Disebuah rumah petak seorang wanita muda nampak lelah dan begitu kusut. Diatas tempat tidur dia duduk sembari mengompres dahi putri nya yang sedang demam tinggi.
Sudah sejak semalam putrinya menggigil kedinginan, bahkan dua lapis selimut juga tidak mampu membuat Putri kecilnya merasa nyaman.
"Bunda ... Dingin..." Lirih nya dengan suara yang begitu memelas.
"Iya, Bunda peluk kamu ya nak, Nesya gak boleh menangis, nanti tambah sakit kepalanya" ujar wanita muda itu.
Putri kecil itu hanya menurut dan memejamkan matanya dalam dekapan sang ibu.
Dan tanpa dia tahu, jika kini air mata ibunya menetes disudut mata.
Shabrina Ervanda, wanita muda yang masih berumur dua puluh enam tahun itu nampak begitu hancur dan sedih karena tidak mampu berbuat apapun untuk putri kecilnya.
Ini bukan sekali atau dua kali putri kecilnya demam. Tapi hampir disetiap bulan. Tubuh kecilnya begitu lemah, dan putrinya ini juga menderita penyakit jantung bawaan yang membuat dia tidak bisa seperti anak kecil lain nya.
Shabrina benar benar bingung jika anak nya sudah seperti ini.
"Bunda..." panggilan seorang anak lelaki membuat Shabrina dengan cepat mengusap air matanya.
Dia memandang kearah pintu rumah dimana anak lelaki nya berdiri dengan wajah yang terlihat sedih.
Shabrina tersenyum dan menggeleng, karena dia tahu kenapa wajah anak lelaki nya itu bisa sedih dan sangat muram.
Shabrina melirik Nesya, sepertinya Putri kecilnya ini sudah tertidur.
Dengan perlahan Shabrina beranjak dari sana, membenarkan selimut tipis ditubuh putrinya. Dan setelah itu dia langsung menghampiri anak lelaki nya, Arsya, kembaran Nesya.
"Bunda... Bu Sri gak mau kasih pinjam lagi. Katanya hutang bunda yang kemarin juga belum dibayar" ucap Arsya dengan begitu lirih.
Shabrina tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arsya. Bocah lelaki berusia lima tahun ini nampak begitu sedih. Dan sungguh, itu membuat hati Shabrina semakin sakit.
Tapi apa yang bisa dia perbuat, selain tetap berusaha untuk menahan kesedihan didepan anak anak nya.
"Enggak apa apa nak. Nanti kalau adik kamu udah sehat, bunda cari uang lagi untuk beli makanan ya" ucap Shabira dengan perasaan yang begitu hancur.
"Tapi sekarang kita makan apa bunda, Nesya juga belum minum obat" tanya Arsya dengan polosnya. Tapi mata cokelat indah itu juga terlihat berair, dia seperti tahu dengan kesusahan yang sedang dihadapi oleh bunda nya.
"Kamu jaga Nesya sebentar ya, bunda keluar dulu untuk cari makan. Jangan kemana mana. Kalau Nesya bangun, kamu kompres lagi kepala nya ya nak, seperti biasa" ujar Shabrina.
Arsya mengangguk pelan.
"Bunda pergi dulu"
Shabrina mengecup kepala Arsya sekilas dan langsung pergi keluar. Tidak tahu kemana, tapi langkah kaki nya hanya menuju ke warung Bu Sri. Warung sembako tempat dia biasa berhutang terlebih dahulu untuk menghidupi anak anak nya sebelum mendapatkan uang.
Langkah kaki Shabrina terlihat lunglai, pandangan matanya tertunduk menahan tangis dan beban yang begitu berat.
Merawat dua anak kembar sendirian bukanlah hal yang mudah. Apalagi ditambah dengan salah satu anak nya yang menderita penyakit serius.
Shabrina hanya bekerja sebagai penjahit disebuah rumah produksi pakaian. Gajinya sebulan hanya cukup untuk kehidupan sehari hari mereka, itupun kurang karena Shabrina yang sering libur karena Nesya yang sering sakit.
"Lihat tuh, tadi anak nya yang datang, sekarang ibu nya. Memang gak malu banget, maka nya cari suami, biar gak nyusahin orang terus" sindir seorang ibu ibu ketika berpapasan dengan Shabrina di jalan.
