NovelToon NovelToon

Rumah Hantu

1. Rumah Baru

Kalimantan ...

Yah, ini lah tempat tujuan kami sekarang. Setelah sampai di Bandara Syamsudin Noor di landasan Ulin Banjarbaru, kami segera menuju salah satu daerah di Kalimantan selatan ini. Papaku dipindah tugaskan di Kalimantan, karena pekerjaan barunya. Dan otomatis, kami sekeluarga juga harus pindah.

"Sampai ...." seru Papa setelah mematikan mesin mobil di depan sebuah rumah berlantai dua dengan halaman yang cukup luas.

Aku dan Mama saling pandang satu sama lain lalu menatap rumah dihadapan kami sekarang. "Yuk turun." ajak Papa.

"Pa? Serius nih, kita tinggal disini?" tanyaku agak ragu.

"Iya. Kenapa? Kalian gak suka?" tanya Papa agak kecewa.

Mama tiba -tiba menyenggol ku dan sedikit berdehem. "Suka kok, Pah. Yasmin cuma terkesan aja mungkin, rumahnya lebih besar dari rumah kita di Jawa." kata Mama sambil menatapku lalu berkedip kedip.

Aku melotot tak sependapat. Namun Mama malah menginjak kakiku dan makin membelakakan matanya. Baiklah, isyaratnya sudah sangat jelas. Dan aku tidak boleh melawan Mamaku ini. Bakal habis nanti uang jajanku kalau tidak menurut.

"Hehe. Iya Pah. Besar banget rumahnya. "Sahutku menyetujui penjelasan Mama tadi. "Tapi serem juga, hehe." gumamku pelan.

Bug!

Mama kembali menyikutku agar aku diam.

"Eh yuk masuk. Kita liat dalemnya, Pah." ajak Mama sambil menggandeng Papa masuk ke dalam.

Aku hanya garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Lalu mengikuti mereka masuk. Papa memang baru saja mendapat pekerjaan baru , setelah menganggur selama 3 bulan. Perusahaan Papa gulung tikar karena bangkrut akibat persaingan bisnis.

Setelah pintu dibuka, kami diam sejenak dan mengamati keadaan sekitar, rumah ini terlihat rapi dan bersih. Dan sepertinya terawat sekali. Sampai-sampai tidak ada secuil pun debu yang menempel pada perabot di dalam. Ada sebuah jam sudut sebesar lemari pakaian. Yang akan berdentang setiap 1jam 1kali. Lantai nya terbuat dari marmer. Jadi terasa dingin, Jendelanya agak banyak hingga memenuhi ruangan ini. Ada kursi kayu dengan ukiran bergambar ular ada di sisi kanan ruang tamu ini.

Sebuah patung harimau juga ada disudut ruangan. Aku mendekat dan menyentuh nya karena penasaran.

Tap.

Tap.

Tap.

Suara langkah kaki dari dalam ruangan terdengar makin lama makin jelas. Aku masih diam dan mengelus harimau ini seolah dia hidup. Bulu bulunya halus. Sorot matanya tajam, dan membuatku berfikir, ini harimau sungguhan yang diawetkan. Papa berjalan ke dalam untuk melihat langkah kaki siapa itu. "Oooo ... Bu Lastri," Seru Papa lalu sambil tersenyum senang, "Ini Bu Lastri. Beliau ini yang bersih- bersih di rumah ini." kata Papa memperkenalkan wanita paruh baya itu pada kami.

Penampilannya agak serawutan. Wajahnya yang datar, terkesan seram buatku. Mama mendekat padanya lalu mengobrol ringan. Aku kembali berjalan mengamati hiasan rumah yang lain. Di sini rupanya didominasi hewan hewan buas. Di bufet juga ada patung ular yang tidak terlalu besar. Lalu di dinding bagian tengah, kepala banteng terpajang berdampingan dengan hiasan dinding lain.

