharjo, ya?"
Bu Ismiyati menoleh ke arah sang putra, kemudian melempar senyum tipis. "Beda jauh. Ibu kan biasa tinggal di kampung. Ibu belum pernah mantap di kota besar kaya gini," jawab Bu Ismiyati.
"Tapi Ibu senang kan di Tangerang?"
"Sekarang Ibu ada di rumah anak Ibu. Nggak ada alasan buat Ibu buat merasa nggak senang di sini."
"Syukurlah kalau gitu," sahut Dimas.
Dimas memainkan jemarinya dengan gelisah. Pria itu nampak sekali ingin menyampaikan sesuatu pada Bu Ismiyati, tapi Dimas sendiri justru kebingungan bagaimana mengungkapkannya pada sang ibu.
"Ada yang mau kamu omongin sama ibu?" tanya Bu Ismiyati kemudian.
Karena kegelisahannya sudah ketahuan, Dimas pun tidak ingin menghindar. "Ibu masih kesel sama Tiara?" tanya Dimas mulai membahas sang istri.
"Siapa yang kesel sama Tiara?" elak Bu Ismiyati.
"Bagus deh kalau ibu nggak kesel sama Tiara," timpal Dimas.
"Ibu bukannya kesel sama Tiara. Hanya saja, ibu berharap Tiara bisa jadi istri yang lebih rajin. Ibu berharap Tiara bisa ngurus rumah dan suami lebih baik lagi. Kalau sekarang aja Tiara udah kaya gini, gimana nanti kalau kalian punya anak?"
Dimas cukup memahami hal yang dicemaskan oleh sang ibu. Tapi menurut Dimas, hal yang dilakukan oleh Tiara saat ini tidak perlu terlalu dipermasalahkan.
"Bu, mungkin buat Ibu Tiara itu istri yang nggak rajin. Tapi bagi Dimas, Tiara itu istri yang paling baik. Mungkin Ibu dan Tiara hanya berbeda cara saja. Tiara tetap menjalankan tugasnya dengan baik sebagai istri meskipun caranya nggak sama dengan Ibu," ungkap Dimas mencoba membangun image baik untuk istrinya di depan sang ibu.
"Tolong pahami cara Tiara, Bu. Tiara bukannya males masak. Tiara bukannya nggak mau cuci baju. Tiara tetap menyelesaikan pekerjaannya meskipun dengan cara yang berbeda dengan Ibu, kan?" sambung Dimas.
Bu Ismiyati masih tidak mau mengerti. Baginya, seorang perempuan apalagi seorang istri harus bisa mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangga. Bu Ismiyati tidak suka melihat Tiara yang mengandalkan makanan warung dan juga laundry untuk mengurus kebutuhan sehari-hari.
"Ibu bukannya mau menghakimi cara Tiara, Dimas. Tapi apa salah kalau Ibu pengen anak Ibu di masakin sama istrinya? Apa salah kalau Ibu pengen anak Ibu dicuciin baju sama istrinya? Permintaan ibu juga nggak susah, kan?"
"Tapi Tiara bekerja, Bu. Tiara sama capeknya seperti Dimas. Apa salahnya kalau Tiara pengen istirahat tanpa mikirin pekerjaan rumah? Selama ini Tiara bantuin Dimas, Bu. Kalau nggak ada Tiara, Dimas nggak akan bisa ambil rumah KPR di sini. Dimas nggak akan bisa bayar cicilan," terang Dimas.
Tiara memang bekerja untuk membantu finansial sang suami. Gaji Tiara biasanya digunakan untuk mengurus KPR dan ditabung. Sedangkan gaji Dimas digunakan untuk keperluan mereka sehari-hari.
Tiara sangat bahagia meskipun wanita itu harus tetap bekerja membantu suaminya. Walaupun mereka belum mempunyai anak setelah 2 tahun menikah, tapi Tiara sudah cukup puas bisa membangun rumah tangga yang harmonis bersama dengan Dimas.
Setidaknya Tiara saat ini sudah mempunyai rumah yang nyaman bersama dengan suaminya, meskipun ketenangannya saat ini sudah terganggu dengan kedatangan ibu mertua. "Tolong mengerti keadaan Tiara ya, Bu? Tolong jangan berdebat soal ini lagi ke depannya!" tukas Dimas.
****
Bab 2
"Mas mau makan apa?" tawar Tiara pada sang suami sebelum mereka membeli makan malam di luar.
Karena Tiara sudah kelelahan, wanita itu pun lagi-lagi memilih untuk membeli makanan di luar. Tiara sudah tidak mempunyai tenaga untuk mengurus rumah. Tiara ingin segera menyantap makan malam dan menikmati istirahat sebelum dirinya kembali dihadapkan dengan pekerjaan menumpuk esok hari.
