NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Aiden

Prolog

“Ini untukmu,” ujar Aiden sambil memberikan coklat pada bocah perempuan yang tampak malu-malu menerimanya. “Kamu cantik seperti Bunda, tapi aku tidak akan bucin seperti Papa. Nanti saja kalau aku sudah dewasa baru bucin denganmu,” tutur Aiden.

“Bunda dan papa tidak izinkan kamu main ke sini lagi kalau masih bahas masalah bucin dengan bocah tadi.”

Saat itu Aiden baru berumur lima tahun, terpesona dengan bocah yang berusia tidak jauh dengannya. Namun, pesona sang gadis cilik itu cukup berarti dalam hidup Aiden. Sering menghabiskan akhir pekan di rumah kakek dan neneknya hanya untuk bertemu dengan gadis itu dengan alasan bermain bersama teman seumurannya.

“Cantika, kamu ikut ‘kan?” tanya Aiden yang kala itu sudah remaja.

“Tidak boleh, kata Ibu perempuan tidak boleh bermain yang aneh-aneh. Harus banyak di rumah, belajar menjadi seorang istri yang baik,” sahut Cantika. Cinta Cantika, bocah yang sejak beberapa tahun sebelumnya sudah memikat Aiden.

“Aku tidak sabar menjadikan kamu istriku,” seru Aiden yang disambut senyum oleh Cantika.

Namun, Aiden harus menggigit jari dan kecewa saat mengetahui Cantika telah pindah dari kediamannya. Bahkan Kakek dan Neneknya yang memang tidak tidak jauh dari Cantika pun tidak mengetahui alasan kepindahan keluarga tersebut.

Cinta murni atau cinta monyet yang dirasakan Aiden ternyata cukup berkesan dan berakhir kecewa. Meninggalkan trauma yang cukup mendalam tanpa ada yang tahu. Sejak bayi ditinggal oleh Mamanya, walaupun akhirnya mendapatkan Ibu sambung yang luar biasa baik saat dia berumur lima tahun lalu ditinggalkan oleh cinta pertamanya.

Itulah cinta bagi Aiden, kehadiran sang Bunda dan Cantika. Tidak akan pernah terlupakan dan tergantikan.

Papa dan Bunda khawatir dengan Aiden yang menutup diri dari para wanita. Tidak pernah memperkenalkan wanita manapun sebagai kekasih bahkan sampai dia berumur dua puluh tujuh tahun. Edwin, sang papa berinisiatif memperkenalkan bahkan bermaksud menjodohkan Aiden. Berbagai pertemuan telah diatur tapi tidak berhasil.

“Bagaimana, Aiden menerima?” tanya Bunda pada Papa Aiden.

Edwin hanya menggelengkan kepala saat mendapatkan informasi pertemuan Aiden dengan salah satu seorang wanita putri rekan bisnisnya, lagi-lagi gagal. Bahkan teman kerja Aiden yang jelas-jelas wanita dan tidak kalah cantik, tidak bisa menggoyahkan perasaan Aiden.

Sampai akhirnya saat Aiden mencoba membuka hatinya sosok itu datang. Dia kembali, tapi tidak untuk Aiden.

“Kamu … Cantika?”

Wanita itu menatap Aiden, lupa akan masa kecilnya sudah membuat dunia seorang Aiden jungkir balik bahkan setia dengan menutup pintu hatinya untuk wanita lain.

“Sudah lupakah kamu denganku?” tanya Aiden.

Aiden si bocah jenius yang sudah dewasa harus menelan pil pahit saat mengetahui Cinta Cantika bersama bocah lucu dengan status bukan wanita single. Perjuangan Aiden dimulai dan tidak mudah untuk mendapatkan kembali hati Cantika dan restu dari Papa serta Bundanya.

 “Seharusnya kamu tidak tunggu aku. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih baik dan segalanya untukmu Aiden. Kita tidak akan bisa bersama.”

“Selama kamu bukan istri orang, tidak ada alasan untuk aku tidak memperjuangkanmu.”

“Cukup, menyerahlah. Jangan persulit hidupmu,” ujar Cantika menolak perjuangan Aiden.

Rencana pertunangan sudah di depan mata, di mana dilema melanda. Semakin pelik saat wanita calon tunangan Aiden adalah sepupu dari Cantika.

\=\=\=\=

Bagaimana kisah lengkapnya, nantikan terus kelanjutannya, termasuk juga kisah Melody adik dari Aiden. 

Cinta Aiden - Bab 1

“Tunggu aku,” seru Melody saat Aiden sudah lebih dulu turun dari mobil.

