Viona baru pulang bekerja dari restoran. Kebetulan hari ini jadwal shift siang, jadi malam-malam begini baru pulang. Seperti biasa Viona menaiki sepedanya melewati jalan raya. Tak sengaja dia melihat sosok lelaki yang tergeletak di pinggir jalan dalam kondisi pingsan. Sejujurnya Viona takut untuk mendekati lelaki itu. Takutnya itu penjahat yang berpura-pura pingsan. Namun, sebagai orang yang baik, tentu Viona tak tega melihat orang yang sedang terkena musibah.
''Mas, bangun!'' Viona menepuk pelan lengan lelaki itu. Tetapi lelaki itu masih belum sadar.
Viona menatap wajah lelaki itu yang cukup tampan. Hanya saja di sudut bibirnya berdarah. Sepertinya lelaki itu habis di keroyok orang. Viona menatap ke sekitar yang cukup sepi. Tidak ada kendaraan satu pun yang lewat.
''Bismillahirrahmanirrahim.'' dengan mengucap basmalah, kini Viona mulai membantu mengangkat tubuh lelaki itu. Viona memapahnya pergi mencari tempat berteduh. Karena suara petir sudah terdengar dan sepertinya akan hujan.
Benar saja, hujan deras langsung mengguyur. Pakaian yang di kenakan oleh Viona sudah basah kuyup. Dengan langkah tertatih dan penuh perjuangan, Viona membawa lelaki yang dia tolong menuju ke gubuk kecil di pinggir jalan.
Viona membiarkan lelaki yang dia tolong terbaring di atas kardus. Sedangkan dia berdiri di dekat pintu menunggu hujan reda. Hampir tiga jam Viona berdiri, tetapi tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Sebenarnya bisa saja Viona pulang hujan-hujanan. Namun, dia mengkhawatirkan lelaki yang bersamanya.
Duar
''Astaghfirulah'aladzim.'' Viona memegangi dadanya karena kaget mendengar suara petir.
Viona memutuskan menutup pintu lalu duduk di lantai beralas kardus. Malam semakin dingin dan Viona hanya bisa memeluk lutut mencari kehangatan. Lama-kelamaan Viona tertidur dengan posisi itu.
Pagi harinya, Viona terusik dengan suara berisik yang di dengarnya. Viona yang masih mengantuk, terpaksa dia membuka ke dua matanya. Betapa terkejutnya saat melihat banyak orang yang sedang berdiri sambil mengarahkan kamera ponsel kepadanya.
''Ada apa ini? Kenapa ramai sekali?'' tanya Viona sambil mendongkakkan kepalanya menatap mereka.
''Harusnya kami yang tanya, kenapa kalian berduaan di gubuk ini? Apa semalam kalian habis berbuat Zina?'' seorang ibu-ibu melontarkan pertanyaan.
''Tidak, kami ...,'' ucap Viona terhenti karena seseorang memotong perkataannya.
''Tidak usah mengelak lagi!'' ucap seorang lelaki yang berdiri paling depan.
Pemuda tampan yang sedang tidur, kini mulai membuka ke dua matanya. Dia memegangi kepalanya yang sedikit pusing, lalu menatap ke sekitar. Keningnya mengerut saat melihat banyak orang di hadapannya.
''Ada apa ini? Kenapa saya ada disini?'' Rey menatap ke sekitar. Ruangan itu terlihat kumuh dan sempit.
''Nah bangun juga dia. Ayo kita bawa mereka ke kantor polisi!'' ucap ibu-ibu yang tadi.
Semua yang ada disana sudah berpikiran negatif dengan Viona dan Rey. Sekarang ke duanya tak bisa melawan para warga yang sudah merekam bahkan mengira jika ke duanya habis berbuat Zina. Mereka berdua langsung dibawa ke kantor polisi terdekat.
Keluarga Viona dan Rey datang ke kantor polisi setelah di hubungi. Mereka tak menyangka jika anak-anak mereka melakukan hal yang tak baik dan sampai terpergok warga. Kini mereka sedang bicara baik-baik dengan polisi.
''Pak, tolong bebaskan anak saya! Rey itu anak saya satu-satunya dan tidak mungkin melakukan hal yang di tuduhkan. Kami selalu membimbingnya menjadi lelaki yang baik,'' ucap Bu Ratih yang merupakan ibunya Rey.