"Kita beli makan malam di luar?" tanya Dimas pada sang istri.
Tiara merasa aneh dengan pertanyaan Dimas. Biasanya juga begitu. "Kenapa, Mas? Mas nggak pengen makan di luar?" tanya Tiara balik.
Dimas menghela napas sejenak. Setelah berbicara dengan sang ibu, kini giliran pria itu yang harus meminta pengertian dari istrinya. Tidak hanya Bu Ismiyati saja yang dituntut oleh Dimas untuk memahami Tiara, tapi Dimas juga berharap Tiara bisa memahami keinginan ibunya.
"Kalau sekali-sekali masak juga nggak ada masalah, kan? Mas bosen sama makanan warung," sahut Dimas.
Tiara mulai mengerti arah pembicaraan sang suami. Dimas juga tidak ingin melihat Tiara dan ibunya berdebat setiap hari hanya karena pekerjaan rumah. Lagi pula saran dari ibunya juga tidak terlalu buruk. Bu Ismiyati hanya ingin Tiara lebih rajin dalam mengurus rumah. Menurut Dimas itu bukan hal yang sulit untuk dilakukan oleh Tiara.
"Kenapa? Mas pengen aku masak? Mas pengen aku bangun pagi? Mas pengen aku cuci baju dan beres-beres rumah?" sindir Tiara.
Dimas mengusap kepala sang istri dengan lembut. Pria itu juga tidak ingin memaksa. Hanya saja Dimas berharap Tiara mau belajar sedikit demi sedikit.
"Nggak ada yang salah, kan? Mas nggak akan maksa. Tapi kamu bisa coba, kan? Kamu bisa bangun lebih pagi, kan? Masak, cuci baju, bersih-bersih bukan pekerjaan yang terlalu sulit, kan?" tukas Dimas. "Tolong kamu juga mengerti permintaan Ibu. Ibu nggak minta yang aneh-aneh juga, kan? Lagian nggak ada ruginya juga kamu bangun pagi. Nggak ada ruginya juga kamu masak sama cuci baju sendiri."
Meskipun Dimas membela Tiara di depan ibunya, tapi Dimas juga berharap istrinya bisa menurut pada kemauan Bu Ismiyati. Selama permintaan Bu Ismiyati mempunyai tujuan baik, Dimas merasa harus membujuk istrinya untuk patuh.
"Gimana, Tiara? Kamu bisa masak sekali-sekali, kan? Atau bangun lebih pagi lagi, kan?" pinta Dimas.
Tiara hanya diam. Wanita itu hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Setelah seharian bekerja, Tiara tidak akan sanggup jika Dimas dan Bu Ismiyati masih menuntut dirinya untuk memasak dan mengurus rumah.
"Kamu nggak perlu memaksakan diri. Tolong bangun lebih pagi dan masak sarapan buat aku. Buat sekarang cukup itu aja dulu. Bikin sarapan yang simple aja. Nasi goreng atau roti juga udah cukup," sambung Dimas.
Meskipun Tiara ingin sekali menolak, tapi wanita itu akan mencoba mempertimbangkan. Tidak ada salahnya juga Tiara mencobanya sekali dua kali.
"Besok aku akan coba bangun lebih pagi," sahut Tiara kemudian.
Dimas menyambutnya dengan senyum sumringah. "Terima kasih ya Tiara! Kamu bisa mulai pelan-pelan."
Keesokan harinya, Tiara benar-benar bangun lebih pagi dari biasanya. Meskipun tubuhnya masih lelah, tapi Tiara memaksa untuk membuka mata dan bergegas membersihkan rumah sekenanya.
"Kamu udah bangun?" tegur Bu Ismiyati pada Tiara yang tengah memegang sapu.
"Iya, Bu!"
"Kalau mau nyapu, bangun lebih pagi lagi! Rumah udah Ibu sapu tadi," timpal Bu Ismiyati.
Tiara pun menghentikan gagang sapu yang tengah ia ayunkan. Padahal menurut Tiara ia sudah bangun cukup pagi. Tapi ternyata bagi Bu Ismiyati, bangunnya Tiara masih kurang pagi. Meski begitu, setidaknya Tiara sudah mencoba menuruti kemauan dari Bu Ismiyati.
"Kamu mau ngapain?" tanya Bu Ismiyati pada Tiara yang mulai menyambangi dapur.
"Mau masak sarapan, Bu!" sahut Tiara.
