NovelToon NovelToon

PULAU BERHALA

Episode 1: MISKIN ITU MENDERITA

    Siapa sih, orang yang mau hidup miskin? Apakah ada orang yang berharap hidup miskin? Apakah ada orang yang senang hidup dalam kemiskinan yang penuh dengan segala kekurangan?

    Jika pertanyaan-pertanyaan seperti itu disampaikan kepada setiap orang, pasti tidak ada yang menjawab mau dan senang hidup miskin. Tak seorang pun di dunia ini yang mau hidup dalam kemiskinan. Sebaliknya, jika ditanya apakah kamu mau kaya? Maka tidak bakal dipungkiri lagi, setiap orang pasti akan menjawab "ya".

    Memang, hidup kaya adalah dambaan setiap orang. Siapapun tentu sangat mendambakan untuk hidup kaya. Setidaknya hidup berkecukupan tanpa kekurangan. Apalagi bisa lebih. Bisa punya uang yang banyak, punya rumah yang bagus, bisa punya kendaraan bahkan mobil. Pasti hidupnya menyenangkan. Hidup tanpa ada kekurangan, bahkan bisa berlebihan.

    Namun yang namanya takdir, siapa yang bisa menolaknya?

    Seperti halnya yang dialami oleh Podin dan keluarganya. Podin berumur tiga puluh tiga tahun, yang menikah dengan Isti, perempuan lugu yang tidak pernah sekolah, menjadi pasangan suami istri sejak sepuluh tahun yang lalu. Podin dan Isti sudah dikaruniai empat orang anak. Anak yang pertama laki-laki, diberi nama Eko, berumur sembilan tahun. Adiknya perempuan, diberi nama Dewi, berumur tujuh tahun. Anak yang nomer tiga perempuan berumur empat tahun, diberi nama Asri. Dan anak yang paling kecil laki-laki, diberi nama Antok, masih berumur dua tahun.

    Hidup di pinggiran perkotaan, dengan mencari nafkah sebagai seorang buruh bangunan. Tinggal di rumah kecil, yang lebih pantas disebut sebagai gubug. Rumah yang terbuat dari kayu dan bambu berdinding papan-papan bekas, yang tentunya tidak rapat dan banyak lobangnya. Atap rumahnya tertutup seng dan asbes bekas, yang didapat dari sisa-sisa bangunan. Lantainya masih tanah, belum berbau semen sama sekali. Tanah secuil yang didirikan rumah itu pun tanah bondo desa, yang oleh Pak Lurah diberikan kepada Podin karena rasa kasihan.

    Dapur yang terletak di pojokan rumah, hanya menggunakan bahan bakar kayu. Pasti setiap kali masak, asapnya mengepul menyelubungi rumahnya. Belum mengenal kompor gas maupun peralatan masak yang moderen. Setiap pagi dan sore, terlihat asap tebal yang membubung dari atap rumahnya yang tidak tertutup rapat.

    Rumah itu juga belum memasang listrik. Hanya ada satu bohlam lampu penerangan yang berada di tengah ruang, dan satu lagi berada di pojok luar rumah. Lampu itu menyalur setrum dari tetangganya yang baik hati. Jaraknya lumayan jauh.

    Tentu dalam gubug itu tidak ada perabotan yang berharga. Paling hanya piring makan, sendok dan gelas untuk perlengkapan makan minum sehari-hari. Tidak punya lemari, tidak ada televisi. Anak istrinya kalau mau menonton TV harus ndompleng di rumah tetangganya.

    Ya, hidupnya keluarga Podin memang serba kekurangan. Jangankan untuk memperbaiki rumah, buat makan sehari-hari saja masih sangat kurang. Bisa meninkmati makan enak, itu kalau ada tetangganya yang baik hati memberi jajanan atau sisa masakan. Dari pada dibuang, diberikan saja kepada Isti, yang pasti mau. Hidup yang serba kekurangan.

    "Pak, hidup kita ini kok menderita terus, ya .... Sampai kapan kita terus-terusan miskin?" tiba-tiba Isti yang membopong anaknya yang paling kecil, mengeluh kepada suaminya, saat mau melepas suaminya berangkat kerja. Pastinya Isti sudah tidak betah hidup menderita lahir dan batin.

    Podin kaget mendengar ucapan istrinya itu. Jantungnya berdetak kencang, seakan ada geledeg yang manyambar di telinganya. Tentu Podin sangat terpukul dengan kata-kata istrinya itu. Karena selama ini ternyata dirinya belum bisa memberikan kebahagiaan kepada istri dan anak-anaknya. Jangankan untuk hidup normal seperti orang-orang lain, memenuhi kebutuhan makan saja masih kembang kempis. Namun apa boleh dikata, takdir sudah digariskan oleh Yang Kuasa. Manusia hanyalah titah yang harus menjalaninya, tanpa bisa protes atau menolaknya.

    "Yang sabar, Is .... Kita harus percaya dan yakin, bahwa kelak nasib kita akan berubah ...." jawab Podin pada istrinya.

    "Tapi sampai kapan, Pak ...?!" tentu istrinya punya rasa ingin menuntut segera dan cepat.

    "Ya sabar lah, Is .... Nanti kalau sudah waktunya diberikan rezeki oleh Yang Maha Kuasa .... Kata orang-orang, roda itu tidak selamanya berada di bawah, Is .... Percalayah itu." jawab Podin.

    "Tapi kebutuhannya itu sekarang, Pak .... Buat beli bukunya anak-anak .... Si Eko katanya juga diwajibkan piknik oleh sekolahan .... Harus membayar, Pak .... Kemarin Mbok Jinah juga nyindir-nyindir, kalau utang itu harus segera membayar .... Saya jadi gak enak, Pak .... Kalau mau hutang lagi takut tidak boleh. Tapi kalau mau belanja, uangnya siapa? Tidak ada uang untuk belanja, Pak .... Apa kita tidak usah masak saja .... Nanti makan angin ...." kata Isti yang tentu sangat kesal dengan jawaban-jawaban suaminya. Sabar, sabar dan sabar. Itu kata-kata andalan suaminya.

    Podin tidak berani menjawab lagi. Kalau sudah seperti itu, jawaban apapun yang dikatakan oleh Podin, pasti istrinya malah bertambah marah. Maka ia diam, dan langsung melangkah pergi meninggalkan istrinya. Berangkat kerja sebagai kuli bangunan. Pasti sambil membawa perasaan yang tidak nyaman, karena istrinya sudah mengeluh masalah keuangan. Istrinya sudah tidak berani ke warung karena takut dan malu kalau ditagih hutang.

    Sesampai di tempat kerja, pada proyek bangunan gedung-gedung mewah yang nantinya akan jadi perumahan kondominium, milik orang-orang kaya. Jam belum dimulai untuk bekerja. Masih menunggu beberapa menit lagi. Meski para pekerja sudah pada datang, mereka menunggu waktu sambil berbincang macam-macam.

