Gibran baru saja keluar dari ruang operasi melepaskan masker dan sarung tangannya. Menoleh pada Athalia yang tadi berada dalam tindakan yang sama dengannya.
“Kopi?” tanya Gibran pada Athalia
Athalia terkekeh. “Tugas ku masih panjang. Masih beberapa jam lagi, memastikan kondisinya aman,” jawab gadis itu sambil menunjuk pasien.
“Aku piket malam ini, kalau sudah free temui aku di UGD,” titah Gibran.
“Kalau tidak ketiduran ya,” sahut Atha lagi.
Gibran Chandra dan Athalia Putri Nugroho, keduanya berprofesi sebagai dokter dan sering dipasangkan dalam tindakan operasi. Athalia adalah dokter anestesi sedangkan Gibran dokter bedah yang mempunyai reputasi baik di rumah sakit tempat mereka mengabdi.
Athalia yang hanya mengenakan scrub suits dan masker saat mendampingi pasiennya dalam ruang observasi. Atribut operasi lainnya sudah ditinggalkan. Setelah pasien mulai sadarkan diri, Atha mengecek kembali tanda vital dan memastikan tidak ada efek ataupun keluhan lain.
“Kondisi aman, sudah bisa dipindahkan,” ujarnya pada perawat.
“Oke dok. Masih ada jadwal operasi kah?”
“Nggak ada, mau pulang tapi aku sudah ngantuk.”
“Dokter Gibran katanya nungguin mau ngajak ngopi, cie,” ujar perawat lain yang tadi mendengar ajakan Gibran.
“Oh Iya, tapi beliau sedang di UGD. Aku tinggal ya,” ujar Atha sambil melambaikan tangannya.
Atha mengusap tengkuknya yang terasa pegal sambil menuju doctor lounge. Mengambil ponselnya yang tersimpan di loker lalu duduk bersandar pada salah satu sofa sambil memejamkan matanya.
“Kepertinya kamu butuh kopi.”
Athalia membuka mata sudah ada Gibran yang duduk di sampingnya sedang menyesap kopinya. Sedangkan milik Athalia ada di meja sofa.
“Bukannya kamu nugas di UGD?” tanya Atha sambil meraih gelasnya.
“Langsung dapat pasien gawat, ini baru beres tindakan lagi,” jawab Gibran sambil ikut menyandarkan kepalanya. “Kamu nggak pulang?”
“Nggak, mending tidur di sini. Kalau pulang malah makan waktu, belum besok pagi harus bangun lebih awal dan ke sini lagi butuh waktu.”
“Minta jemput cowok kamu dong,” ejek Gibran. Gadis berdecak mendengar ejekan Gibran.
Keduanya memang dekat, sangat dekat bahkan Athalia memang memiliki perasaan dengan Gibran. Begitu pun dengan Gibran, yang melihat perhatian gestur tubuh dari gadis itu Gibran tahu kalau dia tidak bertepuk sebelah tangan.
Namun, keduanya sadar diri karena Athalia sudah dijodohkan oleh keluarganya. Mengingat perjodohan, Athalia pun membuka ponselnya dan benar saja, ponselnya ramai dengan pesan yang belum dibaca salah satunya dari Abi. Abi adalah pria yang akan dijodohkan dengannya.
[Atha, aku jemput ya! ]
[Kamu masih sibuk? Ada jadwal malam atau gimana?]
Masih banyak pesan Abi lainnya yang malas untuk Athalia baca apalagi dia balas. Gadis itu malah melemparkan ponselnya ke atas sofa di sampingnya.
“Wah, ini sih berantem kayak pasangan abegeh,” ejek Gibran lagi.
“Ck, jangan nyebelin deh.”
Gibran terkekeh melihat Athalia yang cemberut.
“Udah makan belum? Operasi bareng kamu tadi cukup lama loh dan ….”
“Belum,” jawab Atha.
Gibran menatap sekeliling lounge mencari meja buffet. “Wah kamu belum beruntung, makan malamnya sudah habis tuh. Mau aku buatkan mie cup?”
Athalia mengerjap lalu tersenyum.
“Mau banget, kalau tinggal makan nikmatnya double,” jawab Athalia.