"Semua kamar letaknya diatas, dan itu, yang diujung ...." tunjuk Bu Lastri ke kamar paling atas yang menghadap ke halaman depan. "Itu kamar Mba Yasmin. Mari saya bawakan barang- barangnya," kata Bu Lastri sambil meraih beberapa tas milikku. Aku diam beberapa detik lalu menarik tangan Mama agar ikut bersamaku sambil menggeleng cepat.

'Mama ... Tolong. Takut loh, serem gitu Bu Lastrinya.' batinku dengan ekspresi melotot dan gerakan kepala beserta ekspresi wajah yang cukup meyakinkan dan berharap Mama bisa membaca pikiranku. Tapi, aku hanya mendapat senyuman dari Mama beserta suruhan agar aku segera ke atas menyusul Bu Lastri. 😑

Bu Lastri jalan dengan pincang. Membuatku sedikit tergelitik untuk bertanya apa yang telah menimpanya, hingga dia berjalan dengan kepayahan sekarang.

"Maaf, Bu ... Kakinya kenapa?" tunjukku ke kaki kanannya. Dia menoleh lalu kembali menatapku.

"Kecelakaan." jawabnya datar.

"Ibu nggak apa-apa naik tangga gini? " kembali pertanyaan spontan terlontar dari mulutku.

Bu Lastri menghentikan langkahnya lalu kembali menatapku.

Satu.

Dua.

Tiga.

Hening.

Beliau menggeleng pelan lalu melanjutkan berjalan ke lantai atas dengan menyeret koper milikku. Aku pun mengikutinya dengan langkah ragu.

Sampai kamarku, rasa ragu dan takut mendadak sirna berganti rasa kagum. Kamar ini cukup besar, didominasi warna pastel dan pink muda, dengan ranjang besar yang dihiasi kelambu putih tergerai di tiap sisi ranjang, dan... Lemari besar yang sebagian besar dilapisi kaca tebal di tiap sisinya. Namun bagian atasnya berukir sama seperti yang kutemui di kursi kayu ruang tamu.

Tok

Tok

Ku ketuk salah satu sisi kaca lemari itu. Bunyi nya menggema didalam.

"Itu lemari pakaian Mba Yasmin." jelas Bu Lastri yang berdiri didekat ranjang sambil terus menatapku. Aku hanya meliriknya sekilas lewat cermin didepanku.

Kriiieeeet.

Kubuka pelan lemari besar ini. Dalam lemari ini luas. Dan baru kutau, kalau ini lebih tepat disebut ruang baju, seperti yang sering ku lihat di film- film. Ada beberapa rak untuk menyimpan baju dan gantungan di sisi kanan dan kirinya. Lemari ini tidak lebar, karena lebarnya sama seperti lemari pakaian pada umumnya, hanya saja bagian dalamnya luas dan masuk kedalam. Mungkin ada sekitar 2 meter jarak dari pintu ke bagian belakang lemari ini.

"Biar saya bereskan baju - baju Mba Yasmin. " kata Bu Lastri yang tiba- tiba sudah berdiri di belakangku.

"Astaga!" pekikku kaget sambil menekan dada dan menarik nafas dalam-dalam. "Ya ampun, Bu. Ngagetin aja!" kataku lagi.

"Maaf," jawabnya datar lalu segera menata pakaianku kedalam lemari besar ini.

Kriiiiing!

Perhatianku teralih pada ponsel di saku bajuku.

Aku : 'halo ... '

Reynita : 'Emaaaaaaaak!!!' teriaknya kencang hingga aku harus menjauhkan telepon genggamku beberapa centi dari telinga.

Aku : 'Brisik ih! '

Reynita : 'Bodo! Hehe. Elu udah sampe Mak? '

Aku : 'Udah pea!' jawabku sambil berjalan ke balkon kamarku.

Seseorang melambaikan tangannya disamping mobil sedan merah sambil tertawa cekikikan. Tawanya sama persis seperti tawa wanita di seberang telepon ku.

"KAMPRET!! " Umpatku lalu mematikan telepon dan berjalan turun ke halaman.

DEG!

"Ya ampun Bu Lastri ...!! Bisa nggak sih, nggak ngagetin aku terus?! " kataku sedikit kesal karena Bu Lastri tiba tiba saja sudah ada di hadapanku. Kulirik ke lemari pakaianku dan sepertinya beliau telah selesai berbenah.