“Non Melodi, hati-hati,” ujar Pak Cipto yang khawatir karena kakak beradik itu tergesa keluar dari mobil.

“Nenek, aku datang,” ujar Melody. Sedangkan Aiden sudah asyik duduk di sofa berbicara dengan sang kakek.

“Bagaimana kabar adik kalian?” tanya Nenek.

“Biasa saja, seperti bocah pada umumnya,” sahut Aiden.

“Kalau kamu seperti anak pada umumnya nggak?” Kakek bertanya sambil tersenyum. Sejak kecil Aiden memang selalu bersikap lebih dewasa bahkan pikirannya melebihi usianya. Walaupun berada di tingkat akhir sekolah menengah pertama, tapi pikiran ide dan lainnya bisa setara dengan anak-anak SMA.

“Eh mau kemana?” tanya Nenek yang melihat Aiden sudah berdiri.

“Paling ke rumah Cantika,” ujar Melodi.

“Main bentaran aja, mengecek situasi,” sahut Aiden.

Aiden berjalan menuju tempat di mana dia bermain bersama dengan para temannya di daerah tersebut. saat melewati kediaman Cantika dia berhenti lalu berdiri di depan pagar. Rumah itu terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan.

Dia mendorong pagar, yang ternyata terkunci.

“Pada kemana?” gumam Aiden.

Akhirnya Aiden melanjutkan menuju tempatnya bermain dan menanyakan ke mana Cantika.

“Cantika sudah pindah seminggu yang lalu,” ujar salah satu teman Aiden.

“Pindah? Kemana?”

“Nggak ada yang tahu, pidahnya juga mendadak. Aku yang tetangganya juga nggak menyangka dan nggak melihat pergerakan kalau dia akan pindah.”

Aiden mengeluarkan ponselnya mencoba menghubungi Cantika tapi tidak aktif.  Benaknya penuh tanda tanya dengan keberadaan Cantika. Sudah lama berteman tidak menyangka kalau gadis itu malah pergi tanpa berkabar.

Biasanya dia akan bahagia dan gembira ketika mendatangi kediaman kakek dan neneknya, tapi kali ini tidak. Bahkan berharap hari segera berganti dan minta dijemput lebih awal. Kekecewaan Aiden bak pria yang putus cinta. Kecewa dan putus asa, karena cinta monyetnya harus kandas.

Masa kini, di mana Aiden sudah lebih dewasa sebagai pria berumur dua puluh tujuh tahun dan memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

“Aiden, kita sudah ditunggu di ruang rapat,” seru Mai, rekan kerja satu timnya.

“Hm.”

Rapat pagi itu membicarakan konsep yang diusung tim marketing mengenai dua produk baru. Aiden sebagai manager marketing tentu saja yang akan melakukan presentasi. Direktur selaku pemimpin rapat sudah menyinggung mengenai target penjualan produk tersebut.

Mai menyenggol kaki Aiden dengan kakinya karena pria itu hanya diam. Aiden menoleh sekilas lalu kembali diam. Bagaimana tim marketing tidak ketar ketir, Aiden tidak berkomentar saat divisinya mengadakan rapat tertutup mengenai konsep marketing mereka dan saat ini harus dijelaskan di depan pimpinan.

“Hm, untuk penjelasan konsep kami ….”

“Saya yang akan jelaskan,” sela Aiden memotong ucapan Mai.

Aiden yang sudah menyerahkan file pada operator memulai penjelasan dari penggalan video dan menunjukkan storyboard yang sudah dibuat. Mai menghela nafas lega saat Aiden dengan lancar menjelaskan semua yang ternyata sudah ditambahkan dan diperbaiki oleh pria itu.

“Kalian yakin, ide ini akan berhasil?” tanya Pak Irwan sang Direktur.

“Tergantung Pak,” jawab Aiden.

Irwan tampak geram dengan kelakuan Aiden yang belum berubah. Terkadang pria itu terlalu cuek dan berani seperti saat ini. Alih-alih menjawab dia malah menjawab singkat dan membuat orang lain harus bertanya lebih jauh.

“Tergantung bagaimana, maksudmu?”

“Tergantung kita mau sepakati pembuatan materi iklan seperti ini atau tidak. Termasuk saran tokohnya, saran tokoh kami untuk si Ibu adalah Desy Ratna Sari. Yang menunjukkan seorang Ibu cerdas, cantik dan mengayomi dan masyarakat sudah memiliki image sendiri pada tokoh tersebut. Kalau kita ganti tokoh Ibu dengan Ibu saya misalnya, tentu saja respon dari masyarakat akan berbeda,” jelas Aiden lagi.