    "Rumah-rumah ini nati kalau sudah jadi, yang menempati para pejabat yang uangnya banyak .... Maka sebelum rumah ini ditempati orang-orang kaya, kamu masuk dulu ke rumah itu .... Bila perlu tidur dulu di dalamnya .... Hahaha ...." seloroh salah seorang tukang yang gojekan dengan teman-temannya.

    "Yang kaya itu kita .... Buktinya, kita bisa membangun gedung mewah .... Hehehe ...." sahut yang lain.

    "Betul juga katamu .... Orang-orang yang katanya kaya itu, kan tidak bisa membangun rumah .... Justru kita yang miskin malah bisa membangun rumah mewah ...." sahut yang lain lagi.

    "Bisa membangun rumah mewah, tapi hutangnya banyak .... Hehehe ...." timpal teman yang lain lagi.

    Mendengar kata-kata itu, lagi-lagi perasaan Podin yang masih sensi itu merasa di sindir. Kata-kata itu sudah menambah pedihnya perasaan hatinya yang hidup dalam kemiskinan dan punya hutang di mana-mana.

    "Teng .... Teng .... Teng ....!!"

    Suara pipa besi dipukul. Pertanda jam mulai kerja. Para pekerja bangunan itu pun langsung menempatkan dirinya masing-masing sesuai dengan tugas pekerjaannya. Ada yang langsung mengaduk pasir semen. Ada yang menggotong tangga dari bambu, lantas ditempelkan di dinding, untuk memanjat memasang atap. Ada juga yang mulai menggosok-gosokkan cetok di tembok, akan memasang plester. Ada juga yang masuk ke ruangan rumah yang dibangun itu, untuk memasang ubin, lantai keramik yang harganya mahal. Berbagai macam pekerjaan sesuai dengan jobnya masing-masing. Semua itu diatur oleh mandor bangunan yang tentunya juga mengawasi para pekerja.

    Podin bekerja sebagai kuli, bagian mengaduk pasir semen. Pekerjaannya lumayan berat, karena harus mengudak pasir yang dicampur semen, dibasahi air, lantas diaduk-aduk hingga menjadi leleran bahan yang digunakan untuk memplester tembok maupun memasang keramik. Adukan itu harus pas keceweran dan kekentalannya. Kalau terlalu cair, susah untuk ditempelkan pada tembok, akan melorot terus. Tetapi jika kurang air juga tidak mau menempel dengan baik. Jadi harus pas dan benar-benar merekat. Campuran antara pasir dan semennya juga harus sesuai aturan. Tidak boleh terlalu sedikit, tetapi juga tidak boleh terlalu banyak. Memang dibutuhkan keahlian dalam mengaduk pasir semen itu. Namun, bayarannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tukang.

    "Din ...! Ngaduknya jangan keenceran ...!" teriak si tukang yang merasa kesulitan menempelkan adonan pasir semen itu untuk memplester tembok.

    "Ya ...." Podin menyaut. Lantas menambahi adukan itu dengan pasir dan semen kembali, agar adonannya berkurang keencerannya.

    "Din ...! Ini kurang air ...! Kamu itu kenapa sih ...?! Mosok ngaduk adonan untuk plester kok salah terus ...." kata si tukang itu lagi, yang tentu merasa jengkel dengan Podin, karena layanan kepada tukang kurang pas.

    "Mikirin utang kali ...!" teriak teman yang lain, saat mendengar tukang itu memarahi Podin.

    Podin tidak menjawab. Ia diam saja. Tapi langsung kembali mengaduk adonan pasir semen itu kembali. Setidaknya Podin berusaha untuk membuat adonan yang sesuai dengan yang diharapkan si tukang. Namun kata-kata terakhir dari temannya itu seakan menusuk batinnya. Ia merasa diejek, dihina dengan kata-kata "mikirin utang", walau sebenarnya memang benar. Tapi kata-kata itu terasa sangat menyakitkan hati. Apa kalau orang miskin itu identik dengan hutang?

    Walau ia berusaha untuk membuat adonan yang baik, susah payah mencampur pasir semen dengan siraman air yang dihati-hati, namun tetap saja adonan untuk plesteran tombok itu tetap kurang pas. Tentu karena Podin bekerjanya tidak fokus. Meski tangan dan tenaganya tercurah untuk mengaduk , tetapi pikirannya tidak berada dalam pekerjaannya. Pikirannya dipenuhi emosi dan rasa yang tidak nyaman. Ingin marah untuk meluapkan kejengkelannya.

    "Kamu itu kenapa sih, Din ...? Kok tidak seperti biasanya, kerja gak bisa fokus .... Ada masalah apa?" tanya si tukang yang sudah menghampiri Podin yang masih mengaduk adonan pasir dan semen itu.

    "Tidak apa-apa ...." jawab Podin tanpa melihat si tukang yang ada di sampingnya.

    "Tidak ada apa-apa kok besengut .... Sini, cangkulnya ...." kata si tukang itu yang meminta cangkul yang digunakan Podin untuk mengaduk pasir. Lantas adonan itu diaduk oleh si tukang, mengajari kepada Podin untuk membuat adonan plester tembok yang pas.

    "Adonan plester itu seperti ini .... Biar menempelkannya ke tembok gampang, tidak mlorot dan tidak ambyar .... Kalau adonan untuk memasang lantai, pasang keramik, mau basah tidak masalah .... Tapi kalau untuk plester tembok harus pas ...." kata si tukang itu yang mengajari kulinya.

    "Kerja yang benar, Din ...." tiba-tiba mandornya datang menegur Podin.

    "Ya ...." jawab Podin yang juga tanpa melihat orang yang mengajarinya.

    Lantas Podin kembali mengaduk. Memasukkan adukan itu ke dalam ember. Lantas mengantarkannya kepada si tukang yang sudah menunggunya.

    Hingga waktu istirahat siang, para tukang pada istirahat. Tentu langsung pada membuka bekalnya masing-masing, untuk makan siang. Kecuali Podin yang tidak membawa makan siang. Ia hanya minum, air galon yang disediakan oleh mandornya.

    Si tukang yang tadi sempat memperhatikan, mendekati Podin.

    "Kamu lupa tidak membawa bekal ya, Din?" tanya si tukang itu pada Podin.

    "Iya, Pak ...." jawab Podin sambil meneguk air minum.

    "Ini, aku kasih bekalku .... Saya dibawain bekal terlalu banyak .... Ayo, makan ini ...." kata si tukang itu sambil memberikan nasi besrata sebagian lauknya kepada Podin, dibagi di rantangnya. Satu rantang tempat nasi diambil sepaso nasinya, dimasukkan ke rantang sayur dan lauk. Demikian juga sayur dan lauknya diambil sebagian dan dimasukkan ke nasi yang diberikan kepada Podin.