"Mau masak sarapan apa? Kamu aja nggak belanja sayur! Kamu nggak pernah belanja sayur, kan?" tukas Bu Ismiyati kembali melayangkan sindiran pada Tiara.
Padahal Tiara sudah berusaha untuk berbenah. Tapi di mata Bu Ismiyati, apa pun yang ia lakukan tetap saja salah. Wanita paruh baya itu terus saja mencari celah dan masalah.
Tiara hanya bisa diam dan membiarkan Bu Ismiyati menekan dirinya. Lama-kelamaan Tiara semakin tidak tahan. Ia harus menahan rasa lelah, dan masih harus mendengarkan omelan ibu mertuanya yang tidak juga merasa puas dengan apa pun yang ia lakukan.
*****
"Udah, Mas! Jatahnya udah cukup!" sahut Tiara mencoba menghentikan suaminya yang masih berusaha menerkamnya di atas ranjang.
"Aku udah capek! Istirahat dulu!" sambung Tiara sembari mendorong suaminya yang kini masih terbaring di sampingnya.
Nampaknya pasangan suami istri itu baru menyelesaikan ritual rutin mereka. Usai mencapai kepuasan bersama, Tiara dan Dimas pun menikmati waktu santai sejenak sembari berbincang di atas ranjang.
"Aku boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Tiara memecah keheningan.
"Apa? Tanya aja."
"Kapan Ibu balik ke kampung?" tanya Tiara kemudian.
"Kenapa? Ibu bikin kamu gak betah di rumah?" tanya Dimas balik. Tanpa bertanya pun, harusnya Dimas sudah tahu jawabannya. Terlebih lagi Dimas juga melihat sendiri bagaimana Bu Ismiyati menekan Tiara.
"Aku bukannya nggak suka sama Ibu, Mas. Aku senang kok Ibu di sini. Cuma beberapa hari ini aku mulai merasa nggak nyaman," sahut Tiara.
Dimas tidak memiliki pilihan lain selain meminta istrinya itu untuk tetap bersabar. "Tiara, Ibu sama kamu mempunyai pola pikir yang berbeda. Cuma itu masalahnya. Buat Ibu, istri itu tugasnya mengurus rumah. Mengurus suami. Memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah, buat Ibu itu tugas wajib seorang istri."
"Buat aku, selama ada makanan di meja makan dan semua baju tertata rapi, harusnya itu udah cukup kan, Mas? Mau aku beli di warung, atau aku laundry baju, yang penting kita ada makanan dan baju kita bersih, kan? Nggak ada masalah, kan? Tujuannya tetap sama. Tapi kenapa Ibu terus maksa aku buat ngerjain semuanya sendiri?" timpal Tiara.
"Mas paham. Mas ngerti kok. Mas juga selama ini nggak pernah protes, kan?" sahut Dimas.
"Mas cuma nggak ingin keluarga kita jadi nggak akur cuma karena masalah sepele seperti ini. Tolong paham kalau Ibu agak rewel, ya? Di kampung Ibu memang para istri di sana kebanyakan ibu rumah tangga yang rajin mengurus rumah," sambung Dimas.
"Tapi bukan berarti Ibu bisa maksa aku buat ikutin prinsipnya, kan? Aku juga kerja, Mas. Aku bukan ibu rumah tangga. Aku nggak kuat kalau harus kerja dan masih harus ngurus rumah. aku capek, Mas," keluh Tiara.
"Iya, Tiara. Mas paham. Nanti mas coba ngomong lagi sama Ibu, ya?" bujuk Dimas. "Gimana pun juga Ibu itu tetap Ibu Mas dan Mas nggak mungkin usir Ibu dari sini. Mas nggak mungkin maksa Ibu pulang ke Sukoharjo sendiri. Tolong kamu mengerti posisi Mas juga, ya?"
Posisi Dimas mulai terjepit diantara istri dan juga ibunya. Dimas juga ingin menjadi suami yang baik, tapi Dimas juga tidak mau menjadi anak durhaka. Solusi terbaik yang bisa Dimas tawarkan saat ini hanyalah meminta istrinya untuk mengalah dan bersabar.
****
Bab 3
"Tiara, bisa nggak sih kamu bangun lebih pagi lagi?"
"Tiara, bisa nggak sih kamu masak lebih layak buat suami kamu?"
"Tiara, bisa nggak sih kamu lebih perhatian ke suami?"
Setiap harinya Tiara terus dicecar oleh sang ibu mertua. Keluhan demi keluhan yang dilayangkan oleh Bu Ismiyati perlahan membuat Tiara lelah dan muak.