Gibran mengacak rambut rekannya lalu beranjak menuju pantry. Tidak lama dia datang membawa dua cup mie kuah yang aromanya memang menggugah selera. Memberikan salah satunya pada Athalia lalu meletakan jatah miliknya di atas meja.
“Besok pagi pastikan kamu sarapan menu sehat,” ujar Gibran lagi-lagi penuh perhatian. Apa yang dilakukan GIbran tentu saja membuat Athalia semakin memupuk perasaannya tapi dia tidak bisa berharap banyak.
Keduanya menikmati makan malam yang terlambat dengan saling diam. Bukan hanya Gibran dan Athalia yang berada di lounge ada juga dokter lain yang sedang beristirahat.
Ponsel Athalia berdering, tapi pemiliknya acuh malah beranjak menuju pantry untuk mengambil air minum. Gibran sempat menoleh dan melihat nama Abi di layar ponsel itu.
“Calon suami nih telpon, nggak bisa tidur kali mikirin kamu,” ejek Gibran.
“Gibran rese,” teriak Athalia dari pantry.
...***...
Gibran keluar dari mobilnya sambil menguap karena dilanda kantuk. Pagi ini dia free setelah mendapatkan jadwal malam. Sengaja berhenti di salah satu rumah makan yang hanya buka pagi hari menjual menu sarapan. Agak ramai, bahkan Gibran harus antri.
Sempat menatap para pengunjung yang sedang menikmati sarapan mereka, Gibran pun berencana mengajak Athalia ke tempat itu lain kali. Pandangan Gibran tertuju pada meja di mana ada seorang pria dan wanita berada. Interaksi keduanya sangat dekat dan bisa disimpulkan kalau ada hubungan diantara mereka.
Abi, pria itu Abi laki-laki yang dijodohkan dengan Athalia. Namun, yang membuat Gibran terusik adalah wanita yang bersama Abi. Sesekali mereka saling menyuapkan makanan, kalau bukan ada hubungan tidak mungkin melakukan hal itu apalagi ini tempat umum.
“Yang, nanti malam nginap lagi ya,” ujar sang wanita yang bisa didengar oleh Gibran karena posisinya tidak berada jauh dari meja Abi.
Perasaan aku makin nggak rela kalau Athalia dengan pria itu, batin Gibran.
Saat sudah kembali ke mobil, Gibran menghubungi Athalia.
“Apa, bukannya tidur ngapain hubungi aku.”
“Kamu sudah sarapan?”
“Sedang, ini aku sedang mengaduk bubur ayamku.”
Gibran terkekeh, “Aku pikir lagi suap-suapan sama pacarmu,” ejek Gibran sambil menatap ke arah rumah makan di mana dia melihat Abi dan seorang wanita.
“Nyebelin banget sih, nggak usah hubungi aku kalau cuma mau ngejek."
Gibran kembali terkekeh. “Semangat ya, nggak usah kangen karena aku nggak kangen kamu.”
“Gibraaaaan,” teriak Athalia di ujung telepon membuat Gibran semakin tergelak karena lagi-lagi berhasil membuat gadis itu marah.
Sore itu Athalia sudah selesai dengan tugasnya. Bahkan sudah siap pulang dengan tas menyilang di tubuhnya. Berjalan gontai menuju lobby rumah sakit, karena sudah ada Abi yang datang menjemput. Tidak mungkin dia kembali menolak setelah beberapa kali mengabaikan Abi dengan alasan sibuk.
“Hai,” sapa Abi saat melihat calon jodohnya lalu mengantongi ponsel yang sejak tadi dia mainkan. Athalia hanya memasang senyum terpaksa.
“Kita mau kemana?”
“Tante Mery baru saja buka restoran baru dan nggak mungkin aku nggak hadir. Kita ke sana ya, sebentar juga nggak masalah,” ujar Abi.
Athalia menghela nafasnya lalu menganggukkan kepala. “Sebentar aja ya, aku lelah, seharian ini di ruang operasi.”
“Oke,” jawab Abi lalu meraih jemari Athalia dan menautkan jemarinya kemudian berjalan meninggalkan rumah sakit. Tanpa keduanya sadari Gibran yang berjalan tergesa karena panggilan mendadak karena ada pasien darurat, harus berhenti melangkah memastikan dia melihat Athalia dan Abi. Bahkan setelan yang dikenakan Abi, sama persis dengan yang pagi tadi dia lihat.