"Maaf Mba. Sudah selesai bajunya. Saya mau bantu Ibu di bawah. " katanya lalu berlalu.

"Itu orang ... Serem amat sih? " gumamku berbicara sendiri.

Namun, lamunanku segera hilang karena suara klakson mobil dibawah. Yah, dia adalah Reynita, sahabatku yang memang tinggal di kota ini. Kami bersahabat lama, namun dia harus pindah ke sini karena orang tuanya juga dipindah- tugaskan dikota ini. Dan kini, kami berkumpul kembali.

"EMAAAAAAAAK!! " teriakku kencang lalu berlari ke arahnya.

"ONEEEEEENG!! " balasnya sambil melebarkan tangannya kesamping seakan ingin menangkapku dalam pelukannya.

Setelah sampai didekatnya ku jitak kepala nya kencang.

"ADUH!! SAKIT BEGO! " umpatnya sambil meraba kepalanya.

Aku tertawa puas lalu memeluknya erat. "Kangen, Gue ...." gumamku.

Nita membalas pelukanku, "Elo pikir Gue kagak?" katanya juga.

"Cepet banget Elu udah disini, Mak?" tanyaku sambil melepas pelukan kami.

"Elu kagak tau, udah gue satronin ni rumah sejak tau elu mau pindah sini. " katanya asal.

"Halah ... Lebay! " kataku sinis.

"Eh, siapa tuh, Beb? " tanya Nita sambil menunjuk ke balkon kamarku.

"Bu Lastri paling. Yang bantuin disini," sahutku cuek dan tak menoleh sedikitpun ke arah yang dia tunjuk.

"Bu Lastri? Anak kecil kok, Beb. Sodara elu?" tanya Nita penasaran.

'Anak Kecil? '

2. Sekolah Baru

Aku pun menoleh cepat ke balkon kamarku. Kupincingkan mataku dan akhirnya apa yang dikatakan Nita tertangkap oleh indra penglihatanku.

Seorang anak kecil berdiri di balik korden kamarku sambil memeluk boneka di tangannya. "Siapa ya?" gumamku.

"Beb... Kok aneh ya. " kata Nita sambil menarik tanganku dan berbisik.

"Apanya?" tanyaku balik tanpa melepaskan pandangan dari anak itu.

"Kakinya, Beb! NGGAK ADA ! " kata Nita dengan kalimat bergetar.

Dan memang saat ku lihat kakinya, tidak ada apapun disana. "Ah, nggak keliatan kali, Mak. Yuk kita liat! " ajakku lalu berjalan cepat masuk ke dalam. "Eh!! BEB!! TUNGGU IH! " Teriak Nita lalu berlari menyusulku.

Papa dan Mama yang ada di ruang tengah dengan Bu Lastri dan Pak Jaka bingung melihatku berlari ke atas. "Loh, kenapa Nduk?" tanya Papa heran. Aku diam tak menggubrisnya. Aku sangat penasaran, anak siapa itu.

"Eh, Om ... Tante ...." sapa Nita dan mereka sepertinya mengobrol sebentar. Namun aku tak lagi mendengar mereka karen sudah sampai di depan kamarku. Ku buka pintu kamarku lebar-lebar dan ... Hening.

Di balik Korden tidak ada siapapun hanya korden yang berayun tertiup angin. "Beb ...." Nita menyentuh bahuku pelan. Aku menoleh sebentar dan menarik tangannya masuk.

"Nggak ada, Beb! Mana tu anak tadi coba! " tunjukku ke sudut ruangan tempat kami melihat anak tadi.

"Anak apa? " suara Mama tiba tiba sudah ada di belakang kami. Nita melotot lalu menggeleng pelan. "Oh... Itu, Ma. Anak kucing tadi ada disini. Tapi kok nggak ada. Hehe. " jawabku gugup. "Eh, Pak Jaka udah sampai? " tanyaku basa basi, padahal tadi aku sudah tau Pak Jaka sudah datang tak lama setelah kami sampai. Pak Jaka adalah supir pribadi Papa.

