NovelToon NovelToon

Balas Dendam Istri Teraniaya

Bab 1

“Selamat malam, Ibu Dili,” sapa Pak Ranu.

Dili mengembangkan senyumnya. “Selamat malam, Pak Ranu. Hari ini jaga malam, ya?” tanyanya.

“Iya, Bu. Saya menggantikan tugas teman yang jaga malam. Mba Dili kok pulangnya sampai larut?”

“Ada lembur sedikit di kantor, Pak. Biasalah, akhir tahun banyak kerjaan,” jawab Dili. “Saya naik ke atas dulu, ya,” paminya.

“Iya, Bu. Selamat istirahat.”

Dili memasuki lift dan menekan lantai tempat unitnya berada. Pak Ranu merupakan satpam yang berjaga di area basement Tower Apartemen Andara yang ia tempati. Mereka sering bertemu karena sudah dua tahun Dili tinggal di sana Bersama suaminya.

Dili salah satu penghuni apartemen yang cukup ramah. Ia suka menyapa para pekerja di sana. Mulai dari satpam, tukang kebun, hingga cleaning servis ia kenal dengan baik. Posisinya sebagai manajer produksi di sebuah perusahaan ternama tak membuatnya sombong.

Suami Dili bernama Adli juga merupakan seorang pengusaha. Pulang sampai larut malam karena urusan pekerjaan sudah menjadi hal biasa. Mereka saling pengertian satu sama lain.

Lift yang ia naiki langsung mengantarkannya ke unit apartemen miliknya. Ia meletakkan sepatu hak tinggi yang seharian dikenakannya di rak sepatu. Ia ingin segera mandi dan beristirahat.

“Ah … terus, Sayang! Ini enak sekali. Lebih cepat!”

Dili menghentikan langkahnya. Samar-samar ia mendengar suara wanita dari dalam kamarnya.

“Apa Mas Adli sedang menonton film biru?” gumamnya.

“Kamu mau mengujiku, hm? Aku tidak akan berhenti sekalipun kamu memohon-mohon!”

Dili terlihat syok. Ia mendengar suara yang sangat mirip dengan suara suaminya.

Perasaannya menjadi resah dan memiliki firasat buruk. Suara erangan dan jeritan erotis semakin terdengar jelas saat ia berjalan mendekat.

Dili mematung. Ia tak bisa berkata-kata menyaksikan adegan tidak senonoh yang suaminya lakukan bersama ibu tirinya sendiri.

“Adli!” seru Dili. Air matanya mengalir merasakan kekecewaan atas pengkhianatan yang telah mereka lakukan. Ia tidak menyangka mereka bisa melakukan hal sekeji itu.

Sementara, Adli dan Wika dengan santai mengakhiri perbuatan mereka. Keduanya kembali mengenakan pakaian yang tadinya berceceran di lantai.

“Hah, mengganggu kesenangan saja,” gerutu Wika.

Mendengar ucapan ibu tirinya, Dili semakin merasa heran. Wanita itu tak menampakkan rasa bersalah sedikitpun telah bersetubuh dengan menantunya.

“Ibu, apa kamu sudah gila?” tanya Dili sembari memendam kekesalannya.

“Apanya yang gila? Aku hanya menggantikanmu saja yang baru pulang dari kantor. Adli juga tidak hilang, dia masih jadi suamimu,” jawab Wika.

Wanita itu berjalan ke arah nakas mengambil rokok dan menyalakannya.

Dili tidak habis pikir wanita yang biasanya bersikap lembut sampai akhir hayat ayahnya itu bisa berubah tak lama setelah ayahnya meninggal. Lebih mengherankan lagi ibu tirinya berani tidur dengan menantunya sendiri. Adli juga terlihat tidak mau mengakui kesalahannya. Lelaki itu tak berusaha meminta maaf atau mengaku salah.

“Jangan katakana kalau kalian sudah lama melakukan hal ini.”