Selama perjalanan, Athalia menatap ke luar jendela mobil tidak terlalu banyak merespon dan berbicara pada Abi. Akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Abi berbelok ke sebuah restoran yang memang terlihat masih baru. Banyak karangan bunga dan ucapan selamat atas pembukaan resto tersebut.
“Ayo,” ajak Abi yang melepaskan seat belt
Abi dan Athalia berjalan berdampingan memasuki restoran yang memang sedang ramai dikunjungi. Sepertinya Abi sudah pernah mendatangi restoran itu karena dia tampak familiar dengan kondisi ruangan dan tempat tersebut.
“Kita temui langsung tante Merry.”
Benar saja, orang yang ditemui berada di salah satu ruangan dengan banyak tamu undangan. Sepertinya keluarga besar Abi.
“Tante Mer,” panggil Abi dari belakang tubuh seorang wanita paruh baya.
“Oh, Abi,” jawabnya kemudian menoleh ke arahku. “Dia?”
“Athalia,” jawab gadis itu mengulurkan tangan. Sepertinya Athalia tidak ingin dikenalkan oleh Abi dengan status teman dekat apalagi kekasih oleh pria itu.
“Hai Athalia, selamat datang di restoran Tante yang baru. Enjoy ya, tante harus temui mereka,” tunjuk tante Mery kepada pasangan yang baru datang.
Abi mengajak Athalia menemui beberapa kerabatnya dan gadis itu hanya tersenyum lalu menyebutkan nama saat dikenalkan.
“Aku ke sana ya,” tunjuk Athalia ke arah buffet dari pada menemani Abi yang akan menghampiri kenalannya yang lain.
“Oke, aku ke sini dulu.”
Athalia tidak melihat ke mana arah Abi beranjak, fokusnya hanya menuju deretan hidangan yang terlihat menggugah selera. Tanpa gadis itu ketahui, Abi ditarik oleh salah seorang wanita menuju ke tempat yang lebih sepi.
“Selly, kamu ….”
“Perempuan itu Athalia ‘kan? Yang katanya akan dijodohkan sama kamu?” tanya Selly pada Abi, Selly adalah sekretaris Abi yang bukan hanya mendampingi di kantor tapi juga menemani malam-malam Abi.
“Iya, tapi kamu nggak usah khawatir karena hanya kamu yang bisa menghangatkan ranjang dan hidupku. Dia … Cuma kerikil hidup kita,” ujar Abi sambil menangkub sisi wajah Selly dengan kedua tangannya.
Tanpa diduga, Selly mendorong tubuh Abi agar menjauh.
“Jangan pegang-pegang, tangan kamu habis pegang dia.”
“Ck, cemburu? Nanti malam juga kita bersama lagi, nggak usah khawatirlah.”
“Halah, giliran butuh ke aku tapi yang dipamerkan perempuan itu,” keluh Selly pada laki-laki yang menjadi kekasih dan sekaligus atasannya bekerja.
Abi terkekeh mendengar keluhan Selly. Kedekatan keduanya belum lama, sebelumnya Abi biasa menghabiskan malam di club bersama teman-temannya. saat Selly jatuh dalam rayuan dan gombalan Abi, tentu saja dimanfaatkan untuk pelampiasan hasrat kelelakiannya. Karena kalau ditanya cinta, Abi tidak yakin ada rasa itu dengan Selly.
Cukup lama keduanya bicara, sampai ada seseorang yang memanggil.
“Mas Abi.”
Abi dan Selly menoleh, ternyata Athalia sudah berada tidak jauh dari posisi Abi dan Selly. Abi bersyukur saat ini dia tidak dalam posisi mesra bersama Selly, bisa dibayangkan kalau Athalia menyaksikan hal itu.
“Eh, kemari sayang,” ujar Abi, membuat senyum di wajah Athalia hilang. Bukan karena melihat Abi berdua dengan Selly tapi karena panggilan sayang. Rasanya perempuan itu ingin mengeluarkan ekspresi ingin muntah mendengar panggilan sayang dari Abi.
“Kenalkan ini Selly, sekretarisku,” ujar Abi.
Athalia kembali memasang senyum dan menjabat tangan Selly yang terulur ke arahnya, merasa aneh juga sekretaris dibawa ke acara keluarga. Bagaimanapun acara ini adalah acara keluarga, sedekat apa Abi dengan sekretarisnya sampai terlibat di acara keluarga.