Sedangkan orang tua angkat Viona hanya diam saja. Mereka malah senang jika Viona di penjara. Lagian dengan adanya Viona di rumah hanya membuat beban saja.
''Begini, Pak, Bu. Anak bapak dan ibu di temukan warga berada di sebuah gubuk di pinggir jalan. Daerah sana cukup sepi dan memang sudah terkenal tempat me sum para muda-mudi. Sebaiknya anak-anak ibu langsung saja di nikahkan agar tidak terjadi gosip yang menyimpang di luar sana. Apalagi ada beberapa warga yang merekamnya dan mengunggahnya di sosial media. Tentu itu akan berakibat buruk untuk reputasi anak Bapak dan Ibu,'' jelas Pak polisi.
"Pak, tapi saya sudah punya calon suami." Viona yang sejak tadi diam, kini bersuara.
"Kalau sudah punya calon suami, tidak mungkin bermalam dengan lelaki lain," ucap Pak Polisi.
"Begini saja, saya akan bayar berapa pun asal bapak melepaskan anak saya. Dia anak saya satu-satunya yang nantinya akan menjadi penerus perusahaan," sahut Pak Hendra yang merupakan ayahnya Rey.
"Saya akan membebaskan mereka asal mereka mau di nikahkan. Setidaknya untuk mengurangi populasi pasangan se x bebas. Dengan menikah, mereka bisa meneruskan kehidupan mereka dengan baik," ujar Pak polisi.
Bu Ratih tampak berpikir, mungkin memang ada baiknya jika Rey di nikahkan saja. Dari pada di luar sana jadi pembicaraan orang. Apalagi Rey itu dari keluarga terpandang.
Bu Ratih mendekatkan wajahnya ke telinga suaminya lalu berbisik. "Sebaiknya kita nikahkan mereka saja, Pah. Jika rekan bisnis Papah tahu kalau anak kita terjerat kasus hukum, apa yang akan kita lakukan?"
"Mamah benar juga. Mungkin sebaiknya kita nikahkan saja mereka. Walaupun kita belum tahu asal usul wanita itu," ucap Pak Hendra.
"Iya, Pah. Lagian wanita itu sepertinya wanita yang baik."
Setelah berdiskusi dengan suaminya, kini Bu Ratih langsung berbicara kepada Pak polisi. "Begini, Pak. Tadi saya sudah berdiskusi dengan suami saya. Kami memutuskan untuk menikahkan mereka berdua," ucap Bu Ratih.
"Mah, tapi Rey tidak mau!" Rey menolak keputusan orang tuanya.
"Rey, hanya itu satu-satunya cara agar kamu bisa terbebas dari jerat hukum. Jika kamu di tahan, maka reputasi ayahmu juga pasti buruk. Mamah tidak mau jika keluarga kita jadi bahan omongan orang," ujar Bu Ratih.
Rey tampak berpikir, apa yang di katakan oleh ibunya ada benarnya juga. Untuk sekarang lebih baik dia mengiyakan apa kata ibunya. Lagian tidak mungkin dia di suruh untuk menikah sungguhan dengan Viona. Paling juga orang tuanya hanya beralasan agar polisi percaya dan dirinya bisa langsung terbebas.
"Baiklah, Rey mau menikah dengan dia," Rey berucap sambil menatap Viona.
Ke dua orang tua Viona saling berbisik. Mereka membicarakan mahar yang akan di minta kepada keluarga Rey. Mereka memang matre, pastinya akan meminta mahar dalam jumlah banyak.
"Bagaimana, Pak, Bu? Apa kalian setuju jika putri kalian menikah dengan anak saya?" Bu Ratih bertanya kepada orang tua Viona.
"Sangat setuju, Bu. Tentu itu yang terbaik untuk mereka," jawab Bu Dewi penuh antusias.
Setelah urusannya di kantor polisi selesai, kini mereka bergegas pergi. Bu Ratih juga sudah meminta nomor ponsel Bu Dewi karena nanti ingin membahas masalah anak-anak mereka.
