Aurora Belle Fazila Alberto Seorang gadis remaja berumur 15 tahun, putri dari pemilik perusahaan besar Dirgantara corporotion dengan Isyana Atmaja, salah seorang pemilik butik ternama kenamaan dalam negeri maupun Paris.
Dalam usinya yang masih belia gadis itu diam-diam menaksir seorang dokter yang sebenarnya pernah menyukai kakak iparnya sendiri. Chexil, istri dari kakaknya yang bernama Nathan.
"Nek dokter Davin nya ada?" tanya Fazila pada Nenek Salma.
"Loh menangnya dia belum bilang sama kamu bahwa dia dimutasi ke rumah sakit lain?"
"Nggak Nek dia tidak ada mengatakan apa-apa sama Chila."
"Kemarin dia katanya mau nelpon kamu. Memang Davin tidak menelpon?"
"Nggak ada, eh tapi tidak tahu juga sih Nek seminggu ini handphone Chila disita sama Mama gara-gara ketahuan bohong pas pulang
sekolah ada pelajaran tambahan padahal Chila ke sini."
"Nah itu mengapa kita tidak dianjurkan untuk berbohong. Kalau ketahuan ya itu akibatnya."
"Iya Nek, Chila paham. Nenek Salma tidak ikut sama dokter Davin?"
"Tidak paling sebulan dia pulang dan baru ngajak nenek ke sana. Katanya sebulan ini dia akan sibuk dan juga belum mencari rumah kontrakan."
"Oh ya sudah Nek kalau begitu Chila pulang saja. Nanti kalau dokter Davin kembali Nenek kasih tahu Chila ya!"
"Baiklah Nak, tapi kenapa tidak telepon saja sekarang?"
"Tidak aktif Nek, dari tadi Chila sudah berusaha menelpon."
"Tunggu biar Nenek yang coba." Nenek Salma menahan Fazila untuk pergi dan mencoba menelpon dokter Davin.
"Bagaimana Nek?"
"Benar katamu, tidak aktif."
Fazila mengangguk. "Ya sudah Nek Chila pulang saja. Dokter Davin pergi sendiri?"
"Tidak, sepertinya sama asistennya. Siapa namanya ya, Nenek lupa." Nenek Salma tampak berpikir.
"Apakah suster Tantri?"
"Iya-iya benar itu dia."
"Oh sama dia ya?" Fazila tampak kecewa. Gadis itu benar-benar tidak suka pada suster Tantri.
"Ada apa Nak?"
"Tidak apa-apa Nek. Fazila pergi ya, mari." Fazila membungkukkan badannya.
"Hati-hati Nak!" seru Nenek Salma.
"Iya Nek." Fazila berjalan keluar pekarangan. Pak sopir yang mengantarkannya tadi sudah pergi.
Fazila mengambil ponselnya hendak menelpon pak sopir agar kembali. Namun, dia melihat ada chat masuk ke dalam ponselnya.
Buru-buru Fazila mengecek. Dia tersenyum saat tahu siapa yang meng-chatnya. "Dokter Davin!" serunya girang.
[ Tadi kamu nelepon aku?]
[ Dokter jahat ih, nggak ngabarin aku kalau mau pergi]
[Sorry, tapi kalau kamu masih ingin bertemu denganku, kamu bisa datang kemari sebab aku belum keluar kota]
[ Memang Dokter masih dimana?]
[ Masih makan di kafe Venus, mau ke sini nggak? Kalau mau aku tunggu]
[ Kirimin alamatnya!]
[ ......]
[ Oke aku ke sana, tungguin ya!]
[Oke]
Buru-buru Fazila memasukkan ponsel kembali ke dalam tas dan menyetop taksi yang melintas di hadapannya. Dia meminta sopir taksi menuju kafe Venus.
Nan jauh di sana Suster Tantri tersenyum puas sambil meletakkan ponsel dokter Davin kembali. Namun, sebelum menaruh terlebih dahulu dia menghapus panggilan masuk dan chat dari Fazila maupun Nenek Salma.
"Mampus Lo."
Saat itu Dokter Davin memarkirkan mobilnya di tepi jalan raya dan dirinya singgah di masjid untuk menunaikan sholat dhuhur terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Sayangnya ponsel dokter Davin keluar dari kantong celana dan tertinggal di dalam mobil.
"Nona mencari kafe Venus yang mana ya Nona? Yang saya tahu yang ada di kota ini Venus itu nama gang."
