NovelToon NovelToon

Kompleks Janda

01. Perdebatan Para Janda

Sanjaya Putra, seorang pemuda berparas tampan. Hidung mancung bak orang luar, rahang tegas, bola mata hitam lekat, alis tebal terukir rapih, rambut hitam dan halus, postur tubuh tinggi tegap, kulit putih bersih. Benar-benar cocok untuk menjadi model. Namun sayangnya, Putra hanya seorang pemuda Desa, baru saja menginjakkan kedua kakinya di kota besar.

Meninggalnya kedua orang tua Putra di Desa, serta banyaknya hutang almarhum keduanya, membuat Putra memutuskan untuk menjual rumah peninggalan mendiang kedua orang tuanya di Desa. Sebagian uang hasil penjualan rumah di bayar untuk melunasi hutang-hutang, sebagian sisa uangnya untuk bekal Putra mencari pekerjaan di kota besar.

🍃🍃🍃🍃

Sesampainya di terminal Kota besar.

Tidak tahu harus kemana, Putra memutuskan untuk duduk sejenak di bangku terminal, mencari kontrakan untuk ia berteduh di akun sosial media miliknya. 30 menit sudah ia mencari kontrakan di sosial media, akhirnya ia mendapatkan satu kontrakan berada di komplek perumahan mewah. Awalnya ia tak yakin kontrakan itu murah, setelah dirinya berdiri di depan sebuah rumah sederhana, bersama seorang wanita lebih tua darinya barulah ia yakin dengan harga murah kontrakan itu.

“Apa ibu tidak salah menyewakan rumah sebagus ini hanya 7 juta dalam 1 tahun?” tanya Putra sedikit ragu.

“Tentu saja aku yakin. Kenapa, kau tak mau tinggal di sini? Di sini tempat berkumpulnya para janda elit, loh!” sahut ibu pemilik kontrakan.

“Janda?! Ma-mau, ta-tapi sekeliling rumahku adalah rumah elite. Dan…” ucapan Putra terhenti saat ibu pemilik kontrakan menepuk bahunya.

“Jangan banyak kali cakapmu. Lagian nggak rugi juga kau tinggal di komplek elite ini. Rata-rata tetangganya baik kok, hanya orang-orang bodoh aja yang nggak mau betah tinggal di sini. Sudah aku kasih murah, malah aku pula yang di marahi."

Sebut saja Mama Inces. Dirinya tak ingin kehilangan kembali penyewa kayak sebelum-sebelumnya, jadi dengan berbagai cara ia terus merayu Putra agar mau memilih kontrakan miliknya.

Penasaran kenapa penyewa sebelumnya memarahi pemilik kontrakan dan tidak mau menyewa rumah milik Mama Inces yang bisa di bilang cukup bagus dari rumah kontrakan lainnya.

"Ka-kalau boleh tahu, kenapa Ibu cekcok dengan penyewa sebelumnya?" tanya Putra ragu-ragu.

“Ah, pokoknya tidak ada apa-apa. Sudahlah, mana uangnya?”

Mama Inces mengulurkan tangannya, mendesak Putra memberikan uang kontrakan rumah sewa miliknya. Di tengah perdebatan mereka, rumah-rumah elit yang dihuni para janda terdengar ramai dengan berbagai macam kegiatan. Bagaimana tidak, kedatangan pemuda tampan di sana ternyata mengusik seluruh tubuh janda sehingga membuat mereka berkumpul di masing-masing teras, dan halaman rumah mereka.

Putra yang masih belum percaya dengan ucapan Mama Inces, mengulurkan tangan kanannya, meminta kunci rumah kontrakan lebih dulu daripada memberikan uang sewa

“Kuncinya mana dulu, Bu?"

“Iiis dah. Takut kali lah, kau anak muda. Nah, nah!"