Viona hanya menatap ke luar, melihat kendaraan yang berlalu lalang. Tidak menyangka jika niatnya untuk menolong orang malah membuat dirinya hampir saja di penjara. Bagaimana jadinya jika tadi dia tetap di tahan, tentu itu bisa menghambatnya untuk mencari keberadaan orang tua kandungnya. Karena beberapa bulan ini Viona sudah berusaha mencari keberadaan mereka yang entah dimana.
"Vio, nanti kalau laki-laki bernama Rey itu mau menikahimu, lebih baik kamu terima saja. Sepertinya mereka itu orang kaya. Lumayan tuh nanti bisa minta mahar yang banyak," ucap Bu Dewi.
"Mah, Vio bukan cewek matre. Lagian Vio sudah punya calon sendiri. Mamah juga tahu sendiri loh."
"Untuk apa kamu pertahankan lelaki kere seperti Doni? Mending sama Rey yang anak orang kaya. Pokoknya kamu tetap harus menikah dengan Rey. Apa kamu lupa kalau kami yang sudah membesarkan kamu dan membiayai sekolah kamu? Apa kamu tidak akan membalas semua kebaikan kami?" tanya Bu Dewi.
Mendengar kata balas budi, memang sudah sepantasnya untuk Viona membalas semua kebaikan orang tua angkatnya. Walau terkadang mereka memperlakukannya kurang baik, tetapi Viona tetap sayang..
Bu Ratih sudah berbicara dengan Bu Dewi bahwa akan tetap menikahkan Rey dengan Viona. Tentu Bu Dewi sangat senang. Bu Ratih tak keberatan dengan mahar yang di ajukan oleh Bu Dewi. Lagian keluarga mereka itu kaya.
Tin tin
Terdengar suara klakson mobil dari depan rumah. Bu Dewi bergegas keluar bersama dengan Viona. Bu Dewi berusaha bersikap baik di hadapan calon besannya.
"Selamat pagi, Bu Ratih. Ayo masuk dulu! Kita ngeteh bersama," ajak Bu Dewi.
"Lain kali saja, Bu. Sekarang saya mau langsung pergi ke butik." Lalu tatapan Bu Ratih tertuju ke Viona. "Vio, apa kamu sudah siap?"
"Sudah siap, Bu," jawab Viona.
"Kalau begitu ayo masuk!" ajaknya.
Viona membuka pintu mobil bagian depan lalu dia duduk di samping Bu Ratih. Setelah berpamitan kepada Bu Dewi, kini Bu Ratih langsung mengemudikan mobilnya menuju ke butik langganannya. Kebetulan Viona dan Rey akan memilih gaun pengantin yang akan di kenakan di pernikahan mereka. Walaupun pernikahan mereka tidak akan di laksanakan dengan mewah, tetapi Bu Ratih ingin jika anak dan calon menantunya memakai pakaian yang layak saat ijab qabul nanti.
Bu Dewi yang baru masuk ke rumah, di hampiri oleh Alisa yang merupakan anak kesayangannya.
"Mah, kenapa Viona pergi menaiki mobil mewah? Siapa wanita tadi? Apa itu ibu kandung Viona?" tanya Alisa.
"Bukan, Nak. Tapi yang tadi itu calon mertua Viona."
"Apa? Jadi Viona mau menikah dengan orang kaya? Mamah gimana sih, masa upik abu seperti Viona di biarkan menikah sama orang kaya? Harusnya aku yang menikah sama orang kaya, Mah," protes Alisa.
"Sudahlah, lagian mau kamu atau Alisa yang menikah itu sama saja. Mamah bisa porotin harta mertuanya," ucap Bu Dewi.
"Tapi kan Alisa juga ingin hidup mewah, Mah." Alisa menghentakan kakinya karena kesal.
"Kamu tenang saja, nanti mamah akan carikan calon suami yang tak kalah kaya seperti calon suaminya Viona." Bu Dewi mengusap pelan punggung anaknya.
Alisa masih diam, dia bertanya-tanya dalam hatinya, seperti apa wajah calon suami Viona. Bisa-bisanya dia kalah langkah sama anak pungut yang sejak kecil dia benci.
...
...
Viona dan Bu Ratih baru sampai di butik. Bu Ratih melihat mobil milik Rey sudah terparkir di depan butik. Sepertinya Rey sudah sampai duluan. Benar saja, Rey keluar dari mobilnya lalu menghampiri ibunya yang hendak masuk ke butik.
