NovelToon NovelToon

Noodle In Love

01. Kopi Sesatku

Namaku adalah Velingga Harun. Gadis urban yang lajang berusia 22 tahun dan sedang berstatus jomblo. Bekerja pada sebuah perusahaan mie instant, di kota Batam- kepulauan Riau.

Dan telah berjalan hampir satu semester masa kerja, dari kontrakku yang dua tahun. Sebagai seorang pekerja bagian quality control alias QC di produksi, dari start pembuatan awal mie instant hingga packing.

Baru saja putus dari pacarku yang bernama Putra, berumur 27 tahun, lima tahun lebih tua dariku.

Keputusan hubungan kami bukan sebab selingkuh dan mendua. Tapi pacarku yang memang sudah dewasa itu selalu merayuku untuk menginap di rumahnya. Sedang kedua orang tuanya tinggal berjauhan di luar kota.

Tentu saja aku sangat paham apa tujuannya padaku. Tak menyangka dia lebih memilih memutusku daripada bersabar memaklumi penolakanku. Hanya berlapang dada bersetuju demi kebaikanku meski rasa hati bagai tertusuk sembilu.

Sedang mantan pacarku itu tidak pernah mengajakku ke KUA sekalipun. Putra hanya ingin melamar resmi pada keluargaku jika dirinya sudah merasa mapan dan diangkat resmi sebagai PNS tetap di Batam. Jujur kuakui, kedatanganku ke Batam ini sebab menyusul Putra saat itu.

Tidak menyangka jika Putra adalah seorang pria yang kolot dan egois. Padahal dia adalah lelaki terpilih di antara para lelaki yang mencoba dekat untuk menjadi spesial bagiku. Ternyata lelaki itu telah menghempas rasa percayaku padanya. 

🕸🕸

Meski lelah dan serasa kapok menjalani, tapi rasanya suka sekali. Over time alias kerja lembur itu ibarat makan sambal super pedas yang nikmat. Serasa jera saat kepedasan, namun ingin mengulang kembali kemudian. Itulah yang kini sedang kurasakan. Berharap gaji lebih dari penghitungan kerja lembur bulanan, meski raga ini tak sanggup lagi kurasakan.

Kupercepat langkah kaki menuju kawasan perumahan cluster yang tidak terlalu jauh dari perusahaan tempatku bekerja. Salah satu rumah yang telah biasa kutempati hampir satu bulan belakangan. Ingin segera melepas lelah di salah satu kamar indah dan nyaman yang telah kusewa di muka dengan enam bulan pembayaran sekaligus.

Sebenarnya, perusahaan memberi tempat tinggal asrama untukku. Karena beberapa alasan, kupilih mencari tempat tersendiri. Meski statusku masih dengan beralamat di asrama. Perusahaan akan memberiku warning leter jika sampai ketahuan tinggal di luar. Sebab, aku adalah anak rekrut dari depnaker yang cukup ketat diawasi.

Rumah megah yang selalunya remang saat malam dan hanya diterangi lampu taman, kini terang benderang lampu rumahnya. Sangat penasaran kurasa, siapa gerangan yang ada dalam rumah? 

Kupendam sejenak rasa ingin tahuku. Bisa jadi penyala lampu adalah bu Yanti, asisten rumah yang stay sepanjang tahun tanpa cuti. Bu Yanti jarang pulang ke kampung halaman sebab anak-anaknya dan sang suami juga urban bersama ke pulau ini.

Aku telah mandi serta bertukar baju sangat bersih dan wangi. Akan pergi ke dapur demi membuat satu gelas kopi nikmat yang hangat. Sekalian mencari tahu siapa gerangan yang bercokol dalam rumah induk.

Bu Yanti sedang menata makanan di meja. Persiapan makan malam seperti biasanya. Meski hanya sebagai anak kos, tapi semua sama dengan pemilik rumah. Kami akan makan di meja yang sama. 

"Bu, apa ada orang lain di rumah?" tanyaku sambil mendekati bu Yanti dari belakang. Wanita tua itu nampak terkejut saat berbalik melihatku.

