Happy reading....
Suara teriakan sepasang remaja yang tampak serasi disambut dengan sorakan para siswa yang akan melepas masa putih abu-abunya. Keduanya dengan senyum yang menawan terlihat bersemangat dengan acara yang dibawakan dari akhir dan sampai di puncak acara. Asya dan Putra saling bertukar tatap dan kembali tersenyum.
“Untuk acara selanjutnya, dipersilahkan kepada seluruh siswa kelas 12 untuk berkumpul dan membuat lingkaran besar di tengah lapangan basket,” ucap Asya penuh semangat.
“Ya, benar sekali. Kita akan mengabadikan momen terakhir dan menjadikan kenangan,” sambung Putra.
“Diharapkan pada tim dokumenter untuk membantu kakak kita semua.”
“Iya, sayang sekali, ya, Put, kalau make up-nya berantakan,” timpal Asya dari atas panggung.
“Aduh, tapi tanpa riasan wajah pun mereka masih cantik dan ganteng. Soalnya raut wajah kebahagiaan bikin aura keindahan muncul. Apalagi dengan gaun-gaun indah, beserta jas yang membalut tubuh.
Wah, pasangan serasi sekali,” racau Putra.
Keduanya tetap mengoceh, sebab masih ada yang memperhatikan wajah tampan dan cantik sepasang host yang ada di atas panggung. Pemandangan yang disayangkan jika harus dilewatkan. Bak raja dan ratu di sekolahan yang menjadi incaran siswa lain. Namun, sayang keduanya sulit untuk didapatkan.
Asya dan Putra berteman dekat sejak dinobatkan sebagai King and Queen di SMA-nya tahun lalu. Beberapa kali pun sering dijodohkan karena memiliki paras yang sinkron satu sama lain. Bahkan, sering dibilang visualnya SMA Jaya.
“Make up Asya luntur, gak?” tanyanya kepada Putra yang tengah meneguk air. Laki-laki itu menggelengkan kepala, tanpa balutan riasan pun Asya akan terlihat cantik.
Setelah mendapatkan respon dari temannya, Asya tersenyum lebar dan berlari ke arah gerbang masuk yang sudah dihias indah. Putra pun langsung menggelengkan kepala setelah melihat laki-laki yang dituju Asya.
“Pantes,” gumamnya.
“Jangan lari!” teriak Arshan. Dia pun melebarkan langkahnya menyusul Asya. Gadis itu malah memamerkan senyuman. “Dibilang jangan lari. Mana heels-nya tinggi banget,” dumalnya.
“Asya cantik, kan?”
Asya mengabaikan omelan laki-laki yang terbilang seumur dengan papanya. Namun, Arshan yang selalu menjaga penampilannya membuat dia tidak terlihat tua. Apalagi belum berkeluarga.
“Asya, saya lagi marahin kamu, loh.”
Asya pun mengerucutkan bibirnya dan menjauh dari Arshan. “Ih, ndak seru!”
Tidak kuat melihat Asya merajuk, Arshan menarik lengan gadis itu. “Mana lihat,” ucapnya dan menelusuri setiap sudut wajah Asya, lalu menganggukkan kepala. “Asya cantik bangeeet hari ini. Makanya Om ke sini,” sambungnya dan Asya kembali tersenyum.
“Gitu dong,” balasnya, tetapi selang beberapa detik dia kembali mengubah raut wajahnya. “Jangan sebut om, nanti Asya diketawain sama temen-temen.”
Kening Arshan seketika mengerut. “Kan, saya emang om kamu, Asya.”
Asya menggelengkan kepala. “Abang?” tanya Asya.
“Asya manggil Abang aja gimana?”
Arshan langsung menggelengkan kepala. Dia menganggap gadis mungil di depannya itu tak lebih dari seorang keponakan. Lagi pula, umur mereka berjarak sangat jauh.
“Atau sayang?” tanya Asya dengan enteng.
“He .…”
“Pacarmu, Sya?”
Seseorang muncul dari belakang Asya membuat Arshan mengusap wajahnya pelan. Baru saja berniat menyanggah tuduhan itu, Asya lebih dulu merespon. Namun, jawabannya di luar ekspektasi Arhan.
“Gak pacar, sih, tapi doain aja, ya?” Kening Arshan langsung mengerut, dia tak paham dengan kalimat Asya yang dilontarkan kepada temannya.
“Asya?” guman Arshan.
“Becanda, loh,” bisik Asya dan langsung membuat Arshan diam.