    "Istrimu kalau membawain bekal kok banyak sekali, Pak .... Terima kasih ya, Pak ...." kata Podin yang langsung memakan nasi pemberian temannya itu. Pakai tangan atau muluk. Karena sendoknya cuman satu.

    "Ya .... Rezekinya lumayan, masaknya banyak .... Dari pada sisa di rumah ...." jawab si tukang yang baik hati itu.

    "Enak ya, Pak .... Rezekinya berlebih, istrinya baik .... Pasti rumah tangga Pak Tukang ini tentram dan nyaman." kata Podin memuji si tukang.

    "Orang itu sawang sinawang .... Kalau melihat orang lain kelihatannya enak .... Padahal sama saja ...." jawab si tukang.

    "Tapi mungkin bagi saya memang itu semua belum tercapai, Pak ...." kata Podin yang tentu tidak bisa mengatakan kalau keluarganya enak. Buktinya, siang itu saja ia tidak membawa bekal, karena memang istrinya tidak memasak.

    "Ach .... Jangan seperti itu, Din .... Orang itu tidak bisa dilihat dari yang nampak saja .... Tentram, nyaman, enak, bahagia, itu ukurannya bukan harta benda .... Tetapi hati .... Hati kita yang bisa membuat diri kita tentram." kata si tukang itu lagi.

    "Itu hanya kata-kata isapan jempol, Pak .... Ngeyem-eyemi saja .... Buktinya ya saya ini .... Serba kekurangan, Pak .... Kami ini memang miskin. Saya tidak memungkiri kenyataan ini ...." kata Podin yang mulai curhat.

    "Podin kok dekat-dekat Pak Tukang ..., pasti mau hutang ini ...!" tiba-tiba terdengar suara ejekan dari teman yang lain, yang kebetulan lewat dekat Podin yang masih ngobrol dengan tukang itu.

    "Lho, Pak .... Dengar sendiri, kan .... Orang-orang selalu mengejek orang miskin .... Kalau dekat orang lain, pasti dikira mau hutang ...." kata Podin yang menunjukkan perlakuan temannya.

    "Dul ..., ndak boleh ngomong seperti itu ...." kata si tukang kepada temannya yang mengejek Podin.

    "Halah, Pak .... Itu sudah kebiasaan Podin .... Kalau mendekati orang gitu itu, nanti endingnya bialng mau utang .... Hahaha ...." temannya itu kembali mengejek.

    Tentu wajah Podin langsung memerah. Rasanya ingin marah. Tapi tidak enak kalau nanti terjadi keributan malah jadi masalah. Podin hanya bisa menahan emosi.

    Memang serba salah. Mau memungkiri kata-kata temannya itu, tapi kenyataannya, ia juga berniat mencari pinjaman kepada teman-temannya. Tapi kalau setiap kali diomong sebagai tukang utang, apalagi digembar-gemborkan di tempat orang banyak seperti itu, pasti rasanya juga sangat memalukan. Tapi mau bagaimana lagi, kalau hidupnya memang penuh dengan kekurangan. Di rumah istrinya meminta uang untuk kebutuhan hidup. Kalau tidak diberi, pastinya tidak bakalan masak. Sedangkan istrinya sendiri juga sudah ditagih oleh warung-warung yang diutangi setiap hari.

    "Pak ..., boleh saya pinjam uang?" tiba-tiba Podin mengatakan niatnya untuk utang kepada si tukang itu.

    Tukang itu tidak menjawab. Diam saja tanpa memandangi wajah orang yang bicara. Tangannya mengambil rantang yang dibuat makan Podin. Lantas memasukkan rantang itu ke dalam tas kresek. Lalu pergi meninggalkan Podin. Dalam batin si tukang, "Ternyata benar apa yang dikatakan si Dul, Podin akan utang."

Episode 2: KAKEK YANG BAIK

    Lemas tubuh Podin. Pulang kerja sebagai kuli bangunan, ia berjalan gontai. Enggan rasanya untuk pulang ke rumah. Pasti nanti akan dicegat istrinya di depan pintu, lantas sang istri akan meminta uang. Katanya banyak kebutuhan yang harus segera dibayar. Anaknya yang besar, yang sekolah kelas empat SD sudah terus-terusan menanyakan ongkos piknik. Lantas istrinya juga akan mengatakan kalau beras yang akan dimasak sudah habis. Kalau tidak beli, anak-anak dan dirinya tidak akan makan karena tidak ada nasi. Kalau disuruh hutang lagi ke warung, pasti justru akan dimarah-marahi oleh pemilik warung. Karena hutangnya yang kemarin saja belum dibayar.

    Podin memutar otak, memikirkan bagaimana caranya untuk mencari uang agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Apakah ia akan menjadi pengemis? Jadi pengemis memang gampang. Tinggal duduk di pinggir jalan sambil menyadongkan tangannya, maka nanti orang-orang yang lewat akan memberikan uang receh kepadanya. Syukur kalau ada dermawan yang baik hati, biasanya akan memberikan jumlah yang berlebih. Enak, tidak capek, tidak lelah, tidak mengeluarkan keringat, uang datang dengan sendirinya. Tetapi mau ditaruh di mana mukanya, jika nanti para tetangganya tahu? Pasti mereka akan mengolok-olok, Podin jadi pengemis. Tentu anak-anak dan istrinya juga akan malu dan diejek oleh teman-temannya. Terutama anaknya yang sudah sekolah, pasti nanti teman-teman di sekolahannya akan membuli, "Anak pengemis ..., aanak pengemis ...." begitu kata teman-temannya. Maka saat anaknya pulang, akan menangis dan melapor pada ibunya, kalau di sekolah sudah diejek oleh teman-temannya, jika dirinya adalah anak pengemis.

    Atau alternatif yang kedua, menjadi pencopet. Naik turun bus, berdesak-desakan sama penumpang bus yang penuh sesak, lantas mengambil dompet-dompet para penumpang. Pasti hasilnya lebih besar. Dalam waktu sekejap, akan mendapat uang dalam jumlah banyak. Tetangganya tidak ada yang tahu. Anak-anaknya juga tidak akan dibuli oleh teman-temannya. Tapi kalau sempai tertangkap, bagaimana? Kalau misalnya langsung digebuki ramai-ramai oleh masa, tubuhnya pasti babak belur. Ya kalau cuman babak belur, kalau sampai mati bagaimana? Pasti rahasianya juga akan terbongkar. Bahkan keluarganya akan lebih malu. Tidak hanya malu saja, tetapi juga lebih repot.