"Mungkin Kafe itu terletak di gang Venus Pak."
"Mungkin saja sih, tapi saya tidak tahu."
"Katanya alamatnya ini Pak." Fazila menunjukan alamat yang dikirim oleh Suster Tantri tadi.
"Oh berarti memang benar itu tempatnya. Kalau perlu tahu Nona mau apa ke sana?" Sopir taksi merasa perlu tahu tujuan Fazila mengingat gadis itu masih memakai seragam sekolahnya.
"Menemui Abang saya Pak."
"Oh baiklah kalau begitu akan saya antar," ujar sopir dan melanjutkan perjalanannya.
"Di sini Nona tempatnya."
"Baik Pak terima kasih."
Fazila membayar ongkos sesuai yang tertera di taksi meter lalu turun dari taksi.
"Hati-hati Nona." Setelah mengatakan itu sopir taksi pun melajukan mobilnya kembali.
Fazila celingukan mencari tempat yang dimaksud oleh dokter Davin.
"Tempat apa ini?" Yang Fazila lihat itu seperti perkampungan kumuh. Tidak ada tanda-tanda adanya Kafe di sana.
"Ada mangsa nih." Beberapa preman berjalan ke arah Fazila dan mengerubunginya.
"Mau apa kalian?" Fazila berjalan mundur dan ketakutan.
"Serahkan tas elo!"
"Cincinnya juga!"
"Mana boleh, ini pemberian bang Tris," gumam Fazila sambil memegang jarinya.
"Kamu pikir kami perduli? Serahkan atau kau mati!" seru salah satu dari mereka sambil menaruh tangannya di depan leher secara telentang seperti orang yang mau menyembelih.
"Tidak aku tidak mau."
"Serahkan baik-baik atau kita ambil paksa!"
"Tidak ini milikku," bentak Fazila sambil memegang erat tasnya.
"Hahaha ... dia ngotot. Rupanya dia ingin mempermainkan kesabaran kita. Eksekusi!" perintahnya pada yang lain.
"Tolong!" Fazila berteriak kencang.
"Hahaha, dia minta tolong."
"Hei anak kecil di sini tidak akan ada yang mampu menolongmu. Berteriaklah! Berteriak!"
Tubuh Fazila nampak gemetar. Salah satu orang dari mereka berjalan ke depan dan mendekat ke arahnya.
"Jangan mendekat! Kalau tidak orang-orang Papa akan menghabisi kalian semua!" teriak Fazila dan itu membuat semua preman merasa lucu hingga tertawa terpingkal-pingkal.
"Anak Papa rupanya dia, hahaha."
"Hei anak kecil, kamu pikir kami takut sama ancamanmu? Sana panggil buruan!"
"Hahaha."
"Tolong!" teriak Fazila lagi.
Seseorang mendekat dan langsung menyentak tas Fazila sedang yang lainnya langsung mencekal tangan gadis itu dan menarik cincin di jari Fazila dengan kasar.
"Auw sakit." Gadis itu mengadu dan meringis.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan para preman tersebut langsung kabur.
Namun, saat langkah mereka belum jauh, mereka berhenti dan berbisik satu sama lain.
Tak lama kemudian mereka berbalik.
"Mau apa kalian?" Fazila masih tampak ketakutan dan gemetar.
"Kayaknya body lo bagus juga deh girl." Seorang preman mengedipkan mata dan kembali mendekat. Fazila langsung kabur melihat gelagat yang aneh di wajah pria itu.
"Kejar! Kejar! Kejar!" perintahnya pada yang lain.
Beberapa preman pun langsung mengejar Fazila.
Aksi kejar-kejaran pun terjadi hingga Fazila merasa letih dan tidak punya tenaga lagi.
"Ya Tuhan kirimkan siapapun yang bisa menolongku," gumam gadis itu saat melihat di tempat itu masih sepi. Fazila duduk berjongkok sebentar. Nafasnya sudah terdengar ngos-ngosan.
"Itu dia!" Beberapa preman langsung berlari ke arah Fazila dan mengepungnya. Fazila masih saja memberontak, tetapi sayang tenaganya lemah sudah.
"Aku serahkan padamu Tuhan." Gadis itu sudah pasrah.
"Hei! Hei! Mau apa kalian?"
Bersambung....
"Hei! Hei! Mau apa kalian?" Seorang laki-laki setengah baya dengan baju lusuh berlari mendekat.