Pak Jaka hanya tersenyum lalu tengak tengok ke sekitar kamarku. Keringatnya bercucuran, beliau seperti kepanasan. "Saya permisi keluar, Bu. Bapak sepertinya butuh bantuan saya dibawah. " kata Pak Jaka gugup. Lalu berjalan cepat keluar kamarku. Aku dan Nita saling pandang dan sama sama mengerutkan kening. Pak Jaka aneh.

"Ya udah, Mama lanjutin beres- beres ya. Ayok Bu Lastri. " ajak Mama sambil lalu.

Kini tinggal aku dan Nita berdua. Ku rapatkan tubuhku dan memeluk lengannya sambil menatap sekitar kami. "Gue temenin malam ini deh. " katanya.

***

"Beb ... Elu sekolah bareng gue pan?" tanya Nita sambil menyisir rambutnya dan duduk di depan meja rias kamarku.

Yah, malam ini dia akan tidur disini, menemaniku tentunya. Reynita atau kalau disingkat namanya menjadi Nita ini adalah asli dari Jakarta. Jadi bahasanya kadang bercampur dengan logat betawi. Orang nya slengean, cerewet, bawel, dan suka seenaknya. Kami berdua bagai tom and jerry. Sering bersama tapi juga tak jarang saling mengumpat satu sama lain. Jadi jangan heran dengan tingkah kami nanti.

"Ya iyalah, Beb. Kangen berantem sama elu,"jawabku asal sambil asik makan cemilan dengan novel ditanganku, lalu berbaring diatas ranjangku yang Empuk.

"Elu pasti bakal betah, Mak, di sono ... Banyak cowok cakep." katanya sambil cekikikan.

"Halah ... Cowok mulu yang ada diotak elu," hardikku.

"Yaelah, Mak. Kek gue kagak tau yang ada diotak elu aje deh. Lu pan sama kek gue. Kalo liat cowok ganteng jelalatan kemana mana. Kek liat duit!"

BUG!!

Bantal kulempar ke arahnya dan tepat mengenai kepalanya.

"Kampret!" dia menoleh lalu berjalan kearahku sambil meraih bantal lain lalu dilemparkannya padaku dengan kasar. Aku berlari menghindari amukan Nita. Jadilah kami perang bantal. Kami cekikikan dan berteriak lepas. Seolah tidak peduli kebisingan yang kami ciptakan.

'BRISIK!!'

Seketika kami diam dan saling pandang satu sama lain. Nita menaikan alisnya beberapa kali, seolah bertanya. 'Siapa tuh?'

Dan kubalas dengan mengerdikan kedua bahuku ke atas.

BuG!

Kali ini wajahku menjadi sasaran empuk lemparan Nita karena dia lengah.

"Awas ya elu, Mak! " ancamku lalu mengambil guling dan berlari ke arahnya.

DuG!!

DuG!!

DuG!!

Pintu seperti digedor- gedor seseorang dari luar.

'BRISIIIIK!'

DIAAAAM!!'

Kembali teriakan terdengar nyaring.

Lalu ...

Braaaak!

Pintu kamar tiba- tiba terbuka dengan kasar. Otomatis kami berdua spontan diam dengan memegang bantal masing masing yang sebenarnya bersiap akan saling serang. Aku menoleh ke Nita, dia pun demikian. Tanpa pikir panjang segera kututup pintu itu dan ku kunci. Lalu berlari ke ranjang, langsung menenggelamkan tubuhku dibalik selimut.

"Beeeeeeb! Ikuuuut!" rengek Nita lalu ikut berbaring disampingku.

"Siapa tadi yah?" tanyaku sedikit gemetar.

"Setan udah pasti mah!" katanya sambil bersembunyi di sampingku.

"Setan apaan ye, Mak?" tanyaku yang sependapat dengannya.

"Mana gue tau. Elu aje sono kenalan. Gue mah ogah." timpal Nita sambil bergidik ngeri.

Kriiiiiiiittttt.