    Atau jadi pencuri, mengambil barang-barang milik orang kaya? Nanti hasil curiannya dijual ke tukang tadah. Tapi sama saja. Kalau sampai tertangkap, pasti juga akan digebuki warga. Dan kalau sampai dimasukkan ke penjara, tentu lagi-lagi keluarganya yang bertambah repot. Tidak hanya mencemarkan nama baik, tetapi juga akan menyusahkan anak dan istrinya. Siapa yang akan bekerja kalau dirinya sampai dipenjara? Kasihan anak-anaknya. Belum lagi kalau sudah keluar dari penjara, namanya sudah tercemar dan diberi cap, "mantan napi".

    "Uuhhh .... Hidup kok susah terus .... Haaaahhhh ....!!!" Podin berteriak keras. Ingin melepas penatnya.

    "Ada apa, Den Mas ...? Kok sampai berteriak kencang sekali ...." tiba-tiba ada laki-laki tua yang layak disebut sebagai kakek-kakek, berjalan tertatih dengan menggunakan tongkat di tangan kanannya. Laki-laki ini berpakaian layaknya gembel. Pakaiannya kumuh dan lusuh, bahkan terlihat seperti compang-camping. Kepalanya mengenakan caping keropak dari anyaman daun pandan, seperti bekas miliknya turis yang sudah rusak dan dibuang, lantas diambil oleh kakek itu untuk dikenakan di kepalanya. Di pundak kirinya tercangklong buntalan kain, entah apa isinya, seperti layaknya membawa bungkusan bekal dan pakaian yang digandulkan di pundak.

    Podin terkejut ditegur oleh si kakek compang-camping itu. Tidak tahu asal-usulnya dari mana, tiba-tiba saja si kakek itu sudah berada di dekatnya. Mungkin karena pikirannya yang kacau, maka Podin tadi tidak memperhatikan sekitarnya.

    "Maaf, Kek .... Hati saya sedang kesal ...." jawab Podin yang merasa bersalah sudah berteriak-teriak, mengganggu orang lain. Padahal menurutnya tadi, jalanan pulang ke rumahnya itu sepi tidak ada orang. Makanya ia melampiaskan kejengkelannya itu dengan berteriak keras.

    "Memang ada apa dengan dirimu, kok sampai hatinya kesal ...?" tanya si kakek itu lagi.

    "Anu ..., Kek .... menyesali nasib ...." jawab Podin yang tentu malu untuk mengungkapkannya, karena melihat orang tua yang ada di sebelahnya itu terlihat lebih buruk nasibnya jika dibandingkan dengan dirinya. Paling-paling kakek tua itu hanyalah seorang pengemis.

    "Nasib apa ...?" tanya si kakek itu lagi.

    Sebenarnya Podin tidak sampai hati untuk mengatakannya. Takut akan menyinggung perasaan si kakek itu yang terlihat lebih miskin dari dirinya. Tidak enak untuk mengatakan jika dirinya sebenarnya miskin. Bahkan selama ini teman-temannya kalau didekati sudah langsung pergi meninggalkan dirinya, karena takut akan dihutangi. Tetapi Podin tetap ingin mengatakan, setidaknya bisa curhat. Untuk melepas penat dalam batinnya.

    "Nasib hidup kami yang miskin terus-terusan, Kek ...." jawab si Podin, yang tentu juga ingin tahu reaksi kakek itu kalau ia mengatakan miskin. Khawatir menyinggung perasaan kkakek tua yang terlihat lebih menderita dari dirinya.

    "Kamu bilang dirimu miskin? Coba lihat pakaianku .... Lebih jelek dari yang kamu kenakan, kan?" kata si kakek itu.

    "Betul, Kek .... Tetapi hutang kami sudah sangat banyak .... Anak dan istri saya menunggu di rumah berharap saya pulang membawa uang .... Mereka belum makan seharian, karena tidak ada yang dimasak." jawab Podin yang tentu dengan wajah memelas, mengingat keadaan anak dan istrinya di rumah.

    "Kamu itu pemalas .... Tidak rajin .... Makanya miskin ...." kata kakek itu menghantam alasan Podin.

    Dalam batin Podin pasti juga mengatakan kalau kakek itu juga pemalas. Buktinya ia compang-camping miskin. Tetapi tentu Podin tidak berani mengatakan begitu.

    "Saya sudah kerja banting tulang, Kek .... Saya ini cuman kuli bangunan. Meski kerja keras, bayaran saya ya cuman sedikit .... Makanya kami masih banyak utang untuk kebutuhan hidup keluarga." jawab Podin menjelaskan pekerjaannya.

    "Hidup kok dipenuhi hutang .... Sampai seumur hidupmu kalau kamu selalu hutang, ya pasti tidak pernah mengenyam kenikmatan .... Kamu tidak bakal menjadi orang kaya ...." kata si kakek itu yang sudah ngepal Podin.

    Dalam batin Podin, bagaimana si kakek itu berkata demikian? Sementara dirinya sendiri saja bukan orang kaya. Sesama miskin kok menceramahi tentang rajin, hidup tanpa hutang, menceritakan menjadi orang kaya. Seakan orang tua itu hanya mengumbar kata-kata kamuflase. Atau mungkin juga menyampaikan luapan kekesalannya selama dirinya hidup miskin. Paling-paling pekerjaannya juga mengemis. Begitu kok bisa menceramahi orang lain. Terlalu. Kalau yang ceramah seperti itu orang kaya, mungkin Podin langsung percaya. Tapi apa artinya kata-kata orang miskin bagi dirinya? Itu namanya "sok". Tapi Podin tetap saja membiarkan orang tua itu bicara menasehati sesukanya.

    "Kek ..., jangan menceramahi saya seperti itu .... Kalau Kakek kasihan pada saya, jangan hanya kata-kata nasehat .... Hari ini saya tidak butuh nasehat, tetapi butuh uang .... Saya butuh menghidupi keluarga saya .... Saya butuh uang untuk beli beras, untuk belanja kebutuhan makan, agar istri saya bisa memasak. Agar anak saya tidak kelaparan ...." kata Podin yang sudah bosan mendengar nasehat si kakek itu. Sesama miskin kok menasehati, itu yang ada di benak Podin.

    "Ooo .... Jadi kamu ini butuh uang .... Berapa?" tanya si kakek itu yang tentu sangat mengejutkan Podin.

    Tentu Podin bingung. Masak kakek tua gembel dengan pakaian compang-camping seperti itu kok menanyai kebutuhan Podin. Antara mau menjawab, dan mau meninggalkan kakek itu, karena matahari sudah turun ke ufuk.

    Namun si kakek itu menurunkan buntalan kainnya yang tergantung di pundak kirinya. Lantas membuka buntalannya. Ia mengambil lipatan kain, lantas dibuka. Ternyata dalam lipatan kain yang tersimpan dalam buntalan itu, ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kakek tua itu pun mengambil secukupnya. Tanpa dihitung. Lantas diserahkan ke Podin.