"Jangan ikut campur urusan kami atau keluargamu yang jadi taruhannya," ancam salah satu preman.
"Lepaskan dia!" bentak pria itu.
"Hahaha ... dia mengancam kita. Habisi dia!"
Perkelahian tidak bisa terelakkan. Pria setengah baya itu bertarung menghadapi 3 orang sekaligus, sedang dua preman lainnya masih menahan Fazila agar tidak kabur.
Fazila menjadi tambah takut ketika orang yang akan menolongnya itu tersungkur ke tanah hingga beberapa kali. Namun, pria setengah baya itu masih tidak menyerah. Meski luka memar di tubuh dan pipinya masih sakit dia masih terus mengamuk.
Hingga ketiganya merasa kewalahan pria itu masih saja melakukan perlawanan. Sepertinya pria itu tidak hanya ingin menolong Fazila, tetapi terbersit dendam lewat tatapan matanya.
Ketiganya tersungkur ke lantai. Dua orang yang memegang Fazila lengah karena berusaha membantu ketiga temannya untuk bangun. Saat itulah pria itu menarik tangan Fazila dan membawanya berlari keluar dari gang.
"Jangan pedulikan kami, kejar mereka!"
Kedua orang yang ingin membantu temannya bangkit, akhirnya mengurungkan diri kemudian mengejar Fazila dan pria tersebut.
Hingga saat sebuah taksi melintas di hadapannya pria itu langsung menyetop. Setelah berhenti pria itu langsung menarik kembali tangan Fazila agar cepat masuk.
"Jalan Pak!" perintah pria itu. Pak sopir langsung tancap gas.
"Sialan!" Kedua preman itu meradang.
Di dalam taksi Fazila menghembuskan nafas lega.
"Kamu terluka?" tanya pria itu.
Fazila menggeleng. "Tidak Pak."
"Apa ada barang yang hilang?"
Gadis itu mengangguk. "Tas dan cincin saya dirampok oleh mereka."
"Maafkan Bapak tidak bisa membantu untuk mendapatkan barang itu kembali."
"Tidak apa-apa Pak yang penting nyawa saya selamat dan saya baik-baik saja," ucap Fazila.
Pria itu mengangguk. "Keselamatanmu lebih penting, harta bisa dicari walaupun sangat susah untuk mendapatkannya." Wajah pria itu terlihat sendu.
"Dimana alamat rumahmu? Katakan pada pak sopir!"
Fazila mengangguk dan mengatakan pada pak sopir tujuan mereka.
Fazila duduk dengan gelisah, beberapa kali terlihat meremas tangannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa pada mamanya nanti jika melihat penampilan Fazila sekarang yang berantakan.
Beberapa saat kemudian mobil berhenti di depan sebuah rumah yang megah.
"Sudah sampai Nona," ujar sopir tersebut.
Fazila dan pria itu saling pandang. Fazila seakan takut bertemu keluarga karena kondisi pakaiannya yang lusuh dan bahkan ada sobekan, sedangkan pria itu bingung tidak tahu harus membayar dengan apa. Jangankan untuk ongkos taksi untuk ongkos angkot yang lebih murah pun dia tidak punya.
"Bapak ikut turun yuk!" ajak Fazila.
Pria itu memandang ke luar. "Itu rumah Nona?"
"Iya Pak. Ikut yuk, Chila takut sama Papa dan Mama."
"Ongkosnya Nona?" tanya pria itu bingung.
"Tunggu sebentar ya Pak saya minta sama orang tuaku dulu di dalam," katanya pada sopir taksi.
"Baiklah Nona, saya tunggu."
"Ayo Pak!" Fazila menarik tangan pria itu dan pria itu pun menurut. Turun dari taksi dan mengikuti langkah Fazila masuk ke dalam pekarangan rumah.
"Kamu darimana saja Chila? Semua orang mencarimu tahu."
"Oma." Chila memeluk Laras dengan erat sambil menangis sesenggukan.
"Kata pak sopir kamu ke rumah Dokter Davin tetapi saat dijemput kamu tidak ada di sana. Kamu kemana hah?!" Pak sopir terpaksa mengaku bahwa Fazila ke rumah Dokter Davin saat diketahui anak majikannya itu sudah tidak ditemukan dimana-mana.
"Oma Chila dirampok." Gadis itu menceritakan tentang kronologi yang terjadi padanya dengan kondisi menangis.
