"Gimana? Udah bisa dihubungi belum?"
Raut gelisah dan cemas begitu kentara di wajah seorang wanita paruh baya berkebaya gold. Ia bertanya pada seorang laki-laki lebih tua usianya.
"Belum, Mah. Dari tadi ditelpon nggak bisa-bisa," jawab lelaki itu tak kalah panik.
Pesta meriah sudah digelar, dekorasi mewah begitu sempurna dengan taburan bunga sesuai dengan yang diinginkan mempelai wanita. Janur kuning bertuliskan nama kedua mempelai, Shila dan Raka, terpasang sangat cantik.
Namun, akad yang seharusnya dilakukan dua jam yang lalu, belum juga terlaksana dikarenakan mempelai wanita yang tak kunjung hadir.
Seorang gadis berkebaya putih tulang mendekat, ia tampak cantik dengan rambut yang disanggul dan beberapa helainya dibiarkan tergerai di kanan dan kiri. Polesan make-up sederhana yang melekat di wajahnya, menyempurnakan kecantikan makhluk Tuhan itu.
"Gimana, Om, Tante? Udah ada kabar dari Shila? Ini udah jam sebelas. Tamu udah banyak yang datang, pak penghulu juga kelihatannya udah bosen. Apa nggak nyuruh orang aja buat ke rumah Shila?" cecar gadis itu sama paniknya seperti mereka.
Kedua paruh baya itu saling menatap satu sama lain, bingung dengan keadaan yang pastinya akan membuat mereka malu bila tidak terlaksana. Makanan untuk parasmanan para tamu undangan sudah tersedia, siapa yang akan memakannya?
"Udah, Shanum. Om udah kirim orang, tapi kata mereka rumahnya sepi nggak ada siapa-siapa." Laki-laki itu terlihat frustasi.
Gadis bernama Shanum, melirik mempelai pria yang menundukkan kepala. Hatinya berdenyut nyeri, seharusnya ini menjadi hari bahagia untuk Raka. Akan tetapi, karena ketidakhadiran mempelai wanita menjadi haru duka baginya dan seluruh keluarga.
"Pak, Bu, pak penghulunya mau pamit pergi. Ini gimana? Tamu undangan juga udah banyak yang datang." Nia, ibunya Shanum datang dengan kepanikan yang setara seperti mereka.
Mereka semakin panik, tak tahu harus apa. Lalu, pandangan ketiganya jatuh pada sosok Shanum yang usianya sudah cukup matang untuk menikah. Hanya berjarak satu tahun dari Raka.
"Nak, kamu bisa tolongin Tante dan Om, 'kan?" Leni, ibunda Raka memegangi tangan Shanum.
Alis tebal gadis itu saling berpaut tak mengerti, pertolongan seperti apa yang mereka inginkan darinya. Sementara ia pun tak tahu harus melakukan apa.
"Tolong apa, Tante. Apa Shanum pergi ke kos-kosan temannya aja, ya. Siapa tahu dia di sana." Mata lentik gadis itu berbinar, bibirnya yang tipis turut terkembang sempurna.
Leni menggelengkan kepala, menggenggam semakin erat lengan gadis itu.
"Itu kelamaan, sayang." Leni bergetar hampir menangis.
Shanum tak tega melihatnya, ia menggenggam tangan wanita itu dengan lembut menguatkan hatinya yang sudah pasti terluka.
"Terus gimana, Tante. Kalo kelamaan nanti pak penghulunya keburu pergi," ucap Shanum bingung.
Leni melirik suaminya juga ibunda Shanum, pandangan mereka seolah-olah menyerahkan keputusan padanya.
"Tolong ambil dan gantikan tempat Shila menjadi mempelai wanita," pinta Leni lirih.
Shanum membelalak, tubuhnya oleng dan termundur ke belakang. Ia tidak berniat menikah saat itu juga, apalagi menjadi istri dari sahabatnya sendiri.
"A-apa, Tante? Itu nggak mungkin, Tante. Aku belum mau menikah," tolak Shanum berterus terang.
Jatuh air mata Leni, membuat gadis Nia itu tak tega hati.
"Tolong! Kasihan Raka. Dia pasti akan berubah murung kalo nggak jadi nikah hari ini. Tante percaya sama kamu, kalo kamu bisa menjadi istri Raka yang baik," ucapnya lagi semakin memelas.
Shanum bimbang, menatap ibundanya dengan tatapan memelas. Namun, wanita itu justru tersenyum, dan berkedip mata padanya.
