Anindira tersenyum bahagia sambil sesekali memandangi secarik kertas yang berbentuk persegi panjang di dalam genggaman tangannya itu. Dari raut wajahnya berseri-seri bahagia dan jelas terlihat jika dirinya sangat gembira saat itu.
Bu Hania melihat putri semata wayangnya itu menuruni tangga rumahnya dengan langkah kakinya yang pasti.
"Putriku semoga pernikahanmu dengan Abizar terlaksana dengan baik dan lancar tanpa ada hambatan apapun yang berarti," gumam ibunya Anindita.
Anindira Mahika Mahendra memegang erat undangan itu seolah undangan itu akan terbang tertiup angin dan direbut oleh orang yang berpapasan dengannya. Gadis cantik jelita dipandang mata itu genap berusia 21 tahun bulan ini.
Sekitar dua minggu lalu,dia merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh satu sama tahun dan mendapatkan kado surprise party dari kekasihnya sekaligus pria yang akan menikahinya sekitar sepuluh hari lagi dari sekarang.
Anindira melihat ke sekelilingnya sambil menarik sebuah kursi yang siap untuk duduk sambil menikmati sarapan paginya.
"Mama kakak Aidan dengan Attar sudah ke kantornya?" Tanyanya Anindira seraya membalik piringnya untuk mengisi beberapa lauk pauk yang sudah disediakan oleh ibunya itu.
Bu Hania yang mendengar perkataan dari mulut putrinya sekaligus anak bungsunya itu segera menolehkan kepalanya ke arah anaknya.
"Kakakmu keduanya sudah berangkat pagi-pagi sekali, Attar katanya ada rapat penting, kalau Aidan dia ke luar daerah hari ini kalau enggak salah ke Bali bareng CEO perusahaan tempatnya bekerja," jawab Bu Hania yang membantu asisten rumah tangganya membereskan beberapa perabot dapur yang baru selesai mereka pakai.
"Oh gitu yah,"balasnya Anindira yang membentuk huruf O besar.
Anindira mengingat beberapa bulan lalu yang terpaksa mengundurkan diri dan resign dari tempat kerjanya, atas persyaratan yang diberikan oleh calon suaminya Abizar Muhammad Adinata.
"Coba aku juga dapat ijin dari Mas Abizar pasti aku masih kerja seperti dulu padahal baru setahun juga kerjanya dan lagi seru-serunya kerja,tapi demi masa depan bersama Mas Abizar, aku rela melakukannya," bathinnya Anin.
Anindira kembali menyantap dan melahap makanannya dengan penuh hikmah, makanan yang tersaji di atas meja adalah hampir keseluruhannya adalah makanan kesukaannya.
Anindira segera menyelesaikan makannya lalu membersihkan wajahnya setelah makan. Anindira tidak lupa meminta ijin kepada mamanya untuk menemui calon suaminya itu.
"Kamu mau pakai mobil ayah atau mobilmu sendiri Nak?" Tanyanya Bu Hania.
"Pakai mobil aku saja Ma, kebetulan juga sepulang dari rumahnya Mas Abizar rencananya aku mau servis ganti oli mesin nya Ma," jelas Anindira sambil meraih tangan mamanya itu.
"Kamu hati-hati kalau begitu, titip salam sama Bu Husnah ibundanya Abidzar," ucapnya Bu Hania.
Anin memeluk tubuh mamanya dan mengecup sekilas pipi perempuan yang sudah berjasa melahirkannya ke dunia ini, "Siap Mamaku yang paling cantik dan paling baik hati sedunia," pujinya Anindira seperti kebiasaannya yang sering dilakukannya itu bersama dengan mamanya yang bagaikan adik kakak saja.
"Mama titip ini yah untuk Papa,kamu mampir di kantornya Papa untuk antarkan makan siangnya,papa tadi buru-buru soalnya jadinya enggak sempat bawa bekalnya," pintanya Bu Hania.