"Liing,,?! Aduh, bikin kaget kamu. Sana kembali ke pintu,,, salam dulu," halau bu Yanti seperti biasanya. Aku berbalik cepat menuju pintu dan memberinya salam sambil menyimpan senyuman.

"Wa'alaikumsalam,," jawab bu Yanti dengan tersenyum lega padaku. 

Dia memang seperti itu, akan mengusirku untuk mengulang langkah jika lupa memberinya salam di manapun  saat pulang kerja. Tidak puas hanya mengulang salam dengan tetap saja di tempat. 

"Habis ini kamu makan, tinggal nunggu bumbu urap saja. Masih dikukus," jelas bu Yanti tanpa kuminta. Dia sangat baik meski masih tiga minggu lebih aku kos di sini. Sama baik dengan tuan rumah ini. Kusyukuri semuanya dalam hati. Walau akupun juga harus membayar impas untuk semua layanan ini. Hi,,hi,hi.. 

"Tambah satu piring lagi, Ling!" seru bu Yanti saat kubantu menyiapkan piring dan sendok.

"Untuk siapa, bu?" tanyaku. Sebab biasanya hanya dua atau tiga jika suami bu Yanti juga ada. Suami bu Yanti yang seorang security di Gramedia books store, juga kos di rumah sini. Namun hari ini kebagian jaga malam. 

"Ssst,,! Itu,," bisik bu Yanti sambil menunjuk ke arah berlawanan.

Kuikuti arah telunjuk bu Yanti menunjuk. Seorang lelaki dewasa bercelana pendek santai dengan atasan kemeja lengan pendek warna biru langit. Berambut lurus dan berkulit bersih, sidikit eksotis. 

Lelaki itu duduk dan memandangku terheran. Namun begitu angkuh dan tidak membalas senyumku segaris pun. Siapa dia, ish,,ish,,somse,, sombong sekali!

Eits,, dia meminum kopi hangatku. Sudah terlanjur nikmat kulihat. Bahkan diletaknya gelas kopi itu dengan isi tinggal sedikit di bawah. Niat inging menegurnya jadi batal, kuubiarkan sajalah akhirnya. Aku bisa membuatnya satu gelas lagi. Toh ibu kos menyediakan stok bahan kopi melimpah di dapur.

Tapi... Jangan salahkan diriku jika akan sakit perutmu. Sebab, kebanyakan orang tidak akan suka meminum kopi yang dicampuri dengan sedikit air dingin. Konon adalah pemicu masuk angin dan akan sakit perut yang melilit. Tapi bagiku, pembuatan seperti itu rasanya legit sekali.

Aku terus bungkam saat lelaki itu lanjut meminum kopi milikku kembali. Isi gelas itu telah habis dan kosong. Rasa hatiku jadi resah. Sangat penasaran apa reaksi perutnya kemudian. Semoga tak terjadi apapun padanya.

"Siapa dia, mbok?" tanya lelaki itu dengan suara berat empuknya. Tapi, dia tanpa memandangku. Seolah aku ini hantu dan tidak nampak berwujud.

"Dia kos di sini, mas. Namanya Lingga." Bu Yanti menjelaskan sambil menata sayur sekaligus bumbu urap sebagai menu terakhir yang disiapkan. 

Mulutku diam dengan telinga meradar menyimak sambil mengambil nasi di piring. Merasa tidak perlu peduli dengannya yang dingin. Toh tidak gratis juga tinggal di sini. Bahkan sudah lunas bon hingga satu semester ke depan. Bangga doong,,tapi ini bukan sombong..

"Kenapa kamu juga yang masakin, mbok?" tanya lelaki itu lagi. Sempat terlihat mata tajamnya melirikku yang sedang mengambil semua menu. Dan dia menyusul mengambil makanan setelahku. Apa peduliku..

"Lingga mengambil paket, mas. Sekalian makan ngikut sini. Tapi biasanya juga aku sendiri-sendirikan." Bu Yanti membawa gelas kopi yang telah benar-benar kosong ke wastafel dan mencucinya.