Kali ini terdengar suara cakaran benda tajam yang mengenai kaca. Suaranya sungguh memekakan telinga. Kami berdua makin ketakutan.

"Ya ampun, Beb. Demit dirumah elu reseh banget ...." rengek Nita.

"Heh! Jangan asal ngomong elu, Beb. Makin ngamuk tar mereka, Bego!" umpatku kesal. Dan, tak lama ...

Hening.

"Eh-- sepi," celetuk Nita yang pertama kali menyadarinya.

Aku pun ikut diam sambil memutar bola mataku di dalam selimut. Seakan akan, waspada pada tiap gerakan atau bayangan di luar selimut.

"Liat yuk," ajak Nita lagi.

Aku menggeleng kencang.

"Udah ayuk ah." selimut dibuka paksa olehnya. Dan kosong.

Tidak ada apapun di kamarku, selain kami berdua. Namun pintu balkon terbuka lebar, hingga korden melambai lambai tertiup angin.

"Tutup gih, Mak." suruh ku.

"Idih, ogah. Yang punya rumah siapa Bu. Elu sono ...." Suruh Nita sambil mendorongku. .

"Bareng kalo gitu!" kutarik tangannya agar dia ikut berjalan bersamaku.

"Eh, ogah Beb ah. " tolak Nita sambil berusaha melepaskan tanganku.

"Bodo mamat. Kudu ngikut!" perlahan kututup pintu balkon pelan. Setelah tertutup rapat, segera ku-kunci. Memang sisi kamarku di bagian balkon ini semua terbuat dari kaca. Jadi kami bisa melihat pemandangan di luar saat siang, dan mereka yang di luar, bisa melihat kami jika malam. Korden segera kami tutup rapat semua.

"Mending tidur aja yuk," ajakku ke Nita.

Kami pun tertidur. Rasanya tidak sanggup jika harus berhadapan dengan makhluk makhluk itu. Sungguh mengerikan kalau ternyata aku tinggal di tempat yang penuh hantu. oh tidak! Ingin rasanya aku pergi tapi itu tidak mungkin terjadi. Karena aku sudah terlanjur terjebak di sini. di rumah hantu ini. aku harus kuat. jangan menyerah. itu saja.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Pagi ini kami sudah menapakkan kaki di sebuah halaman sekolah yang cukup luas dengan taman yang cukup bagus dan rindang. Ada sebuah tulisan terpampang di tengah taman bertulisan 'TAMAN WIYATA MANDALA"

'Sekolahnya bagus' batinku sedikit tertegun.

3. Teman baru

"Yuk ...." ajak Nita lalu segera menyeretku agar mengikutinya. Beberapa kali orang-orang berlalu lalang melewati kami dengan tatapan kagum. Nita memang cantik. Jadi tak heran banyak mata memandanginya tanpa kedip. #pengen muntah sebenernya, Mak. Ngetik ini. Kagak rela. 🤢

"Ke ruang guru dulu nyok, Beb." ajaknya. Sebenarnya bukan sebuah ajakan tapi pemaksaan. Dia seenaknya saja menarik tanganku kesana kemari. Tapi, kali ini aku menurut saja, karena aku memang tidak tau harus apa dan bagaimana sebagai siswi baru.

Kami sampai di depan sebuah ruangan yang cukup besar, ada papan berbentuk persegi panjang kecil diatas pintu, 'KANTOR GURU'

"Eh ... Mih. Aku cariin juga. Kemana sih?" tanya seorang siswa ke Nita.

Wajahnya lumayan sih, tapi kok songong banget ya rasanya ni cowok.

"Ini aku nganterin temen yang kemaren aku ceritain loh, Pih." jawab Nita santai.

Wait! Pih? Mih?

Bujug buset, masih SMA manggilnya udah begitu. Ah, sepertinya ini pacar Nita, yang sering dia ceritakan padaku.

Laki-laki itu menoleh padaku.

"Oh elu ya, yang anak baru itu? Kenalin gue Irfan, pacar sahabat elu." jelasnya sambil merangkul Nita.