Mama Inces mengambil kunci rumah dari tas selempang miliknya, memberikan kunci rumah ke tangan Putra yang terulur. Setelah mendapatkan kunci rumah kontrakan, Putra mengambil uang dalam tas ranselnya, menghitung jumlah uang sewa sambil mengoceh.

“Tentu saja aku takut. Mentang-mentang aku masih muda, nanti Ibu pikir aku bisa nipu pula."

"Sudahlah, tak usah pala kau hitung-hitung uang itu. Uda pas nya itu!"

Mama Inces merampas uang dari tangan Putra, menghitung cepat menggunakan air ludah miliknya. Selesai menghitung uang sewa rumah, ia melenggang pergi menuju sepeda motor matic miliknya, dan pergi begitu saja sambil tertawa senang.

“Ck, dasar wanita tua!”

Putra mengalihkan pandangannya ke rumah tetangga yang berjejer dan saling berhadapan. Fokus pandangan Putra terhenti pada satu rumah, tepat di depan rumahnya, ada wanita muda dengan tubuh bohay yang menyapu teras rumah. Sesekali wanita muda itu menunduk sehingga 2 gunung kenyal itu terlihat memantul.

“Makjang. Baru aja tiba di sini, sudah ada pemandangan bagus aja."

Putra menyeringai senang melihat pemandangan begitu bagus yang sulit di dapatkan di Desa. Ia sempat berpikir jika masa pubernya akan hilang begitu saja setelah ia pergi ke kota. Tapi kenyataan sama pikirannya kini berbanding terbalik.

"Eh! Apa-apaan pikiranku ini? Sadar diri kau, Putra, kau masih bocah.” Lanjut Putra keluar dari pikiran mesumnya. Ia memilih untuk berbalik badan. “Daripada nanti ada yang terbangun dan minta di cas, lebih baik aku masuk aja lah. Beberes rumah dulu, baru aku lanjut mencari pekerjaan di sosial media."

Begitu terdengar suara "ceklek" dari pintu rumah kontrakan Putra. 10 wanita cantik dengan masing-masing postur tubuh cukup memikat, berdiri di masing-masing depan rumah mereka, menatap rumah Putra yang terkunci.

“Jeng, bukannya tetangga baru kita itu brondong?” tanya wanita memakai baju daster sobek, rambut berwarna merah di jepit ke atas. Sebut aja, Rihana

“Tau aja kau ini kalau lelaki itu brondong. Jika aku pikir-pikir lumayan juga untuk penyegar mata kita di sini,” sambung wanita dengan lipstick merah menyala, sebut saja Juliana.

“Aaaahhh, seperti ada yang berdenyut saat aku terus menatap otot di kedua lengan kekarnya,” cetus seorang wanita memakai dress tipis dan ketat, sebut saja Maya.

Serentak pandangan wanita-wanita itu mengarah ke Maya yang terlihat sedang birahi.

“Apanya yang berdenyut?” tanya Rihana sinis.

“Anu…itu yang berada di bawah perut,” sahut Maya sambil menjepit-jepit kedua kakinya.

“GATEL!” sorak wanita di sana serentak, Maya menutup kedua kupingnya.

“Nggak usah munafik deh, kalian semua. Bilang aja kalau kalian juga butuh kehangatan dari sosok pria seperti tetangga baru kita!” cetus Maya meninggikan nada suaranya.

Maya merasa terpojok, ia pun tak mau kalah cekcok dengan para wanita lainnya. Sehingga keributan antar janda di komplek itu terdengar sampai ke telinga Putra. Penasaran apa yang terjadi di depan rumahnya, Putra pun keluar, mendekati para wanita sedang berdebat.

"A-ada apa ini, ibu, dan kakak?"

Suara serak terdengar gagah milik Putra membuat para wanita terdiam. Bukan hanya tampan, suara serak Putra benar-benar menggemparkan para wanita sampai wajah mereka merona. Bahkan beberapa dari mereka mendadak salah tingkah saat melihat ketampanan putra secara langsung. Jantung wanita-wanita itu juga semakin berdetak kencang saat tak sengaja melihat resleting celana putra tak terkancing, dan membuat para wanita terus memandang lurus ke bawah.