“Mas, kita pulang ya. Aku sudah lelah,” ajak gadis itu.
“Oke. Selly ingat pesan saya tadi,” tutur Abi yang di jawab anggukan kepala oleh wanita yang dimaksud.
Abi dan Athalia sempat pamit kembali pada Tante Mery, setelah itu beranjak meninggalkan resto yang terlihat semakin ramai pengunjung. Selama perjalanan, Athalia dua kali menguap tanda dia sudah sangat mengantuk.
“Kamu benar-benar lelah?”
“Memang ada aku pura-pura lelah.”
“Bukan begitu. Kalau jadi dokter sangat melelahkan begitu kenapa kamu urus bisnis keluargamu saja,” usul Abi sambil fokus pada kemudi.
“Nggak, aku tidak tertarik urusan bisnis,” sahut Athalia
Abi sempat menanyakan jadwal Athalia besok, dia ingin mengajak makan malam. Namun, Athalia belum memberikan jawaban waktu yang pasti.
“Lihat besok, ya. Aku belum cek jadwal operasiku,” ujar Athalia.
“Hm, salam untuk Om Arkan.” Abi berpesan saat Athalia sudah turun dari mobil dan melambaikan tangannya saat mobil Abi kembali melaju.
“Halo, sayang,” ujar Abi yang menghubungi Selly dengan mengaktifkan loudspeaker.
“Hm.”
“Jangan ngambek dong, tunggu di depan ya aku akan jemput lalu kita ke apartemenmu,” tutur Abi.
“Cepat nggak pake lama, atau aku berubah pikiran,” sahut Selly di ujung telepon.
Athalia bergegas menuju ruang operasi karena pagi ini ada namanya dalam salah satu tindakan operasi. Mencuci kedua tangannya agar steril sebelum memasuki ruangan, tidak menyadari ada Gibran di belakang.
“Ehem, gimana kencan semalam?” tanya Gibran.
Athalia menoleh sambil mengangkat kedua tangan yang sudah dia pastikan steril, mengerucutkan bibirnya karena ejekan Gibran.
“Siapa yang kencan,” sahut gadis itu.
Gibran hanya terkekeh, kemudian melakukan hal yang sama dengan Athalia. Mensterilkan kedua tangannya.
“Tindakan apa?” tanya Gibran sambil fokus pada tangannya.
“SC. Nanti sore free?”
“Hm, belum tahu. Yang jelas gak ada jadwal. Kenapa gitu?”
“Ada cafe baru dekat-dekat sini, katanya lengkap menu nasi gorengnya. Jadi ....”
“Iya,” sela Gibran. “Sana masuk, udah waktunya ‘kan?”
Athalia tersenyum kemudian bergegas menuju ruangan tempatnya bertugas. Gibran sengaja mengusir Athalia karena berlama dekat dengan wanita itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Semakin lama, perasaan yang Gibran miliki semakin besar.
Namun, rasanya tidak rela jika wanita yang dia cintai ternyata diduakan oleh calon jodohnya. Gibran yakin kalau Abi dan wanita yang bersama dengannya kemarin memang ada hubungan, dilihat dari interaksi dan kalimat yang terucap bisa disimpulkan begitu.
“Dokter Gibran, sudah ditunggu,” panggil seorang perawat menyadarkan lamunan Gibran. Setelah memastikan dua tangannya sudah steril, pria itu menarik nafas panjang untuk menenangkan diri dan memusatkan konsentrasinya. Sebagai dokter bedah, kondisi pasien yang sedang dioperasi berada dalam tanggung jawabnya.
...***...
Di sinilah Athalia dan Gibran berada, cafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Bahkan Gibran mengajak Athalia jalan kaki menuju lokasi.
“Tempatnya nyaman,” imbuh Athalia sambil menatap sekeliling. Gibran asyik memandang wajah gadis dihadapannya kemudian berdehem dan menunduk saat Athalia menyadari tatapan dari Gibran.
“Mau pesan apa?” tanya Athalia sambil membuka buku menu.
“Jangan yang berat, nanti malam aku ada tindakan. Perut kenyang malah ngantuk.”
“Hah. Bukannya udah selesai?”