Biasanya bu Yanti akan memisahkan antara menu untuk yang punya kos dengan menu yang aku makan, gabung dengan dia. Kemudian di simpan di meja terpisah. 

Tapi sebab belakangan ini yang ada tinggal aku dan suaminya, bu Yanti tidak memisahkan. Entah kali ini karena lupa, atau memang disengajanya.

Tapi tentang siapa lelaki itu, aku pun tidak tahu, belum muncul pencerahan juga. Apa mungkin dia anak yang punya kos? Bisa jadi.. Yang jelas, dia bukanlah anak kos di sini sepertiku.

Tingggg!!!!

Aku terkejut. Bunyi itu adalah sendok yang diletak begitu saja oleh dia. Nambak berdiri tergesa dan berjalan ke arah datangnya tadi.

"Ada apa tho mas,,??!" bu Yanti bertanya keras. Namun lelaki itu telah hilang ke dalam ruang induk dengan jalannya yang tegas.

Jantungku berpacu sangat cepat. Meski tadi merasa abai, tapi sekarang keder juga rasa hatiku. Bagaimana jika efek kopi sesatku lebih dahsyat dari sangkaku..?? Ah, kena aku..!

"Bu, siapa dia??" tanyaku pada bu Yanti dengan lagak sangat tenang. Padahal jantung ini jumpalitan.

"Dia anak bungsu pak Harjo dan bu Fatimah. Mas Rus, nama dia,," terang bu Yanti sambil meletak jeruk di meja.

Oh, my god! Sederet sanksi sebagai tersangka pembuat kopi sesat seketika melintas. Ah, kenapa lelaki itu buruk sekali pertahanan perutnya. Aku saja biasa, sakit perut sebab segala jenis kopi hampir tidak pernah kurasa..!

🕸🕸🕸

Selamat berjumpa lagi kakak-kakak readers yang singgah dimari. Adanya kalian, membuat semangatku berlipat kembali..😘

02. Efek

Bu Yanti memandangku, kami saling adu mata dengan ekspresi terkejut. Suara panggilan itu sangat nyaring memanggil bu Yanti. Sangat yakin jika Rus, adalah lelaki yang tadi berteriak memanggil. Hatiku berdegub lebih kencang.

Wanita tua yang baru lari terbirit ke dalam rumah induk, datang lagi dengan tergesa dan bingung. Seperti sedang berpikir keras di kepalanya.

"Ada apa, bu?" tanyaku sambil mendekati bu Yanti di meja dapur. Dia menolehku dengan tatapan yang bingung.

"Itu, Ling. Mas Rus tiba-tiba diare. Salah masak apa aku tadi, yaaa?" 

Bu Yanti nampak bingung dan khawatir jika masakannya yang bersalah. Tentu saja hatiku bergejolak tidak tenang. Merasa yakin jika Rus yang sakit perut itu sebab meminum kopi sesatku. Berusah kusamarkan rasa waswas di dada.

"Lha dia bilang minta apa, bu??" tanyaku pada bu Yanti dengan tenang. Padahal rasa hati simalakama.

"Mas Rus minta dibuatin oralit," terang bu Yanti sambil menurunkan gelas dan sendok, masing-masing sebuah.

"Bu Yanti masih ingat cara buatnya nggak? Apa sini aku buatin,," tanyaku lembut pada bu Yanti. Penawar rasa bersalahku pada mereka.

"Aku ini masak juga nggak pedas. Semua bahan memasak juga segar. Masih panas kuhidangkan di meja. Kenapa sakit perut??" Keluhan bu Yanti semakin meneror bungkamku. Kuaduk oralit buatanku dengan pikiran berkecamuk.

"Bu, sebenarnya bukan masakan ibu yang membuat perut dia sakit. Tapi dia telah menghabiskan kopi milikku tanpa izin,," terangku pada wanita tua di depanku itu akhirnya. Dahi bu Yanti semakin berkerut merut terlihat..

"Jadi kamu nggak ikhlas Ling? Kamu menyumpahi anak asuhku diam-diam?" tanya bu Yanti dengan mata kecilnya yang sedikit membesar.