    "Ini .... Terima saja. Anggap ini pemberian dari saya. Pakailah untuk belanja, agar anakmu bisa makan." kata si kakek sambil memberikan uang ke Podin.

    Podin kaget. Ternyata laki-laki tua yang dianggapnya miskin itu punya uang yang sangat banyak. Bahkan kini, Podin sudah diberi uang itu, tanpa dihitung. Dan jumlahnya bagi Podin tentu sangat besar. Belum pernah ia melihat uang lembaran ratusan ribu yang cukup banyak. Setidaknya itu ada satu juta lebih. Dalam hidupnya, baru kali ini tangannya memegang uang sebanyak itu. Bayaran dari hasil kerjanya saja tidak ada separonya. Itu saja masih dipotong kas bon oleh Pak Mandor. Makanya, tangan Podin gemetar menerima uang itu.

    "Ini beneran, Kek ...?! Uang ini diberikan ke saya ...?!" Podin yang bingung dan ragu-ragu, tentu ingin kepastiannya.

    "Iya, benar .... Pakai saja untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Kalau kurang, kamu bisa menemui saya dan meminta lagi. Akan saya tambahi." kata si kakek itu yang sudah kembali mencangklongkan buntalan kain di pundaknya.

    "Yang benar, Kek ...?!" tanya Podin yang langsung hingar bingar mendengar tawaran itu. Pasti nanti kalau ada kekurangan, Podin akan senang menemui kakek itu. Hanya bilang butuh uang, langsung diberi. Enak sekali. Tidak susah-susah bekerja, tidak perlu capek-capek, tidak usah mengeluarkan keringat, ada kakek yang baik hati siap memberi uang. Pasti semua hutang-hutangnya dan hutang istrinya di warung-warung akan terlunasi semuanya.

    "Iya .... Itu kalau kamu mau ...." kata laki-laki tua itu, yang sudah menapakkan tongkatnya, bersiap akan melanjutkan perjalanannya. Mau pulang.

    "Terus ..., saya harus menemui Kakek di mana? Tempat tinggal Kakek ada di mana?" tanya Podin yang tentu sangat senang, dan akan selalu datang ke rumah si kakek itu untuk meminta uang jika ada kebutuhan.

    "Kamu tinggal berjalan saja mengikuti jalan ini .... Terus saja ke arah selatan. Nanti di tepi pantai ada gubug kecil menyendiri. Di situ kamu bisa bertanya kepada nelayan. Nelayan dengan perahu kecil yang berada di gubug itu yang akan mengantarkan dirimu menemui saya." kata si kakek itu yang sudah berjalan cepat.

    Tentu sangat aneh, tangannya saja memegang tongkat penyangga jalannya, tetapi laki-laki tua itu bisa berjalan lebih cepat dari orang biasa. Bahkan seperti setengah berlari. Hingga akhirnya laki-laki tua itu sudah hilang dari pandangan mata Podin. Maklum, hari sudah mulai gelap.

    Dengan girang, dan tentu hatinya sangat senang, Podin pulang menuju rumahnya. Di tangannya sudah menggenggam uang. Istrinya pasti akan menyambut dengan senyum gembira. Bisa membayar hutang ke tetangga, di warung-warung, dan bisa berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Podin melangkah pasti menuju rumahnya.

    "Buk ...!! Bukakan pintunya ...!" teriak Podin dari luar rumah, yang gelap dan cukup jauh dari para tetangga.

    "Iya .... Sebentar ...." suara istrinya terdengar bergegas melangkah untuk membuka pintu dari papan itu.

    "Bapak pulang ...!" kata anak-anaknya yang juga terdengar di telinga Podin. Hatinya ayem, mendengar suara anak-anaknya. Pertanda mereka sehat semua.

    "Kok sampai malam, Pak ...?!" sambut istrinya saat membuka pintu.

    "Ya .... Kan harus cari uang ...." sahut Podin agak santai. Tentu karena ia sudah membawa banyak uang.

    "Mana uangnya ...? Dapat apa tidak ...?" tanya istrinya yang tentu langsung meminta. Istri Podin sebenarnya bukan perempuan mata duwitan, tetapi karena kebutuhan keluarga saja yang menuntut ia selalu meminta uang kepada suaminya.

    "Ini .... Semoga cukup ...." kata Podin menyerahkan uang kepada istrinya.

    "Ya ampun ..., banyak sekali, Pak ...?!" kata istrinya yang tentu langsung tersenyum girang menerima uang dalam jumlah yang banyak.

    "Ya .... Hutang-hutang di warung segera kamu lunasi .... Terus uang untuk membayar piknik anaknya, tolong segera dikasih, biar anaknya tidak ditagih terus oleh gurunya ...." kata Podin yang menyuruh istrinya untuk mengatur uang itu.

    "Iya, Pak .... Akan saya hitung .... Saya bagi-bagi dulu ...." kata istrinya yang langsung memilah-pilah uang itu. Tentu dibagi-bagi untuk melunasi hutang-hutangnya di warung-warung tetangganya. Dan juga untuk membayar piknik anaknya di sekolahan.

    Podin duduk di kursi yang terbuat dari kayu bekas. Ada di pinggir dipan yang digunakan untuk tidur bersama-sama seluruh keluarga. Dipan dari kayu yang cukup besar, yang dibagian atasnya diberi kasur bekas, punya orang yang sudah tidak terpakai dan dibuang, diambil oleh Podin, kemudian bagian yang bodol ditambal. Ia manfaatkan untuk tidur anak-anaknya. Ada beberapa kasur bekas yang asal ditaruh di atas dipan, agar anaknya bisa tidur nyenyak. Tentu yang bagian anak kecil, baunya pesing karena sering terkena ompol bayinya.

    Sambil memegang gelas berisi air bening, ia mengamati tiga anak-anaknya yang sudah pada menggeletak di tempat tidur itu. Tentu dengan pandangan yang terlihat sedih, menyaksikan anak-anaknya yang merana. Sedangkan anaknya yang paling besar, masih duduk di kursi kecil dengan meja pendek yang juga dibuat oleh Podin dari papan-papan bekas sisa bangunan. Anak itu masih belajar dibawah remang lampu yang hanya satu tergantung di tengah rumah. Tidak boleh banyak-banyak, nanti menghabiskan strum. Maklum, listriknya masih menyalur dari tetangganya. Podin nelangsa menyaksikan anaknya yang belajar itu. Kasihan belajar di tempat yang tidak terang.

    "Pak ..., tadi Bu Guru menanyakan ongkos wisatanya ...." tiba-tiba anak yang paling besar itu berkata pada bapaknya.