Wika menyunggingkan senyum. “Akan lebih baik kalau kamu tidak banyak tahu. Berpura-puralah tidak melihat dan hidupmu akan aman.”

Dili merasa akan gila. Ia telah menyerahkan perusahaan milik ayahnya kepada Adli dan dibalas dengan pengkianatan oleh mereka berdua.

“Adli! Katakana sesuatu padaku!” teriak Dili.

Adli menoleh padanya dengan tatapan kebencian. “Apa kamu tidak bisa diam? Aku bisa saja membunuhmu seperti ayahmu! Wanita sialan!”

Dili tertegun mendengar ucapan kasar Adli. Selama pernikahan, lelaki itu tak pernah sekalipun memperlakukannya dengan buruk. Ia seperti tengah melihat sisi lain yang ada dalam diri suaminya.

“Kamu … kamu yang sudah membunuh ayahku?” nada bicara Dili sampai terdengar bergetar karena syok. Ia baru tahu kalau kematian ayahnya bukan karena penyakit jantung melainkan dibunuh.

Adli menyeringai. “Begitulah! Lelaki tua bangka itu memang pantas mati. Wika sudah tidak kuat menemani tua bangka sepertinya. Jadi, aku sengaja melipat selang oksigen sampai dia tidak bisa bernapas dan mati.” Ia begitu ringan mengakui kejahatannya di hadapan Dili.

“Sayang, kenapa kamu harus sampai sejauh itu mengatakannya? Bagaimana kalau anak kesayangan Indra marah kepada kita?” Wika bergelayut manja memeluk tubuh Adli.

“Aku tidak akan memaafkan kalian. Aku akan melaporkan ini pada polisi!” ancam Dili.

Saat ia hendak melangkah pergi, Adli mencegahnya. Mulutnya dibekap dan tubuhnya ditarik ke arah ranjang. Adli mencekik lehernya dengan kuat. Dili berusaha melawan namun tenaganya kalah dibandingkan lelaki itu.

Air matanya menetes. Ia memandangi wajah Adli dan Wika yang tampak bahagia saat ia berada di ujung ajalnya.

“Hah! Akhirnya dia mati juga!” ucap Adli dengan perasaan yang puas setelah menghabisi istrinya sendiri.

“Apa yang akan kita lakukan padanya?” tanya Wika sembari memandangi jasad anak tirinya yang terbaring di atas ranjang.

“Tentu saja kita akan membuangnya. Dia anak tunggal dan tidak memiliki saudara. Kalaupun hilang, tidak aka nada yang mencarinya.”

“Baiklah, kita selesaikan satu sampah ini dan kita akan hidup dengan tenang. Muak sekali aku harus bersabar berpura-pura baik kepada ayahnya yang tua bangka dan putri jeleknya ini,” ujar Wika.

“Kalau bukan kamu yang memintaku untuk menikahinya, aku juga tidak mau menikah dengan wanita jelek ini! Siapa yang akan mau dengan dia? Melihat wajahnya saja akum au muntah!”

“Hahaha … sudahlah, Sayang. Yang penting sekarang kita sudah mendapatkan seluruh harta kekayaan keluarga mereka. Kita bisa hidup dengan senang sampai mati.”

Adli mengambil sebuah koper besar dari dalam lemari. Ia memasukkan tubuh Dili ke dalam koper tersebut dan melipatnya agar muat.

“Tak jauh dari sini ada rawa-rawa. Kita akan membuangnya di sana. Aku yakin tidak akan ada yang menemukannya.”

Adli dan Wika merapikan penampilan. Mereka membawa koper masuk ke dalam lift dan turun ke area basement parkir. Dengan santainya, Adli menarik koper yang berisi jasad Dili seperti orang yang akan berpergian.

“Bukannya itu suami Ibu Dili dan ibunya, ya? Kok larut malam begini bawa koper besar? Mau kemana mereka?” gumam Pak Ranu yang tidak sengaja melihat Adli dan Wika melintas.