"Untuk Pak Hamka Mahendra yah, tapi nggak gratis harus ada ongkirnya yah Ma," candanya Anin sembari mengangkat paper bag yang berisi dua buah kotak bekal makanan khusus untuk papanya yang bekerja sebagai kepala dinas pendidikan setempat.
"Kamu ada-ada saja nak," pungkasnya Bu Hania dengan senyuman teduhnya itu.
"Assalamualaikum," salamnya Anin yang segera berjalan ke arah luar untuk mengambil mobil kesayangannya.
Mobil sedan berwarna kuning itu sudah melaju dengan kecepatan sedang. Anin memakai seatbelt nya agar tidak terkena teguran dari pihak kepolisian yang berjaga di sekitar lampu merah, jalan yang sering dilaluinya setiap harinya.
Anindira sudah sampai di depan kantor papanya dan amanah serta pesan mamanya sudah tersampaikan dengan baik.
"Mas Abizar pasti akan bahagia melihat kalau undangan pernikahan kami sudah jadi," gumamnya Anindira dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajahnya yang semakin cantik diterpa cahaya matahari pagi itu.
Anindira mematikan mesin mobilnya tepat di depan pintu masuk rumahnya Abizar. Anin menatap dengan seksama rumah yang nampak kelihatan sepi itu serasa tidak ada penghuni rumahnya yang sudah ditinggal beberapa hari saja.
"Bunda Husnah ada di mana? Kok rumahnya tampak sepi, Mas Abizar katanya hari ini belum masuk kerja sengaja masuknya siangan, berarti aku ada waktu untuk bertemu dan membahas undangan pernikahan yang belum kami sebar sedikitpun," cicitnya Anin yang mengunci rapat pintu mobilnya.
Anin langsung masuk ke dalam pekarangan rumah yang cukup besar itu dengan langkah kakinya yang pasti dan panjang.
Anin baru ingin memasukkan kunci ke dalam lubang kenop pintu tapi, tidak jadi karena pintunya tidak terkunci. Awalnya mau tekan bel pintu tapi, Anin mengurungkan niatnya untuk memakai kunci cadangan yang sudah lama diberikan oleh Bu Husnah khusus untuknya agar memudahkan dia keluar masuk di rumah calon mertuanya itu.
"Pintunya engga dikunci? Mungkin Mas Abizar lupa kali nguncinya," cicit Anin.
Anin mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan rumah itu,tapi nampak sangat sepi. Dia pun menaiki undakan tangga satu persatu untuk berjalan ke arah kamarnya Abidzar.
"Mas mungkin sedang tidur, aku bangunin saja sekalian sudah jam sepuluh pagi juga soalnya," lirih Anin dengan undangan berwarna pink shof.
Anin hendak memutar handle pintu, tapi ia dikejutkan dengan suara-suara yang menurutnya sungguh tidak enak didengar.
"Itu suara siapa?" Lirihnya Anin hingga semakin membuatnya penasaran.
Anin semakin mendekati pintu kamar pribadi calon suaminya itu, dia sedikit memutar dan membuka pintu itu hingga dia dengan jelas mendengar sekaligus melihat apa yang terjadi di dalam kamar tersebut. Anindira menutup mulutnya saking tidak percayanya dengan apa yang dilihatnya itu.
"Sayang kalau kamu menikah dengan Anin gimana dengan aku?" Rengeknya perempuan yang berada di bawah kunkungan Abizar.
"Kau tetap jadi kekasihku bahkan aku akan menikahimu setelah saya berhasil menikah dengannya,"
"Kenapa sih kamu bisa suka padanya padahal dia bandingkan dia dengan aku, lebih seksi aku lah dari dia," ketusnya perempuan itu.
Anin masih menjadi pendengar setia dari pria dan wanita yang sama-sama tidak memakai selembar benang sedikitpun di atas kulitnya.