"Jadi kamu dikerjai sama dokter Davin?"
Fazila mengangguk. "Chila tidak tahu dokter Davin sejahat itu, hiks, hiks, hiks."
"Sudahlah lupakan tentang dia. Jauhi orang-orang yang sama sekali tidak bisa menghargaimu."
"Iya Oma."
"Terus Bapak ini siapa?"
"Dia yang menolong Chila Oma. Kalau tidak ada dia pasti Chila sudah hancur. Para preman itu mau memperkosa Chila."
"Astaghfirullah haladzim, sepertinya dosa Zidane di masa lalu berimbas kepada anak-anaknya." Laras mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oma ongkos taksinya belum dibayar. Pak sopir menunggu di luar."
"Hah, baiklah Oma bayar ongkos taksi dulu." Laras berjalan ke luar dan menyelesaikan pembayaran taksi.
"Ada apa ini? Chila kenapa bajumu kotor seperti itu? Mana tasmu dan kemana cincin di jarimu?"
"Anu Ma, anu...."
"Apanya yang anu?!"
"Dia dirampok Sya bahkan hampir diperkosa," jelas Laras sambil berjalan mendekat.
"Apa? Benar itu Chila?"
Fazila mengangguk.
"Jelaskan semuanya pada Mama!"
"Iya Ma." Fazila bercerita sambil menunduk. Dia tidak berani memandang wajah Isyana.
"Masuk ke dalam!"
"Iya."
Fazila mendongak sebentar "Terima kasih ya Pak," ucapnya pada pria yang menolongnya itu. Kemudian mengikuti langkah mamanya masuk ke dalam rumah.
"Iya Nona, sama-sama."
Setelah Fazila dan Isyana pergi, Laras memandangi wajah dan tubuh pria yang berdiri di hadapannya yang tampak kotor. Ia mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkan pada pria tersebut.
"Ini untuk apa Nyonya?"
"Sebagai hadiah karena kamu telah menyelamatkan cucu saya."
"Tidak perlu Nyonya, saya ikhlas kok." Pria itu mengembalikan uang milik Laras.
"Bapak tinggal dimana?" tanya Laras.
"Saya tinggal di mana-mana Nyonya," jawab pria itu.
"Maksudnya?"
"Saya tidak punya rumah Nyonya. Saya dan keluarga tinggal di jalanan."
Laras mengernyit. "Pekerjaanmu apa?"
"Hanya pemulung Nyonya."
"Oh. Mau bekerja di sini?"
"Memangnya boleh Nyonya?" Pria itu tampak sumringah.
"Karena kamu telah menyelamatkan cucu saya maka saya akan memberikan pekerjaan untukmu."
"Benar Nyonya? Terima kasih kalau begitu. Saya mau Nyonya, tapi saya harus kerja apa?"
"Di sini pekerjaan banyak, bisa merawat kebun, membersihkan rumah, merawat hewan-hewan piaraan atau nyopir pun jadi kalau bisa."
"Bisa Nyonya, saya bisa semuanya."
"Baiklah, mulai besok kamu bisa bekerja. Bawa semua keluargamu untuk tinggal di sini sementara sampai kamu bisa membangun rumah untuk mereka."
"Baik Nyonya terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Tunggu!"
"Ia Nyonya?"
"Bawa uang ini untuk membeli baju kalian. Saya tidak mau besok kalian datang ke sini dengan pakaian yang lusuh dan kotor seperti itu!"
"Tapi Nyonya?"
"Sudah ambil!"
"Baiklah Nyonya, kalau begitu terima kasih banyak."
"Iya."
Pria itu pergi dan Laras masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah Fazila sedang dimarahi oleh Isyana.
"Mama tidak suka ya kamu bohongi kita semua!"
"Ampun Ma, maafkan Chila. Chila nggak akan bohong lagi."
"Sepertinya kamu harus dihukum biar jera!"
Fazila menunduk.
"Nathan menurutmu bagaimana? Apa kita kirim saja dia supaya tinggal bersama Aunty Lussy di Paris dan sekolah di sana?"
"Jangan Ma, Chila nggak mau tinggal di luar negeri. Chila mau tinggal di sini saja. Chila nggak mau jauh-jauh dari keluarga."
"Buat apa dekat dengan keluarga kalau kamu bohongi kami terus seperti ini?!"
"Ampun Ma, maafkan Chila."