"Mah," panggil Rey.
Bu Ratih tersenyum menatap anaknya. "Kamu sudah sampai, Nak. Ayo kita masuk!"
Rey mengikuti Bu Ratih yang sudah melangkah duluan bersama Viona. Sebenarnya malas sekali untuk Rey datang kesana. Namun, Bu Ratih yang memaksanya sehingga Rey datang ke butik itu.
"Selamat datang, Jeng Ratih.” seorang wanita seusia Bu Ratih menghampirinya.
"Jeng Sinta, tolong carikan gaun pernikahan yang cocok untuk calon menantu saya," ucap Bu Ratih sambil menunjuk Viona.
"Kok sebelumnya Jeng Ratih tidak bilang-bilang kalau anaknya mau menikah? Ini terkesan mendadak loh, atau memang saya yang tidak di beritahu?" tanya Bu Sinta.
"Memang terkesan mendadak, Jeng. Nanti Jeng Sinta datang ya, kebetulan saya hanya mengadakan syukuran sederhana saja," ucap Bu Ratih.
"Baik, Jeng," jawab Bu Sinta, lalu mengajak Viona memilih gaun yang di sukainya.
Bu Sinta tak bertanya lagi kepada Bu Ratih. Namun, Bu Sinta mengira jika Rey dan Viona telah berbuat lebih sehingga di nikahkan tergesa-gesa. Karena pergaulan anak jaman sekarang memang sungguh keterlaluan.
Bu Sinta menunjuk beberapa gaun mewah dan mahal di butiknya. Tetapi Viona sama sekali tak tertarik. Viona memilih kebaya berwarna putih dengan bawahan rok kain batik.
"Ini saja, Bu. Saya lebih menyukai kebaya ini," Viona menunjuk kebaya pilihannya.
"Ini sederhana sekali, Nak. Memangnya tak masalah?"
"Saya lebih suka yang sederhana, Bu. Lagian ini bagus kok.''
Bu Sinta tak menyangka jika calon menantu sahabatnya itu bukan wanita matre. Bahkan di saat di sajikan bermacam-macam gaun mewah, Viona lebih memilih kebaya berwarna putih yang terlihat sederhana.
''Baiklah, ini juga bagus kok untuk kamu, Nak. Biar saya yang bawa kebaya ini.’' Bu Sinta mengambil kebaya yang masih di gantung, lalu menghampiri Bu Ratih yang sedang menemani Rey memilih jas.
Mereka langsung pulang setelah membayar. Namun, Bu Ratih meminta Viona untuk pulang bersama Rey. Awalnya Rey menolak, tetapi dia tak bisa menolak karena ibunya terus memaksa.
Sepanjang jalan Viona dan Rey hanya diam. Viona menatap kendaraan yang berlalu lalang dari balik kaca mobil. Viona sama sekali tak berani berbicara kepada Rey yang terus menatapnya sinis.
''Dimana rumahmu?'' Rey bertanya sambil fokus mengemudi.
''Em nanti di depan belok kiri, Kak,'' kata Viona.
Rey menurut arahan dari Viona. Kini mobil itu berhenti di depan rumah yang terlihat begitu sederhana. Viona turun dari mobil, sedangkan Rey langsung saja pergi tanpa berpamitan.
Langkah Viona terhenti saat hendak memasuki rumah. Karena Alisa yang tiba-tiba menghadangnya di depan pintu. Alisa menatap Viona dengan tatapan tak suka. Apalagi kini Viona lebih beruntung dari pada dirinya.
''Hei anak pungut, sekarang hidupmu enak sekali ya. Keluar masuk mobil mewah. Jangan-jangan kamu jual diri ya, jadi bisa menikah sama orang kaya.'' Alisa tampak menghina Viona.
Sejujurnya Viona kesal kepada Alisa yang selalu berbicara seenaknya sendiri. Namun, selama ini dia tak berani marah kepada Alisa. Biar bagaimana pun Alisa adalah kakaknya.
''Vio tidak seperti itu, Kak. Jika sekarang Vio akan menikah dengan orang kaya, mungkin memang sudah di takdirkan seperti itu. Vio tidak pernah menentang takdir,'' ujar Viona tetap tenang. Dia tak terpancing dengan kata-kata Alisa.