"Eh, buu.. Aku bukan nggak ikhlas, apalagi nyumpahin.. Tapi aku bikin kopinya campur air dingin. Dan dia minum nggak izin dulu. Jadi nggak sempat ngasih tahuuu,," jelasku dengan pelan agar bu Yanti segera mengingatnya dan paham. 

"Betul juga, Ling. Tadi kamu bikin kopi pas baru datang tadi ya,," ucap bu Yanti sambil mengangguk-angguk menatapku.

"Ini oralitnya, bu. Apa dia minta dibelikan obat diare juga?" tanyaku dengan maksud menggantikan tugas bu Yanti sekali lagi. Jika saja Rus itu minta dibelikan obat sakit perut.

"Tidak, Ling. Dia kata tidak perlu saat kutanyakan tadi. Yo wes, tak antar ini ke kamar dia dulu,," pamit bu Yanti sebelum pergi dariku. Wanita itu membawa gelas oralit buatanku. Semoga anak tuan rumah tidak sakit perut akut dan lama.

🕸

Ketukan di pintu kamar, membuatku terkejut dan bangkit dari tidur yang miring. Sempat kusapukan mata di jam dinding kamar yang menunjuk angka sebelas. Aku ingat jika ini adalah malam hari. Siapa yang mencariku malam-malam seperti ini..

Wanita tua itu telah berdiri di depan kamarku dengan raut jelas cemas. Nampak lega dan tersenyum saat aku buka pintu dan keluar dari kamar.

"Tolong ibu, Ling. Mas Rus panas sekali badannya. Jam segini, dokter mana yang masih buka?" tanya bu Yanti dengan raut sangat cemas.

"Emang kenapa, bu? Mas Rus kan sudah dewasa,," tanyaku heran akan kecemasannya. Untuk apa teramat risau, sedang Rus pernah merantau di pulau Kalimantan seorang diri. Pasti sudah teramat banyak berasam garam hidupnya di perantauan. Yakin jika Rush mampu dan pandai mengurus sendiri dirinya.

"Tolong carikan mobil sama antar ke dokter ya, Ling. Mas Rus nggak sanggup nyetir katanya. Aku sudah tua, nggak bisa nyari-nyari taksi onlen." Bu Yanti menjelaskan sambil menepuk lembut punggungku. 

Eh, what? Aku ngantar lelaki itu ke dokter? Masak iya. Yang benar saja! Aku kan lelah,, juga bukan sebagai pesalah. Ah, tapi lagi-lagi aku justru merasa bersalah. Padahal aku anak kos yang sudah bayar di muka. Harusnya kan jangan diusik?!

Aaah,, baik,, baiklah. Ini demi rasa peduliku pada kemanusiaan yang begitu lekat di jiwa..

🕸

Lelaki berkulit sawo matang dengan nama lengkap Ahmad Arrushqi Harjo itu nampak pucat ranpa daya. Sedang berbaring diam dengan diperiksa oleh seorang dokter wanita yang anggun berkerudung.

Kurapikan dompet kulit warna coklat milik Rush dan kusimpan aman dalam tasku. Aku meminta KTP darinya saat mengisi formulir status pasien darurat pada perawat. 

Tapi, Rush menyodorkan seluruh dompetnya padaku. Mungkin sudah sangat tanpa daya untuk sekadar mencabut sebuah kartu miliknya. Dan sangat mujur kurasa,, sebab Rush masih ingat untuk membawa dompet turut serta bersamanya.

🕸

Dokter menyarankan dirawat inap, dan Rushqi pun bersetuju. Yang otomatis akulah yang jadi dewi penolong sekali lagi. Menjaganya meski dengan jiwa raga sangat lelah. 

Ya, aku merasa tenaga ini sedang diperas untuk bergerak melebihi kapasitas. Padahal, ingin sekali rasanya memeluk guling dan bersandar nyaman di bantal. Melepas lelah setelah seharian bekerja dengan sistem lembur kerja.

"Siapa namamu?" Suara lelaki yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Rush sedang menoleh ke arahku.