Shabrina hanya diam, dia sudah puas mendengar omongan pedas semua orang yang ada disekitarnya.
Hidup sebagai single parent tanpa sosok suami tentu menjadi sebuah aib yang besar. Apalagi jika dia tidak bisa menjawab dimana ayah dari anak anak nya kini.
Ya, Shabrina tidak bisa menjawab nya.
Semuanya sudah dia lupakan, kenangan menyakitkan yang tidak ingin lagi dia ingat. Shabrina hanya ingin hidup bersama anak anaknya dengan damai.
Meskipun semakin kesini, rasanya semakin berat.
"Mau ngapain, mau ngutang lagi?" tanya Bu Sri. Nadanya terdengar begitu ketus. Pasalnya sudah hampir setiap hari Shabrina datang kewarungnya hanya untuk berhutang.
"Bu tolong, untuk hari ini lagi. Kasihan anak saya lagi demam, setidaknya saya hanya berhutang dua potong roti dan sebutir obat saja bu" pinta Shabrina.
Dia benar benar sudah menjatuhkan harga dirinya, bahkan sudah tidak lagi mempunyai itu. Demi anak anaknya, apapun akan dia lakukan.
"Enggak, warung saya bisa bangkrut setiap hari kamu hutangi. Saya udah baik ya Na, kalau setiap hari kamu berhutang, mau bagaimana lagi saya dapat untung" sahut Bu Sri.
Shabrina tertunduk sedih dan menahan segala perasaan nya.
"Bu tolong, sekali ini saja. Saya janji, jika saya sudah mendapatkan uang, saya pasti akan membayar hutang saya" kata Shabrina lagi.
"Saya tidak bisa bekerja Bu, Nesya demam, tidak ada yang menjaga nya dirumah. Jika Nesya sembuh, saya pasti bayar bu. Saya mohon bu, hanya dua potong roti dan sebutir obat saja" pinta Shabrina lagi.
Air mata sudah membendung dimata indah nya. Membuat Bu Sri menghela nafas kesal melihat itu. Dia tahu Shabrina hidup susah, bahkan untuk makan saja mereka begitu kesulitan, apalagi anak nya yang sakit sakitan. Mau mengusir, dia tidak tega. Dan akhirnya, Bu Sri meraih dua potong roti dan juga dua butir obat penurun demam pada Shabrina.
"Ingat ya, terakhir. Pergi sana" usir Bu Sri.
Shabrina langsung mengangguk dengan senang.
"Terimakasih Bu, terimakasih. Saya janji akan membayarnya jika sudah ada uang. Saya permisi Bu"
Shabrina langsung berjalan keluar dari warung itu dengan wajah bahagia nya. Namun lagi lagi, cacian dia dengar dari orang orang yang datang kesana.
"Jual diri aja biar gak susah. Selagi masih muda" sindir seorang wanita paruh baya
Shabrina hanya diam dan terus berjalan.
"Kapok kali, hasil jual diri malah dapet dua anak. Mana cuma buat susah. Karma sih itu" ucap ibu yang lain.
"Main yang pinter dong" sahut wanita paruh baya itu lagi.
Shabrina tidak lagi menghiraukan mereka semua. Sudah cukup kebal hatinya mendengar hinaan seperti itu.
Tidak apa apa dia di hina, asal jangan anak nya.
Shabrina berlari pulang kerumah. Meskipun hanya dua potong roti tapi dia sudah benar benar bahagia.
Dan saat tiba dirumah, ternyata Nesya masih tertidur, begitu pula dengan Arsya. Anak lelaki nya itu nampak tidur dengan memeluk adiknya.
Terasa teriris hati Shabrina melihat keadaan anak anaknya yang seperti ini. Hidup susah didalam rumah petak yang dia tumpangi dari orang baik yang menolongnya waktu itu.
Mereka hidup susah dengan nya padahal Shabrina tahu jika ayahnya adalah orang berada bahkan orang kaya yang hartanya tidak akan pernah habis.
Jika sudah seperti ini, Shabrina benar benar bingung dan tidak berdaya.
Dia ingin hidup tenang dan melupakan cintanya karena rasa sakit itu benar benar membuatnya menyerah untuk memperjuangkan cinta mereka dulu.