"Tiara, lain kali bangun lebih pagi lagi buat cuci baju! Lihat, nih! Cucian numpuk kaya gini," omel Bu Ismiyati saat ia melihat tumpukan baju kotor yang belum dicuci oleh Tiara.
"Maaf, Bu. Nanti Tiara cuci setelah pulang kerja," ujar Tiara.
"Kalau dicuci nanti malam, terus keringnya kapan? Nggak ada panas, kan? Kalau nyuci baju tuh pagi-pagi! Mumpung panas di luar, nanti cucian cepat kering," sahut Bu Ismiyati.
"Tiara, kamu lihat celana Mas yang warna navy nggak? Kok aku cari-cari nggak ada, ya?" tanya Dimas menghampiri Tiara dan menghentikan sejenak perdebatan antara Tiara dengan sang ibu mertua.
"Nggak ada? Bukannya celana navy Mas nggak cuma ada satu," timpal Tiara mengalihkan perhatian pada sang suami.
Dimas pun mulai melirik ke arah tumpukan pakaian yang belum dicuci oleh Tiara. Sepertinya celana yang dicari oleh pria itu masih kotor dan belum dicuci oleh sang istri.
"Masa sih kotor semua? Terakhir aku pakai celananya lusa kemarin. Belum kering, ya?" tanya Dimas.
Kemarahan Bu Ismiyati pun semakin menjadi. Karena Bu Ismiyati selalu mengomentari Tiara yang tidak pernah mencuci baju, akhirnya Tiara pun berusaha mengikuti kemauan sang ibu untuk mencuci pakaian sendiri di rumah. Tapi apa daya, Tiara terlalu lelah dan sibuk sehingga wanita itu tidak bisa mencuci setiap hari dan membiarkan pakaian kotor menumpuk berhari-hari.
"Belum kering apanya? Pasti belum dicuci celananya, kan? Ini udah berapa hari, Tiara? Kapan kamu mau cuci baju? Nunggu baju suami kamu habis dulu?" omel Bu Ismiyati.
Tiara hanya bisa diam. Ia tahu memang saat ini dirinya yang bersalah. Tapi Tiara berharap ibu mertuanya dapat memahami keadaannya saat ini. Tiara sangat lelah. Tiara hanya ingin mendapatkan lebih banyak waktu untuk beristirahat.
"Udah, Bu. Nggak apa-apa. Dimas masih ada celana lain," ujar Dimas mencoba melerai sang ibu dengan istrinya.
"Celana lain? Emangnya kamu punya celana berapa? Kamu punya celana selusin? Lihat ini, pakaian kotornya aja segini banyak! Baju kamu pasti udah hampir habis, kan?"
Dimas nampak dilema. Pria itu sudah berusaha keras untuk bersikap adil dan tidak berat sebelah. Tapi sepertinya agak susah.
"Tiara cuci sekarang!" sahut Tiara segera mengambil pakaian kotor menumpuk itu dan segera mencucinya.
"Eh, Tiara! Ini udah jam berapa? nanti kamu terlambat!" cetus Dimas. "Kamu belum masak sarapan juga, kan? Mendingan kamu masak sarapan aja. Nyuci bajunya bisa nanti."
"Salah sendiri nggak mau bangun pagi! Kerjaan terus yang dijadiin alasan!" sindir Bu Ismiyati, kemudian berlalu meninggalkan Tiara.
Tiara mengepalkan tangan kuat-kuat. Ingin sekali wanita itu berteriak. Tapi Tiara Masih menghargai dan menghormati Bu Ismiyati sebagai mertuanya.
"Aku masak dulu!" ucap Tiara segera berlalu dari hadapan Dimas.
Wanita itu membuka isi kulkas dan mengeluarkan semua bahan makanan yang sudah ia beli. Dengan manik mata berkaca-kaca, Tiara masih berusaha menjalankan tugasnya dengan baik.
"Tenang, Tiara! Gimanapun juga dia ibu mertua kamu. Ibu dari suami kamu. Sabar, Tiara!" gumam Tiara mencoba menyemangati dirinya sendiri agar tidak terjatuh hanya karena kata-kata dari ibu mertuanya.
Wanita itu tidak mengeluh sedikitpun. Tiara masih tetap patuh pada Bu Ismiyati. Walaupun sebenarnya mulutnya sudah gatal ingin membela diri, tapi Tiara masih berusaha bersabar demi sang suami.
"Sarapan dulu, Mas!" ucap Tiara pada Dimas yang masih bersiap di dalam kamar.
Tak hanya menghampiri sang suami, Tiara juga mendekati ibu mertuanya dan mengajak Bu Ismiyati untuk menikmati sarapan bersama meskipun sebenarnya Tiara masih jengkel.