Astaghfirullah! Itu Mak aku bukan, sih? Kok, nggak belain anaknya.
Shanum mengumpat dalam hati, Nia memang menyukai Raka dan dari zaman dahulu kala ingin menjodohkan anak gadisnya dengan laki-laki itu.
Tapi nggak gini juga kali. Mamah!
Wajah Shanum meringis, hampir-hampir menangis. Ia menggigit bibir gamang, tak tahu harus apa.
"Gimana, Pak? Pak penghulu sudah siap-siap mau pergi. Kalo nggak datang juga dia mau pergi ke tempat lain." Ayah Shanum datang menambah gelisah di hati putrinya.
Mereka memang bersahabat.
"Pah, gimana ini? Ya Allah!" Leni menangis tergugu di pelukan suaminya. Tak tega rasa hati Shanum melihatnya.
"Nak. Apa kamu nggak kasihan sama mereka? Mereka cuma punya anak satu-satunya, dan sekarang harus dipermalukan kayak gini. Tolong mereka, Nak." Kali ini ibundanya yang meminta, remasan tangan lembut itu di lengannya mengharapkan persetujuan Shanum.
"Benar, Nak. Papah setuju kalo kamu nikah sama Raka. Dia anak yang baik, Papah dan Mamah juga nggak segan lagi sama dia. Udah kayak anak sendiri, jadi nggak akan canggung lagi." Papah menimpali mendukung rencana mereka.
Shanum menunduk sambil menggigit bibir, tangannya meremas ujung kebaya yang ia kenakan hingga tak sadar manik-manik yang terpasang satu per satu terlepas dan berceceran di atas lantai.
Gadis itu menoleh ke belakang, pada Raka yang masih bergeming di kursinya sambil sesekali mengusap kedua sudut mata. Dia menangis. Untuk pertama kalinya Shanum melihat laki-laki itu menangis.
Ia menghela napas, mengambil keputusan demi rasa kemanusiaan yang ada di dalam jiwanya.
"Bismillahirrahmanirrahim. Baiklah, Shanum yang akan menggantikan tempat mempelai wanitanya." Ia lalu tertunduk, menahan getar di hatinya. Ingin menangis? Tentu saja. Hal ini bukanlah yang dia inginkan.
"Kamu beneran, Nak? Kamu nggak bercanda, 'kan?" Leni berhambur memegang kedua pundak gadis itu. Terlihat sumringah dan wajahnya dipenuhi harapan.
Shanum mengangkat wajah, tersenyum kemudian. Ia lantas menganggukkan kepala sambil menahan tangisan yang hendak menyeruak ke permukaan. Leni memeluknya erat mengungkapkan terimakasih lewat sentuhan.
"Alhamdulillah, ya Allah. Kalo gitu, ayo kamu dandan dulu pake baju pengantin." Semangat menggebu Leni dan Nia menggiring gadis tersebut masuk ke sebuah ruangan.
"Pah, cegah penghulunya supaya nggak pergi!" titah Leni pada suaminya.
Kedua laki-laki paruh baya itu saling menatap satu sama lain sebelum sama-sama beranjak mendekati meja akad.
"Maaf, Pak! Bisa tunggu sebentar? Pengantin wanitanya sudah ada," sergah papah Raka dengan cepat begitu melihat pak penghulu beranjak.
Mendengar itu Raka mendongak, menatap penuh harap pada papahnya. Namun, laki-laki tersebut, tak dapat menjawab pertanyaan tanpa kata itu. Hanya berpaling dengan segera dari pandangan sang putra.
"Jadi, pengantin wanitanya sudah datang?" tanya pak penghulu menegaskan.
"Sudah, Pak. Mohon tunggu sebentar lagi, hanya sebentar." Papah Raka antusias dibantu papahnya Shanum.
"Pah?" Raka memanggil lirih. Air matanya jatuh kembali bersamaan dengan hati yang mengharu biru.
Sang papah menepuk bahunya, "Sudah. Kamu tenang aja. Pengantin wanitanya ada." Raka tersenyum, mengangguk kemudian.
Ia duduk berhadapan dengan pak penghulu, bersiap mengucapkan ijab qabul.
"Nah, itu pengantinnya!"
"Nah, itu pengantinnya!"
Sontak semua orang menoleh saat papah Raka mengatakan itu. Sambil tersenyum Raka menyambut sang mempelai wanita, tapi sosok dengan balutan kebaya putih itu bukanlah wanita yang dia harapkan kehadirannya.