Tapi jika melihat anak anak nya yang seperti ini, Shabrina benar benar tidak tega, apalagi melihat Nesya yang memerlukan pengobatan yang layak.
Ya tuhan...
Apa yang harus dia lakukan???
Kembali dan berkata pada lelaki itu jika anak anaknya memerlukan bantuan?
Begitukah?
Padahal sedikitpun lelaki itu tidak tahu jika Shabrina pergi karena telah mengandung anak nya. Anak yang tidak sengaja hadir dalam perbuatan satu malam terlarang mereka.
Enam tahun yang lalu...
Masa masa paling sulit yang dilalui oleh Shabrina. Bahkan sampai saat ini.
Shabrina tersenyum melihat Nesya yang sudah mulai turun demamnya. Bahkan sekarang gadis kecil berambut ikal ini sudah mau minum dan makan roti. Roti yang Shabrina dapatkan dari warung sore tadi.
"Bunda gak makan? Kita bagi dua ya bunda" ujar Arsya yang duduk disamping adiknya.
"Arsya makan aja, bunda masih kenyang nak. " jawab Shabrina dengan senyum hangat nya. Dia masih menyuapi Nesya makan roti.
"Kita kan dari pagi belum makan. Dan sekarang udah malam. Bunda kenyang dari mana?" tanya Arsya. Wajah polosnya itu membuat Shabrina tidak tega untuk berbohong. Tapi apa boleh buat, kebohongan seorang ibu memang suatu hal yang wajar kan, dari pada harus melihat anak anak nya yang bersedih.
"Tadi sore sewaktu kalian tidur, bunda udah makan sepotong roti. Jadi udah kenyang. Itu memang jatah Arsya dan ini untuk Nesya" kata Shabrina yang kembali menyuapkan roti kedalam mulut Nesya.
"Bunda gak bohong kan?" tanya Arsya. Sepertinya dia tidak percaya pada bundanya. Sudah banyak kebohongan yang bunda nya simpan untuk mereka.
"Beneran sayang. Udah di makan rotinya, biar kenyang dan sehat. Besok bunda mau kerja, Arsya jaga Nesya ya nak" ujar Shabrina
"Iya bunda" jawab Arsya yang hanya bisa pasrah, meski dia tahu bunda nya berbohong. Wajah pucat dan lelah itu tidak bisa mengelabui anak lelaki ini. Anak lelaki yang meski baru berusia lima tahun, tapi sudah harus dipaksa dewasa oleh keadaan.
"Bunda" suara Nesya membuat Shabrina menoleh kearah nya.
"Iya sayang, kenapa nak? mau minum?" tanya Shabrina.
Namun Nesya menggeleng pelan.
"Jadi Nesya mau apa, ada yang sakit?" tanya Shabrina lagi.
Namun Nesya tetap menggeleng.
"Ayah kenapa gak datang datang bunda?"
deg
"Nesya ingin ketemu ayah. Nesya ingin punya ayah kayak kak Mimi" pinta Nesya. Matanya berkaca kaca memandang Zea yang mematung. Ini bukan kali pertama anak anaknya bertanya soal ayah mereka.
Tapi bagaimana cara menjawabnya.
"Nesya ingin ketemu ayah bunda" suara yang begitu lirih itu benar benar bisa membuat hati Shabrina semakin melemah.
Dia tersenyum getir dan langsung memeluk Nesya dengan erat. Dan sungguh, air mata ini tidak bisa terbendung lagi. Pertanyaan itu seperti sebuah sayatan pisau yang mengiris hatinya.
Sakit..
Sakit sekali...
"Bunda jangan nangis. Ayah lagi kerja kan. Nesya kamu sabar. Nanti Ayah juga datang kalau udah selesai kerja. Ya kan bunda" ucap Arsya.
Shabrina tersenyum dan langsung mengangguk dengan cepat, seriring dengan air matanya yang menetes semakin deras.
Harus apa dia sekarang.
Haruskah dia egois dan membiarkan anak anaknya dalam pengharapan seperti ini? Sedangkan yang diharap saja tidak tahu ada dimana dan bersama siapa saat ini.
Apakah masih bersama perempuan itu?
Apakah dia sudah hidup bahagia disana dengan keluarganya.