Abizar menangkupkan kedua tangannya di atas dagunya kekasihnya itu, "Kau perlu mengetahui dengan pasti jika saya terpaksa akan menikahinya karena desakan dari mama dan ayahku, saya itu sama sekali tidak mencintainya sedikitpun,di dalam hatiku hanya ada kamu seorang, tapi dia saja yang keganjengan yang terlalu kepedean," dengusnya Abizar.
"Ya elah… jadi selama tiga tahun ini kamu tidak pernah merasakan cinta untuk perempuan itu?" Tanyanya yang semakin memprovokasi Abizar karena sudah mengetahui kedatangan Anindira di sana dengan seringai liciknya itu.
"Tepat sekali apa yang kamu katakan, sebenarnya sih aku pernah jatuh cinta padanya,tapi sejak dia terus menolak aku untuk memeluk, menciumnya dan pernah juga aku minta untuk hubungan yang seperti sedang kita lakukan, tapi selalu menolak ku, sifat sok sucinya itu yang membuat aku muak dan ilfeel padanya," kesalnya Abizar dengan sesekali membelai lembut kulitnya yang putih mulus kekasihnya itu.
Anindira meneteskan air matanya itu,dia tergugu dalam tangisnya. Dia semakin menutup mulutnya agar Isak tangisannya tidak terdengar oleh orang lain. Hatinya bagaikan tertimpa godam yang begitu besar dan tertusuk ribuan jarum hingga hatinya hancur berkeping-keping.
Arshavina tersenyum licik sambil mengelus dada sispack nya Abizar yang semakin gencar menggoda pria yang akan sebentar lagi akan mengakhiri masa lajangnya itu dengan tatapan menghinanya diarahkan ke arah pintu dimana Anindira berada di sana.
"Rasain akibatnya berani merebut pria yang aku sukai, sekarang kamu menyaksikan langsung apa yang seringkali kami lakukan selama ini di belakangmu," umpatnya Arshavina yang semakin berniat untuk menghancurkan perasannya Anin.
Undangan pernikahan yang dipegangnya terlepas juga dari dalam genggaman tangannya. Dia tidak menyangka jika calon suaminya dan teman dekatnya itu berselingkuh. Anin membuka pintu dengan sangat kuat hingga terbanting dan menimbulkan bunyi dentuman dan hantaman yang cukup besar.
Bruk!!
Prang!!
Anin berjalan ke arah ranjangnya Abizar dimana keberadaan calon suaminya yang sangat dicintainya itu, bahkan rela mengorbankan karirnya demi pria yang bernama Abizar. Anin mengambil beberapa lembar undangan yang berada di dalam handbagnya lalu melemparkannya ke arah kedua orang itu.
Abizar terkejut melihat kedatangan calon istrinya itu yang datang tiba-tiba tanpa pemberantasan sebelumnya.
"Aku tidak akan melanjutkan pernikahan ini, cukup sampai disini hubungan kita berdua! kalian manusia tidak tahu diri dan sama-sama manusia lucknut!," geramnya Anin dengan mencengkram erat kepalan tangannya.
Bagi Anin cukup kata-kata itu yang perlu diucapkan dan tidak mau membuang waktu dan tenaganya untuk berbicara yang tidak ada gunanya.
Mampir baca novel baru aku judulnya "Terpaksa Menjadi Orang ketiga" ada give away kecil-kecilan khusus pembaca yang rajin" Caranya hanya baca, Like dan komentar.
Mampir dong Kak ke novel baru aku judulnya:
Satu atap dua hati
Pamanmu adalah jodohku
Belum Berakhir
Anindira segera melemparkan beberapa lembar undangan pernikahannya ke wajahnya pria yang akan menjadi mantan tunangannya itu.
"Ingat mulai detik ini, kita berdua tidak punya hubungan apapun lagi, ingat jangan pernah datang untuk mengusikku lagi, aku muak melihat tampang pengkhianat seperti kalian berdua dan kamu perempuan jaa laang, aku bersyukur Allah SWT telah membuka mataku untuk melihat keburukan dan kebusukan kalian!" Geramnya Anindira.