"Kamu udah beres masaknya? Buruan kamu siap-siap juga," sahut Dimas.
Mereka pun segera berkumpul di meja makan dan menikmati sarapan bersama. Bu Ismiyati pun mencoba membuka perbincangan untuk memecah keheningan.
"Kamu nggak jadi nyuci tadi, ya?" tanya Bu Ismiyati sembari melirik ke arah sang menantu.
"Udah, Bu! Masalah nyuci bisa diurus nanti," timpal Dimas.
Tiara hanya diam. Wanita itu juga tidak ingin memberikan banyak komentar. Terserah ibu mertuanya mau berkata apa. Yang terpenting Tiara sudah melakukan yang terbaik demi mematuhi keinginan Bu Ismiyati.
"Kamu masak apa sih ini? Asin banget!" komentar Bu Ismiyati.
Setelah membahas cucian, Bu Ismiyati kini mendapatkan bahan omelan baru. Masakan Tiara pun tidak luput dari penilaian Bu Ismiyati.
"Masa sih, Bu? Nggak terlalu asin kok," tukas Dimas.
"Yang kemarin kurang garam. Yang sekarang keasinan. Ini kan cuma makanan sederhana. Masak yang gampang kaya gini aja kamu nggak bisa?" tanya Bu Ismiyati.
Tiara sudah tidak tahan. Habis sudah kesabarannya. Wanita itu pun langsung bangkit dari meja makan dan segera berpamitan pada sang ibu mertua.
"Udah siang, Bu. Tiara berangkat dulu. Kalau memang Ibu nggak suka karena keasinan, Ibu bisa masak makanan lain!" sahut Tiara tanpa ingin meladeni sang ibu mertua.
*****
Sore harinya, begitu Tiara pulang kerja, wanita itu langsung masuk ke dalam kamar. Tiara hanya menyapa Bu Ismiyati sekenanya lalu mengajak suaminya berbincang di kamar.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Mas!" ucap Tiara pada Dimas.
"Kamu mau bahas soal Ibu?" tanya Dimas sudah tahu mengenai apa yang akan dikatakan oleh Tiara.
"Memangnya apa lagi masalah di antara kita kalau bukan karena Ibu?"
"Masalah kamu bilang? Kamu terlalu berlebihan," tukas Dimas.
Tiara sudah tidak mau memendam unek-unek dalam dirinya. "Aku nggak tahan lagi, Mas! Mungkin menurut Mas ini sepele. Tapi nggak buat aku! Aku capek mas! Aku udah kerja, tapi aku masih dituntut buat ngurus rumah dengan sempurna! Aku cuma manusia biasa, Mas! Aku juga butuh istirahat!"
"Tolong jangan diambil hati perkataan Ibu! Kalau kamu capek, kamu bisa istirahat. Mas juga nggak pernah maksa kamu, kan?"
"Mas emang gak pernah maksa aku, tapi ibu kamu terlalu menekan aku, Mas! Aku udah nggak sanggup lagi! Badan aku remuk! Pikiran aku capek! Tapi ibu kamu nggak pernah mau ngertiin posisi aku!"
Pertengkaran pun tidak lagi terelakan. Sepertinya Tiara sudah tidak bisa lagi memberikan toleransi pada tindakan Bu Ismiyati.
"Aku sudah berusaha sebaik mungkin buat nurut. Tapi semua hal yang aku lakuin selalu dikomentari. Semua yang aku lakuin nggak pernah bisa bikin ibu kamu puas! Aku udah nggak nyaman lagi tinggal di rumah ini!"
"Jangan bilang gitu, Tiara! Aku juga nggak mungkin ngusir Ibu, kan? Tolong jangan maksa aku buat milih antara kamu sama Ibu! Aku nggak akan bisa milih satu di antara kalian," ujar Dimas. "Tolong kamu lebih bersabar lagi, ya? Lagi pula semua yang dilakukan Ibu itu juga demi kebaikan kita."
"Kurang sabar apa aku, Mas? Udah berapa kali aja aku disalahin sama ibu kamu? Udah berapa kali aja aku dikomentari sama ibu kamu? Aku selalu diam, kan? Aku selalu bersikap sopan! Tapi ibu kamu nggak pernah menghargai semua usaha aku!"
Tanpa diketahui oleh Dimas dan Tiara, ternyata Bu Ismiyati mendengar pertengkaran antara pasangan suami istri itu. Bu Ismiyati mendengar dengan jelas keluhan-keluhan yang disampaikan oleh Tiara mengenai dirinya.
"Tolong kamu bersikap tegas, Mas! Aku udah nggak mau lagi bersabar. Kesabaranku udah habis."
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!