Senyumnya raib, Raka beranjak, berdiri dengan perasaan yang tak menentu. Jantungnya berdetak lebih cepat, air mata jatuh tak terkira lagi. Bibirnya berkedut-kedut ingin mengucapkan sepatah dua patah kata. Namun, terasa kelu, dan tak mampu digerakkan.
"Sha-shanum?" Bergetar hatinya mendapati kenyataan bahwa sahabat baik hati itu menggantikan calon istrinya yang tiada kabar berita.
Shanum tersenyum, menyembunyikan kegetiran hati. Bukannya tak sedih, bila sendiri sudah barang tentu dia akan menangis tergugu.
Senyum itu ia tujukan agar laki-laki cengeng di sana mampu menguatkan hati menerima takdir yang tak terduga ini. Langkah anggun itu berhenti tepat di hadapannya, seperti apa lagi mengekspresikan keterkejutan Raka. Yang pasti hatinya terasa lain saat ini.
Dengan tisu di tangan, tak henti menghapus jejak air yang jatuh.
"Sha-shanum? Ke-kenapa kamu ...?" tanya Raka tanpa dapat melanjutkan kalimatnya.
Gadis itu masih tersenyum, dia terlihat tegar padahal hati tercabik perih.
"Raka, maaf. Mungkin dengan cara ini aku bisa menutupi rasa malu keluarga kamu," ucap Shanum bergetar dan lirih.
Ia menundukkan pandangan, menahan air agar tidak jatuh dari pelupuk. Bukan ini yang dia inginkan, tapi tangis wanita paruh baya yang baik hati itu membuatnya tidak tega menolak.
"Mah, Pah. Kenapa Shanum? Kenapa harus Shanum?" tanya pemuda itu dengan air mata yang berderai deras.
Dia tahu seperti apa keinginan gadis di hadapannya. Menikah di usianya saat ini, bukanlah yang dia inginkan. Masih banyak impian Shanum yang ingin digapainya, dan Raka tahu semua itu. Bahkan, dia tahu tahun mana Shanum akan menikah dan dengan pria seperti apa?
"Raka, maafin Mamah. Nggak ada cara lain lagi, Nak. Semua orang tahu kamu menikah hari ini, sanak saudara jauh pun sudah menantikan pernikahan ini. Shila nggak ada kabar, pergi nggak tahu ke mana. Rumahnya sepi nggak ada orang. Daripada dibatalin Mamah minta Shanum buat gantiin dia." Leni menjelaskan dengan air mata berderai.
"Udah, udah. Nanti aja ngobrolnya. Sekarang kita ijab qabul dulu aja," ucap papah Shanum melerai keduanya.
"Yah, benar nanti kita bicarakan lagi." Papah Raka menimpali.
"Nggak apa-apa, Ka. Lagian aku nggak tega lihat kamu nangis kayak tadi." Shanum berucap dengan sekuat hatinya.
Raka menatap penuh arti, dalam hati tidak terima Shanum menjadi pengantinnya. Dia sahabat, bahkan rasanya sudah seperti saudara sendiri. Terkadang makan sepiring berdua, apapun mereka ceritakan.
Raka menghela napas, mengikuti dorongan sang papah untuk kembali duduk berhadapan dengan penghulu.
"Jadi, mempelai wanitanya diganti, ya. Kita catat datanya dulu. Namanya siapa bin siapa?" ucap pak penghulu mengeluarkan beberapa lembar kertas untuk diisi data kedua mempelai.
"Shanum Haniyah binti Bapak Hanan ...." Shanum mengeluarkan KTP dari tas yang dibawakan ibundanya, sementara persyaratan pernikahan akan dikirimkan setelah acara selesai.
"Baik. Kita mulai acara intinya, ya. Sebelum itu, mari bersama-sama kita mengucapkan istighfar memohon ampunan kepada Allah. Astaghfirullah al-'adhiim ...." Suara pak penghulu diikuti orang-orang yang turut hadir di dalam pernikahan itu.
"Ikuti saya ...." Pak penghulu membaca kedua kalimat syahadat yang diikuti Raka dengan khusyuk dan fasih. "Silahkan!" Bapak penghulu menyerahkan perwalian kepada papahnya Shanum.