‘Masih bersembunyi saja sudah terlihat gagah. Apalagi kalau burung itu terbang keluar,’ batin Maya, air liur tak terasa menetes keluar.

‘Ayo dong. Keluar, keluar dikit aja, aku ingin melihat seberapa besar dan panjangnya,’ batin Rihana.

‘Cilukba, cilukba, cilukba. Aduh, aduh, kenapa nggak nongol-nongol, sih!’ gerutu Juliana.

Tidak tahan dengan pikiran mereka masing-masing, Maya, Rihana, Juliana, dan 6 wanita lainnya berlari menuju rumah masing-masing sembari berteriak kencang. Tinggallah di sana wanita cantik yang tinggal di depan rumah Putra. Sebut saja namanya, Imelda. Imelda terus menunduk dengan kedua pipi merona seperti buah tomat.

“Maaf, Ibu kenapa terus menunduk, ya?” tanya Putra penasaran.

“Anu…itu resleting kamu tidak terkancing!”

Ceplos Imelda dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. Bagaimana tidak, sebab Putra berdiri sangat dekat dengannya. Apalagi pandangannya itu tidak mau teralihkan ke mana pun.

“Maaf, tadi aku baru saja pipis. Mendengar keributan di luar aku jadi spontan keluar," ucap Putra sembari tertawa.

Karena malu ketahuan resleting tak terkancing. Putra berpura-pura bertanya kepada Imelda tentang tetangga di komplek rumah.

"Oh ya, kenapa di sini hanya ada para wanita? Suami nya pada ke mana semua, ya?”

“Di sini adalah komplek para janda. Jadi wajar saja tidak menemukan seorang pria di sini,” sahut Imelda.

‘Iya, sebenarnya aku sudah tahu. Aku pura-pura bertanya karena kalah malu aja!' batin Putra.

“Namaku, Imelda Sarvati."

Imelda memperkenalkan dirinya terlebih dahulu agar ia bisa tahu nama Putra, dan perbincangan mereka biar sedikit lebih panjang. Putra pun membalas pertanyaan Imelda, memperkenalkan dirinya.

“Sanjaya Putra, panggil aja Putra."

“Sepertinya kamu masih muda. Apa kamu sudah bekerja?” tanya Imelda ramah.

“Umurku baru 18 tahun, baru saja tamat sekolah beberapa bulan lalu,” sahut Putra santai.

“Haaa!! De-delapan belas tahun?!"

Imelda syok ketika mendengar Putra baru memasuki umur 18 tahun. Memiliki postur tubuh tinggi, badan sixpack, dan suara serak begitu jantan tidak menampakkan jika Putra anak lelaki yang baru saja besar.

“Iya, kenapa? Apa karena wajah ku tampak dewasa?”

“Ti-tidak," sahut Imelda cepat.

Antara kasihan dan tertarik dengan Putra. Imelda mencoba menawarkan pekerjaan kepada Putra. Meski dirinya harus siap mendengar sebuah penolakan.

"Ka-karena kamu baru saja tamat sekolah, gimana kalau kamu kerja di perusahaan ku saja."

“Serius?” tanya Putra spontan.

“Kebetulan Perusahaan ku membutuhkan satu tenaga lagi. Kalau kamu tertarik, datang saja ke rumah ku nanti malam," ucap Imelda tenang.

“Baik, Bu!" sahut Putra senang.

Putra benar-benar senang. Betapa tidak, baru saja pergi ke kota besar, dan bingung untuk mencari pekerjaan yang pas. Eh, ada wanita cantik menawarkan sebuah pekerjaan. Namun, tidak dengan Imelda, dahinya mengernyit menatap wajah girang Putra.