“Semua hal sudah kami pikirkan betul, termasuk kalimat yang harus diucapkan oleh tokoh. Jadi esensi akan berbeda kalau diubah tidak sesuai dengan konsep yang dibuat.”

Cukup lama, rapat pun berakhir dan Aiden kembali ke ruangannya.

“Parah lo,” ujar Mai yang mengekor langkah Aiden dan duduk di depan meja pria itu.

“Apanya yang parah, aku tidak sedang sakit,” sahut Aiden yang langsung fokus pada layar komputer.

“Kebiasaan mendebat Pak Irwan, lama-lama lo bisa dipecat.”

“Tidak masalah, aku akan pindah ke perusahaan Papa kalau dipecat dari sini."

“Nanti malam, anak-anka ma kumpul. Lo ikut ya?”

Aiden menggelengkan kepala. Dari pada dia harus ikut Mai dan teman-teman kuliahnya dulu untuk bersenang-senang di kelab malam, Aiden memilih di rumah.

“Aiden, hidup itu dinikmati dong.”

“Aku sedang menikmati dengan caraku sendiri,” jawab Aiden. “Kamu kembali ke meja kerjamu, jangan pulang sebelum tugas hari ini aku terima,” perintah Aiden pada Mai.

Ponsel Aiden bergetar, ternyata pesan dari Papa Edwin.

[Malam ini, Resto X.]

[Melinda, Putri dari Dimas Mahendra. Jangan kecewakan Papa, berikan kabar baik]

Aiden menghela nafasnya, lagi-lagi sang Papa mengatur perkenalan dengan seorang wanita putri rekan bisnisnya.

Cinta Aiden - Bab 2

 

Jam kerja sudah berakhir sejak tadi, Aiden masih bersandar pada kursinya sambil memejamkan mata. Dia akan menuruti perintah Edwin untuk menemui wanita yang dikenalkan padanya. Tidak ingin mengecewakan orang tuanya, Aiden selalu memenuhi pertemuan dengan wanita yang dikenalkan dengannya.

“Pak Aiden, apa saya sudah bisa pulang?” tanya Rosa sekretaris Aiden yang sudah berdiri di depan meja pria itu.

Aiden mengerjap, dia lupa untuk meminta Rosa pulang.

“Iya, pergilah. Aku akan pulang sebentar lagi,” ujar Aiden.

Rosa pun mengangguk dan pamit undur diri. Edwin bahkan sempat mendorong Aiden untuk mendekati Rosa, karena keduanya dipasangkan dalam pekerjaan sudah cukup lama berharap ada kedekatan berbeda dari keduanya.

Ponsel Aiden berdering, tertera Bunda di layarnya.

“Iya, Bun.”

“Aiden, kamu akan datang ….”

“Iya,” jawab Aiden menyela ucapan Ayu.

Terdengar hela nafas di ujung telepon.

“Aiden, Papa dan Bunda bukan memaksa menjodohkan kamu tapi kamu segeralah kenalkan dengan kami perempuan yang sedang dekat dengan kamu.”

Aiden terkekeh, “Apa Bunda meragukan kenormalan diriku?”

“Bukan begitu, tapi memang kamu tidak pernah membicarakan perempuan manapun.”

“Aku pasti datang, jika cocok aku akan sampaikan pada kalian,” tutur Aiden.

Tidak lama panggilan pun berakhir. Aiden beranjak dari kursi malasnya untuk menghadiri pertemuan yang sudah diatur untuknya.

Seorang wanita sudah duduk di manis di salah satu kursi private room menunggu kedatangan Aiden dan tersenyum saat pintu terbuka dan pria yang dimaksud melangkah masuk.

“Maaf, sudah lama?” tanya Aiden.

“Belum lima menit,” jawab wanita itu.

Aiden mengulurkan tangannya, “Aiden,” ujarnya.

Wanita itu berdiri dan menyambut uluran tangan Aiden. “Melinda.”

Setelah melepaskan jabat tangan keduanya kembali duduk. Melinda tidak mengalihkan pandangan dari wajah Aiden, selain tampan siapa yang tidak kenal dengan pria itu.

“Kenapa?” tanya Aiden sambil membuka buku menu. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Aiden kemudian melirik sekilas pada Melinda yang sedang menopang wajahnya memandang Aiden.

“Belum, tapi siapa yang tidak kenal kamu.  Aiden Pasha Adiputra, ternyata lebih tampan aslinya,” ujar Melinda. “Aku senang waktu Ayah mengatakan mengatur pertemuan kita.”

“Senang?”

“Hm. Siapa yang tidak, ayolah kamu pasti tahu maksud pertemuan ini.”