Tidak..
Sungguh Shabrina tidak akan mau jika anak anak nya tahu jika ayah mereka adalah seorang pengkhianat yang sudah menorehkan luka yang cukup besar dihati bundanya.
Cukup Shabrina yang merasakan luka itu, jangan lagi anak nya. Bahkan jika Shabrina mendatanginya, apakah dia mau mengakui anak anak nya ini.???
Mustahil...
"Bunda... maafin Nesya. Bunda jangan nangis. Nesya kan cuma tanya. Kalau ayah belum selesai kerja. Nesya gak apa apa, Nesya akan tunggu terus sampai ayah pulang" ungkap Nesya seraya mendongak dan memandang Shabrina
"Maafin bunda ya nak. Bunda belum bisa buat kalian bahagia" ucap Shabrina seraya mengusap wajah Nesya yang masih pucat.
"Bunda, kami bahagia ada bunda. Bunda jangan sedih lagi. Nanti kalau udah besar Arsya pasti bantu bunda kerja biar kita bisa makan enak ya bunda" kata Arsya.
Dan sungguh Shabrina benar benar tidak bisa menahan tangisnya sekarang.
Dia langsung memeluk kedua anak nya dengan erat. Perkataan anak berusia lima tahun yang sungguh dewasa, namun mampu mengiris hati Shabrina begitu dalam.
"Bunda sayang kalian nak, bunda janji, bunda pasti akan buat kalian bahagia. Bunda janji nak" ucap Shabrina dengan hati yang begitu hancur.
"Nesya juga sayang bunda"
"Arsya juga sayang bunda. Bunda, bunda terhebat yang kami punya"
Shabrina menggeleng dan semakin menahan tangis nya.
Ya tuhan...
tolong ...
tolong kuatkan hati dan raganya untuk anak anaknya. Tolong berikan dia kesehatan dan juga kekuatan untuk bisa selalu membuat anak anak nya bahagia, meski dia hidup dalam hujatan semua orang dan tanpa sosok pria yang menjadi ayah dari anak anak nya saat ini.
Shabrina hanya ingin anak anaknya bahagia.
...
Sementara di tempat lain...
Disebuah rumah mewah yang nampak sepi dan suram. Seorang pria dewasa duduk menyendiri disebuah ruangan kosong.
Duduk dengan sebuah foto ditangan nya.
Wajah pria itu begitu datar dan dingin. Tidak ada ekspresi apapun yang terpancar dari mata tajam nya. Pandangan matanya menatap lekat wajah gadis cantik yang tersenyum begitu indah didalam foto itu.
Gadis cantik yang pernah singgah didalam kehidupan nya beberapa tahun lalu. Gadis cantik pemilik mata indah yang menjadi pemilik hatinya hingga saat ini.
Gadis cantik yang telah membuat hidupnya hancur dan tidak lagi memiliki semangat untuk hidup sejak kepergian nya.
Kesalahan yang telah dia perbuat, membuat kekasihnya pergi. Dan bahkan sampai saat ini dia tidak tahu dimana keberadaan gadis pemilik mata indah ini.
Devan Bramasta. Pria berusia tiga puluh tiga tahun yang hidup nya sudah seperti patung tanpa nyawa.
Penyesalan terbesar yang pernah dia perbuat, adalah membiarkan gadis nya bersedih dan pergi meninggalkan nya.
"Tuan"
Suara seorang pria membuat Devan langsung menoleh.
"Orang orang kita sudah menemukan dimana nona Shasa berada"
deg
Devan langsung beranjak dari duduk nya dan memandang asisten nya dengan lekat.
"Kau serius?. Katakan padaku dimana dia" ucap Devan langsung.
"Mereka menemukan seorang gadis yang mirip nona Shasa di luar pulau tuan, tepat nya di pulau Sumatera" ungkap Hans, asisten Devan
"Sumatera?" gumam Devan.
Hans mengangguk.
"Dia hidup bersama dengan kedua anak kembarnya"
deg
deg
deg
"Anak"
Devan langsung jatuh terduduk kembali di kursi nya.
Shasa sudah menikah?
Dia sudah punya anak.
Tangan Devan langsung terkepal dengan erat. Dia tidak rela, sungguh, sudah enam tahun ini Devan mencari keberadaan nya. Semua sudut kota sudah dijelajahi hanya demi menemukan gadis kesayangan nya itu.