“Ke-kenapa harus di panggil ibu?”

Ternyata kalimat "ibu" yang membaut Imelda mengernyitkan dahi. Putra yang sedari tadi tertawa dan tersenyum karena senang telah mendapatkan pekerjaan, jadi terdiam. Wajahnya terlihat serius menatap wajah datar Imelda.

“Bukannya Anda lebih tua dari ku," sahut Putra.

“Iya-ia. Tapi jangan panggil Ibu juga, panggil saja Imelda biar akrab,” ucap Imelda di sela tawa kecilnya.

“Oh! Baik kalau begitu."

Di saat Imelda dan Putra saling berbincang hangat, para janda mengintip dari balik jendela mereka. Masing-masing wajah terlihat tak suka kepada Imelda.

.

.

Bersambung

02. Perdebatan Bapak-bapak

Pukul 19:45 malam.

Beduk adzan isya berkumandang, Putra sudah terbiasa melaksanakan ibadah sholat dengan tepat waktu, kedua kakinya buru-buru melangkah menuju masjid berada di depan gang kompleks.

Selesai mengambil air wudhu, Putra memilih shaf paling depan. Shaf tadinya kosong perlahan terisi, begitu juga shaf wanita mendadak penuh sampai ke teras masjid. Semua keanehan janggal itu membuat semua mata bergidik ngeri.

Apa-apaan ini? Apakah dunia akan segera kiamat, mengingat banyak wanita tiba-tiba sholat di masjid ini. Ucapan itulah yang terpikir oleh pengurus masjid dan bapak-bapak dari luar kompleks tak pernah melihat wanita di kompleks tempat Putra tinggal itu sholat ke masjid.

Selesai sholat isya, Putra memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, sebab ia sudah janji akan menemui Imelda, ingin menanyakan pekerjaan.

Baru saja ia selesai memakai sandal, dan ingin melangkah meninggalkan teras masjid, Putra sudah di keliling Riana, Maya, dan janda kompleks lainnya dengan seuntai senyum di bibir mereka berwarna-warni.

“Sholat juga?” tanya Maya berbasa-basi.

“I-iya, i-ibu-ibu juga sholat di sini?” Putra balik bertanya dengan gugup karena ia sedikit ngeri melihat senyuman para wanita di hadapannya itu.

“Oh, te-tentu,” sahut para wanita dengan serentak di selingi tawa.

“Kalau gitu, aku pamit duluan ya, bu,” pamit Putra mulai melangkah.

“Eh, tunggu. Kita bareng saja,” panggil Maya dan wanita lainnya sembari berlari kecil mengikuti Putra.

“Mari,” ajak Putra tanpa penolakan.

Melihat Putra dikerumuni janda-janda kaya raya, dan cantik-cantik, bapak-bapak dan anak muda melihatnya langsung mengumpat, ada juga menggigit peci miliknya sembari menatap kepergian Putra dan para janda

“Uhh…siapa sih, bocah itu?” keluh bapak dengan kepala botak.

“Ganggu aja itu bocah. Mana dia menang banyak dari kita di sini yang menunggu hal seperti itu,” sambung bapak lainnya.

“Sepertinya dia pemuda yang mengontrak di tempat Mama Inces,” sambung lainnya.

“Kita harus mengusir pemuda itu dari dalam kompleks janda-janda kita. Harus!” tegas bapak lainnya dengan semangat.

Saking semangat bapak-bapak dan pemuda di sana, sampai-sampai mereka tidak tahu jika para istri mereka sudah mendengus bagai banteng di belakang.

“BAPAK, ABANG, AYAH!” teriak para istri membuat bapak-bapak menoleh dengan ketakutan.

“I-ibu,” ucap bapak kepala botak.

“Dek, sudah lama?” tanya bapak rambut gondrong.

“Sudah! Oh..jadi abang dan lainnya sedang membicarakan para janda di kompleks sebelah?” tanya istrinya itu sembari menjewer daun telinga suaminya.