Pelayan masuk menanyakan pesanan. Aiden menyampaikan pilihannya sedangkan Melinda hanya mengatakan sama dengan pesanan Aiden. Meilinda dengan penampilan cetarnya, tidak terlalu menarik bagi Aiden. Dress yang dikenakan sangat pas di badan wanita itu bahkan di area tertentu terlihat begitu sesak, mungkin saja di sengaja. Termasuk mengenakan heels agar terlihat semakin seksi.

Aiden menyandarkan tubuhnya menunggu Melinda melanjutkan ucapannya yang sempat terhalang karena kedatangan pelayan.

“Orangtua kita bermaksud mendekatkan kita, ya seperti perjodohan.”

Aiden menganggukkan kepalanya tanpa menatap wanita itu, membuat Meilinda semakin penasaran. Sikap cuek dan menyebalkan Aiden sudah dia dengar di kalangan anak-anak pengusaha yang kadang memang saling menargetkan diri untuk bekerja sama termasuk saling menjodohkan.

“Kamu setuju dengan konsep perjodohan?”

“Bukan perjodohannya, tapi kalau dengan cara ini ternyata kita memang cocok kenapa tidak.”

Obrolan mereka kembali terjeda karena pelayanan yang datang membawakan pesanan. Aiden sebelumnya memerintahkan membawakan semua sekaligus termasuk desert, agar tidak terganggu dengan pelayan yang bolak balik masuk ke ruangan.

“Menurutmu kita harus bagaimana?” tanya Aiden yang mulai mengiris daging steak dan menyuapkan ke dalam mulut,  perlahan dia menikmati lalu menatap Melinda.

“Kita bisa coba untuk lebih dekat,” jawab wanita itu.

“Seperti?”

Melinda tertawa pelan. “Ayolah Aiden, kita bukan anak remaja yang harus aku jelaskan dengan makna dekat di sini.”

“Berapa umurmu?”

Melinda melirik sinis, “Pertanyaan sensitif bagi wanita.”

“Tapi penting untuk kita menentukan kelanjutan ini. Bagaimana kalau ternyata lima atau tujuh tahun di atasku?”

“Kita seusia Aiden.” Melinda meraih gelas di hadapannya lalu meneguk isinya.

“Oke, kamu memang terlihat masih muda dan … you know lah.”

“Apa ada dari bagian tubuhku yang membuatmu tertarik?” tanya Melinda dengan nada menggoda. “Bagian depanku  atau ….”

“Cukup,” ujar Aiden kemudian terkekeh. “Kamu memang menarik tapi kita lanjutkan dulu maksud kedekatan yang kamu maksud tadi.”

Melinda menghela nafasnya, entah Aiden pria yang bodoh atau terlalu berhati-hati. Bagaimana bisa dia malah menanyakan kelanjutan kedekatan mereka, untuk ukuran orang dewasa seharusnya Aiden sudah paham dengan hal ini.

“Kita bisa lanjutkan pertemuan untuk mengenal luar dalam. Bagaimana kalau kita berkencan dan berlibur bersama. Cari tempat romantis untuk membangun chemistry.”

“Dan berakhir di ranjang,” sahut Aiden.

Melinda tersenyum, “Kenapa? Sepertinya kamu sudah tidak sabar,” ejek Melinda.

Aiden menghela nafasnya lalu menegakan tubuh dan bersandar kembali.

“Melinda Mahendra, dua puluh delapan tahun kamu setahun lebih tua dariku. Pendidikan terakhir di Aussie dan sempat dekat dengan putra pemimpin daerah periode lalu. Apa orang tuamu tahu kamu pernah menjadi baby dari pemilik Brand ternama bahkan sempat a-bor-si karena ….”

“Cukup.” Melinda memekik sambil menggebrak meja.

“Hei, itu tidak elegan dan tidak cocok dengan dirimu.”

“Dari mana kamu bisa ….”

“Hei, tenanglah,” sela Aiden. “Ini terkait masa depanku, aku harus pastikan siapa sebenarnya calon istriku.”

“Aiden, kamu ….”

“Stttt, mari kita menikmati makan malam ini.”

Melinda berdiri dan melempar serbet ke wajah Aiden.

“Kamu pria menjengkelkan yang pernah aku temui,” jerit Melinda lalu mengambil paksa tas yang ada di atas meja dan meninggalkan Aiden.

“Hei, kita belum selesai makan. Harganya mahal, ini mubazir loh,” sahut Aiden sambil menoleh ke arah pintu.

Pria itu kemudian menghela nafasnya dan kembali bersandar di kursi, mengusap kasar wajahnya. Ada penyesalan karena harus mengetahui keburukan dari wanita tadi tapi itu terpaksa dia lakukan.

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!