Tapi kenapa sekarang dia mendapatkan kenyataan yang menyakitkan seperti ini?
"Siapkan pesawat, kita pergi besok pagi" ujar Devan. Persetan dengan suaminya, siapapun dia, Devan hanya ingin melihat Shasha. Dia rindu, dan sangat rindu. Enam tahun hidup dalam penyesalan sungguh membuat dia tidak berdaya.
"Tapi bagaimana dengan tuan besar dan nyonya tuan?" tanya Hans terlihat ragu.
"Aku tidak perduli. Terserah pada mereka. Aku sudah lelah menuruti semua keinginan mereka dan karena mereka aku kehilangan dia" jawab Devan
Hans mengangguk dan langsung pergi keluar dari ruangan kosong itu. Ruangan tempat Devan menyendiri selama ini.
Shasa sudah ditemukan. Meski dia sudah menikah dan memiliki anak, Devan tidak perduli. Dia hanya ingin melihat, apakah gadis yang dia cintai itu bisa bahagia sekarang, apakah dia bahagia setelah pergi tanpa berkata apapun?
Devan ingin bertemu dengan Shasa, dia ingin mengungkapkan semua yang telah terjadi enam tahun yang lalu.
Kesalahan nya yang telah mengabaikan kesedihan gadis itu. Dan bukan pengkhianatan seperti yang Shasa fikirkan.
Pagi ini Shabrina baru selesai membersihkan tubuh Nesya, sedangkan Arya dia sudah bisa mandi sendiri dengan baik. Bahkan dia juga sudah bisa memakai pakaian nya sendiri.
Shabrina tersenyum memandang anak lelaki nya itu, meskipun setiap kali memandang wajah itu, dia selalu teringat dengan kekasihnya dulu. Ya, kekasih yang menjadi ayah dari anak anak nya. Wajahnya sangat mirip dengan Arsya, bahkan sifat Arsya yang tidak banyak bicara namun penyayang juga menuruni sifat ayahnya.
Ah... rasanya jika mengenangkan itu luka dihatinya tidak pernah bisa terobati.
Antara rindu dan benci.
Benar benar dua hal yang membuat Shabrina hidup dalam perasaan yang begitu rumit. Tapi untuk sekarang, dia sudah tidak lagi memperdulikan perasaan nya sendiri. Kebahagiaan kedua anaknya adalah tujuan hidup Shabrina.
"Nah sudah cantik anak bunda. Udah gak pusing lagi kepala nya kan nak?" tanya Shabrina seraya mengusap wajah cantik Nesya.
"Enggak bunda, cuma lemas" jawab Nesya. Suara kecilnya yang selalu membuat Shabrina gemas namun juga sedih.
"Istirahat dulu dirumah ya nak, main sama kak Arsya, tapi jangan keluar rumah, nanti siang bunda pulang bawa makanan untuk Nesya dan kakak. Sabar nunggu kan?" tanya Shabrina. Hatinya selalu merasa bersalah jika sudah begini. Bahkan hanya untuk sekedar sarapan pun tidak bisa dia berikan untuk anak anaknya.
"Bunda jangan khawatir, roti Arsya semalam masih ada, nanti untuk sarapan Nesya" sahut Arysa yang baru selesai memasang baju nya.
Shabrina langsung tersenyum mendengar itu.
"Kamu gak makan ya?" tanya Shabrina
"Makan kok, nih udah separuh. Cuma gak selera bunda. Biar Nesya aja yang habiskan, dia kan rakus" goda Arsya pada adiknya.
"Enak aja rakus, Nesya lapar kakak, bukan rakus" protes Nesya
"Sama aja. Nih makan, habis itu minum obat. Biar bisa main" ujar Arsya yang menyerahkan rotinya pada Nesya. Padahal hanya roti kecil, dan Arsya hanya memakan nya sedikit.
Shabrina benar benar bersyukur mempunyai anak yang pengertian seperti Arsya dan Nesya.
"Yasudah, bunda berangkat dulu. Kalian jangan nakal. Jangan main keluar rumah" ujar Shabrina pada anak anak nya.