'Ya, sudah,' batin Arshan. Ia tidak dapat berbuat apa-apa jika berhubungan dengan Asya. Gadis itu sangat berharga dalam hidupnya, selain titipan dari mendiang sahabatnya. Asya pun anak dari laki-laki yang sudah ia anggap sebagai abang sendiri.
Happy reading....
Arshan sengaja membatalkan jadwalnya hari ini untuk melihat penampilan Asya. Meski bukan acara kelulusannya, tetapi penampilan Asya-lah yang sering terlihat. Sebab dia menjadi MC berama dengan sahabatnya.
"Gimana, Om, penampilan Asya?” tanyanya dengan penuh semangat saat masuk ke mobil Arshan.
“Iya, bagus banget, Sya. Sama seperti biasa dengan sikap ceriamu, jadi suasananya hidup banget.” Arshan mengusap kepala gadis itu dan tersenyum. “Good job, Girl,” pujinya dan Asya langsung tersipu malu.
Perlakuan Arshan selalu membuat hati Asya bergetar. Memang terlihat aneh, apalagi jarak usia mereka yang sangat jauh—20 tahun. Tidak dipungkiri juga jika ia menyukai Arshan. Suatu hal yang gila, Asya pun tak yakin akan hal itu. Namun, semakin hari dia merasa aman dan nyaman bersama Arshan.
“Antarnya ke kantor papa aja, ya, Om. Di rumah pasti gak ada siapa-siapa. Asya males sendiri.” Arshan menoleh sejenak sebelum melajukan mobilnya dari parkiran sekolah.
“Langsung pulang?” tanya Arshan, “Padahal saya mau ajak kamu makan dulu. Sayang banget penampilan kamu yang bagus hari ini gak diapresiasi,” jelasnya.
Binar mata Asya tak dapat disembunyikan. Tawaran yang tak akan ditolaknya apalagi menghabiskan waktu bersama Arshan. Setidaknya dia tidak akan merasa gabut di ruangan papanya seraya menunggu urusan Leon selesai.
“Om yang pamit sama papa?” tanya Asya sambil mengeluarkan ponselnya.
Arshan mengulurkan tangannya meminta benda pipih di tangan Asya. Dia yang akan menelepon Leon. Sebenarnya tidak masalah jika Asya bersama dengannya. Lagi pula, dari kecil Asya memang sering bersama dengan Arshan dari pada dengan papanya sendiri. Jadi, bukan masalah besar jika laki-laki itu membawa Asya.
“Ini gue, Bang,” ucap Arshan ketika sambungan telepon terhubung. “Gue ajak makan Asya, ya?”
“Udah selesai acara dia, Shan?''
“Udah, Bang,” jawabnya singkat dan menoleh kepada Asya. “Dia ngerengek dari tadi, katanya laper banget. Kalau nungguin lo, pasti lama.”
Asya langsung memperlihatkan raut wajah kesal. Padahal Arshan yang menawarkan untuk pergi makan, tetapi dia mejual namanya. Asya dibuat geram dan berniat berteriak kepada papanya. Namun, Arshan mendekat untuk menutup mulut Asya.
“Iya, ajakin main sekalian. Bentar lagi dia bakal banyak pusing, mau ujian kenaikan kelas, tuh, anak,” ucap Leon.
“Seharusnya lo yang ngajakin, Bang.” Terdengar kekehan dari seberang sana. Sedangkan Asya masih berusaha memberontak, tetapi kekuatan Arshan tidak dapat dia lawan membuatnya menyerah dan menunggu laki-laki itu menutup teleponnya.
Asya menatap tajam Arshan setelah menjauhkan tangannya dari mulut Asya. “Om gak seru!” rutuk Asya. “Masa aku yang dibilang, padahal Om yang ngajak,” sambungnya dan melipat tangan di depan dada.
“Biar dikasi izin,” balas Arshan seadanya dan menaruh ponsel Asya di pangkuan gadis itu.
“Sabuknya dipasang, Sya.”
Asya memilih bungkam, dia tak mengacuhkan apa yang dikatakan oleh Arshan. Sudah biasa dengan sikap remaja labil itu, Arshan menghela napas dan kembali mendekati Asya. Keduanya tidak saling berbicara, tetapi jarak mereka terlalu dekat. Asya menaikkan kepalanya saat Arshan menarik seat belt di sampingnya dan memasangkan pada Asya.
“Gak usah ngambekan gitu, jelek,” ucap Arshan sambil menarik hidung mungil Asya.