Anin segera meninggalkan ruangan penuh dengan drama itu. Anin sudah bertekad untuk mengakhiri hubungan pertunangannya yang rencananya akan menikah tersisa sepuluh hari dari hari itu.
Rasa marah, kesal, benci dan murka menjadi satu bagian di dalam benaknya itu. Dia sudah berjanji tidak akan berhubungan lagi dengan kedua manusia bejak itu.
Dia berlari ke arah mobilnya dan tidak ingin menolehkan kepalanya sedikitpun ke arah belakang. Dia bukan perempuan lemah yang harus meratapi dan mengemis kepada pria yang sangat dicintainya itu.
"Anindira Mahika Mahendra, kamu sungguh bodoh! Bisa ditipu selama tiga tahun oleh calon suamimu sendiri dan sahabat dekatmu yang sangat kamu percayai!" Kesalnya Anindira sambil memukul setir mobilnya.
Anindira kemudian melajukan mobilnya menuju rumahnya, dengan air matanya yang sesekali menetes membasahi pipinya itu. Sesekali Anin menyeka air matanya itu yang sudah membanjiri wajahnya.
"Hal seperti ini terjadi padaku, kenapa Mas Abizar dan Arshavina tidak jujur padaku dan mengatakan kepadaku jika mereka saling mencintai, aku pasti ikhlas melepas Mas Abizar, tidak mungkin aku menikah dengan Pria yang sama sekali tidak mencintaiku," gumamnya Anindira.
Anindira melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi siang itu. Dia segera kembali ke rumahnya tanpa ke bengkel langganannya sesuai dengan tujuan awalnya.
"Abizar Muhammad Adinata aku tidak akan pernah sudi untuk mencintaimu lagi, aku tidak akan pernah sudi mengenal kalian berdua dan semoga bahagia!" Umpatnya Anin.
Mobilnya berhenti di dalam garasi rumahnya dengan memarkirkan asal saja. Tetapi,dia baru hendak turun dari mobilnya,dia mendengar suara teriakan dan tangisan yang cukup memilukan dari dalam rumahnya itu.
"Suara tangisan, siapa yang menangis seperti itu?" Gumamnya Anin yang segera berjalan cepat dan tergesa-gesa ke arah dalam rumahnya itu.
Anin kembali terperangah dan kedua matanya melotot melihat kondisi dari perempuan yang tadi pagi mengijinkannya bertemu dengan pria brengsek itu.
"Mama!" Teriaknya Anin yang langsung melempar handbagnya dan kunci mobilnya ke sembarang arah.
"Anin putriku," lirihnya Bu Hania sebelum menutup matanya.
"Mama! Bangunlah, ini putrimu Anin Ma, aku mohon sadarlah," ratapnya Anin yang sudah menitikkan air matanya.
"Non,kita harus segera bawa Nyonya ke rumah sakit," imbuhnya Anna asisten rumah tangganya itu.
"Oke, bantuin aku yah Mbak kita bawa mama ke dalam mobil," pintanya Anin yang sudah mengangkat tubuhnya Bu Hania.
Kondisi raut wajahnya Bu Hania sudah pucat pasi dan disekujur tubuhnya sudah dipenuhi oleh keringat.
"Apa yang terjadi dengan Mama?" Tanyanya Anin sambil memeriksa kondisi mamanya.
Mbak Anna pun mulai menjelaskan duduk permasalahannya hingga sampai Bu Hania terjatuh dan tidak sadarkan diri lagi.
Air matanya Anin semakin menetes membasahi pipinya itu, "Astagfirullah aladzim papa ditangkap polisi, itu tidak mungkin Mbak,saya yakin papa tidak melakukan korupsi atau pun kejahatan lainnya, kenapa bisa seperti ini, siapa orang yang dengan teganya memfitnah Papa, saya yakin papa sama sekali tidak bersalah," ucapnya Anin yang tidak percaya dengan perkataan dari artnya.