Adli memasukkan koper itu ke dalam mobinya. Ia segera menjalankan mobil setelah Wika naik dan duduk di sampingnya.

Byur!

Adli melemparkan koper berisi mayat Dili ke dalam sebuah rawa-rawa di tengah hutan. Senyum jahat kedua manusia itu tampak jelas terlihat oleh Arwah Dili yang masih mengikuti mereka. Dili hanya bisa menangis menyaksikan kekejaman mereka terhadap jasadnya. Keduanya pergi begitu saja bagaikan telah membuang sampah yang tak berharga.

“Kenapa hidupku harus berakhir seperti ini? Apa salahku …,” Dili merintih meratapi nasibnya. Ia tidak terima orang jahat seperti mereka bisa hidup tenang setelah kematiannya.

‘Ini bukan akhir hidupmu. Kembalilah dan lakukan tugasmu untuk mendapatkan keadilan.’

Sebuah suara yang entah dari mana berasal bisa Dili dengarkan dengan jelas. Tiba-tiba ia melihat sebuah cahaya yang sangat terang memancar mendekat ke arahnya. Lambat laun cahaya itu semakin mendekat, sinarnya semakin terang hingga ia harus menutup matanya.

Saat cahaya itu menghilang, Dili kembali membuka mata. Anehnya, ia tengah terbaring di atas ranjang yang tidak asing untuknya.

“Dimana aku?” tanyanya.

Bab 2

Dili terbangun di atas ranjangnya. Ia melihat ke sekeliling, tempatnya berada tak lain adalah kamarnya sendiri. Kamar yang pernah ditempatinya saat masih tinggal bersama ayahnya.

“Apakah aku sudah meninggal? Atau aku baru saja bermimpi?” gumamnya keheranan.

Masih sangat jelas dalam ingatannya apa yang terjadi semalam. Ia memergoki perselingkuhan antara suami dan ibu tirinya. Ia telah dibunuh oleh Adli dan mayatnya dibuang ke rawa-rawa. Namun, kenapa ia justru kembali di kamarnya sendiri?

Dili beranjak turun dari ranjangnya. Ia menghampiris ebuah kalender yang terpasang di dinding dekat meja riasnya.

“Kalender tahun 20XX?” Dili menutup mulutnya sendiri. Ia sangat terkejut melihat kalender yang menunjukkan 2 tahun sebelum hari kematiannya.

“Ini tidak mungkin ….” Dili tak bisa mempercayai jika sepertinya kini ia terbangun di dua tahun yang lalu. Kembali ke masa lalu hanya ada dalam cerita fiksi yang sering ia baca, tidak mungkin ia mengalaminya sendiri.

Seluruh ingatan tentang kehidupan keluarga dan pernikahannya masih ia ingat dengan jelas. Dimana ia akhirnya mendapatkan seorang ibu tiri yang cantik dan baik hati bernama Wika. Juga lelaki tampan bernama Adli yang menjadi suaminya. Kedua orang itu memperlakukan dia dengan sangat baik hingga akhirnya ia dan ayahnya mati di tangan mereka.

Ia memandangi pantulan bayangannya di cermin. Menurutnya, orang mati tidak mungkin punya bayangan di cermin. Ia juga mencubit tangannya sendiri. Terasa sakit seperti ia tidak sedang bermimpi. Wajahnya juga masih sama seperti waktu ia masih hidup.

Dili mengambil kacamata yang tergeletak di mejanya. Ia bergegas keluar dari dalam kamar. Semua masih sama, tempatnya berada memang rumah ayahnya. Bahkan para pelayan yang biasa bekerja di sana tampak sedang sibuk berbenah di pagi hari.

“Oh, kamu sudah bangun?” sapa Indra dengan seulas senyumannya.

Dili merasa terharu. Ia masih bisa melihat ayahnya yang telah meninggal di kehidupannya sebelumnya.

“Ayah ….”