"Saudara Raka Adiputra bin Bapak Raden Saputra. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya Shanum Haniyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan seperangkat perhiasan, dibayar tunai!" Tangan pak Hanan menghentak tangan Raka memintanya mengucapkan kalimat qabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Shanum Haniyah binti Bapak Hanan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Satu kali tarikan napas, satu hentakan tangan, Raka dengan lancar mengucapkan kalimat tersebut.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Sah!"
"Baarakallaah lahumaa wa baaraka 'alaikumaa wa jama'a bainakumaa fii Khoir." Lantunan doa kebaikan untuk kedua mempelai disambut kata aamiin oleh semua orang yang menyaksikan.
Ada banyak orang yang mendokumentasikan momen tersebut dan mempostingnya di medis sosial mereka. Seketika video dengan caption, 'sahabat rela menjadi pengantin pengganti', tersebar cukup cepat.
Pesta pernikahan pun berlangsung dengan canggung. Raka dan Shanum duduk berjauhan, rasanya berbeda. Jika setiap hari terkadang mereka seperti kucing dan tikus, kali ini terlihat kalem.
"Biasanya kayak tom and Jerry. Kenapa sekarang kalem gini?" goda teman Shanum yang merasa terharu dengan pengorbanan gadis itu.
"Udah, deh, Li. Nggak usah godain, aku udah canggung begini. Baru tadi tonjok-tonjokan, sekarang malah jadi suami," ucap Shanum menyembunyikan kegugupannya.
"Emangnya kamu aja yang canggung. Aku juga kali. Lagian kamu kenapa coba mau-maunya gantiin si Shila?" Raka bersungut-sungut, tapi di dalam hati bersyukur karena pengorbanan gadis itu, keluarganya terhindar dari rasa malu.
"Ya elah, Ka. Aku mana tega lihat tante nangis kayak tadi. Kamu nggak lihat, sih. Sedih tahu," sungut Shanum hingga tanpa sadar air matanya jatuh. Ia terisak, bukan menangisi Leni, tapi menangisi dirinya sendiri yang tak dapat menolak takdir.
"Eh, Sha! Kamu nangis?" pekik Lia sembari berhambur memeluk Shanum. Gadis itu menelusupkan wajahnya di dada Lia, menumpahkan kesedihan.
Raka serba salah, ia menggigit bibir bingung. Bila sebelum-sebelumnya dia akan menghibur gadis itu ketika menangis, kali ini dia tak dapat melakukan apapun selain merutuki dirinya sendiri.
"Maafin aku, Sha. Udah, jangan nangis. Kamu pasti sedih karena harus nerima pernikahan ini. Aku minta maaf, Sha," ucap Raka sembari meraih tangan Shanum.
Eh? Kenapa rasanya berbeda? Tidak seperti sentuhan seorang Raka. Laki-laki itu tahu seperti apa kesedihan Shanum, ia menggenggam tangannya dengan lembut, tapi tak berani melakukan lebih.
Shanum menjauhkan tubuhnya, Lia segera beranjak dan turun dari pelaminan. Gadis itu menoleh pada sahabat yang sekejap mata menjadi suaminya.
"Udah, jangan diremas-remas tangan aku." Shanum terlihat merona dan entah mengapa Raka menyukainya. Tunggu, bukankah dia memang selalu menyukai rona merah itu? Lupa?
Raka menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. Malu, tapi mau. Jika dulu, Shanum bahkan sering bersandar di pundaknya, tapi tak secanggung saat ini.
Dunia berubah seketika, ya Allah.
Raka menggaruk kepalanya yang tak gatal, berpaling muka dari mempelai wanitanya. Shanum menghela napas, mencoba untuk ramah pada tamu undangan yang datang memberi doa restu.
"Selamat, ya. Mudah-mudahan pernikahan kalian dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan. Aamiin."
"Aamiin. Makasih, Bu." Shanum dan Raka sama-sama tersenyum, meski kecanggungan masih begitu kental di hati mereka.
"Oh, pantes aja Shila nggak dateng ke acara pernikahannya sendiri. Ternyata kamu mau ngegantiin tempatnya. Curang. Ini yang disebut pagar makan tanaman."
Sebuah suara mendengung dengan sengit.
"Oh, pantes aja Shila nggak dateng ke acara pernikahannya sendiri. Ternyata kamu mau ngegantiin tempatnya. Curang. Ini yang disebut pagar makan tanaman."
Seketika ketiga orang yang berada di panggung menoleh pada sumber suara sengit tersebut. Kedua alis Shanum saling bertemu, Raka ikut menatap tak senang, juga Lia yang memutar bola mata malas melihat tiga orang manusia angkuh berdiri di atas pelaminan.