“Bu-bukan…”

“Alah, jangan banyak alasan kelen semua. Kalian pikir kalian aja yang bisa melirik ke janda-janda kompleks itu. Kami juga bisa, ada pemuda tampan seperti artis di sana. Jadi jangan macam-macam mata kelen!” ancam para istri dengan serentak.

“Ja-jangan dek, Ma, bu. Kami juga para suami tidak kalah tampannya dari bocah tadi,” ucap bapak-bapak ketakutan dengan serentak.

Perdebatan suami-istri itu masih berlangsung dengan panjang. Sementara itu di kompleks para janda berada. Putra masih di kelilingi para wanita-wanita pejuang hebat, untung saja Imelda segera keluar, memanggil Putra untuk masuk ke rumahnya.

Sementara itu para janda hanya bisa mendengus kesal melihat Imelda membawa mangsa mereka masuk ke dalam rumah, berduaan pula itu.

“Terimakasih ya bu, telah menolong ku,” terimakasih Putra setelah masuk ke dalam rumah Imelda.

“Biasa aja. Aku mau kasih tahu kamu, kalau tinggal di sini memang akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Bukan karena semua janda itu genit. Tapi memang janda di komplek ini agak lain, maklum saja mungkin efek mereka yang lelah banting tulang mencari uang demi membesarkan dan menyekolahkan anak-anak mereka,” jelas Imelda sembari berjalan menuju ruang tamu diikuti Putra.

“Iya, aku juga tidak keberatan kok,” sahut Putra sembari tersenyum manis, membuat jantung Imelda berdegup kencang.

‘Pingin menjamahnya, melahap dan…ukh! Pasti rasanya manis, manis sekali!’ teriak histeris Imelda dalam hati.

Imelda memang terlihat tenang, pemalu dan baik. Tapi di balik sikap itu semua, Imelda menyembunyikan sikap aslinya, tomboy, memiliki nafsu tinggi. Namun, walaupun kriteria buruk itu di miliki Imelda, ia tetaplah seorang janda mampu menahan hasratnya.

“Bu, bu,” panggil Putra melambaikan tangannya, membuyarkan lamunan Imelda.

“Jangan pakek pengaman ya,” ceplos Imelda terbawa suasana pikirannya.

“Pengaman?” tanya Putra bingung.

Wajah Imelda langsung berubah seperti kepiting rebus, ia segera pamit ke dapur untuk mengambilkan minum untuk Putra.

Setelah di dapur, Imelda terus mengumpat kesal dengan dirinya sendiri.

“Bodoh, bodoh! Kenapa kamu terbawa suasana Imelda, ayo lah, tahan dirimu agar tidak berpikir jorok. Kamu harus ingat jika Putra itu adalah anak yang masih polos dan di bawah umur. Tahan, tahan,” gumam Imelda kesal akan dirinya sendiri.

Di ruang tamu.

Sambil menunggu Imelda mengambil minuman untuknya, Putra memutuskan untuk berkeliling ruang tamu, melihat-lihat gambar foto milik Imelda terpajang di sana.

Langkah kaki Putra terhenti di depan bingkai foto besar menempel di dinding ruang tamu, dahinya mengernyit menatap gambar seorang wanita bersama dengan pria berusia 55 tahun sedang duduk di kursi roda, wajahnya juga terlihat sakit-sakitan.

Pandangan Putra teralihkan saat mendengar suara Imelda tepat di sisi kirinya.

“Dia itu adalah Papaku, lelaki terhebat yang ada di muka bumi ini,” jelas Imelda tiba-tiba.

“Oh, aku kira suami ibu,” cetus Putra santai.

“Kejam sekali ucapanmu. Aku dan suamiku sudah lama pisah, dan mana mungkin juga aku mau memajang foto lelaki tak berguna itu di rumahku ini,” ucap Imelda serius.