''Terserah kamu deh. Dasar anak pungut tidak tahu diri.'' Alisa menatap tajam Viona, lalu berlalu pergi menuju ke kamar.
Viona menghela napasnya. Mungkin ke depannya dia harus lebih sabar lagi menghadapi Alisa. Karena di mata Alisa, dia selalu salah.
...
...
Pernikahan yang tak di inginkan akhirnya terjadi juga. Pernikahan sederhana itu di laksanakan di kediaman orang tua angkat Viona. Bu Dewi juga mengundang semua tetangganya. Niatnya ingin pamer jika Viona bisa menikah dengan orang kaya bahkan memberikan mahar cukup besar.
''Selamat Rey, Vio, akhirnya kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri.'' Bu Ratih memeluk anak dan menantunya secara bergantian.
''Terima kasih, Bu.'' Viona tersenyum membalas Bu Ratih yang juga tersenyum kepadanya.
Terlihat Bu Dewi dan suaminya yang juga mendekati Viona. Bu Dewi berakting sebagai ibu yang baik di hadapan Bu Ratih. Padahal sebenarnya Bu Dewi sangat membenci Viona.
Alisa sama sekali tak mau mendekati Viona. Sejak tadi dia terus mengumpat dalam hatinya. Bagaimana tidak kesal jika ternyata suami Viona sangatlah tampan.
Setelah memberikan selamat kepada Viona dan Rey, kini Bu Dewi menghampiri para tetangganya yang sedang bergosip.
''Ekhem ... kalian sedang ngapain nih?'' tanya Bu Dewi.
''Kami hanya sedang membicarakan Bu Dewi yang sangat beruntung mempunyai menantu kaya raya. Apalagi maharnya juga seratus juta,'' ucap salah satu dari mereka.
''Iya dong, saya sangat beruntung punya menantu dan besan yang sangat kaya. Tidak seperti kalian yang hidupnya susah saja. perkataan Bu Dewi membuat tetangganya tersindir. Namun, mereka memilih diam, karena tidak mau berdebat.
Tak lama, semua tetangga yang hadir pun sudah pulang. Tinggal keluarga Viona dan keluarga Rey saja. Bu Ratih langsung mengutarakan niatnya untuk mengajak Viona pindahan hari ini juga. Kebetulan sebelumnya Rey sudah bilang kepadanya jika tidak mau menginap di rumah Viona yang terlihat kecil, bahkan tidak ada AC. Bu Dewi dan suaminya mengizinkan Viona untuk pergi saat ini juga. Bahkan mereka sudah membantu membereskan barang-barang milik Viona.
''Mah, Pah, mungkin Viona akan sangat rindu dengan kalian. Vio pamit pergi dulu ya. Biar bagaimana pun Vio harus ikut dengan suami Vio,'' ucap Viona dengan mata yang berkaca-kaca.
''Iya, Nak. Jangan lupa kamu harus sering-sering datang kesini ya.'' Bu Dewi mengusap air mata Viona yang membasahi pipi.
Viona menganggukkan kepalanya. Dia berjabat tangan dengan ayah dan ibunya secara bergantian. Bu Ratih, Rey, dan Pak Hendra juga berpamitan dengan mereka. Lalu bergegas pergi dari rumah itu.
Viona berada di mobil yang sama dengan Rey. Sedangkan orang tuanya menaiki mobil yang berbeda. Viona terlihat diam, dia masih tak percaya karena kini sudah menjadi seorang istri dari lelaki yang tidak dia cintai. Bahkan dengan pernikahan ini, dia harus melepas kekasihnya yang bernama Aldo.
Mobil yang di kendarai Rey kini berhenti di depan bangunan yang begitu mewah. Viona menatap tak berkedip bangunan yang biasanya hanya dia lihat di televisi. Beberapa kali Viona menepuk pipinya, ternyata sakit, itu berarti ini bukan mimpi.
''Kenapa masih diam? Cepat turun!'' pinta Rey.
''Baik, Kak. Tapi ... apa itu rumah Kak Rey?'' Viona menunjuk rumah megah di depan sana.
''Benar, kenapa kamu terkejut seperti itu? Bukankah ini yang kamu mau, masuk ke dalam keluargaku dan menikmati harta keluargaku.''