"Perempuan nggak tahu diri, udah tahu Raka punya pacar masih aja suka nempel." Mereka kembali melontarkan hinaan.
Shanum berpaling sambil menghela napas, jengah dengan sikap mereka yang begitu arogan dan sok tahu.
"Kamu harus tahu, Raka. Gara-gara kamu lebih suka jalan sama dia, Shila jadi sering salah faham. Makanya sekarang juga dia nggak datang karena dia tahu sampai kapanpun kamu nggak akan bisa lepas dari perempuan ini!" tuding mereka tepat di dekat kepala Shanum.
Gadis itu melirik, mencebik kesal. Namun, enggan menyahut.
"Ini, nih. Yang aku nggak suka dari geng Shila. Mereka sok tahu, padahal nggak tahu apa-apa soal kejadiannya. Itu kenapa dari dulu aku ngelarang Raka buat jangan deket sama Shila. Inilah mereka ... ya begini ini. Tahu nggak masalahnya, asal jeplak aja mulut. Songong!" hardik Lia jengah.
Tak segan telunjuknya yang lurus menuding ke arah mereka bertiga. Orang-orang itu saling menatap satu sama lain, kemudian tertawa kecil mengejek.
"Eh, bilang aja kamu itu iri. Sebenarnya kalian berdua yang suka sama Raka, 'kan? Tapi malah Shila yang dapat." Mereka mencibirkan bibir.
"Asal kamu tahu, ya. Dia ini parasit di hubungan Raka sama Shila. Sahabat, sih, sahabat, tapi nggak terus-terusan nempel juga kali. Nggak sadar diri." Belum puas sepertinya mereka mencerca Shanum.
Gadis itu menghela napas, menunduk, menahan segala kekesalan yang membludak di hati.
"Eh, maksud kalian apa? Seenaknya kalo ngomong, ya!" Lia tidak terima dengan segala hinaan mereka.
"Udahlah, ngapain juga dengerin omongan mereka. Mereka itu nggak tahu apa-apa. Kalo kalian mau tahu, tanya aja tuh sama orangnya!" Shanum membuka suara, mulai terpancing untuk membela diri.
"Ngeles aja bisanya." Mereka mendelik jengah.
Raka yang mulai kesal, bangkit dari duduknya.
"Sorry! Kalo kalian datang cuma mau bikin onar, mending kalian pergi. Lagian hubungan aku sama Shila baik-baik aja sampai insiden hari ini terjadi. Shanum nggak pernah mengganggu hubungan kami. Udahlah, bilang sama dia jangan pernah menggangguku apalagi sampai mengganggu Shanum!" kecam Raka kesal, ia berdiri di hadapan Shanum menjadi tameng gadis itu.
Terenyuh hati Shanum, tak menyangka Raka akan melindungi harga dirinya. Dipandanginya punggung lelaki yang kini berstatus suami untuknya itu, sambil tersenyum tipis berbunga rasa hati.
"Kamu juga udah bohong sama Shila, Raka. Kamu bilang mas kawin yang kamu siapkan cuma seperangkat alat sholat, tapi sekarang malah seperangkat perhiasan. Kamu nggak sanggup ngabulin permintaan Shila, tapi kamu rela berkorban buat dia!" Mereka meradang.
Raka tersenyum sinis, sekarang dia tahu seperti apa calon istrinya itu. Beruntunglah Raka tidak jadi menikah dengannya.
"Apa aku perlu membeberkannya kepada kalian? Lagipula yang diminta Shila adalah hal yang nggak masuk akal. Aku bukan pengusaha besar, aku cuma punya toko kecil, tapi Shila seolah-olah memiliki calon suami seorang miliarder. Udahlah, pergi dari sini!" usir Raka jengah.
"Kamu akan nyesel, Raka. Shila pasti nggak akan tinggal diem!" ancam mereka.
Raka memicingkan mata, menantang dengan berani, "Coba aja kalo dia berani mengganggu!"
Ketiganya menggeram, berbalik setelah melayangkan tatapan tajam kepada Lia.
"Pergi kalian! Syuh ... syuh ... pergi yang jauh!" usir Lia menggerakkan tangannya mengusir mereka bertiga.
Raka berbalik, menilik wajah Shanum yang tersenyum merona ke arahnya. Ia terlihat baik-baik saja, tapi Raka tetap ingin bertanya.
"Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Alisnya bertaut, ketika Shanum menggelengkan kepala.