“Oh!”

“Hanya ‘Oh’ aja, tidak ada pertanyaan lainnya untukku? Apa kamu tidak penasaran kenapa aku bisa berpisah dengan suamiku?”

“Tidak, itu bukan urusan ku!” sahut Putra tegas, ia pun kembali melangkah menuju sofa ruang tamu.

Bukannya marah karena sikap dingin Putra padanya, jantung Imelda malah semakin berdegup kencang. Kedua pipinya terus merona-rona, membuat Putra melihat wajah itu semakin bergidik ngeri.

‘Kenapa dengan ibu ini, ya? Apa dia sedang demam, atau kesurupan?’ batin Putra bertanya-tanya.

Penasaran kenapa wajah Imelda terus memerah seperti itu, Putra pun bangkit dari duduknya mendekati Imelda. Punggung tangan Putra perlahan mendekati dani Imelda saat dirinya sudah berdiri di hadapan Imelda.

Deg deg deg

‘A-ap-apaan ini, apakah Putra akan menciumku. Atau…atau…’

“Nggak demamnya, tapi kenapa wajah Ibu terlihat merona seperti itu?” tanya Putra menghentikan degupan jantung Imelda.

“Ehem, kamu pikir aku sakit?” tanya Imelda mencoba tegas. Meski hatinya saat ini tengah meronta-ronta untuk di dekati Putra.

“Syukurlah kalau tidak sakit. Oh ya, gimana soal pekerjaan yang ibu tawarkan tadi siang?” tanya Putra kembali ke topik pembahasan.

“Oh, iya ada. Tapi apa kamu mau menjadi sekretaris pribadiku?” sahut Imelda balik bertanya.

“Sekretaris! Bukanya posisi itu hanya akan di dapatkan oleh orang-orang yang tamat di bidang tertentu, dan juga memiliki IQ tinggi?” cetus Putra.

“Sekretarisku sedang hamil besar, ia pun sudah berhenti bekerja karena ingin fokus menjaga anaknya. Kalau soal tentang ke pintaran dan lain sebagainya, itu urusan belakangan. Yang terpenting bagiku saat ini gimana dengan kamu, mau atau tidak bekerja denganku?”

“Mau, aku mau. Bekerja apa saja aku pun mau asal mendapatkan uang halal,” sahut Putra dengan cepat.

.

.

Bersambung

03. Sorakan Wanita Setengah Tua

Keesokan paginya, pukul 07:30 pagi. Putra berdiri dengan pakaian rapih di depan gerbang rumah Imelda, berhubung tak memiliki kendaraan dan tak tahu arah jalan menuju perusahaan milik Imelda, Imelda menawarkan jasa selama 1 bulan untuk pergi bareng dirinya.

Melihat Putra terus menunggu, Maya hendak menuju kantornya menghampiri Putra.

“Mau kemana dek?” tanya Maya menghentikan laju mobilnya di samping Putra.

“Mau kerja, bu,” sahut Putra ramah.

“Oh, sudah dapat pekerjaan. Aku kira belum, kalau belum dapat rencananya aku ingin menyuruh adek kerja menjadi supir pribadiku,” ucap Maya di selingi tawa candaan.

“Saat ini aku kerja di perusahaan milik Bu Imelda,” sahut Putra menjelaskan tempat ia bekerja.

“Eh, tempat janda kuat itu? iiiss, hati-hatilah kau dek kerja sama dia. Dia itu adalah janda yang memiliki nafsu tinggi. Kau tahu, dia itu pisah sama lakik nya gara-gara dia itu hiperseks. Awas kau, nanti di gas nya pula!” fitnah Maya jujur.

“Oh, terimakasih atas perhatian Ibu. Mulai sekarang aku akan hati-hati,” sahut Putra dengan santainya tanpa memikirkan hal buruk akan terjadi padanya.