    "Iya .... Itu sudah dibawa Ibu. Besok dibayarkan, ya ...." jawab Podin yang kasihan dengan nasib anaknya.

    "Ya, Pak .... Terima kasih ...." jawab anaknya, yang tentu senang karena bakalan ikut piknik dengan teman-temannya.

    "Tadi kamu nyari kayu bakar?" tanya bapaknya.

    "Iya, Pak .... Dapat banyak .... Sama tadi pulang sekolah dikasih orang, suruh ngangkuti kayu-kayu bekas yang tidak terpakai." jawab anaknya yang tentu selalu membantu keluarganya. Anak paling besar harus bisa menjadi contoh adik-adiknya.

    "Dibantu adikmu?" tanya bapaknya lagi.

    "Iya .... Malah sama Ibuk juga ...." sahut anaknya.

    "Ya sudah .... Sana kalau sudah selesai belajarnya, terus tidur." kata Podin yang menyuruh anaknya agar segera tidur.

    "Pak ..., uangnya pas .... Pas untuk membayar utang sama membayar piknik si Eko .... Ini ada sisa, pas untuk belanja besok ...." kata Isti pada suaminya.

    "Ya ..., disyukuri .... Yang penting bisa untuk makan ...." sahut Podin pada istrinya.

    "Tapi yang untuk lusa, kita kan juga butuh uang lagi, untuk belanja ...." kata istrinya yang tentu akan selalu meminta uang pada Podin.

    "Semoga besok kita ada rezeki lagi .... Saya akan cari ...." sahut Podin, yang tentu langsung teringat si kakek baik yang tadi sudah memberikan uang kepadanya.

Episode 3: MENCARI RUMAH SI KAKEK TUA

    "Pak, ini bekalnya .... Cari uang yang banyak lagi ya, Pak .... Biar hidup kita lebih enak dan tidak terbelit utang ...." kata Isti pada Podin, saat menyerahkan bekal pagi yang dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke dalam kantong kresek, untuk makan siang di tempat kerja. Tentu dengan harapan bahwa suaminya nanti akan pulang membawa uang yang banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya lagi.

    "Ya ...." kata Podin yang berdiri di depan pintu, sambil mengamati anak-anaknya yang sudah bersiap berangkat sekolah.

    "Pak ..., Eko berangkat sekolah dahulu, ya ...." anaknya yang paling besar dengan seragam SD, menyalaminya dan berpamitan akan berangkat sekolah.

    "Ya .... Sekolah yang bener biar pinter .... Besok biar jadi dokter. Jangan lupa, uang pikniknya dibayarkan ke Bu Guru .... Adiknya dijaga ...." kata Podin yang memesan anak sulungnya saat berpamitan akan sekolah.

    "Iya, Pak ...." sahut anaknya.

    "Pak ..., Dewi juga berangkat sekolah ...." kata anak perempuannya yang satu sekolahan dengan kakaknya. Bersalaman dan berpamitan pada bapaknya.

    "Iya .... Hati-hati .... Jangan nakal ...." sahut Podin sambil mengelus kepala anaknya.

    Setelah dipamiti anak-anaknya, Podin sendiri juga berpamitan pada istrinya, akan berangkat kerja.

    "Aku berangkat duluan, Buk ...." kata Podin sambil mengelus kepala anaknya yang masih digendong istrinya.

    "Ya .... Jangan lupa, pulang bawa uang yang banyak ...." sahut Isti yang melepas kepergian suaminya.

    Pagi itu, Podin niatnya akan berangkat kerja. Berjalan menuju proyek tempatnya bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, saat sampai di jalan, di mana sore kemarin ia bertemu dengan kakek-kakek yang sudah memberikan banyak uang, ia teringat kata-kata si kakek itu, "Kalau kurang, kamu bisa menemui saya dan meminta lagi ...."

    Podin berhenti termangu. Akan melanjutkan berjalan menuju tempat kerjanya, di proyek bangunan, atau berbelok ke arah selatan untuk mencari kakek tua yang sudah menjanjikan kata-katanya itu. Kalau Podin menuju ke proyek bangunan, berarti ia harus berkotor-kotor lagi dengan adukan pasir dan semen. Ia harus berpanas-panasan di bawah terik matahari yang menyengat dan membakar tubuhnya. Belum lagi cacian dan hinaan dari teman-temannya, yang selalu curiga dan menghindar kalau didekati, karena takut akan dihutangi. Ditambah kalau adukannya kurang pas, pasti tukang yang diladeni akan marah-marah. Ditambah masih dimarahi oleh Pak Mandor, yang selalu mengatakan kalau dirinya tidak becus dalam bekerja. Sedih rasanya jika mengingat itu semua.

    Akhirnya, Podin membelok ke arah selatan. Menuruti kata-kata laki-laki tua yang sudah pernah memberi uang kepadanya, dan mengatakan akan memberi lagi jika memang Podin mau memintanya. Ia pun berjalan menuju arah selatan. Ya, menuju ke arah pantai seperti yang dikatakan oleh si kakek itu.

    Namun ternyata, berjalan ke arah selatan, untuk mencari keberadaan si kakek itu tidaklah dekat. Podin harus berjalan cukup jauh. Bahkan rasanya sudah sangat letih, belum juga sampai. Ia harus berpeluh dan dihempas debu-debu jalanan yang diterbangkan oleh kendaraan yang berlalu lalang melewati dirinya. Tetapi karena niatnya sudah bulat, jika pulang ia harus membawa uang. Bahkan ia juga teringat kata-kata istrinya, "Jangan pulang kalau tidak bawa uang."

    Maka, tekad Podin sudah bulat. Ia akan mencari keberadaan si kakek tua yang sudah pernah menemuinya itu, dan menjanjikan akan memberi uang seberapapun yang akan diminta oleh Podin. Podin pun melanjutkan perjalanannya, terus, terus dan terus ke arah selatan.

    Hingga akhirnya, Podin sampai di pantai. Rasa letihnya yang sudah memuncak, kini berubah menjadi senyum. Pastinya ia akan bertemu dengan laki-laki tua yang menyuruhnya untuk mencari gubug yang berdiri di tepi pantai itu.

    Mata Podin langsung menoleh ke kanan dan kiri, mencari gubug yang dikatakan oleh si kakek tua kemarin sore. Dan ternyata benar, ada gubug di sisi kiri dari tempatnya berdiri. Podin pun melangkah menuju ke tempat gubug itu berdiri. Agak lumayan. Harus melintas di batu-batu cadas yang ada di tepi pantai. Tetapi bukan masalah bagi orang yang berniat ingin mendapatkan uang. Untuk memperoleh uang harus berjuang, bahkan harus berkorban. Begitu batin Podin. Apapun akan dilakukan untuk mendapatkan uang.