Viona menggelengkan kepalanya. ''Aku tidak ...,'' ucap Viona terpotong karena Rey memotong perkataannya.
'' Aku tidak butuh penjelasanmu. Cepat turun!'' Rey bergegas turun duluan, barulah Viona mengikutinya.
Kedatangan mereka di sambut baik oleh semua asisten rumah tangga di rumah itu yang kini berjejer di depan pintu masuk. Bahkan mereka menundukkan pandangannya saat melihat tuan rumah memasuki rumah.
''Semuanya, ini Viona menantu saya. Saya harap kalian bisa bersikap baik kepadanya,'' ucap Bu Ratih.
''Baik, Nyonya,'' jawab mereka serempak.
Bu Ratih meminta Viona mengikuti Rey pergi ke kamar. Sedangkan Bu Ratih sendiri akan beristirahat bersama suaminya.
Rey berdiri di depan tempat tidur sambil melipat ke dua tangan di dadanya. Menatap tajam Viona yang baru memasuki kamar. Terlihat sekali pancaran kebencian di ke dua matanya.
''Mulai sekarang kamu tidur di sofa. Awas saja kalau sampai berani menyentuh ranjangku,'' ucap Rey.
''Baik, Kak.'' Viona menunduk tak berani menatap Rey.
Viona terbangun terlebih dahulu. Tidur di sofa membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Apalagi dinginnya AC yang seakan menusuk tulang. Viona menatap jam yang ada di dinding. Ternyata baru pukul empat pagi. Viona berinisiatif untuk mandi terlebih dahulu berhubung belum masuk waktu subuh.
Viona memasuki kamar mandi yang masih asing baginya. Desain yang begitu mewah, bahkan Viona tidak melihat bak mandi atau pun gayung. Benar-benar seperti kamar mandi orang kaya.
"Apa aku harus mandi sambil berdiri?" gumam Viona sambil melihat sower yang ada di hadapannya.
Tidak ada pilihan lain, Viona mandi sambil berdiri. Namun, karena dia belum terbiasa mandi di bawah guyuran sower, kepalanya ikut basah. Padahal Viona tak berniat keramas pagi ini. Tetapi rambutnya sudah terlanjur basah.
"Benar-benar ribet kalau mandi di kamar mandi orang kaya. Mungkin nanti aku mandi di kamar mandi pembantu saja," gumam Viona.
Setelah selesai dengan ritual mandinya, Viona bertadarus sambil menunggu adzan subuh. Tentu aktivitas Viona mengusik tidur nyenyak Rey. Sejak tadi Rey menutupi telinga dengan ke dua tangannya.
"Stt berisik sekali sih, " Rey membuka ke dua matanya, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Rey melihat Viona yang sedang duduk di atas sajadah sambil mengaji.
"Hei, bisa diam tidak? Pagi-pagi kok sudah berisik," tegur Rey.
Viona berhenti mengaji, dia menengok ke belakang menatap suaminya. "Maaf, Mas. Aku hanya ingin mengaji saja kok."
"Tapi suara kamu itu membuat tidur nyenyakku terusik. Lain kali kalau mau mengaji itu di luar saja. Lagian di rumah ini ada mushola kok."
"Baik, Kak. Kalau begitu aku keluar saja," Viona berdiri dari atas sajadah, lalu pergi keluar. Dia akan mencari keberadaan mushola di rumah itu.
Sesampainya di mushola, Viona melihat beberapa asisten rumah tangga berada disana. Sepertinya mereka hendak Shalat subuh berjamaah.
"Vio, " panggil seseorang dari arah belakang Viona.
Viona menoleh, melihat Bu Ratih dan Pak Hendra yang sedang melangkah ke arahnya. Viona tersenyum senang, ternyata di tempat barunya yang sekarang semua penghuni rumah itu selalu melaksanakan Shalat berjamaah.
"Nak, mamah senang lihat kamu ikut Shalat disini. Tidak seperti Rey yang tidak pernah mau Shalat bareng kita," ucap Bu Ratih.
"Iya, Nak. Papah harap lain kali kamu bisa membujuk suamimu," sahut Pak Hendra.
"Baik, Pah. Nanti Vio akan usahakan."
Semuanya mulai merapatkan barisan. Begitu pun Pak Hendra memposisikan diri di barisan paling depan. Pak Hendra menjadi imam Shalat di pagi ini.