"Lingga.. Tadi bu Yanti sudah mengatakan namaku padamu." Kujawab sambil kusodor dompet yang baru kuambil dari dalam tasku.

"Tolong bawakan saja. Aku tak bisa menyimpan. Sekalian saat pembayaran nanti," ucap Rush sambil memandangku.

"Soal namamu, aku memang lupa. Sorry," sambut Rush dengan sedikit tersenyum.

"Tidak masalah," jawabku dengan singkat. 

"Apa kamu tidak merasa marah denganku?" tanyaku dengan pelan. Tapi kurasa cukup bisa didengar oleh lelaki itu.

"Tidak, bu Yanti sudah bercerita padaku. Sorry, aku telah mencuri kopi kesukaanmu. Dan aku jadi merepotkan kamu, Ling." Lelaki itu berkata sambil membenarkan selimutnya sendiri. 

"Eh, tidak masalah.." Aku menjawab dengan canggung. Terpaksa sedikit berbohong dengan rasa ragaku, demi kebaikan dirinya.

"Terimakasih," ucap Rush dengan singkat tanpa melihat padaku. 

Aku terdiam, juga tanpa berminat menyahut. Hanya melirik jika Rush sedang berusaha istirahat dengan baik. Entah pura-pura atau memang mengantuk, matanya telah menutup dengan rapat. Tanpa sempat menanyakan padanya. Aku menungguinya di sini, atau membolehkan aku pulang..

Akhirnya merebah saja di sofa ruang perawatan, satu ruangan bersama Rush. Ingin kupejam juga mataku dengan nikmat. 

Melupakan sejenak rasa resah dan galauku. Bagaimana esok hari saat pagi. Sedang aku harus pergi kerja ke perusahaan mie instant itu kembali. Entahlah,, hanya tidur nyaman dan bermimpi indah saja yang sedang sangat kuinginkan kali ini..

03. Miss Yong

Adzan subuh dari masjid di sebelah klinik membangunkanku pagi ini. Kulihat Rush pun sudah bangun, bahkan sedang duduk di tepian ranjang. Memandang ke arahku terang-terangan tanpa berbicara sepatah kata pun.

Meski risih, kuabaikan saja tatapan yang sama sekali tak kupahami maksudnya. Enggan sekali bertanya, aku bukan perawat ataupun pengasuhnya.

Segera kumeluncur ke kamar mandi dan membersihkan diri seperlunya. Ingin cepat pulang dan masuk kerja pagi ini. Biar bu Yanti yang mengganti untuk menjaga tuan mudanya dirawat. 

Aku tidak ingin merugi dengan bolos kerja hanya demi menjaga anak lelaki pemilik rumah. Yang menurutku, sakitnya itu bukan total salahku. Kopi butanku yang diminumnya hanyalah pemicu.

Dokter bilang, stamina si Rush memang sedang drop, dan lelaki itu pun mengakuinya. Persiapan pulang dan perjalanan dari pulau Kalimantan menuju pulau Batam, sangatlah melelahkan. 

Dengan sedikit kikuk, kudekati Rushqi yang masih duduk di ranjang. Wajah yang semalam sangat pucat, kini sudah tidak lagi terlalu.

"Mas, aku pulang dulu. Nanti bu Yanti yang akan datang mengganti menemani," ujarku cepat. Lalu kuhampiri meja untuk mengambil tasku di atasnya.

"Assalamu'alaikum," salamku sebelum berlalu darinya. Taksi online yang datang menjemput akan kupesan sambil jalan diluar.

"Lingga,,!" seruan Rush akan namaku, membatalkan tanganku untuk menutup pintu kamarnya. Kujulurkan lagi wajahku ke arahnya.

"Tunggu sebentar, kita pulang bareng saja. Bosan sekali rasanya," ujar Rush dengan melompat turun dari ranjang. Lelaki itu nampak biasa, seperti tidak sedang sakit. Hanya infus yang tersalur di tangan saja yang membuatku yakin jika lelaki itu memang sedang bermasalah akut di perut.

Perawat jaga yang kebetulan datang, nampak bingung saat Rushqi mengatakan niatnya. Mereka berdua lalu berdiskusi, dan Rushqi nampak menolehku dengan mengangguk.