"Kalau main di ayunan depan gak apa apa kan bunda. Nesya bosan didalam rumah" ucap Nesya
"Bunda takut kamu kelelahan sayang" jawab Shabrina
"Enggak apa apa bunda. Nesya perlu udara segar. Hari lagi cerah, nanti biar Arsya yang jaga" sahut Arsya pula. Sungguh, omongan nya sudah seperti orang dewasa saja.
Shabrina tersenyum dan mengangguk.
"Iya, yasudah. Tapi hati hati ya" kata Shabrina lagi.
"Yeay, terimakasih bunda"
Shabrina tersenyum dan langsung mengusap kepala anak anak nya dengan lembut. Dan setelah itu dia langsung pergi untuk bekerja. Hari ini dia tidak pergi untuk menjahit. Mungkin sore nanti Shabrina membawa jahitan nya kerumah untuk dikerjakan dirumah.
Pagi ini dia ingin kerumah salah satu tetangga nya, dia mengambil upah mencuci dan juga berberes rumah disana. Lumayan uang nya bisa dia pakai untuk membeli makanan siang nanti.
Apapun, apapun akan Shabrina lakukan untuk anak anaknya. Meski disini dia hidup dalam cemoohan dan hinaan orang orang. Tapi setidaknya dia tidak diusir dari sini. Dia masih diterima meski hidup dalam hinaan. Hidup bersama kedua anak, namun tanpa suami.
Menyedihkan.
Hidup di kota kecil dan jauh dari ibukota, adalah pilihan Shabrina ketika dia pergi meninggalkan semua nya dulu. Bersembunyi didaerah terpencil ini hanya karena tidak ingin lagi bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang sudah menorehkan sejuta luka dihatinya.
...
Sementara dirumah...
Nesya dan Arsya kini sudah berada diluar. Anak lelaki tampan itu terlihat sedang memegang tali ayunan Nesya yang duduk dengan nyaman diatas nya. Hanya ayunan yang terbuat dari ban bekas yang digantung. Dan itu menjadi permainan kedua anak itu setiap harinya karena mereka sama sekali tidak memiliki mainan apapun.
"Kakak" panggil Nesya pada Arsya
"Apa?" tanya Arsya
"Kita kerumah kak Mimi yuk" ajak Nesya
"Kamu gak ingat apa kata bunda tadi" sahut Arsya yang terus mengayun adiknya.
Wajah Nesya terlihat murung, matanya terus melihat kearah rumah dimana seorang anak perempuan kecil sedang bermain boneka didepan teras rumah bersama teman teman nya yang lain.
"Nesya pengen pinjam boneka kak Mimi" ungkap Nesya terdengar begitu sendu.
Arsya memandang adiknya dengan sedih.
"Janganlah, nanti ibunya marah lagi. Kamu mau bunda dimarahin sama ibu mereka terus?" tanya Arsya.
Nesya menggeleng lemah, wajahnya semakin sedih mendengar itu. Dia hanya bisa memandang dari jauh Mimi anak tetangga mereka yang selalu bermain bersama mainan nya diteras rumah. Sebagai anak kecil, tentu Nesya juga ingin memiliki mainan seperti mereka. Tapi apalah daya, bunda mereka tidak bisa membelikan mainan mainan seperti itu. Bahkan untuk makan saja selalu kurang. Mereka hanya makan enak ketika bunda mereka sehabis gajian. Selebihnya, mereka hanya makan seadanya bahkan sering kali hanya memakan roti seperti semalam.
Melihat adiknya yang bersedih, Arsya nampak terdiam. Namun beberapa saat kemudian dia langsung menghentikan ayunan Nesya.
"Kamu mau main boneka kan?" tanya Arsya
Nesya langsung mengangguk dengan wajah sedihnya.
"Kakak buatin aja ya, tapi kalau jelek jangan protes" ucap Arsya
Nesya langsung tersenyum senang mendengar itu.
"Oke... ayok" Nesya bahkan langsung melompat dari atas ayunan membuat Arsya dengan sigap menangkap tubuhnya yang hampir jatuh.
"Kamu kebiasaan Sya, kalau jatuh gimana coba. Nyusahin bunda kan" omel Arsya.
Nesya tertawa dan mengusap kaki nya yang sakit.
"Maaf kak" gumam nya.