"Gue, Yasmin."

Lalu ...

Bug!

Rangkulan Irfan terlepas karena seseorang menabrak mereka berdua dengan kasar.

"KALAU MAU PACARAN, JANGAN DISINI!!" bentaknya kasar.

"ELU RESE YAH! " sahut Irfan tak kalah emosi.

"Arka, udah Ka ... Udah. Yuk," kata seorang pria berkaca mata di sampingnya sambil mencoba melerai mereka. Namun, sekilas kulihat dia melirik ke Nita.

"APA LOE?!" teriak Arka ke Irfan.

Aku tidak tau, ada masalah apa diantara mereka berdua. Pria berkaca mata itu terus menarik Arka menjauh.

"Elu sirik aja kan sama gue. Halah ... Ngaku aja!" ujar Irfan saat Arka sudah agak jauh. Rupanya, Arka mendengar perkataan Irfan lalu dia menoleh ke Irfan dan segera menghampirinya.

"ARKA!! WOI!! WADUH!" ucap pria berkaca mata tadi sambil mengacak acak rambutnya karena Arka terlepas dari genggamannya, dan sekarang berjalan mendekati Irfan.

Bug!

Satu pukulan telak mengenai rahang Irfan. Nita berteriak histeris. Irfan yang mencoba membalas malah kembali terkena pukulan bertubi- tubi dari Arka.

"Joe!! Tolongin dong!!" mohon Nita ke pria berkaca mata itu.

'Oh jadi namanya Joe' batinku.

Joe berlari mendekat dan berusaha melerai mereka. Dan, alhasil guru- guru yang berada di dalam ruangan berbondong - bondong keluar karena keributan ini.

\=\=\=\=\=\=\=\=

Kini, kami berlima ada di ruang kepala sekolah. Aku duduk di samping Nita, di sebelah kananku ada Arka dan Joe, di sebelah kiri Nita ada Irfan. Arka dan Irfan sama sama memegangi wajah mereka yang lebam karena perkelahian tadi.

"Kalian itu maunya apa? Berantem terus! Nggak bosen? Mau jadi apa kalian ... Bla bla bla." nasihat pria berambut putih berpenampilan rapi dan terlihat berwibawa.

"Dan, KAMU ARKA! MAU JADI APA KAMU? BIKIN MALU AJA!" Bentak nya ke Arka. Arka hanya diam dan melihat ke luar jendela seolah tidak menggubris perkataan Bapak Kepala sekolah tadi.

"Kamu!" tunjuk Pak Heri padaku.

"Eh, iya Pak." jawabku agak terkejut.

"Anak baru ya?" kata Pak Heri lagi.

"Hooh, Pak." jawabku agak bingung.

"Nama kamu siapa?" tanya Pak Heri sambil mengambil sebuah map biru dari mejanya.

"Yasmin, Pak."

Arka berdiri dan akan bersiap keluar ruangan.

"Eh ... Tunggu Arka! Siapa yang suruh kamu pergi! Duduk lagi!" kata Pak Heri tegas.

Dengan malas-malasan Arka kembali duduk sambil mendengus sebal.

"Ya sudah, kalian balik ke kelas sana ... Itu, Irfan beresin dulu mukanya ya, Nit. Obatin." suruh Pak Heri.

Nita lalu keluar bersama Irfan. Joe menatap nanar mereka berdua. Lalu pamit ke Pak Heri untuk kembali ke kelasnya. Pak Heri beralih ke Arka yang bersikap malas malasan.

"Yasmin, kamu satu kelas sama Arka. Nanti bareng dia aja ya, biar dia tunjukin kelas nya."

"Ck ... Ya udah yuk ah, balik kelas!" ajak Arka lalu menarik tanganku keluar tanpa memperdulikan Pak Heri yang geleng geleng kepala.

Arka terus menggandengku keluar melewati koridor sekolah. Suasana sekolah sudah sepi. Sepertinya mata pelajaran pertama sudah dimulai.

"Pindahan dari mana?" tanya Arka datar.

"Jawa."

"Oh. " jawabnya sambil memegangi pipinya yang lebam.