🕸

Degup jantung melaju seiring langkah kaki yang memburu mesin scan absensi pekerja. Begitu lega rasa hatiku, timer pukul tujuh belum berbunyi dan masih tersisa dua menit lagi untukku. Setengah berlari kutuju ruang QC dangan perasaan yang waswas.

Ah, lemas sekali rasanya. Briefing tiap pagi telah dimulai sebelum pukul tujuh. Rajin sekali miss Yong pagi ini. Sekali saja telat, atasanku yang seorang wanita Cina itu menghadang. Yah,, apes sekali diriku..

"Velingga,,! Why you late?!" hardik miss Yong begitu diriku bergabung berbaris. Jomblo tua itu memang terkenal galak sekali. Bahkan dengan anggota timnya sendiri, termasuk diriku.

"Maaf, miss. Saya menunggu teman yang sedang sakit di klinik Panbill," jelasku pada miss Yong yang sedang menjeling tajam padaku. Dia memang membuat aturan jika kami harus datang lima belas menit lebih cepat dari jam kerja. Jika lambat dan dia melihat, mulutnya itu akan mengomel pedas sekali.

"Kamu pikir ini perusahaan temanmu?! Jika kamu datang lambat lagi, kamu jaga seluruh line!" seru miss Yong mengancamku.

Mulutku hanya bungkam menatap lurus padanya. Menjaga seluruh line, adalah ancaman horor bagi kami seluruh tim QC di lapangan. Selain tertimbun pekerjaan, tapi beban yang ditanggung kian melebar dan beragam. Sebab menjaga seluruh proses produksi di semua mesin pembuatan mie instan yang panjang.

Wanita itu juga merapatkan garis bibir dengan tetap menjelingku. Seperti inilah yang memang disukainya. Dia tidak suka dengan perdebatan. Bisa jadi jika kusanggah dengan satu patah kata saja, dia akan semakin membuli dengan lengkingan dan umpatan.

"Lingga,,! Isi briefing, tanyalah pada temanmu yang lain. Ingat,,! Esok, datanglah pagi-pagi..!" Miss Yong berseru keras padaku.

"Iya, miss Yong,,!" jawabku dengan cepat. Aku juga mengangguk pada atasan galakku yang mirip mak lampir itu..

Miss Yong sempat memberi pesan khusus padaku. Sebelum tubuh tinggi kurus tanpa lemak, masuk ke dalam ruangan pribadi tembus pandangnya. 

Ruang kaca ini membuat miss Yong seperti memiliki banyak mata. Terlebih dengan wajah tirus berkacamata cukup tebal. Membuat kian judes di wajahnya yang pucat dan tirus.

"Siapa temanmu? Kamu beruntung, mak kamu tidak terlalu mencaci makimu. Diam-diam kamu anak emas, Ling,,," pungkas seorang temanku, mbak Tari. Tiba-tiba berdiri dekat di sampingku. Suaranya berbisik sambil menulis sesuatu. Kuakui kebenaran opininya. Aku merasa bersyukur dan lega. Miss Yong hanya sedikit menghardikku.

"Anak induk kos yang sakit," jawabku juga lirih sambil meletak tasku di almari. Berfungsi sebagai loker bersama milik tim QC.

"Cowok? Lha induknya ke mana?" tanya mbak Tari lagi dan nampak masih sibuk menulis. Sepertinya dia pura-pura. Gerakan penanya hanya konsisten bolak-balik. Tari hanya kepo padaku.

"Dia bambang ganteng.. Emak dan bapak dia lagi naik haji ke Mekah, " jawabku sambil mengambil alat berperangku. Papan dada dan alat penimbang.

"Busyet,," sambut mbak Tari sambil melengos dan masih menulis. Ada bayang senyum di pipinya.

Aku juga menahan senyuman, tidak ingin kepergok miss Yong dari ruangannya. Kami ini seperti ikan dalam aquarium yang terbiasa saling mencuri pandang. Lebih tepatnya, miss Yong mengamati kami, dan kamilah yang mencuri pandang padanya. 