Arsya hanya mendengus dan membawa Nesya keteras rumah mereka. Mendudukkan Nesya dikursi sofa yang sudah koyak dan tidak lagi berbusa, hanya menyisakan karet nya saja.
"Tunggu disini, jangan kemana mana. Kakak mau ambil bahan nya dulu. Semalam bu Sri ada buang kasur, lumayan busa nya bisa dibuat boneka" ujar Arsya
Nesya langsung mengangguk dengan cepat.
"Beneran ya. Jangan kemana mana. Kalau kamu pergi dari sini, kakak gak mau temenin kamu lagi" ancam Arsya
"Iya, Nesya disini" jawab Nesya yang menurut.
Arsya mengangguk, dan langsung berlari menuju warung bu Sri. Sementara Nesya hanya duduk dan memandangi kepergian nya. Namun hanya sebentar karena kini pandangan mata itu kembali memandang kearah rumah teman teman nya yang masih asik bermain disana.
Nesya ingin pergi, tapi sudah pasti kakak dan bunda nya pasti marah. Jadi dia lebih memilih untuk menurut dan menunggu saja disini. Meski keinginan nya untuk bermain membuat dia benar benar sedih.
...
Arsya sudah tiba diwarung bu Sri. Dia memandang bu Sri yang sedang menjemur ikan asin diatas atap warung.
"Mau apa, mau hutang lagi?" tanya bu Sri
Arsya menggeleng pelan seraya memandang tumpukan kasur yang sudah koyak ditempat sampah disamping warung itu.
"Arsya mau minta busa kasur itu boleh bu" pinta Arsya
Bu Sri mengernyit dan langsung memandang kasur yang semalam dia buang.
"Untuk apa sama kamu?" tanya bu Sri
"Mau buat boneka untuk Nesya, kan udah ibu buang, jadi Arsya mau minta" jawab Arsya.
Bu Sri memandang Arsya dengan iba. Dia selalu tidak tega melihat dua anak ini. Meski sebenarnya dia juga kesal karena ibu mereka yang selalu berhutang diwarungnya.
"Memang nya bisa buat boneka" tanya bu Sri seraya duduk dikursi dan mengipas wajahnya yang berkeringat.
"Dicoba bu" jawab Arsya
"Yaudah ambil, jangan kamu serakkan lagi. Ibu udah capek nyapu nya" ujar bu Sri
Arsya langsung tersenyum senang mendengar itu.
"Iya bu, terimakasih" ucap Arsya. Bahkan dia langsung berlari mengambil busa kasur itu.
Namun tiba tiba langkah nya terhenti saat melihat beberapa mobil mewah lewat didepan warung bu Sri. Bahkan Bu Sri dan juga beberapa warga yang ada disana nampak heran memandang mobil mobil mewah itu.
"Siapa tuh, mewah bener mobil nya. Mana sampek tiga lagi" ucap Bu Sri
"Gak tahu, apa polisi mau nangkep bandar narkoba" sahut salah satu pengunjung warung.
"Sembarangan, mana ada bandar narkoba ditempat kita" ucap bu Sri
Arsya yang memandang mobil mobil itu entah kenapa langsung teringat adiknya dirumah. Dia takut itu mobil penculik seperti yang sering beredar ditempat mereka.
Setelah mengambil busa kasur itu, dengan cepat dia langsung berlari pulang kerumah. Bahkan Arsya tidak lagi mengindahkan teriakan bu Sri yang marah karena busa kasur itu berserakan disepanjang jalan dia berlari.
Nafas Arya terengah engah karena dia berlari dengan begitu kencang, dan benar saja, matanya langsung melebar saat tahu jika tiga mobil mewah itu malah berhenti didepan rumah nya.
Dapat Arsya lihat jika Nesya nampak takut ketika didekati oleh seorang pria berjas, dan pria pria berjas lain yang sangat banyak juga mulai keluar dari dalam mobil mewah itu.
"Jangan dekati adik Arsya!!!!" teriak Arsya yang langsung berlari mendekat kearah Nesya.
Pria berjas itu langsung berbalik dan memandang Arsya. Namun matanya terlihat melebar dan dia sedikit terkejut melihat wajah Arsya dari dekat.
Kenapa bisa mirip dengan tuan nya????
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!