Pak Hendra dan Bu Ratih saling berjabat tangan. Lalu mereka memperhatikan Viona yang sedang berdoa. Sekarang Bu Ratih merasa tenang karena mempunyai menantu yang cocok untuk anaknya. Setidaknya selama kepergian mereka nanti, masih ada yang mengingatkan anaknya untuk kembali beribadah.
"Pah, jika begini mamah bisa pergi ke luar kota dengan tenang," bisik Bu Ratih di telinga suaminya.
"Benar, Mah. Viona bisa membimbing Rey agar rajin beribadah selama kita tidak ada. Walaupun selama ini kita memang sudah sering membujuk Rey, tetapi tidak berhasil. Semoga saja jika yang menasihati itu istrinya, Rey akan berubah," ucap Pak Hendra penuh harap.
"Amin, Pah. Mamah juga berharap seperti itu."
Ke dua orang tua itu mempunyai harapan besar pada Viona.
...
...
Baru beberapa jam setelah kepergian Bu Ratih dan Pak Hendra, tetapi suasana rumah sudah berubah tegang. Rey mengumpulkan semua asisten rumah tangganya. Begitu juga dengan Viona yang ada disana.
"Selama mamah dan papah di luar kota, semuanya harus menurut dengan aturanku. Kalian semua cukup membersihkan bagian dalam rumah saja. Sedangkan halaman rumah dan taman belakang itu tugas Viona yang mengurusnya," ujar Rey.
"Maaf, Tuan. Tapi itu tugas yang berat jika di lakukan sendirian. Bolehkah saya membantu Nona Viona?" Kepala pelayan yang bernama Marni angkat bicara.
"Tidak perlu! Awas saja kalau salah satu dari kalian berani membantu Viona, saya tidak segan-segan langsung memecat kalian," ancam Rey.
''Baik, Tuan,'' jawab mereka serempak.
Sejenak Rey menatap mereka semua satu persatu. Tatapan matanya yang begitu tajam membuat siapa pun yang melihatnya merasa takut. Termasuk Viona yang kini menundukkan pandangannya.
Setelah kepergian Rey, Bi Marni mengantar Viona ke halaman depan. Memberitahu tugas-tugas yang harus Viona lakukan. Walaupun tak tega, tetapi Bi Marni tak bisa berbuat apa-apa.
''Non, tugas pertama Non Viona menyapu halaman ini. Tapi ini cukup luas, jika Non Vio cape bisa istirahat dulu,'' ucap Bi Marni.
''Baik, Bi. Vio sudah biasa kok melakukan pekerjaan seperti ini. Bibi tidak usah mengkhawatirkan Vio.'' Viona meyakinkan Bi Marni, bahwa dia sanggup melakukan pekerjaan itu.
Baru 30 menit menyapu, belum ada tanda-tanda akan selesai. Beberapa kali Viona mengusap keringat di keningnya. Bahkan jilbab yang dia kenakan juga sudah basah. Viona yang merasa cape, duduk beristirahat sambil berselonjor. Tak lupa dia memijat kakinya sendiri yang terasa pegal.
''Non, ini ada es jeruk untuk Non Vio.'' Bi Marni muncul dengan membawa satu gelas es jeruk yang sengaja di siapkannya.
Viona menoleh ke sumber suara, tersenyum menatap Bi Marni. ''Terima kasih, Bi. Bibi sungguh perhatian sama saya.'' Baru juga Viona akan mengambil gelas itu, suara seseorang menghentikan niatnya.
''Siapa yang mengizinkan Bibi memberinya es jeruk? Bibi jangan lagi peduli sama dia. Biarkan dia minum air putih saja, atau air kran sekalian.'' Rey mendekati mereka, lalu mengambil es jeruk milik Viona.
Viona menyuruh Bi Marni masuk ke rumah, dari pada terus disana nanti malah jadi sasaran kemarahan Rey. Karena Rey sudah jelas melarang siapa pun mendekati apalagi membantu Viona. Rey benar-benar akan memperlakukan Viona seperti pembantu di rumah itu.
...
...
Rey baru mendapat kabar duka dari rumah sakit yang ada di luar kota. Ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan dan tak bisa terselamatkan. Pikiran Rey begitu kacau. Rey masih tak percaya jika orang tuanya akan berpulang secepat itu.