    Hingga akhirnya, Podin sampai juga di gubug itu. Gubug yang boleh dikatakan hanya sebagai tempat berteduh. Tempat untuk menghindari sengatan matahari. Gubug yang terbuat dari empat buah batang kayu, dan diatasnya diberi atap dari anyaman daun kelapa. Di bagian tengah gubug itu, ada potongan-potongan bambu yang ditata, menjadi sebuah tempat untuk duduk. Bambu itu terlihat halus dan licin. Artinya sudah banyak orang yang sering duduk di situ.

    Podin yang sudah terlalu lelah berjalan dari rumahnya, kini ia pun duduk di bilah bambu yang ada di gubug itu. Kata si kakek tua itu, nanti akan ada perahu kecil yang datang menghampiri, untuk menemui si kakek. Sambil menunggu datangnya perahu kecil seperti yang dikatakan oleh si kakek, Podin membuka bungkusan bekalnya. Tentu akan disantapnya. Untuk mengobati perutnya yang sudah kelaparan sejak tadi, setelah berjalan sangat jauh. Untuk menghilangkan lelah dan letihnya tubuh serta kaki yang terasa gemetar.

    Podin menikmati isi bungkusannya. Nasi putih dengan lauk ikan asin ditambah sambal korek yang terbuat dari cabe merah dan bawang yang dikasih garam dan terasi sedikit. Sudah terlalu enak bagi Podin yang memang hidupnya serba kekurangan. Tangannya langsung memuluk nasi di daun pisang itu, langsung dimasukkan ke mulutnya. Lantas mencuil ikan asin, dicolekkan ke sambal yang berwarna merah itu, dikunyah bersama nasi yang sudah masuk mulut. Terlihat nikmat sekali.

    Namun sayang, Podin tidak membawa bekal air minum. Makan nasi sama ikan asin, tanpa ada kuah, dan terkena sambal yang lumayan pedas, tentu terasa seret saat menelan, dan juga kepedasan. Mulutnya menghoah. Podin tengak-tengok mencari air. Ternyata di tiang gubug bagian belakang, tergantung sebuah kendi, teko yang terbuat dari tanah, tempat air minum.

    Podin langsung berdiri dan meraih kendi yang tergantung itu, dan berharap dapat minuman. Ternyata memang ada airnya. Podin langsung menggelonggongkan air ke tenggorokannya.

    "Uhhh, segaaaar ...." begitu kata Podin yang merasa lega kembali setelah meminum air kendi itu.

    Podin mengulang makannya. Ia habiskan bekal yang diberikan oleh istrinya. Sampai bersih tanpa sisa sedikitpun. Lantas meminum kembali air dari kendi yang menggantung di tiang gubug itu, dengan diikat tambang yang digantungkan pada blandaran kayu yang disangga tiang itu.

    Plong rasanya diri Podin, sudah bisa mengembalikan kekuatan tubuhnya, sudah bisa menambah energi pada badannya. Sehingga seolah ia sudah kembali sehat, segar dan bugar. Kini hanya menunggu datangnya perahu kecil yang akan datang menghampirinya, yang katanya akan mengantarkan dirinya menuju rumah si kakek tua yang memesan kepada dirinya. Kakek yang akan memberikan uang seberapapun yang akan ia minta.

    Sambil menunggu perahu kecil yang akan datang itu, tentu pikiran Podin sudah melayang kemana-mana. Ia sudah membayangkan, kalau nanti ketemu dengan laki-laki tua itu, ia akan meminta uang sebanyak-banyaknya. Jika ia sudah punya banyak uang, pasti ia akan membangun rumah yang bagus, gedung yang megah. Lantas membeli perabotan rumah tangga yang mahal-mahal, akan memasang listrik agar anaknya tidak kegelapan saat belajar. Membeli kompor gas agar istrinya tidak terkena peluh setiap kali memasak di dapur. Akan beli gelang dan kalung untuk istrinya dan anak perempuannya. Akan beli motor, agar bisa mengantar anaknya berangkat sekolah. Pokoknya banyak yang diinginkan. Yang jelas Podin tadak mau diejek lagi oleh para tetangganya. Terutama pemilik warung yang terus-terusan menghina kalau istrinya mau hutang beras.

    Hingga tanpa terasa, matahari sudah mulai menurun, dan akan bersembunyi di langit barat. Lembayung sore sudah menghiasi langit, menggantikan warna biru yang selalu dominan. Podin kaget dan langsung berdiri. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Melihat jauh ke tengah laut. Tetapi belum terlihat ada tanda-tanda perahu yang akan datang menjemputnya. Kapan datangnya perahu, seperti yang dikatakan oleh kakek tua itu? Kenyataan yang ia amati, tidak ada perahu satu pun di perairan itu. Bahkan perahu nelayan saja juga tidak terlihat. Laut yang sepi. Pantai yang tak berpenghuni. Apakah si kakek itu berbohong? Lantas, kalau hari sudah gelap, bagaimana dirinya akan pulang? Jalannya tidak terlihat, bisa jatuh ke air.

    Namun kekhawatiran Podin itu sirna, manakala dari arah barat, ada perahu kecil yang terlihat. Perahu itu seakan muncul dari langit barat, tempat tenggelamnya matahari. Sehingga penampakan perahu itu seakan seperti siluet dengan latar belakang bulatan matahari yang berwarna merah. Nampak indah seperti lukisan para seniman yang mengabadikan keindahan alam.

    Tenang rasa hati Podin menyaksikan kedatangan perahu itu. Pasti ini adalah perahu yang dikirimkan oleh si kakek tua itu untuk menjemput dirinya untuk menuju ke rumah si kakek tua itu.

    "Ooee ......!!! Ayo turun sini ...!! Naik ke perahu ini ...! Cepat ...!!" terdengar teriakan si tukang perahu yang memegangi galah untuk menjalankan perahunya. Perahu itu sudah menepi di pinggir pantai, tepat di bawah gubug tempat Podin berdiri.

    "Ya ...!!" teriak Podin yang langsung bergegas turun dari tempat keberadaan gubug itu, menuju ke perahu yang bersandar. Podin menginjak batu-batu karang yang tidak terhempas oleh gelombang laut. Bahkan melompat agar tidak masuk ke dalam air. Lantas setelah sampai di dekat perahu, Podin langsung melompat masuk ke perahu itu. Ia duduk di tengah perahu, yang memang ada kayu papan tebal untuk tempat duduk penumpangnya.

    "Saya minta diantar ke rumah kakek tua yang baik hati itu ya, Pak ...." kata Podin pada tukang perahu itu.

    Namun tukang perahu itu diam tidak menjawab. Tetapi sudah mendorong galahnya, untuk menjalankan perahunya. Dan sekali dorong, perahu itu sudah sampai di tengah laut. Perahu itu berjalan dengan tenang.