Perempuan yang masih menggunakan gaun putih itu terpaku sejenak. Hidungnya yang ditarik, tetapi hatinya malah merasakan getaran yang sangat hebat.
Asya beneran suka sama Om Arshan?
Ruangan perpustakaan yang selalu ramai diisi oleh siswa. Selain belajar ada juga yang datang untuk mencari ketenangan, seperti yang dilakukan oleh Asya dan Putra. Menurut mereka tempat yang tepat untuk beristirahat.
Setelah acara kelulusan kelas dua belas. Para siswa mulai disibukkan dengan persiapan ujian kenaikan kelas. Beberapa hal yang harus mereka siapakan, termasuk melengkapi tugas yang tertinggal. Berbeda dengan Asya, dia hanya merebahkan kepalanya dan memejamkannya. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
Toh, semua tergantung apa yang ada di dalam kepala.
“Sya,” panggil Putra yang tepat berada di hadapan Asya.
“Apa-an,” jawab Asya seadanya.
“Nanti pulang sekolah ke mana? Tempat papa atau Om Arshan?”
Asya mengangkat kepalanya dan meluruskan punggung. Sontak dia menguap tanpa menutup mulut, membuat Putra langsung menaruh buku yang jadi bantalannya pada mulut Asya.
“Kebiasaan,” gumam Putra dan temannya itu malah memamerkan senyumannya.
“Ke tempat Om Arshan aja. Gabut di tempat papa.”
Mata Putra menyipit, padahal Arshan lebih sibuk.
“Bilang aja mau modus,” timpal Putra yang sudah tahu dengan isi kepala temannya itu.
“Sstt … yang gak mau berjuang, diem,” timpal Asya dan bangkit dari tempat duduknya karena bel sudah berbunyi.
BERSAMBUNG.....
Happy reading....
Putra mendengkus kesal karena ucapan temannya itu. Dia bukannya tak mau berjuang seperti yang dikatakan Asya. Hanya saja belum waktu yang tepat dan dia belum berminat untuk hal yang berhubungan dengan perasaan.
Lagi pula, berteman dengan Asya sudah lebih dari cukup untuk sekarang, meski gadis itu memiliki selera yang aneh—menyukai om-om.
Satu kelas tidak asing jika melihat Asya tidur di kelas dan bangun saat guru menegurnya. Namun, nilainya tidak terlalu buruk. Bagaimana tidak, sepulang sekolah dia akan bersama dengan Arshan yang menuntutnya untuk belajar.
Belum lagi dengan kelas malam yang diberikan oleh papanya, membuatnya merasa lelah. Andai saja dia boleh berhenti sekolah formal ini, maka akan ia lakukan.
“Hari ini Om banyak kerjaan di bawah, jadi kamu di sini aja, ya,” ucap Arshan saat menghampiri Asya di ruangannya. “Jangan lupa belajar, bentar lagi ujian,” sambungnya.
Asya melemahkan punggungnya pada sofa berukuran besar itu dan merebahkan badannya. Meski di sekolah dia tak banyak belajar, tetapi dia ingin beristirahat sejenak.
“Kamu dengerin Om, kan?” tanya Arshan memastikan saat mengenakan baju kebanggaannya di rumah sakit.
“Om di mana? Di UGD?” Asya balik bertanya dan Arshan menganggukkan kepala.
Arshan menggantungkan stetoskop ke lehernya dan mengambil pena yang ada di atas meja. Dia memamerkan senyumnya dan mengusap kepala Asya sebelum keluar.
“Ahh!” pekik Asya, langkah Arshan pun terhenti dan menoleh ke belakang.
“Kamu kenapa?” tanya Arshan, dia terlihat panik dan memegang telapak tangan Asya. “Hm? Kenapa? Apa yang sakit?”
Asya menahan ekspresi wajahnya agar kebohongannya tidak terdeteksi. Dia tak ingin jauh-jauh dari Arshan karena tujuannya di rumah sakit untuk bersama laki-laki itu.
“Asya,” panggil Arshan lagi dan Asya menatapnya lekat. “Kamu kenapa?” tanyanya lagi.
Asya tidak tahu harus berkata apa. Tidak mungkin mengeluhkan sakit kepala lagi seperti kemarin atau mata yang tiba-tiba perih. Asya merasa nyaman dengan posisinya sekarang, apalagi berhadapan dengan Arshan.
Laki-laki itu menaikkan alisnya. Asya tak kunjung mengatakan keluhannya. Melihat keadaannya sekarang, dia terlihat sangat sehat. Apalagi Arshan memastikan kesehatan gadis itu, mulai dari vitamin dan pola makannya.
