NovelToon NovelToon

Di Tinggal Nikah Karena Jelek

Dua Pekan Lagi

Happy reading....

"Naina, sudah siang!"

Teriakan bu Linda terdengar gusar dari setengah jam yang lalu, gedoran pada daun pintu pun tak terelakan. Gadis yang dipanggilnya dengan sebutan Naina tak menyahut sama sekali. Dia tengah senyum-senyum seraya memandangi kalender di hadapannya. Ditangannya tersemat sebuah bolpoin berwarna merah.

"Dua pekan lagi," serunya kegirangan sambil melompat-lompat di depan penanggalan sovenir toko emas. Naina selalu bersemangat ketika membuka matanya dan mencoret setiap tanggal yang telah ia lewati.

Apa setiap gadis akan senorak ini sebelum menikah? Tanyanya dalam hati, untuk dirinya sendiri. Namun, tak dipedulikannya, ia terlalu gembira untuk menyambut setatus yang semula single menjadi double. Dari lajang menjadi istri Ivan Purnomo, dalam waktu dua pekan ke depan.

"Sudah siang, Naina. Kamu bisa terlambat lagi, hari ini!" Bu Linda masih berteriak dengan lengkingan khasnya. Begitulah setiap hari yang ia lakukan untuk membangunkan putri bungsunya. Sambil menyiapkan sarapan pagi.

"Iya, Bu. Sebentar lagi Naina keluar," jawab Naina setelah mengemasi semua barang ke dalam tas punggung kesayangannya. Pemberian Ivan saat pertama kali Naina bertemu dengannya.

Saat itu Naina tak sengaja bertabrakan dengan Ivan di sebuah pasar malam. Tali tas selempang Naina putus karena terlalu banyak barang yang ia bawa, juga karena harusnya Naina sudah mengganti tasnya.

Dengan senang hati Ivan menukar tas punggungnya dengan tas gadis yang ia tabrak karena berjalan dengan terburu-buru. Ia menyesal membuat semua barang bawaan sang gadis jatuh berserakan.

"Tidak papa, Kak. Tidak perlu, aku yang salah karena berjalan sambil menengok ke belakang," tolak Naina saat itu.

Rasa bersalah dalam hati Ivan lebih mendominasi pikirannya. Apalagi gadis yang ia tabrak hingga jatuh terjerembab dan menjadi tontonan beberapa pengunjung pasar malam lainnya.

"Gak papa, kok, Dek, pakai aja. Lagian aku gak bawa banyak barang. Bisa aku jinjing nanti."

Akhirnya Naina mengalah karena melihat ketulusan di mata Ivan. Ia menerima tas berwarna brown walnut dari sang pria. Keduanya memunguti setiap barang bawaan Naina dan memasukannya ke dalam tas tersebut.

"Lembur lagi?" tanya bu Linda pada Naina setelah ia menghempaskan pantatnya ke kursi. Naina menggeleng seraya tangannya mengambil rendang jengkol favoritnya.

"Jangan makan itu, pagi-pagi." Bu Linda menampik tangan anak gadisnya. "Kasihan teman-teman kantormu harus menahan bau mulutmu, Naina."

"Kalau Ibu kasihan dengan teman-temanku kenapa masak rendang jengkol sepagi ini." Naina menggerutu, bibirnya meruncing saat tak jadi menyendok rendang jengkol dan hanya mengambil kuahnya saja.

"Na, pernikahanmu dua pekan lagi, loh. Tuh muka gak mau diamplas dulu biar make up-nya agak alusan dikit. Sempetin tuh facial mumpung gak lembur." Karina menasehati. Dia adalah putri sulung bu Linda, yang artinya kaka Naina.

Wanita yang tengah hamil muda itu mengambil jatah rendang jengkol yang ditinggalkan Naina. Dialah alasan dibalik bu Linda memasak rendang jengkol untuk menu sarapan. Demi menuruti keinginan cucunya yang masih berwujud segumpal daging.

Naina tersenyum menanggapi sang kaka. "Hari ini gak lembur. Aku mau ngedate sama kak Ivan."

"Ciee, yang mau ketemuan," ledek Karina.

Rona bahagia menghiasi wajah Naina bahkan sejak semalam, pasalnya Ivan mengirimkan pesan dan mengajaknya bertemu. Sudah tiga purnama sepasang kekasih itu tidak bersua. Mereka hanya berkirim pesan untuk saling berkomunikasi, itupun hanya membahas persiapan pernikahan.