Dili berlari menyongsong ayahnya yang tengah berdiri memegangi buku di ruang tengah. Ia memeluknya dengan erat seolah meluapkan kerinduan yang mendalam. Tanpa disadari air matanya ikut menetes. Ia menangis sesenggukkan saking bersyukurnya masih bisa melihat ayahnya hidup.

“Dili, kamu kenapa?” Indra terlihat bingung dengan sikap putrinya yang aneh. “Kenapa kamu menangis? Apa ada yang jahat padamu?” tanyanya khawatir.

Dili memandangi wajah ayahnya. Ia menggelengkan kepala. “Tidak, Ayah. Aku hanya merasa bahagia dan bersyukur masih memiliki seorang ayah,” ucapnya.

“Kamu ini ada-ada saja. Setiap hari juga Ayah ada di rumah tapi kamu tidak pernah mengatakan hal seperti ini,” ujar Indra.

Dili kembali memeluk ayahnya. “Kalau begitu, mulai sekarang aku akan bersyukur setiap hari telah memiliki seorang ayah yang hebat seperti Indra lesmana.”

Indra hanya tersenyum-senyum mendengar ucapan putrinya. "Sudahlah, ayo kita sarapan! Ayah sudah sangat lapar!" ajaknya.

Meja makan telah dipenuhi oleh bermacam-macam hidangan lezat. Dili rasanya sangat merindukan masakan pelayan di rumahnya. Semua yang ada di sana memberikan kehangatan sebuah keluarga yang selalu ia syukuri.

"Biar aku saja!" dengan sigap Dili mengambil centong nasi dari tangan ayahnya. Ia berinisiatif mengambilkan makanan untuk sang ayah.

"Ada apa denganmu hari ini? Kenapa tiba-tiba menjadi sangat perhatian kepada Ayah?" tanya Indra keheranan.

Dengan senang hati Dili mengambilakan nasi dan lauk yang menjadi favorit ayahnya. Hal sepele semacam itu di kehidupan sebelumnya menjadi penyesalan yang besar baginya. Sampai ayahnya meninggal, ia hanya menjadi seorang putri yang tidak berguna dan membebani ayahnya.

"Aku ingin Ayah mengingat kalau memiliki putri sepertiku yang bersedia merawat Ayah sampai tua nanti. Ayah tidak perlu berpikir untuk menikah lagi agar ada yang mengurus."

Indra terkejut. "Hahaha ...." ia sampai tertawa karena merasa jawaban putrinya sangat lucu.

"Ibumu sudah meninggal 7 tahun yang lalu dan aku sama sekali tak pernah memiliki keinginan untuk menikah lagi. Tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi ibumu di hati Ayah."

Dili juga ingin mempercayai ucapan itu. Namun, masa depan yang pernah dilewatinya memberi gambaran bahwa ia akan memiliki seorang ibu tiri yang masih muda dan cantik. Ia tidak akan membiarkan pernikahan itu terjadi.

"Ucapan lelaki tidak bisa dipegang, Ayah. Aku takut nanti Ayah berubah pikiran," kata Dili.

"Wah, kepada ayahmu sendiri saja kamu tetap mencurigai." Indra menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau punya ibu tiri!" tegas Dili.

Sekali lagi Indra tertawa. Ia bahkan tak pernah berniat menikah lagi setelah istrinya meninggal. Fokusnya sekarang hanya untuk Dili dan perusahaan.

Sebagai orang tua tunggal, ia akan memastikan putrinya mendapatkan pendamping hidup yang tepat dan bisa membuat putrinya hidup bahagia. Ia sama sekali tidak pernah memikirkan kesenangannya sendiri untuk memiliki istri lagi.

"Ayah janji tidak akan menikah lagi. Kamu tidak perlu khawatir."

Dili mengembangka senyum mendengar jawaban ayahnya. Rasa makanan di mulutnya tiba-tiba menjadi lebih nikmat.

"Oh, iya. Bagaimana dengan kondisi perusahaan Ayah? Apa masih baik-baik saja?" tanya Dili.