"Itu lah faktanya Non, saya tadi tidak sengaja mendengar percakapan Nyonya dengan seorang polisi yang datang bertamu," jelasnya Anna.
"Siap Nona, Mang Roni kemana kok enggak bantuin kita yah," ucapnya Mbak Anna yang sudah berusaha untuk mengangkat tubuhnya Bu Hania.
Anin sama sekali tidak menggubris perkataan dari Mbak Anna,dia sudah ngos-ngosan mengangkat tubuh mamanya.
Anin segera menidurkan tubuh mamanya ke atas jok mobilnya bagian belakang, karena postur tubuhnya Bu Hania yang cukup jangkung dan tinggi sehingga kakinya menjulur ke bawah.
Anin sudah duduk di balik kemudi mobilnya," Mbak tidak perlu ikut saya, aku minta Mbak hubungi Abang Attar dan Aidan saja dan katakan padanya jika Mama masuk rumah sakit, tunggu kabar dariku dan jaga rumah baik-baik," pinta Anindira.
"Baik Non, hati-hati dijalan," imbuhnya Bi Anna.
Anin baru kali ini mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dia biasa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, jika dalam kondisi yang mengharuskan dia membalap mobilnya itu. Berselang beberapa menit kemudian, Anindira sudah sampai di depan lobi rumah sakit.
"Suster! tolong bantu," teriaknya Anindira yang membuka pintu mobilnya agar segera dibantu karena tidak mungkin mengangkat tubuhnya mamanya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
Beberapa perawat sudah mendorong bangkar rumah sakit ke arahnya Anindira.
"Cepat naikkan tubuh ibu ini, sepertinya kondisinya semakin parah," ujarnya seseorang pria yang memakai pakaian seragam perawat tersebut.
"Aku mohon selamatlah mamaku Suster," ucape Anin sembari mengikuti langkah laju bangkar yang didorong dengan kuat.
Suara gesekan roda bangkar dengan lantai keramik rumah sakit menimbulkan suara yang cukup bising dan nyaring di siang hari itu.
"Ya Allah… kenapa mamaku harus menderita seperti ini,apa yang terjadi sebenarnya dengan keluargaku," gumamnya Anin yang air matanya yang tak hentinya menetes membasahi wajahnya.
Anindira berjalan ke arah dalam tapi, langkahnya segera terhenti karena dicegah oleh seorang perawat.
"Maaf Mbak, Anda tidak boleh masuk cukup menunggu di luar saja agar tidak menggangu aktifitas kami," larangnya perawat tersebut.
Satu jam kemudian, Bu Hania sudah berada di dalam ruangan perawatan dengan masih terbaring lemah. Anin yang melihat kedatangan rombongan beberapa dokter dan perawat segera berjalan ke arah kedatangan mereka.
"Dokter apa yang terjadi pada mamaku pasien yang pingsan tadi aku antar ke sini?" Tanyanya Anindira yang sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya pada mamanya.
Dokter menatap ke arah salah satu perawat perempuan untuk meminta penjelasan.
"Pasien yang mengalami serangan jantung Dok," ungkap suster itu.
"Maaf kami sudah berusaha untuk menolong pasien dengan semampu kami, Alhamdulillah untuk sampai detik ini kondisinya pasien cukup memprihatinkan dan mengkhawatirkan, kami harap doa dan dukungan dari anggota keluarganya untuk terus berdoa untuk keselamatannya," ungkapnya Dokter Amsir Arnold Poernomo dokter ahli jantung tersebut.
Tubuhnya Anin terhuyung mendengar penjelasan dan penuturan dari mulut dokter yang menangani kesehatannya Bu Hania.
"Ya Allah… Mama maafkan Anin yang tidak becus menjaga Mama," ratap Anin yang semakin menangis saja hingga hidungnya dan matanya semakin memerah.
Seorang suster mendekati Anindira sedangkan yang lainnya sudah meninggalkan Anindira yang tersedu-sedu dalam tangisnya.