"Nitip salam buat nak Ivan ya, dari ibu. Lama nak Ivan tidak mampir ke rumah," ujar bu Linda setelah meneguk air putih dalam gelasnya hingga tandas.

Naina mengangguk, mengambil tangan orangtua satu-satunya dan mencium punggung tangannya meski masih belepotan kuah rendang. Hal sama pun dilakukannya pada saudara kandungnya. Sehangat itu keluarga mereka, saling menyayangi dan mendukung.

"Jangan lupa facial. Minta Ivan buat nemenin!" teriak Karina saat suara kenalpot sang adik menggema di telinganya.

"Kalau sempat. Assalamualaikum." Jawaban sang adik menghilang bersama hilangnya suara kenalpot motor dari halaman rumah.

"Waallaikumussalam," ucap bu Linda. "Kebiasaan, tiap hari berangkat telat tapi dibangunkan susah." Sang ibu mengurut dada. Prihatin dengan kebiasaan buruk anak gadisnya.

BERSAMBUNG....

Batalin pernikahan

Happy reading....

Perusahaan tempat Naina bekerja selama satu tahun terakhir ini, hanya membutuhkan waktu tempuh selama tiga puluh menit menggunakan motornya. Naina memarkirkan motornya di barisan paling akhir dengan tergesa-gesa.

"Telat lagi, Mbak Naina?" sapa Andri selaku security yang setiap pagi membantu Naina merapihkan motornya agar sejajar dengan motor karyawan lain.

"Maaf, ya, Pak. Habis gajian Naina traktir bakso deh," janji Naina dengan senyum tiga jarinya. Kemudian segera berlari menuju lobi setelah mengucapkan terimakasih pada security yang masih terlihat menawan meski usianya beranjak tua.

Langkah Naina terhenti di depan lift yang sudah ditunggu beberapa karyawan lainnya, ia menarik dan membuang napasnya beberapa kali agar kembali tenang seperti sedia kala. Naina bukanlah satu-satunya karyawan yang datang terlambat hari ini, tapi satu-satunya karyawan yang langganan datang terlambat.

Pintu lift terbuka, semua orang masuk ke dalam tak terkecuali Naina. Namun, ada hal yang tak biasa. Pintu lift tertahan oleh sebuah tangan, tepat sebelum menutup.

Arga Mahendra, kepala divisi marketing yang setiap hari menegur Naina ada bersama kerumunan orang dalam lift bersamanya.

"Lagi?" cibir sang pria pada Naina.

"Sendirinya juga," balas Naina. Bohong jika ia tidak menertawakan pria yang kini berdiri di sampingnya. Meski bola mata Naina tertuju pada plafon lift.

Naina terbebas dari omelan sang kepala divisi pagi ini karena ia juga datang terlambat. Hal itu memicu moodnya dalam membuat sketsa iklan. Naina dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

Naina segera mengemasi semua barangnya ke dalam tas kembali. Ia bersemangat untuk menemui sang pujaan hati sebentar lagi. Bukankah hari ini begitu sempurna untuk Naina?

"Naina pulang dulu ya, epribadeh!'' seru Naina mengacungkan tangannya dari balik rubik tempatnya menuangkan inspirasi.

Kembali ia berlari menuju parkiran untuk menyambangi kuda besinya. Melesat dengan kecepatan sedang menuju tempat yang telah dijanjikan sang pangeran.

Dengan langkah percaya diri, Naina segera memasuki restoran bergaya jepang. Di tempat inilah seharusnya mereka bertemu.

"Naina!" panggil pria dengan kemeja biru langit sambil mengangkat tangannya. Naina yang sebelumnya tengah fokus pada gadgetnya segera tersenyum lebar. Ivan ternyata datang lebih awal dari waktu yang mereka janjikan.

"Kak Ivan, sudah lama?" tanya Naina setelah berdiri di hadapan sang pria.

"Belum begitu lama."

"Kamu lapar 'kan, Dek? Sebaiknya kita cari tempat duduk biar bisa makan dan ngobrol dengan nyaman." Ivan bicara tanpa mengurangi senyum di wajahnya sedari mereka bertemu.

Naina menurut, mengikuti kemana langkah Ivan yang berjalan di depannya. Salah satu meja di sudut ruangan menjadi tujuan keduanya. Memesan berbagai menu favorit yang sudah di luar kepala. Hal itu selalu di lakukan keduanya selama dua tahun enam bulan terakhir.

"Dek," sapa Ivan dengan penuh kelembutan di tengah acara makan mereka.

"Aku mau batalin rencana pernikahan kita."