Indra kembali keheranan. Putrinya hampir tak pernah mau tahu tentang perusahaan. "Tentu saja perusahaan ayah dalam kondisi yang sangat baik. Memangnya kenapa? Kamu mulai tertarik dengan perusahaan?"

"Iya," jawab Dili tegas.

Indra masih tidak percaya jika putrinya bisa mengungkapkan keinginannya secara langsung. Setelah kematian ibunya, Dili tumbuh menjadi pribadi yang sangat tertutup. Bahkan Indra tidak tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh putrinya sendiri.

"Ijinkan aku magang di perusahaan Ayah semester depan," pinta Dili.

"Itu bukan hal yang sulit."

"Kenapa Ayah terus memandangiku seperti itu?" tanya Dili sembari meneruskan makannya. Tatapan sang ayah membuatnya sedikit risih dan malu.

"Tidak apa-apa, Ayah hanya sedang heran. Awalnya Ayah menebak kamu tidak akan mau bekerja di perusahaan Ayah. Kamu orang yang paling anti menggunakan posisi Ayah untuk kepentinganmu."

"Terlahir menjadi putri Ayah juga merupakan privilege yang patut disyukuri," ucap Dili santai.

Kehidupannya yang dulu memberikan banyak penyesalan atas langkah-langkahnya. Setelah mati satu kali, ia seakan sudah tak takut lagi pada apapun. Ia akan melakukan semua hal untuk bisa menyelamatkan dirinya dan ayahnya dari masa depan yang suram.

"Ayah juga senang mendengar ucapanmu. Ayah merasa dianggap sebagai seorang Ayah." Indra merasakan kebahagiaan. Selama ini ia bekerja keras memang untuk Dili. Setiap kali mendengar penolakan. Putrinya sendiri untuk melanjutkan perusahaan, hatinya sedikit sakit. Karena Dili adalah putri semata wayangnya.

"Ayah, aku sudah selesai makan. Aku mau mandi dan berangkat ke kampus!" ucap Dili. Ia hampir lupa jika di tahun ini dia masih seorang mahasiswi tingkat akhir.

"Bergegaslah mandi dan bersiap-siap. Ayah sendiri yang akan mengantarmu ke kampus."

"Siap, Ayah!" Dili mengerlingkan sebelah matanya dengan semangat.

Bab 3

Dili yang baru pulang dari kampus dengan rambut dikepang dua dan kacamata tebalnya memperlambat langkah saat melihat ada tamu di ruang tamu. Ayahnya tampak tengah berbincang-bincang dengan seorang wanita cantik yang terhitung masih muda. Pakaian wanita itu sangat modis dan se ksi bak model yang sering tampil di majalah-majalah.

"Dili, kemarilah!" pinta sang ayah sembari melambaikan tangan memberi isyarat.

Dili yang pemalu memberanikan diri untuk mendekat. Ia duduk di samping ayahnya. Ia memang selalu merasa canggung dengan orang baru.

"Oh, apakah ini putri Anda?" tanya wanita itu.

Senyumnya terlihat manis, tutur bicaranya terdengar lembut di telinga. Dili penasaran siapa wanita yang ayahnya ajak pulang saat ini.

"Benar, dia putri tunggalku. Dia sedang menyelesaikan semester akhirnya di kampus XXX jurusan Aktuaria." Indra mengenalkan putrinya pada wanita itu.

"Wah, hebat sekali. Anda mempersiapkan putri Anda dengan baik untuk masuk ke perusahaan," puji wanita itu.

"Sayangnya, dia tidak tertarik untuk masuk ke perusahaan," Indra terlihat muram saat mengatakannya.

"Kenapa begitu? Perusahaan Anda sedang menanjak di posisi yang sangat baik. Dukungan putri Anda pasti akan sangat membantu." wanita itu seperti keheranan.

"Dia lebih suka belajar di perusahaan orang lain."