"Tunggu!" kataku sambil menahan tangan nya yang sedari tadi menggandengku.

Arka berhenti lalu menoleh dengan malas malasan. "Apa?"

"Bentar!" kukeluarkan tissue basah dari dalam tasku. Lalu kutarik tangannya agar duduk di kursi panjang yang ada di koridor.

"Ngapain sih?" tanyanya ketus.

"Bersihin dulu tuh muka. Kotor, kena debu, kena darah. Nanti infeksi!" kata ku sambil mengelap wajahnya perlahan.

Dia diam dan pasrah saja. Saat aku membersihkan wajahnya, aku merasa Arka sedang terus menatapku. Aku meliriknya, reaksinya lucu menurutku.

"Hah? Apa?" tanyanya sambil menaikan alisnya keatas.

"Lah kamu, ngeliatin mulu. Kenapa?"

"Pede amat sih? Ayuk ah!" dia lalu beranjak dan berjalan agak cepat.

"Arkaaaaaa! Tungguiiiin." rengekku sambil kepayahan mengejarnya.

Arka terus berjalan cepat menuju kelas dan aku pun mengikutinya. Tapi Arka mendadak hilang di ujung koridor.

"Haduh, mana yah kelasnya. Arka cepet banget sih jalannya. "Gumamku.

Disamping kananku ada seorang siswi yang sedang duduk sendirian dengan buku pelajaran dipangkuannya.

"Maaf mba, kelas 2-5 dimana yah? " tanyaku berusaha sopan.

Di menunjuk ke arah samping kanannya dengan wajah tetap tertunduk.

"Oh di sana? Makasih ... " ucapku lalu berjalan ke arah yang dia tuju.

Hingga sampai di ujung koridor, aku hanya menemui gudang kotor. Aku pun celingukan kesana kemari.

"Loh, Mba ...." ku toleh ke tempat perempuan tadi duduk, karena letak gudang searah dengan dia tadi. Namun, tidak ada siapapun disana. Mungkin sudah masuk kelas, pikirku.

Sepertinya aku dikerjai olehnya. Hingga aku tersesat begini.

Dug

Dug

Dug

"Tolong ...." rinting seseorang dari dalam gudang.

Karena penasaran aku mendekati gudang dan melongok ke jendela. Tapi karena sulit terjangkau, aku tidak bisa memeriksa ke dalam. Ku putar handle pintu untuk membukanya.

Klek!

Aneh. Kenapa mudah sekali terbuka. Lalu kenapa orang tadi minta tolong.

"Permisi ...." sapaku masih di depan pintu.

"Tolong ...." suara ini lagi.

"Siapa ya? Kamu dimana?" tanyaku lalu mulai melangkahkan kakiku masuk kedalam.

Lalu seseorang menepuk bahuku.

"Elu ngapain disini sih? Gue cariin juga! Ayok ke kelas!" kata Arka mengagetkanku.

"Eh itu, Ka." kataku sambil menunjuk ke dalam gudang.

"Apaan?"

"Ada orang didalem."

"Hah? Orang? Yakin? Ngigo ah. Yuk balik kelas." ajak Arka sambil menarik tanganku.

"Eh, tunggu! Ada orang minta tolong! Liat dulu dong Arka. Kasian." pintaku.

Arka menarik nafas panjang lalu menoleh ke dalam gudang.

"Siapa sih di dalem? Jangan ngerjain ya! Keluar ga Lo!" kata Arka.

Bug!

"Aduh ... Sakit! Apaan sih elu!" omel Arka karena kusikut perutnya.

"Jangan kasar kasar napa sih jadi orang!" omelku balik.

"Bawel lu! Lagian mana ada orang di sini. Ngaco deh. Setan kali!" katanya ngasal.

Braaak!

Kursi yang ada di dalam mendadak jatuh. Kami saling pandang. Arka langsung menarik tanganku pergi.

"Gila! Setan! " makinya lalu sedikit berlari kecil.

"Setan?" tanyaku.

Dia diam saja sambil terus menggandengku sampai ke kelas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!