Perawat itu mengelus lengan tangannya Anin," Mbak Yuni sabar yah, insha Allah mamanya akan segera sembuh dari penyakitnya," bujuknya perawat itu.
Anin berusaha untuk tersenyum,"amin ya rabbal alamin, makasih banyak Sus," lirih Anindira.
Anindira segera berjalan kembali ke dalam kamar inap perawatan mamanya. Dia berjalan tertatih menuju bangkar ranjang mamanya. Anin membelai puncak hijab mamanya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang sambil orrlahno mengecup puncak kening mamanya itu.
"Mama, saya berjanji akan menyembuhkan mama bagaimanapun caranya," gumam Anindira.
Attar Abrizam dan kakak sulungnya Anin yang bernama Aidan Axelle Mahendra sudah berada di dalam perjalanannya masing-masing. Attar dari kantor tempatnya bekerja dan Aidan baru membeli tiket pesawat untuk balik dari Denpasar Bali ke Jakarta.
Anindira terduduk di samping kirinya Bu Hania yang tidak berdaya itu. Dengan membaca beberapa surah ayat suci Al-Quran untuk menenangkan dirinya sendiri yang semakin kacau. Tiga hal yang terjadi di dalam hidupnya hanya membutuhkan waktu sehari saja yang membuatnya sangat terpukul dan hancur sehancur-hancurnya.
Kedatangan kedua saudaranya yaitu Attar dan Aidan cukup mampu mengobati luka lara hatinya itu.
"Kakak! Mama Hania," lirihnya Anindira yang segera berhamburan kedalam dekapan hangat pelukan kakak nya itu secara bergantian.
"Anin,kamu harus kuat dan sabar, insya Allah… Mama akan segera sembuh dari penyakitnya ini, masalah Papa kakak akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan Papa dari penjara," ucapnya Aidan kakak sulungnya Anindira.
"Hiks… hiiks… tapi kakak sudah hampir lima jam mama tidak sadarkan diri, kenapa mama sangat nyaman dalam tidurnya, apa mama enggan melihat kita?" Ratapnya Anindira.
Attar dan Aidan saling bertatapan satu sama lainnya," kamu harus berdoa demi kesembuhan mama yah dek, masalah papa serahkan pada kami berdua, insya Allah… papa akan segera terbebas dari tempat tuduhan yang sama sekali papa tidak pernah lakukan," pungkasnya Attar yang saling berpandangan dengan kakak sulungnya itu.
Sebelum mereka masuk ke dalam kamar perawatan mamanya kerjanya mampir untuk menemui dokter spesialis jantung yang menangani kesehatan mamanya itu. Dari sanalah mereka mengetahui jika hanya keajaiban yang bisa membuat Mama mereka sembuh dan tersisa menunggu waktu saja Bu Hania akan pergi untuk selamanya.
Tapi, keduanya sudah sepakat untuk menyembunyikan kenyataan itu dari adik perempuan satu-satunya yang mereka miliki.
Anindira menyeka tubuh mamanya itu dengan menggunakan tisu basah," mama cepatlah sadar, apa mama tidak ingin melihat kami anak-anakmu," lirih Anin dengan air matanya yang sedari tadi membasahi pipinya itu yang sudah sedikit tirus.
Anin dengan telaten dan penuh kelembutan membersihkan seluruh tubuhnya Bu Hania.
"Mama pasti kamu akan sedih dan kecewa jika mengetahui saya batal menikah dengan Abizar pria brengsek yang tidak tahu diri itu, telah berselingkuh dengan temanku sendiri, perempuan yang selalu mama sayang dan manja seperti putrinya Mama sendiri di dunia ini, tapi dengan teganya menikung dan merebut calon suamiku ma," cicitnya Anin yang sesekali menyeka air matanya itu.