Susyi yang berada dalam mulut Naina segera melompat ke tenggorakan. Naina terbatuk-batuk setelah mendengar permintaan Ivan. Tak biasanya sang kekasih bercanda sampai keterlaluan begitu.

Jus jeruk yang disodorkan Ivan pada Naina segera ia tenggak, hingga menyisakan setengah gelas. Naina mencoba menarik napas dalam dan kembali menghembuskannya. Mencoba mengembalikan keadaan paru-parunya yang sempat bergeser. Juga mencoba untuk tetap berpikir positif.

"Kaka sedang mengerjaiku? Sedang mengikuti variety show? Hampir saja jantungku lepas, Kak. Mana kameranya. Apa aku harus pura-pura percaya?" Naina dengan polosnya masih bicara panjang lebar.

"Aku serius. Aku tidak ingin melanjutkan rencana pernikahan kita." Kembali Ivan menegaskan.

Dalam hati kecil Ivan, sebetulnya masih ada rasa sayang pada gadis di depannya. Naina baik, pengertian dan peduli pada Ivan. Itulah mengapa hubungan keduanya berjalan hingga sejauh ini.

"Tapi, Kak. Pernikahan kita tinggal dua pekan lagi." Keceriaan Naina mulai runtuh, berganti dengan desakan embun yang menghalangi pandangannya di pelupuk mata.

"Apa salahku, Kak. Kenapa tidak kita cari jalan keluarnya. Kenapa harus membatalkan pernikahan kita?"

Melihat bulir bening menetes di pipi Naina, Ivan sebetulnya merasa tak tega. Ingin sekali dia menyapu seperti sebelumnya, namun ia bersikeras mempertahankan egonya. Ivan tidak ingin memberi harapan pada gadis di depannya.

"Maaf, Na. Perasaanku ke kamu, hambar," ucapan Ivan bak silet yang menggores hati Naina dengan lembut. Naina tak bisa memaksakan jika alasan yang diungkapkan kekasihnya adalah perasaan.

"Apa sudah tidak bisa dinego, Kak?"

BERSAMBUNG.....

Aku Tidak Bisa Bersamamu!

Happy reading....

Ivan mengernyitkan alisnya mendengar ucapan Naina. Dia tidak heran dengan isi pikiran gadis yang pernah mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan karena ucapan-ucapan tak terduganya.

"Pasangan yang menikah karena dijodohkan, awalnya tidak saling cinta, Kak. Tapi mereka bisa mempertahankan rumah tangganya karena cinta akan hadir seiring intensnya pertemuan. Jika hanya hambar, bisa kita bumbui lagi, kan, Kak. Kenapa harus dibatalkan pernikahannya?"

Cinta yang tumbuh seiring waktu bagi Ivan adalah hal yang tabu. Jika hal demikian benar adanya, tidak mungkin ada yang namanya perceraian. Ivan mengambil keputusan hari ini karena tidak mau menyesal dikemudian hari. Dia sudah memantapkan hati untuk berpisah dari Naina meskipun ia gadis yang sangat baik.

"Tidak, Naina. Aku tidak bisa bersamamu." Bahkan nama panggilan sayang Ivan pada Naina kini berganti dengan sebutan nama saja.

Naina mengeraskan tangisannya. Dia memang tak pernah jaim sama sekali di depan Ivan. Justru Ivan yang merasa malu di sini, semua mata pengunjung resto tertuju pada mereka.

"Naina. Hentikan tangisanmu, atau aku akan pulang!"

Ketegasan Ivan seolah rem yang menghentikan tangisan Naina seketika. Meski sebetulnya ia tak peduli pada pada pandangan orang lain. Sudah terlalu biasa bagi Naina atas cibiran orang-orang yang melihat mereka.

Perbedaan fisik yang begitu kentara antara Ivan yang tinggi menjulang dengan badan tegap dan wajah selicin porselen memang menjadi ujian tersendiri bagi Naina yang bertubuh pendek, gendut, juga banyak spot jerawat di wajahnya.

Tak jarang yang melihat mereka mengatakan jika Naina menggunakan pelet pada Ivan atau kata-kata lainnya yang lebih pedas. Dari sakit hati sampai insecure dengan dirinya sendiri sudah Naina lewati dan makin menjadikannya kebal.

"Apa Kaka sanggup hidup tanpa aku?" Naina kembali bertanya. Satu-satunya yang begitu ia junjung tinggi adalah kepercayaan dirinya. Dia tak peduli pada cibiran orang. Sungguh tak peduli.

"Percaya diri itu baik, tapi lebih baik jika tahu diri."