"Oh, begitu. Mungkin dia ingin menambah pengalamannya," ucap Wanita itu.

"Aku sampai lupa mengenalkan kalian. Dili, dia Wika, sekertaris baru ayah di kantor."

Wika mengulaskan senyum. Tanpa sungkan, ia mengulurkan tangan terlebih dahulu. "Halo, aku Wika. Senang bisa bertemu langsung denganmu," ucapnya.

Dili membalas jabatan tangan itu. "Saya Dili," jawabnya.

"Dili, kami ingin bicara serius denganmu," kata Indra.

Mendengar nada bicara ayahnya yang terdengar berbeda, Dili merasa ada hal penting sampai ayahnya membawa Wika datang ke rumah. Setelah 7 tahun ibunya meninggal, ayahnya tak pernah membahas tentang wanita lain di hadapannya. Hari itu, ia merasa ada yang berbeda.

"Mungkin kamu akan terkejut mendengarnya. Tapi, Ayah harus tetap menyampaikannya."

Perasaan Dili semakin tidak enak.

"Ayah ... Melakukan sebuah kesalahan pada Wika. Dia sedang mengandung anak ayah."

Dili membulatkan mata terkejut dengan pengakuan ayahnya.

"Ayah akan menikahi Wika. Aku harap kamu bisa menerimanya sebagai ibu tirimu," kata Indra.

Dili mer emas-rem as jemarinya untuk menghilangkan kegugupan. "Kalau Ayah memang maunya seperti itu, aku setuju saja," ucapnya. Ia bahkan tidak berani mengucapkan rasa keberatannya.

Wajah Indra dan Wika terlihat lega. Ternyata Dili tak menentang hubungan mereka.

"Kami akan menikah minggu depan, Dili."

*

*

*

"Tidak ...."

Dili terbangun dari tidurnya. Napasnya tampak terengah-engah. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya. Ia seakan merasa baru bermimpi buruk.

"Itu tidak boleh terjadi ... Tidak boleh ...," gumamnya sembari memegangi kepalanya yang terasa pening.

Baru saja Dili memimpikan kejadian di masa lalunya. Ia bermimpi tentang sang ayah yang mengenalkan Wika kepada dirinya. Mimpi itu terasa begitu nyata sampai membuatnya ketakutan.

Dili bangkit dari atas ranjang. Ia langsung melihat ke arah kalender. Masih di tahun yang sama sebelum kematiannya. Itu artinya, masih ada kesempatan untuk mencegah sang ayah bertemu dengan wanita itu.

Dili bergegas keluar dari kamarnya menuju kamar ayahnya. "Ayah ... Ayah ...." ia mencari keberadaan sang ayah di dalam kamar dan kamar mandi. Ayahnya tidak ada.

Di atas meja tergeletak sebuah kertas undangan yang bentuknya terlihat mewah. Dili penasaran dan membacanya. Sebuah undangan pesta bagi para pengusaha.

Firasat buruk memenuhi pikirannya. Ia merasa ayahnya bisa saja bertemu dengan wanita itu di sana. Tanpa banyak berpikir lagi, Dili turun ke bawah untuk menyusul ayahnya.

"Pak, antar aku ke Hotel XXX!" perintahnya kepada Pak Umar, sopir pribadinya.

"Baik, Nona."

Perjalanan dari rumah ke hotel itu memakan waktu sekitar 30 menit. Dili mengenakan topi dan masker wajah agar tidak ada yang mengenali. Ia kebingungan mencari cara untuk bisa masuk ke tempat acara yang pasti memiliki keterbatasan akses tamu.

Tiba-tiba ia terpikir untuk menyamar sebagai pelayan hotel. Ia bergegas menuju ke tempat para pelayan hotel mengganti pakaian mereka. Situasi hotel yang sangat sibuk membuat mereka tidak akan mungkin sempat jika ada penyusup yang ikut.

"Eh, kamu bawa meja ini ke tempat acara!" perintah salah seorang koki.