Pintu itu terbuka dengan lebar dan masuklah Attar dan Aidan raut wajah kedua merah padam saking marahnya hingga urat-urat buku tangannya kelihatan dengan jelas.
"Anin, katakan pada kakak kenapa hari ini kamu tidak menikah dengan Abidzar, melainkan temanmu yang bersanding dengannya di pelaminan?" Tanyanya Attar dengan emosinya sudah membuncah.
Anin nampak gemetaran dan ketakutan melihat kedua kakaknya yang tampangnya tidak seperti biasanya itu.
Anin bangkit dari duduknya dengan berusaha bersikap wajar dan kuat menghadapi kedua pria dewasa yang dimiliknya dalam hidupnya itu.
"Saya sendiri yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan kami berdua, karena saya memergoki keduanya berselingkuh dengan Arshavina ular berkepala empat itu!" Jelasnya Anin yang berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya.
Aidan memeluk tubuh adik bungsunya itu," insya Allah… kamu akan mendapatkan laki-laki dan jodoh yang kakak yakin lebih baik dari Abidzar pria bajingan, brengsek dan lucknut itu!" Umpatnya Aidan.
Attar mengepalkan tangannya sekuat-kuatnya, "Saya akan memberikan pelajaran kepada mereka berdua yang sudah menyakiti kamu dek, saya pasti akan menghajarnya!" Geramnya Attar.
Anin segera mencegah kakaknya itu untuk tidak bertindak anarkis dan menyebabkan masalah yang pastinya akan berakhir dengan campur tangan kepolisian.
"Kakak, sudah biarkan saja mereka, saya tidak ingin melihat wajah keduanya yang membuat aku muak, aku juga tak ingin mendengar nama mereka disebut lagi dengan hadapanku! Cukup sudah kisahku dengan mereka jangan biarkan ada season keduanya untuk mengenal pengkhianat dan orang-orang kurang ajar itu!" Kesalnya Anin.
"Kalau itu keputusanmu, kami sebagai kakakmu pasti akan mendukung apapun keputusanmu, ingat kebahagiaan kamu diatas segala-galanya," timpalnya Attar.
Satu bulan kemudian…
Kondisi dari Bu Haniya bukannya sembuh dan kesehatannya membaik. Malahan semakin parah saja. Hari ini, Anindira hendak pergi ke kampusnya untuk mengurus masa cutinya beberapa semester, tetapi belum sempat masuk ke area kampusnya, hpnya berdering dan bergetar di dalam handbagnya yang berwarna hitam pekat itu.
"Siapa yang nelpon yah,apa kak Attar atau Aidan yah?" Gumamnya Anin.
Tapi,dia mengerutkan keningnya melihat nomor baru yang tertera di layar benda pipih yang berukuran persegi panjang itu. Dengan sedikit ragu, Anindira segera mengangkat telponnya itu.
"Halo, assalamualaikum maaf dengan siapa?" Tanyanya Anindira gadis berambut panjang itu.
"Waalaikum salam, maaf dengan Mbak Anindira Mahika Mahendra?" Tanyanya balik dari orang seberang telepon.
"Iya saya sendiri Bu, ada apa yah?" Tanya Anin yang perasaannya sudah tidak karuan dan tertuju pada mamanya yang terbaring lemah di atas bangkar rumah sakit sudah sebulan lamanya tanpa ada perubahan kemajuan yang berarti.
"Tolong segera ke rumah sakit,ada sesuatu yang terjadi kepada Ibu Anda," pintanya perawat tersebut yang ditugaskan untuk menjaga mamanya selama dia tidak berada di RS.
"Kenapa! Apa yang terjadi pada mamaku Suster!? Paniknya Anin yang sudah berfikiran negatif mengenai kesehatan ibunya itu.
"Untuk lebih jelasnya, silahkan datang secepatnya ke rumah sakit sebelum terlambat," ucapnya perawat itu lagi.
"Baik Sus, saya akan segera ke sana, tunggu aku sampai datang saya mohon jangan tinggalkan mamaku seorang diri," pinta Anindira.