"Kalau dia dikirim keluar negeri yang ada dia tambah bebas Ma," ucap Nathan.
"Terus bagaimana solusinya agar dia tidak keluyuran lagi Nath? Apa kita harus menggunakan bodyguard untuk memantau dia?"
"Bagaimana kalau kita titip saja dia di pesantren Ma? Biar tidak keluyuran sekaligus bisa belajar agama."
"Aku mau Bang sekolah di pesantren asal jangan dikirim keluar negeri."
"Bagus kalau begitu. Bagaimana menurut Mama?"
"Kita diskusikan dulu dengan Papa. Kalau dia setuju besok kita langsung berangkat."
"Baik Ma," ucap Fazila pasrah.
Bersambung....
Malam menjelang malam, atas keinginan Isyana semua anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga untuk mendiskusikan bagaimana baiknya tindakan yang harus diambil untuk menghadapi kenakalan Fazila.
Setelah berembuk akhirnya mereka semua memutuskan agar Fazila di sekolahkan di pesantren saja.
"Bang!" Fazila mendekat ke arah Tristan yang sedang duduk bersandar pada sebuah sofa dengan mata gadis itu yang nampak berkaca-kaca.
"Nggak apa-apa, sekolah di sana bagus loh. Selain bisa belajar agama lebih dalam, kamu juga bisa belajar disiplin dan bersosialisasi lebih akrab dengan teman-temanmu," jelas Tristan menenangkan hati sang adik.
"Tapi Chila pasti kangen sama Abang." Gadis itu meneteskan air mata. Dibandingkan yang lain Fazila memang paling dekat dengan Tristan.
"Hus, jangan nangis! Nanti Abang usahakan sering-sering jenguk kamu."
Fazila langsung berhambur ke pelukan Tristan. Ia mendongak, menatap wajah Tristan penuh harap.
"Benar, ya Bang? Abang jangan bohong sama Chila. Nanti alasan sibuk lagi."
"Nggak, Abang janji," ucap Tristan sambil mengelus rambut sang adik.
Fazila mengangguk.
"Ya sudah istirahat sana! Besok kamu sudah harus pergi. Papa sudah menghubungi pihak pesantren tadi."
"Iya Bang." Fazila langsung berlari ke atas dan masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamar dia tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya kemana-mana. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk lalu meraih segelas air putih di bawah lampu tidur dan meneguknya.
"Ah aku pasti bisa menjauh dari keluarga untuk sesaat. Setelah lulus juga bakal kembali ke sini lagi." Gadis itu menatap seluruh kamarnya yang bernuansa putih.
"Aku pasti akan merindukan kamar ini. Bagaimana kamar di sana ya?" Gadis itu bergumam sendiri.
"Ah sudahlah lebih baik aku tidur saja, besok malam aku sudah tidak bisa menikmati kenyamanan kamar ini lagi." Fazila merebahkan tubuhnya kembali. Mencoba untuk memejamkan mata hingga akhirnya dia terlelap.
Esok hari semua orang sedang bersiap untuk mengantarkan Fazila. Saat hendak masuk mobil Chexil muntah-muntah dan tidak mau berhenti.
"Nathan lebih baik kalian nggak usah ikut saja ya. Sepertinya kondisi istri kamu sedang tidak baik-baik saja. Mama tidak mau terjadi sesuatu yang tidak baik dengan janinnya."
"Chila?" Nathan seolah meminta persetujuan adiknya.
"Nggak apa-apa Bang, demi kebaikan kak Chexil juga dedeknya, Abang dan Kak Chexil tidak usah ikut saja," saran Fazila.
"Padahal Kakak juga mau ikut mengantar, huek ... huek."
"Sudah Kak nggak apa-apa, lebih baik Kakak jaga ponakan Chila saja. Chila mau kalau pulang nanti dedeknya sudah lahir." Fazila berkata sambil mengelus perut Chexil.
"Awas Chila tubuh kakak kotor kena muntahan, jangan pegang-pegang! Huek ... huek."
"Sudah Nath bawa istrimu masuk!" perintah Zidane.
"Iya Pa. Maaf ya Chila."
"Iya Bang nggak apa-apa, santai aja lagi."
Nathan dan Chexil kembali ke dalam rumah sedangkan keluarga yang lain masuk ke dalam mobil untuk mengantarkan Fazila ke pondok pesantren.