"Ling,,! Cepat turun ke line, nanti kamu keteteran,,!" seru bisik temanku yang lain, kak Ita sambil melewatiku. 

"Iya, kak,,!" sambutku pada kak Ita. 

Dia wanita ras melayu berusia jauh di atasku, salah satu teman lapangan yang juga jaga line produksi sepertiku. Tapi sesekali kami juga kena handle ruang lab jika sedang overtime saat libur. Yang miss Yong hanya akan memberi jatah masuk pada segelintir QCnya saja.

Proses produksi pertama yang harus kudatangi adalah ruang grinding atau penggilingan bumbu. Dimana harus dipantau segala hal yang berkaitan dengan prosesnya. Mulai dari pencucian, kebersihan mesin dan operasinya. Bahkan kebersihan operatornya juga. Mereka wajib memakai head cover, face mask dan apron pembungkus badan.

Akan ada penggilingan banyak bahan dan bumbu di sini. Seperti cabai, lada, gula, garam, daun kari, daun serai dan lain-lain. Semua adalah bahan untuk membuat bumbu dari mie instant. Yang mana bahan-bahan halus dari grinding akan disetor ke ruang produksi di soup room. Tempat pembuatan bumbu mie instan.

Itu hanya prosedur. Sedang kenyataannya, hanya signing checking dan pengosian record saja yang kami buat. Sambil melihat keliling sepintas. Setelah semua data teori pantau kuberi tanda centang yang dalam artian sedang oke semua, maka bergeser ke ruang produksi sari ayam dan penggaraman. Dan entah kenapa ruang produksi ini hanya dinamakan guargam.

Ruangan yang berisi tiga panci raksasa untuk merebus ayam dan garam ini juga memiliki freezer raksasa untuk membekukan cadangan ayam. Bahkan aku sering masuk dan ngadem di dalam freezer bersama tumpukan ayam beku. Dengan alasan, memantau suhu freezer di angka yang stabil di setingan mesinnya.

Selain suhu, di guargam ini harus kupantau ketaatan kadar garam dan kepekatan air sari ayam. Jika proses rebus ini selesai, akan terpisah otomatis antara tulang-tulang ayam dengan air sari ayamnya. Yang tulang ini akan berkarung-karung banyaknya dalam satu panci saja.

Dari guargam, naik tangga menuju mixer room di lantai dua. Tempat pembuatan adonan mie instant. Belasan tabung berisi mixer, tertanam setengah menyembul di lantai. 

Di sini adalah pengadukan bahan tepung dengan pengairan sari ayam yang langsung dari pipa dan tersambung dengan pipa di guargam. Rata-rata pengadukan mesin adalah tiga puluh menit. Meski ada juga yang mencapai pengadukan hingga satu jam. Tergantung jenis tepung dan jenis mie instant yang akan dibuat.

"Ling, centang saja semua. Pak Nurlahi dah datang cek barusan," kata seorang lelaki yang merupakan leader di mixer room. Hendra namanya. Lelaki dari kota Salatiga, sangat sopan dan baik. Sedang Nurlahi adalah nama supervisornya. Kami sudah sangat saling kompak. Meski QC baru, alhamdulillah,, aku bisa beradaptasi dengan cepat di sini. Pemalsuan data di antara kami terjalin sangat sistematis dan rapi.

"Ho oh, mas. Ini pun buru-buru. Benar ya, oke semua ya. Kucentang ya.." Aku sambil mencentang semua data dan kolom. Tidak perlu menunggu jawabannya.

Selalu seperti ini, datang tinggal centang dan tanda tangan. Ini sudah diajarkan oleh senior yang memberi training diawal masuk dulu. Percaya saja demi kelancaran bekerja. Efek dari minimnya pekerja di QC departement.

Pekerja baru yang didapat dari pemasangan lowongan kerja datang silih berganti. Namun, tidak ada yang mampu bertahan lama-lama di sini. Presure kerja yang dipikul sangat tinggi dan Miss Yong galak sekali.

🕸🕸🕸

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!