Sepertinya dewa keberuntungan masih berpihak pada Dili. Ia dengan muda mendapatkan cara masuk ke dalam sana.

Acara yang digelar di hotel tersebut terlihat megah. Banyak pengusaha dan artis-artis yang hadir di sana. Dili tak ada waktu untuk mengagumi kemewahan acara itu. Ia fokus mencari keberadaan ayahnya.

"Boleh aku meminta minumannya?" tanya salah seorang tamu.

"Oh, silakan," ucap Dili. Ia sampai lupa jika dirinya kini tengah melakukan penyamaran.

Ia menawarkan minumannya kepada beberapa tamu yang dilewatinya. Sisa minuman yang dibawanya diletakkan di atas meja dengan rapi.

Setelah mencari beberapa saat, akhirnya ia bisa menemukan ayahnya. Namun, sangat disayangkan snag ayah nampaknya sudah lebih dulu bertemu dengan wanita bernama Wika itu.

"Apa aku sudah terlambat?" gumamnya lirih. Ia seakan ingin menyerah dan merasa kalah.

Ia melihat gelagat tidak baik dari seorang Wika. Wanita itu tampak memasukkan sesuatu ke dalam minuman ayahnya.

Wika tampil se ksi mengenakan pakaian minim yang memperjelas lekukan tubuhnya. Cara bicara dan gestur tubuhnya seakan berusaha menggoda lawan jenis.

Dili melihat ayahnya tak tertarik dengan usaha wanita itu. Justru rekan bisnis ayahnya yang lain yang tampaknya tergoda. Namun, Wika seperti telah menargetkan ayahnya.

Dili tidak akan membiarkan wanita itu berjalan dengan mulus. "Kamu mau berusaha tidur dengan ayahku dan hamil supaya dinikahi, kan? Itu tidak akan terjadi di kehidupan ini!"

Dili berjalan menghampiri tempat Wika dan ayahnya berada. Ia tetap menyamar sebagai pelayan hotel yang mengambil gelas-gelas kosong dan meletakkannya pada troli yang didorongnya.

"Pasti sangat menyenangkan bekerja dengan Nona Wika. Wanita cantik bisa menjadi asupan semangat untuk bekerja."

"Hahaha ... Pak Reynald bisa saja. Tapi, atasan saya bukan orang seperti itu. Pak Indra tidak pernah tertarik dengan wanita manapun. Beliau sangat setia dengan mendiang istrinya."

"Indra memang sepertinya ada kelainan. Mana mungkin tidak tertarik dengan Nona Wika yang secantik ini."

Indra mengabaikan percakapan mereka. Ia datang hanya untuk menghormati undangan koleganya. Ia meneguk minuman di gelasnya hingga habis. Wika tersenyum lebar melihatnya.

"Aku mau istirahat sebentar di kamar. Kepalaku sedikit sakit," ucap Indra.

"Apa Anda baik-baik saja?" tanya Wika khawatir.

"Jangan mencemaskan aku. Aku hanya butuh sedikit istirahat. Kamu temani saja mereka bicara. Setelah pulih, aku akan kembali," kata Indra.

"Ah, baik, Pak."

Indra berjalan meninggalkan kelompoknya. Ada kamar-kamar di hotel tersebut yang memang dipesankan untuk para tamu yang butuh istirahat. Indra masuk ke dalam kamar 303 dengan menekan kode yang diberikan padanya.

Tanpa sepengetahuan Indra, Dili masih membuntuti sampai ayahnya masuk kamar. "Pasti di acara ini kan, yang membuat wanita itu hamil? Mau berbuat licik pada ayahku rupanya."

Dili melihat ke sekeliling. Saat suasana lengang, ia mencabut nomor kamar yang tertempel di pintu. Ia menukarnya dengan nomor kamar sebelahnya. Melihat nomor kamar yang tertukar, ia merasa lega. Minuman yang ayahnya minum juga sudah sempat ditukar dengan minuman lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!