Di dalam mobil Fazila tampak termenung, tidak berbicara sepatah katapun.
Tristan terus saja menggodanya, tetapi gadis itu tidak merespon sama sekali.
"Mikirin apa sih Chila? Masih mikirin dokter itu?" tanya Tristan serius.
Chila tersadar dari lamunannya. "Apa kata Abang tadi?"
"Masih mikirin dokter itu?"
"Ah nggak, cuma mikirin gimana nanti kalau sudah berpisah dengan keluarga." Fazila berbohong padahal sedang teringat saat-saat bersama dokter Davin sampai dimana dia chat-an terakhir kali dengannya. Hingga membuat ia harus terlempar ke dalam pesantren kini.
Ternyata dia tidak suka aku ngerecokin hari-harinya. Kenapa nggak jujur aja sih sampai harus mengerjaiku segala? Ah sudahlah mungkin ini yang terbaik untukku. Paling tidak Tuhan masih menyelamatkanku dari kejahatan para preman itu.
"Bohong, mikirin apa hayo?"
"Beneran Bang, nggak mikirin apa-apa juga."
"Kalau begitu senyum dong, cemberut aja sih dari tadi!"
Fazila mencebik, tetapi kemudian tersenyum juga.
"Selvi dulu yuk!" ajak Tristan.
Fazila pun mengangguk dan akhirnya foto-foto bersama Tristan dalam mobil sambil tertawa-tawa.
Laras melirik Tristan dan Fazila lalu tersenyum melihat keakraban keduanya yang tidak pernah berkurang sedikitpun.
"Ingat ya jangan posting-posting kalau Chila mondok. Saya tidak mau si dokter itu tahu kalau Fazila kita taruh di pesantren."
"Iya Ma," jawab Tristan sedang Fazila hanya mengangguk. Dalam hati sudah bertekad untuk melupakan dokter Davin untuk selamanya.
Sampai di sana kedatangan keluarga Zidane sudah disambut oleh ketua yayasan dan beberapa ustadz dan ustadzah.
"Bik Ina Nasi kotaknya tolong diturunkan dari mobil dan berikan sama mereka ya biar di bagi sama anak-anak di sini!" perintah Zidane.
"Iya Den."
"Pak sopir bantu juga ya!"
"Baik Tuan."
"Baiklah kalau begitu kami masuk duluan."
"Iya Tuan."
"Ramai ya Bang," ucap Fazila sambil terus berjalan mepet Tristan.
"Namanya juga pesantren Chila ya rame lah, kalau sepi itu namanya kuburan," ucap Tristan lalu terkekeh.
"Ih Abang Chila serius ngomongnya." Fazila mencebik.
"Lah Abang lebih serius lagi Chila."
Mereka terus berjalan di belakang orang tua. Bik Ina menyusul di belakang dengan membawa kotak makanan.
Dari sudut bangunan beberapa santri saling senggol.
"Siapa mereka? Santri barukah?"
"Mungkin," jawab Izzam sambil mengendikkan bahu.
"Izzam lihat dulu dong! Nih anak kebiasaan menjawab tanpa lihat dulu siapa yang kita tanyakan," protes santri yang bertanya tadi.
"Aku lagi sibuk baca Alquran hadis. Kalian lihat sendiri, kan? Kenapa masih bertanya padaku?"
"Hmm, mentang-mentang anak ustadz bawaannya ke sana kemari ya kita. Kalau tidak baca Al Qur'an ya hadis atau kitab lain lagi. Aku nggak ngerti ah apaan saja yang kamu baca. Coba sekali-kali lihat sekitar Izzam tuh lihat di depan sana ada barang bagus."
"Barang bagus apa sih Fik, pasti si Juleha lagi ya? Udah deh jangan mencoba meracuni mataku dengan hal-hal yang tidak halal."
"Astaghfirullah haladzim, benar kata om Bintang nih anak benar-benar ya," kesal Rofik.
"Baca terus kalau perlu tuh mata jangan lihat yang lain selain kitab. Kusumpahi kamu berjalan terus terbentur pohon," geram Rofik lalu meninggalkan Izzam pergi. Bukan apa-apa pria itu kesal sebab seolah Izzam cuek dengan dirinya.
"Rofik tunggu!" Izzam menaruh buku kecil itu ke dalam saku baju muslimnya lalu sedikit berlari mengejar Rofik.
Namun, Rofik sudah menghilang dari pandangan mata.