Tak lama pintu gerbang terbuka, terlihat Imelda berdiri dengan pakaian rapih.

“Aku dengar ucapan kamu loh jeng,” cetus Imelda tak suka.

“Ya, terus kenapa? Emang iya ‘kan kamu pisah gara-gara kamu itu hiperseks. Aku cuman mau kasih tahu sama brondong ini aja biar dia tidak di perkosa olehmu!” jelas Maya tak tanggung-tanggung.

Imelda terdiam, wajah memerah menahan malu.

“A-aku tahu batasan kok jeng. Lagian Putra ini masih kecil,” sahut Imelda pelan.

“Ih…umurnya yang kecil, kamu lihat postur tubuhnya. Uauw! Aku saja memikirkan hal itu bisa panas dingin sendiri, apa lagi kamu yang akan selalu bersama. Bisa-bisa kamu…” ucapan Maya terputus saat Putra mulai merasa risih mendengar percakapan dewasa itu.

“Mohon maaf bu, aku yakin kalau bu Imelda tidak akan melakukan hal itu kepadaku. Waktu juga terus berjalan saat ini, sebaiknya kita sudahi saja percakapan ini. Sampai jumpa nanti sore,” sela Putra datar mengakhiri perdebatan.

“Ya ampun, sudah gagah, tampan, tutur katanya lemah lembut lagi. Baiklah brondong kekar yang tampan. Aku akan pergi ke kantor, pulang nanti aku akan belikan oleh-oleh untuk kamu. Daaa!”

“Hem,” angguk Putra membuat Maya berdebar.

Maya pun melajukan mobilnya menuju kantor miliknya.

“Maaf ya, pagi-pagi sudah mendapatkan aib tentangku. Apa kamu masih tetap ingin bekerja di perusahaan ku?” tanya Imelda ingin mengetahui keyakinan Putra setelah mendengar aibnya di bongkar oleh Maya.

“Ibu tenang aja, aku tidak masalah kok dengan masa lalu ibu. Yang terpenting bagiku sekarang adalah bekerja di tempat yang halal agar aku bisa lebih mandiri dan membeli rumah di sini,” sahut Putra membuat hati Imelda tenang.

“Amin. Aku yakin tujuan kamu pasti akan segera terwujud,” amin Imelda untuk Putra.

“Amin, terimakasih atas doanya, bu,” sahut Putra ikut mengaminkan.

“Eih, jangan panggil aku ibu dong, panggil saja Imel atau Imelda,” protes Imelda merasa dirinya tua jika di panggil Ibu oleh Putra.

“Tapi…”

“Sekarang aku ini atasan kamu, loh. Mau membantah?” ancam Imelda sembari melotot.

“Iya deh, maafkan aku bu…eh, Imelda,” ucap Putra patuh.

“Sudah waktunya kita berangkat. Mari masuk,” ajak Imelda sambil membuka pintu mobil penumpang bagian kursi kemudi untuk Putra.

“Gimana kalau aku saja yang bawa mobil,” usul Putra sopan.

“Emang kamu bisa?” tanya Imelda tak percaya.

“Bisa, dulu aku di Desa suka membawa jetor, dan mobil pick up untuk mengantarkan bahan panen ke pasar,” sahut Putra menjelaskan singkat.

“Hem, baiklah. Kalau gitu aku tidak perlu capek-capek lagi menyetir. Gimana kalau kamu sekalian jadi supir pribadiku. Tentang gaji kamu tenang saja, bakal aku tambahi kok,” tawar Imelda.

“Serius? Aku mau!” angguk Putra senang mendapatkan double job.

“Kalau gitu mari kita jalan sebelum kemacetan yang memusingkan di kota Medan akan membuat emosi kita naik turun,” ajak Imelda sambil melangkah masuk ke dalam mobil.