"Nggak apa-apa, kok. Aku nggak apa-apa. Lagian ngapain juga ngeladenin mereka, nggak ada gunanya." Shanum menghendikan bahu tak acuh. Benar-benar tidak peduli pada semua ancaman mereka.
Raka tersenyum lega, mendesah kemudian duduk di samping istrinya itu. Kecanggungan kembali terjadi, entah kenapa rasanya tidak lagi sama seperti saat mereka hanya sebatas sahabat saja.
Di dalam pesta, ketiga wanita tadi masih mengumpat kesal. Tak henti bibir mereka meracau tak karuan. Tanpa mereka tahu, dua pasang mata mengintip sejak obrolan tadi. Keduanya melangkah begitu posisi tiga teman Shila itu berada di jarak dekat.
"Saya tahu apa yang kalian lakukan itu cuma ingin membela teman kalian, tapi perlu kalian tahu dari pagi kami menunggu ... kami menunggu teman kalian itu untuk datang ke sini, tapi mana? Sampai sekarangpun dia nggak menunjukkan batang hidungnya. Ke mana? Apa dia lupa kalo hari ini adalah hari pernikahannya?" sengit Leni, ibunda Raka.
Ia kesal dan butuh tempat untuk melampiaskan amarah yang sejak pagi ditahannya. Secara kebetulan mereka muncul, dan membuat sedikit keributan.
"Apa maksud Tante? Shila itu ada di rumahnya. Emang dasar perempuan itu aja yang keganjenan sama anak Tante. Kalo nggak, nggak mungkin dia mau jadi pengganti Shila, 'kan?" Ucapan yang mereka lontarkan benar-benar menyulut kesabaran.
"Justru aku bersyukur anakku nggak jadi nikah sama dia. Shanum jauh lebih baik daripada teman kalian itu. Dari dulu aku selalu bilang sama Raka kalo dia itu bukan gadis baik-baik ... sekarang, mending kalian pergi. Di gedung ini ada satpam, aku bisa aja panggil mereka buat ngusir kalian!" Leni lebih memilih menahan emosinya.
Sementara Nia, ibunda Shanum yang datang bersamanya hanya diam sembari mengepalkan kedua tangan. Siapa yang terima anaknya direndahkan seperti itu. Bila tak ingat mereka berada di tengah pesta, sudah pasti ketiganya akan mereka buat berantakan.
Teman-teman Shila itu menatap keduanya bergantian sebelum melangkah dengan kaki dihentak ke lantai.
"Enak saja mau ngatain menantuku." Leni bersungut-sungut.
"Mereka nggak tahu siapa gadis yang mereka hina itu," sahut ibunda Shanum dengan mata yang memicing tajam.
Keduanya berbalik dan melakukan tugas seperti biasa setelah memastikan ketiga orang itu itu lenyap ditelan pintu ruangan.
"Gila! Nggak ibunya nggak anaknya. Mereka benar-benar sombong!" cibir ketiga gadis itu sambil berjalan masuk ke dalam lift.
"Eh, apa Shila tahu kalo mas kawinnya perhiasan? Dia bilang, 'kan, Raka cuma nyiapin alat sholat aja." Mereka berpikir, sampai keluar dari lift dan masuk ke dalam mobil.
"Coba aku telpon Shila. Dia pasti lagi nangis sendirian."
Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel menghubungi Shila untuk mengkonfirmasi apa yang mereka ketahui.
"Shil! Shila! Kamu tahu nggak kalo Raka nikah sama Shanum?"
Suara mereka redam oleh sebuah lenguhan di seberang telepon sana. Deru napas yang memburu pun menjawab panggilan mereka, entah apa yang sedang dilakukan gadis di seberang telepon itu?
"Shila! Kamu nggak apa-apa, 'kan? Kamu ngapain?" tanya mereka dengan dahi berkerut heran.
"Argh ... aku nggak apa-apa. Ke-kenapa ka-kamu telpon?" Suara Shila terbata-bata, tapi tidak seperti seseorang yang sedang menangis.
Si Penelepon meringis bingung, mengakhiri panggilan.
"Udahlah, nanti kita ngobrol langsung aja!" Ia mematikan telpon.
"Kenapa Shila?"
"Nggak tahu. Dia kayak lagi ngelakuin sesuatu gitu, tapi aku nggak tahu apa." Mereka tak peduli, memilih pergi meninggalkan parkiran gedung di mana pesta Raka dan Shanum berlangsung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!