"Oke Mbak, assalamualaikum,"
"Waalaikum salam," Anin segera berputar arah dan menghubungi ojek online untuk mengantarnya ke rumah sakit.
"Ya Allah… aku mohon selamatkan lah Mamaku,jangan biarkan apapun yang terjadi kepada beliau, aku tidak sanggup jika terjadi sesuatu padanya," gumam Anindira sambil menyeka air matanya yang barusan menetes.
Anindira segera berlari kencang ke arah dalam area rumah sakit, setelah selesai membayar tagihan sewa ojek onlinenya itu. Air matanya semakin menetes saja, seolah tidak ada keringnya dari dalam kelopak matanya.
Tubuhnya langsung berdiri kaku mematung ketika melihat kain putih panjang menutupi seluruh tubuh mamanya itu. Anin berjalan tertatih ke arah tempat tidur dengan langkah kakinya yang serasa sangat sulit itu.
"Ma-ma," Lirihnya Anin yang tidak kuasa melihat mamanya yang sudah tidak bernyawa lagi dan sudah terbujur kaku pergi untuk selamanya dari dunia ini.
Attar dan Aidan pun segera berlari ke arah dalam rumah sakit,tapi langkahnya Attar sedikit terhalang karena tanpa sengaja menabrak seorang suster perempuan yang baru saja keluar dari dalam ruangan rawat inap Bu Hania.
"Auh sakit!" Teriak perawat itu yang bokongnya terbentur dengan lantai keramik.
"Maaf saya tidak sengaja," ucap Aidan sambil mengulurkan tangannya ke arah wanita yang terduduk di atas lantai dengan kedua kakinya berselonjor.
"Tidak apa-apa pak,saya yang salah karena sudah berjalan tidak hati-hati," imbuhnya perawat yang bername tag Adhisti Mirzani.
Aidan melanjutkan perjalanannya menuju kamar mamanya yang tidak ingin terjadi sesuatu pada Bu Hania.
"Ya Allah… panjangkanlah umurnya Mamaku ya Allah… angkatlah segala macam penyakitnya dari tubuhnya dan sehatkan lah mamaku," gumam Aidan yang sudah berada di dalam ruangan tersebut.
Langkah kakinya melambat melihat Anindira adiknya sudah menangis seraya memeluk tubuh Bu Hania. Tangis pecah di dalam sana. Mereka tidak menyangka jika mamanya akan pergi selamanya dari dunia ini.
"Mama maafkan kami anak-anakmu yang belum bisa berbakti dan membalas budi baikmu dalam merawat dan menjaga kami bertiga sejak kami masih dalam kandungan hingga sampai detik ini juga," ratapnya Attar yang akhirnya hancur juga pertahanannya yang berusaha untuk tegar dan kuat dibandingkan dengan kedua adiknya yang lain.
Papanya dengan ijin dari pihak kepolisian, datang juga untuk menghadiri acara pemakaman istrinya dan diberikan waktu yang luang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada istrinya itu.
"Papa!" Pekik Anindira yang berlari ke arah papanya tapi segera dicegah oleh beberapa polisi.
"Stop! Berhenti jangan menghalangi kami, Anda harus bersyukur karena diberikan kelonggaran untuk bertemu dengan ayah Anda," cegah polisi yang menggiring Pak Hamka Mahendra.
"Anin putrinya Papa, maafkan Papa Nak sudah membuat kalian menderita dan kesusahan, maafkan Papa Hania tidak berada di sampingmu disisa hidupmu," ucapnya Pak Hamka Mahendra dengan menangis tersedu-sedu meratapi kepergian istrinya untuk selama-lamanya.
Attar,Aidan meminta dan memohon kapten kepolisian untuk memberikan mereka kesempatan untuk saling berpelukan satu sama lain seraya melepaskan kerinduan mereka yang sudah sebulan lebih tidak bertemu seperti sekarang ini di luar area kantor polisi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!