“Jangan bilang kamu belum makan?” Asya menggaruk kepalanya dan tersenyum. Dia tak bisa beralasan karena menikmati sorot mata Arshan. “Ck, kebiasaan,” decak laki-laki itu dan bangkit.
“Om pesanin makanan, nanti kamu ambil ke bawah, ya?”
Asya menganggukkan kepala, “Makannya sama Om!''
“Om tadi udah makan, sebelum kamu ke sini dan sekarang banyak yang harus Om periksa. Kamu makan sendiri aja, ya!”
“Asya makan gak lama kok. Temenin, ya!” pintanya dan Arshan menggelengkan kepala.
“Sekarang gak bisa. Kamu udah gede, loh. Masa gak bisa makan sendiri?''
Arshan bangkit dan kembali mengusap kepala Asya, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia sudah hafal makan kesukaan Asya, sehingga tak perlu menanyakan lagi apa keinginannya.
“Om lebihin burger king kesukaan kamu,” ucapnya dan berlalu dari hadapan Asya.
Asya hanya mengerucutkan bibirnya. Dia sempat menahan jas panjang Arshan, tetapi tidak ia tahan dan melepaskannya begitu saja. Asya merasa hampa di ruangan yang selalu membuatnya nyaman. Ia bahkan tidak keberatan bermalaman di sana, tetapi bersama dengan Arshan.
Gadis yang masih mengenakan seragam SMA itu bangun dari tidurnya. Setidaknya hari ini dia tak belajar karena tidak ada Arshan yang memantaunya. Asya mengeluarkan ponselnya, melihat postingan terbaru idol kesayangannya. Baru saja menekan aplikasi Instagram profil Arshan muncul paling atas. Sontak kening Asya mengerut.
Asya membuka postingan dan ternyata itu replay-an postingan teman Arshan yang menandainya. Namun, tetap saja membuat ia merasa kesal karena beberapa perawat perempuan yang menempel dengan Arshan.
“Apa-an. Genit banget,” dumal Asya. “Emang kalian gak punya pacar? Kenapa harus nempel gitu sama Om Arshan. Ih!” rutuknya dan melempar ponsel itu ke arah lain.
Asya tidak suka melihat Arshan dekat dengan perempuan lain selain dirinya. Sejak kecil Arshan hanya miliknya. Bahkan Leon pun mengakui hal itu.
Memiliki sebuah perasaan tidak bisa dikendalikan.
Termasuk Asya yang tidak dapat mengendalikan rasanya kepada Arshan. Dia jatuh hati bukan sebagai om dan keponakannya. Meski hubungan mereka terlihat seperti itu.
Banyak waktu yang mereka habiskan bersamaan. Bahkan, semenjak Asya lahir ke bumi ini tanpa seorang ibu dan dia dibesarkan oleh papa dan sahabat papanya. Namun, Arshan yang berperan besar. Hingga ke bangku sekolah pun, Arshan yang selalu ada untuknya karena Leon sibuk dengan pekerjaan.
Leon melakukan bukan tanpa alasan. Dia bekerja keras untuk menghidupi anaknya dan membantu biaya hidup Arshan. Oleh karena itu Arshan merasa Asya pun menjadi tanggung jawabnya, hingga sekarang. Dia memperlakukan Asya layaknya adik dan terkadang seorang anak. Namun sayangnya, Asya salah memahami.
Masa pubertas yang sedang gila-gilanya sudah menghampiri Asya. Dia membutuhkan laki-laki yang menyayanginya sebagai pasangan dan menjadikan miliknya. Meski banyak yang menjodohkannya dengan Putra—sahabatnya, tetapi hatinya memilih Arshan.
Beberapa kali Asya ingin mengungkapkan perasaan kepada Arshan. Sebelum laki-laki itu direbut oleh perempuan genit di luar sana. Dia pun tidak terima jika Leon menjodohkan Arshan dengan kenalannya di kantor dan untungnya laki-laki itu selalu menolaknya.
Sikap Arshan yang seperti itu membuat Asya merasa dia menyukai dirinya juga, tetapi tidak berani mengungkapkannya. Gadis itu pun berniat mengungakapkan lebih awal, sebab dia percaya jika Arshan menyukai juga. Bisa dilihat dari perlakukannya kepada Asya.
“Om Arshan, Asya suka sama, Om. Jadi pacar Asya, ya?”
BERSAMBUNG.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!