Dengan hati-hati Putra mulai melajukan mobil menuju perusahaan milik Imelda. Perusahaan milik Imelda bukanlah Perusahaan besar, ia hanya memiliki perusahaan di bagian jenis percetakan. Namun sudah cukup terkenal. Perusahaan turun-temurun milik mendiang Papanya.

Karena pagi ini kota Medan sangat macet, Putra dan Imelda akhirnya menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam agar bisa sampai ke Perusahaan miliknya.

Sesampainya di Perusahaan, Putra dan Imelda berjalan dengan beriringan masuk ke dalam Perusahaan.

Karena postur tubuh Putra, paras tampan, hidung mancung bak orang luar, rahang tegas, bola mata hitam lekat, alis tebal terukir rapih, rambut hitam dan halus, membuat semua karyawan tak berkedip memandangnya.

“Pagi semua!” sapa Imelda menghentikan langkahnya di depan meja karyawannya.

“Pagi,” sahut para karyawan datar, sorot mata masih terus memandangi Putra berada di sampingnya.

“Perkenalkan ini adalah Sekrestaris baru kita di sini. Namanya Sanjaya Putra, panggilannya Putra, umurnya masih 18 tahun. Jadi, aku minta kalian bisa bersikap ramah dan bimbing ia bekerja di sini, ya,” jelas Imelda kepada para karyawannya.

Mendengar Putra masih berumur 18 tahun, semua karyawan saling memandang satu sama lain. Keributan membahas Putra pun mulai terdengar hingga keributan itu di hentikan oleh teriakan Imelda.

“STOP!” teriak Imelda degan suara lembutnya.

“Bu, apa benar sekrestaris baru kita berusia 18 tahun?” tanya karyawan wanita berkuncir 1.

“Benar,” sahut Imelda mengangguk.

“Coba tanyakan pada Sekrestaris baru kita, apakah ia sudah memiliki pacar. Kalau belum, boleh tidak saya mendaftarkan diri sebagai pacarnya, bu?” tanya karyawan lainnya.

Imelda menggeleng sembari tersenyum tipis.

“Mohon maaf, aku di sini hanya ingin bekerja dan menjadi orang yang sukses. Untuk umur muda sepertiku tidaklah pantas memikirkan pasangan. Aku hanya ingin fokus cari uang dulu agar bisa mengenyangkan perut pasanganku suatu hari jika aku sudah memiliki dompet tebal,” sambung Putra menjelaskan, membuat karyawan wanita semakin kepincut.

Sorakan suara hati para wanita pun akhirnya mulai terdengar untuk Putra.

“Wah, kalau gitu aku mau mendaftarkan diri.”

“Aku juga, tolong buat nama ku di daftar wanitamu jika kamu sudah sukses.”

“Tidak usah terlalu bekerja keras, aku juga bisa membiayai kehidupan kamu!”

Sejenak Imelda hanya menggeleng, lalu ia kembali berteriak untuk menenangkan keributan di antara karyawan wanita.

“STOP! Kalian ini kalau jumpa sama cowok tampan sudah langsung meriang seperti ulat bulu. Kalau kalian ingin terpilih sebagai kekasih Putra, maka buatlah diri kalian sebagai wanita yang pantas untuk di rebut, dan satu lagi, kalian harus semangat bekerja, karena sebentar lagi akan memasuki bulan puasa,” motivasi Imelda untuk karyawannya.

“Siap! Kami semua akan berusaha bekerja sekeras mungkin. Kami juga akan berusaha menunjukkan kepada Putra jika kami adalah wanita setengah tua yang pantas untuk menjadi kekasihnya,” sahut serentak karyawan wanita.

“Kalau gitu silahkan bekerja kembali, aku mau ke atas dulu,” pamit Imelda sembari menggenggam pergelangan tangan Putra, membawanya menuju lantai 3.

Di tengah-tengah keributan karyawan wanita ingin memikat hati Putra, di situ pula karyawan laki-laki mulai menaruh dendam untuk Putra.

.

.

.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!