    "Tempatnya rumah si kakek yang baik hati itu jauh, Pak?" tanya Podin kepada tukang perahu itu. Sebenarnya Podin ingin memecah suasana yang sepi. Ia ingin ngobrol dengan tukang perahu itu.

    Namun, lagi-lagi tukang perahu itu hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun. Bahkan tukang perahu yang berdiri di ujung itu diam tanpa bergerak seperti patung. Hanya tangannya beberapa kali bergerak untuk menarik dan mendorong galah yang digunakan untuk menjalankan perahunya.

    Podin tidak bisa melihat wajah tukang perahu itu. Podin duduk di belakang si tukang perahu yang berdiri di ujung. Tukang perahu itu membelakangi Podin. Yang dapat dilihat hanyalah orang itu mengenakan pakaian tebal, semacam jubah yang terbuat dari beberapa kain yang digulungkan untuk menyelimuti tubuhnya, dari leher hingga kaki. Bahkan kain jubah itu menutup hingga telapak kakinya. Bagian kepalanya ditutup caping keropak yang yang sangat lebar, terbuat dari anyaman bambu. Sehingga wajahnya sama sekali tidak terlihat. Caping keropak itu sampai menyentuh bahu. Seakan orang itu tidak punya kepala karena tertutup caping.

    Podin pasrah. Yang penting dirinya akan diantar ke rumah kakek tua yang kaya raya dan mau memberikan uang seberapapun yang akan ia minta. Pasti tukang perahu ini adalah utusan atau pesuruhnya si kakek kaya itu, yang sudah dipesan kalau ada tamu harus dijemput.

    Dan memang benar. Tidak berapa lama, perahu itu sudah sampai di tepi sebuah pulau. Tukang perahu itu langsung menepikan perahunya, tepat pada pinggiran tanah yang menggunduk. Seakan gundukan inilah pelabuhan sederhana tempat menurunkan penumpang dari perahu. Tukang perahu itu langsung memutar perahunya, menempatkan penumpang tepat pada gundukan tanah yang memang tertata sebagai jalan untuk keluar masuk orang menuju ke pulau itu. Pulau yang merupakan tempat tinggal dari kakek yang baik hati itu, yang akan memberikan banyak uang kepada orang yang datang dan memintanya.

    "Silahkan turun .... Ikuti jalan itu terus .... Nanti akan sampai di istana yang megah." kata tukang perahu itu tanpa memperhatikan penumpangnya.

    Podin turun dari perahu. Langsung menginjakkan kakinya di tanah yang agak meninggi itu, yang dianggap sebagai pelabuhan tempat bertambatnya perahu. Tapi jika diperhatikan secara seksama, itu adalah badan jalan yang kokoh dan kuat. Jalan yang sudah dipasangi batu makadam, bahkan bagian tengahnya sudah dicor, walau hanya satu meter memanjang, menuju ke tempat yang mungkin disebut istana itu. Sehingga jalan itu terlihat bagus. Meski hari semakin gelap, sangat mudah untuk melintasi tempat itu.

    Begitu Podin turun dari perahu, tukang perahu itu sudah pergi meninggalkan penumpangnya. Podin yang sudah menapakkan kakinya di bahu jalan itu, langsung mengamati sekelilingnya. Sebuah pulau yang tidak begitu besar. Tetapi sangat rimbun ditumbuhi tanaman-tanaman yang sangat lebat. Sehingga pulau itu memang tidak menunjukkan tanda-tanda adanya istana yang megah di dalamnya, seperti yang dikatakan oleh tukang perahu itu.

    Podin langsung melangkahkan kakinya di jalan yang sudah dicor itu. Begitu melangkahkan kakinya, ia langsung menghilang ditelan rimbunnya tumbuhan yang lebat menutupi pulau itu. Gelap gulita, karena tidak ada sinar yang sanggup menerobos tempat itu. Apalagi semburat lembayung senja sudah mulai menghilang. Tidak ada lagi cahaya yang sanggup menyinari tengah pulau itu.

    Dengan hati-hati Podin menapakkan kakinya melintasi gelapnya rerimbunan hutan. Setelah beberapa langkah, tampak oleh penglihatannya, ada sinar yang menerobos. Semakin Podin melangkah masuk, semakin mendekat sematin tampak terang dan jelas sinar itu. Ya, penarangan dari sebuah rumah.

    "Rupanya ada rumah di tengah pulau yang rimbun tertuptup tetumbuhan ini .... Ah, bukan rumah, tetapi gedung besar. Ah, itu bukan hanya gedung, tetapi istana. Ya, itu istana. Mungkin inilah istana yang menjadi tempat kediaman kakek tua yang baik hati itu. Istana yang sangat besar dan megah .... Tapi kenapa pakaian dan perilakunya saat ketemu, hanya seperti gembel atau pengemis miskin?" begitu gumam Podin saat sampai di depan istana yang megah dan penuh gemerlap lampu-lampu tersebut. Istana yang sering ia bayangkan dalam cerita Aladin. Bangunan yang menjulang tinggi, besar dan serba terang benderang. Walau malam hari, istana itu terlihat sangat mencorong dengan kemewahannya.

    "Hoee ...!!! Jangan diam berdiri di situ saja ...!! Cepatlah masuk ...!!" tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam istana itu.

    Podin menengok ke kanan kiri, bahkan juga melihat ke atas istana itu, mencari asal suara yang menyuruh dia masuk. Tetapi tidak terlihat orangnya. Bahkan seakan tidak ada orang di situ. Istana itu sepi, seakan tidak ada orang di dalamnya.

    Dengan rasa takut, dan tentu kakinya gemetar, Podin mencoba melangkahkan kakinya. Ia memberanikan diri untuk masuk ke istana itu. Perlahan ia melangkah. Takut kalau dibentak yang punya istana. Podin melepas sandalnya, menginjakkan telapak kaki di lantai marmer yang kinclong. Tentu sambil menjijitkan kakinya, takut kalau mengotori lantai itu.

    "Hahahaha .... Selamat datang di kediamanku, anakku .... Ayo masuklah .... Tidak usah ragu-ragu ...." suara itu muncul di pendengaran Podin.

    Tetapi, lagi-lagi Podin menoleh-toleh, mencari asal suara itu, tetap tidak melihat orang yang bersuara. Tidak ada orang di istana itu. Namun seakan ada yang menyuruh. Suara itu bergema di telinga Podin. Ya, itu memang suara si kakek tua yang pernah ketemu dengannya di jalan. Berarti ini memang istana milik si kakek tua itu.

    "Ya, si kakek tua itu pasti ada di dalam istananya, menunggu kedatanganku .... Aku akan minta uang dan harta sebanyak-banyaknya ...." begitu gumam Podin, yang langsung melangkahkan kakinya masuk menuju ruang tengah istana megah tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!