"Kemana tuh anak, masa cowok ngambekan sih," keluh Izzam.
"Izzam!" Suara seseorang membuat pria itu kaget dan kesandung batu. Izzam hampir saja terjatuh dan sarung yang dipakainya hampir merosot.
Buru-buru Izzam membenahi sarungnya lalu menoleh.
"Ada apa ustadzah Ana?"
"Kau dipanggil Pak kyai. Beliau ingin meminta tolong dirimu untuk menyuguhkan makanan kepada tamu pria."
Ya, karena Izzam adalah putra dari almarhum ustadz Alzam yang pernah mengajar di tempat itu maka Izzam sudah dianggap keluarga sendiri oleh pihak pesantren.
Izzam dekat dengan Pak Kyai dan selalu dibawa saat beliau mengisi ceramah di luar kota. Izzam pun tidak segan-segan membantu perkara hal apa saja yang dibutuhkan pesantren dengan ikhlas dan karena itu pula pihak pesantren menggratiskan biaya sekolah Izzam.
Namun, meskipun demikian Bintang dan Mentari yang berasal dari orang kaya tidak hanya diam saja. Mereka menjadi donatur tetap untuk kebutuhan pesantren.
"Baik ustadzah."
Ustadzah Ana mengangguk lalu pamit pergi.
Izzam pergi ke dapur pesantren. Sampai di sana dia menuangkan kopi dari ceret ke dalam beberapa cangkir yang sudah terlebih dahulu diletakkan di atas sebuah nampan. Tak lupa juga dia menaruh beberapa toples berisi kue-kue kering di atasnya. Setelah itu dia membawa ke dalam rumah tempat pak Kyai menerima tamu.
"Assalamualaikum!" Izzam berikan salam sebelum masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masuk Izzam!"
Izzam mengangguk sambil tersenyum saat Pak Kyai dan Zidane memandang dirinya.
"Ini santri yang saya bicarakan tadi, di usianya yang ke 15 tahun dia sudah hafal Al-Qur'an," jelas Pak Kyia membuat Zidane langsung menatap ke arah Izzam dengan kagum. Dalam hati berharap Fazila bisa hafal Al-Qur'an juga kelak.
"Permisi!" Izzam membungkukkan badan lalu menaruh kopi dan kue kering di hadapan Zidane dan Pak Kyai.
"Silahkan diminum Om mumpung masih hangat!"
"Terima kasih Izzam. Izzam ya namamu?"
"Iya Om."
"Masyaallah, bisakah om berharap putri om bisa hafal Alquran juga sepertimu?" Zidane menepuk-nepuk pundak Izzam sambil melirik ke arah Fazila yang duduk dengan Isyana dan Laras ditemani Bu Nyai.
"Bisa Om, semua yang penting niat dan usaha, walau hasil akhirnya pun tetap Allah yang menentukan. Jadi, jangan lupa disertai doa."
"Iya Nak aku bangga padamu," ucap Zidane sambil menepuk pundak Izzam.
"Tris apa kamu bisa seperti anak ini?" Zidane beralih bertanya pada Tristan yang sedari tadi duduk di samping Zidane, tetapi malah memperhatikan Fazila yang berada jauh di hadapannya sana.
"Maaf Pa kalau soal menghafal ayat, otak Tris sudah lelet," ujar Tristan lalu menutup mulut menyadari dirinya kini berada di samping seorang Pak Kyai.
Kyia Miftah hanya tersenyum mendengar jawaban dari Tristan.
"Maaf Pak Kyai putra saya yang satu ini memang agak hank," ucap Zidane lalu terkekeh.
"Papa!" seru Tristan terbelalak membuat Fazila yang memperhatikan Abangnya tadi tertawa terpingkal-pingkal. Meskipun jarak mereka jauh, tetapi Fazila masih bisa mendengar suara Zidane.
"Chila nggak sopan ah di depan Bu Nyai!" protes Isyana yang sedari tadi fokus berbicara dengan Nyai Fatimah.
"Maaf Ma habisnya papa tuh aneh masa Bang Tris dibilang hank, maaf ya Bu Nyai," sesal Fazila.
"Tidak apa-apa," ucap Nyai Fatimah memaklumi.
Izzam yang tidak sengaja mendengar tawa Fazila akhirnya melihat ke arah gadis itu.
Fazila tersenyum manis pada Izzam.
"Masyaalah cantik banget itu anak," batin Izzam.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!