Beberapa rivalnya dulu pernah mengatakan hal itu. Nyatanya Naina pemenang atas hati Ivan yang berwajah malaikat. Baginya inner beauty lebih penting dari pada outer beauty. Tapi tidak untuk mata para netizen kan?

"Jika kita bertemu lagi suatu saat nanti, atau tak sengaja ketemu di jalan, tolong, pura-puralah tidak mengenalku," ucapan Ivan sebelum perpisahan mereka, terekam dengan baik di benak Naina.

Semenjak kepulangannya dari restoran, ia masih mengurung diri dalam kamar. Naina masih enggan berbagi pada ibunya juga pada kakaknya yang sedari tadi menggedor pintu kamarnya.

"Udah, biarin aja. Kalau lapar juga keluar sendiri," ucap bu Linda pada putri sulungnya. Sudah bukan rahasia jika Naina tak bisa berpisah dari makanan, apalagi menu rendang jengkol tadi pagi masih bersisa.

Mereka masih berpikir jika merajuknya Naina disebabkan perintah absurd kepala divisinya di kantor. Tanpa tahu yang sebenarnya terjadi lebih pelik dari celotehan Naina setiap pulang kerja.

Dengan santai ibu dan putri sulungnya melenggang ke ruang tv. Meninggalkan Naina yang masih memeluk dirinya sendiri di balik pintu kamar tanpa penerangan. Naina merasa masa depannya gelap seperti kamarnya saat ini.

Perlahan saklar lampu diraba oleh Naina, kamar yang gelap berubah menjadi terang. Ia juga masih berharap ada keajaiban yang datang menerangi hubungannya. Mata Naina kini tertumbuk pada kalender yang selalu membuatnya tersenyum di pagi hari.

Tring ....

Satu notifikasi pesan masuk pada gawai Naina. Ia segera membuka pesan dari Ivan. Tulisan yang sebelumnya terang berangsur buram karena air mata yang berdesakan di pelupuk mata.

["Na, untuk biaya sewa tenda dan katering yang kamu keluarkan sudah kutransfer, ya. Aku lebihin dikit sebagai ungkapan permintaan maafku."]

Pasan dari Ivan sama sekali tak meredakan kecewanya. Meskipun notifikasi yang datang setelahnya memberitahukan jumlah uang yang masuk dalam rekening Naina menjadi tiga kali lipat.

Semalam Naina tak bisa memejamkan mata. Ia memikirkan kalimat yang tepat untuk mengatakan pada ibu dan kakaknya. Kekecewaan keduanya pasti sama besar dengannya.

"Na, gimana. Salam ibu sudah di sampaikan sama nak, Ivan?"

Bu Linda menanyakan perihal salamnya pada Naina. Sebetulnya ia merasa heran anak gadisnya keluar dari kamar pagi buta begini, tak biasanya. Namun, ia bersyukur, tak perlu membuang energinya untuk berteriak membangunkan Naina dan menggedor pintu kamarnya.

"Sudah, Bu," jawab Naina berbohong untuk pertama kalinya. Kemarin ia tak sempat mengatakannya karena Ivan langsung membicarakan inti dari keinginannya. Bahkan tanpa memberi Naina alasan kenapa perasaan Ivan hambar terhadapnya.

"Apa, nak Ivan tidak akan mampir ke rumah sampai hari H?" Kembali bu Linda bertanya di sela aktifitasnya mengiris bawang.

"Kak Ivan, gak akan datang ke rumah ini lagi, Bu. Pada hari-H, juga."

Bu Linda menghentikan aktifitas mengiris bawangnya. Ia tatap lekat-lekat putrinya yang tengah menunduk sambil memutar-mutar gelas di tangannya. Mencoba menyelami maksud ucapan sang anak dari raut wajahnya yang muram.

"Maksudmu gimana, Na. Ibu tidak paham yang kamu katakan."

"Kak Ivan ingin membatalkan pernikahan kami, Bu."

"Maksud kamu apa, Na?!" Karina yang baru saja datang ke dapur begitu tetkejut. Wanita yang tengah hamil muda itu menggoncang bahu adiknya. Berharap sang adik hanya mengigau.

Namun, dengan diamnya sang adik dan pesan yang dikirimkan calon adik iparnya pada gawai Naina di tangannya membuat tubuhnya limbung seketika. Untung saja Naina sigap menangkap tubuh ramping sang kaka sebelum menyentuh lantai.

"Karina!'' jerit sang ibu membahana melihat putrinya tak sadarkan diri.

BERSAMBUNG....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!