Gibran menggelengkan kepala sambil fokus pada ponselnya sedangkan Athalia menyebutkan pesanan pada pelayan, pesanan untuknya sendiri dan untuk pria dihadapannya.
“Bagaimana kencan semalam? Sudah ada peningkatan nih,” Seru Gibran.
“Aku nggak kencan, Mas Abi ajak ke resto baru tantenya. Peningkatan apa sih?” tanya Athalia sambil mengernyitkan dahinya.
Gibran terkekeh sambil mengedikkan bahunya, yang dia maksud adalah Abi dan Athalia yang saling menautkan jemari tangan saat keluar dari rumah sakit.
Tidak lama kemudian pelayan mengantarkan pesanan, disambut gembira oleh keduanya. Gibran menikmati pesanan sambil mendengarkan Athalia yang mengomentari apa yang ada. Mulai dari rasa makanan sampai suasana cafe.
“Gimana hubunganmu dengan Abi?”
Athalia yang sedang meneguk orange juicenya tersedak dengan pertanyaan Gibran. Dia sendiri bingung menerjemahkan hubungannya dengan Abi. Tidak menyukai apalagi memiliki perasaan dengan pria itu, selain menganggap sebagai teman.
“Pelan-pelan dong,” ujar Gibran. “Segitu terkesimanya mendengar nama Abi.”
“Apaan sih? Boro-boro terkesima yang ada kesal,” sahut Athalia.
Tanpa Atha ketahui, saat ini Papanya bertemu dengan Ayah Abi. Selain urusan kerjasama bisnis, keduanya membicarakan kelanjutan hubungan Athalia dengan Abi.
“Baiknya kita percepat saja pertunangan mereka, menunggu anak-anak kita inisiatif sepertinya akan lama,” seru Ayah Abi.
“Hm, menurutku pun begitu. Umur Athalia pun sudah cukup matang untuk berumah tangga,” seru Arkan Papa Athalia.
Waktu pertunangan Athalia dan Abi pun akhirnya diputuskan tanpa menanyakan pada kedua orang tersebut. Karena kabar ini, Arkan menghubungi putrinya untuk segera pulang. Dia akan menyampaikan langsung pada Athalia rencana kelanjutan perjodohan.
Athalia yang malam itu tidak bertugas sudah tiba di rumah, ternyata Arkan benar-benar menunggunya.
“Duduklah!” titah Arkan yang saat ini berada di ruang keluarga.
“Ada apa sih? Kayaknya serius banget,” ujar Athalia yang sudah duduk bersebrangan dengan Arkan hanya terpisah meja sofa.
Athalia sudah tidak mempunyai Ibu dan perjodohan yang direncanakan Arkan sejak dia masih kecil dengan harapan Athalia mendapatkan pendamping hidup yang baik apalagi mereka sudah sangat mengenal Abi dan keluarganya.
“Hari ini Papa ada pertemuan dengan Ayah Abi.”
Deg.
Athalia menduga ada sesuatu yang berkaitan dengan hubungannya dengan Abi. Berharap Papanya membatalkan rencana menyatukan Abi dan dirinya.
“Kami sepakat mempercepat pertunangan kalian,” ujar Arkan.
“Apa? Papa bercanda ‘kan?” tanya Athalia memastikan apa yang baru saja dia dengar.
“Menurutmu, apa Papa pernah bercanda untuk masalah ini.”
“Tapi, Pah ... kami ....”
“Belum siap?”
Athalia menganggukkan kepalanya.
“Mau kapan tunggu kalian siap. Jangan-jangan kalian memang tidak pernah membicarakan rencana kalian ke depan. Coba kamu ingat, berapa umurmu saat ini?” tanya Arkan.
Athalia menghela nafas, merasa kecewa dengan apa yang disampaikan Papanya. Sore tadi dia merasakan bahagia bersama Gibran walau hanya sekedar makan dan berbincang, harapan untuk bisa bersama dengan pria itu harus pupus karena keputusan Arkan.
Berbeda dengan Abi, yang biasa saja mendengar kabar dari Ayahnya tentang pertunangan yang akan dipercepat. Ada rasa bahagia, karena langkah untuk mendapatkan Athalia semakin dekat. Karena Athalia memang sangat menjaga dirinya dan akan memberikan seluruh hidupnya hanya untuk sang suami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!