Rey meraih kunci mobilnya dari atas nakas, lalu bergegas pergi. Dia akan ke rumah sakit dimana ke dua orang tuanya berada. Rey berhenti di ruang tengah dan mengumpulkan semua pembantu yang ada di rumah itu.
''Bi Marni, tolong siapkan semuanya untuk acara pengajian nanti malam. Tadi saya baru mendapat kabar duka bahwa mamah dan papah meninggal,'' ucap Rey dengan ekspresi wajah sendu.
''Innalillahi wainnailaihi raji'un,'' ucap mereka serempak.
''Kami turut berduka cita, Tuan,'' ucap Bi Marni.
''Mas, apa aku boleh ikut? Aku juga ingin melihat mamah dan papah.'' Viona sedikit meremas tunik yang di kenakan karena merasa takut saat berbicara dengan Rey.
''Tidak perlu! Lebih baik sekarang kamu bereskan barang-barang kamu dari kamarku. Mulai nanti malam kamu tidur di kamar pembantu. Aku tidak ingin sial seperti mamah dan papah. Pasti karena ada kamu di rumah ini, mereka jadi meninggal,'' ucap Rey penuh penekanan.
Viona tak menyangka suaminya akan berbicara seperti itu. Sungguh perkataannya begitu menyakitkan. Air mata Viona keluar begitu saja dari sudut matanya. Viona sedih di cap sebagai wanita pembawa sial oleh suaminya sendiri.
Bi Marni mengusap punggung Viona memberikan ketenangan. Pasti sangat sulit berada di posisinya saat ini.
''Non, yang sabar ya. Tuan Rey memang seperti itu orangnya.''
''Iya, Bi. Vio akan mencoba ikhlas di perlakukan tidak adil oleh Mas Rey. Vio hanya berharap semoga suatu saat Mas Rey bisa menerima keberadaan Vio.'' Viona mencoba tersenyum walaupun dadanya terasa sesak.
Bi Marni senang karena Rey mendapatkan istri yang berhati mulia seperti Viona. Berbeda sekali dengan Laura, mantan kekasih Rey yang sudah memutuskannya karena mendengar skandal Rey dan Viona. Tetapi Bi Marni bersyukur, karena wanita bermuka dua itu tidak jadi menikah dengan Rey.
Dengan menempuh perjalanan selama dua jam, kini Rey sampai juga di rumah sakit tempat orang tuanya berada. Dia langsung mengurus administrasi, agar orang tuanya bisa segera di pulangkan. Hanya sebentar Rey melihat jenazah orang tuanya. Dia sungguh tak sanggup melihat kondisi orang tuanya yang sudah tak bernyawa.
Setelah mengurus kepulangan orang tuanya, Rey bergegas pulang. Begitu juga dengan jenazah orang tuanya yang kini dibawa oleh mobil ambulance.
Kini suara sirene mobil ambulance terdengar hingga ke dalam rumah. Semua asisten rumah tangga keluar menyambut kedatangan mereka. Tak ada obrolan apa pun, semuanya hanya diam menunduk sedih.
''Bi, apa acara prosesi pemakaman sudah di siapkan?'' Rey bertanya kepada Bi Marni.
''Sudah, Tuan. Di dalam sudah ada Pak Ustadz dan para jamaah masjid yang akan membantu kita,'' jawab Bi Marni.
''Syukurlah. Lalu dimana wanita itu?'' Rey menatap ke sekitar mencari keberadaan Viona.
''Sedang berwudhu. Katanya Non Viona ingin ikut menyalatkan jenazah.''
''Mulai sekarang jangan ada yang panggil dia dengan sebutan Nona. Karena derajat kalian itu sama, dia juga pembantu di rumah ini,'' tegas Rey kepada semua pembantunya.
''Baik, Tuan,'' jawab mereka.
Bi Marni ikut sedih karena Viona di perlakukan dengan tidak baik di rumah itu. Padahal Viona adalah istri sah dari majikannya sendiri. Namun, kerasnya hati Rey tidak bisa menerima wanita berhati mulia seperti Viona.
'Apa sebaiknya saya bantu Non Viona pergi dari sini saja, dari pada Non Viona hidup menderita di rumah ini,' gumam Bi Marni dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!