NovelToon NovelToon

Tipuan Sephia

Terpaksa Menikah

"Jadi Lidya harus menikah dengan pria yang tidak Lidya kenal sebelumnya, Pa?" tanya Lidya sembari menatap tak percaya Pramana Syarif, sosok ayahnya yang sangat ia cintai.

"Ya, kamu harus melakukannya, Nak," jawab Pramana.

Lidya menggelengkan kepalanya gusar. "Tidak, Pa. Lidya tidak mau melakukannya," tolaknya seketika.

"Kenapa kamu menolak, Sayang? Ini demi masa depanmu," gusar Pramana.

Lidya terkekeh. "Masa depan Papa atau masa depan Lidya?"

"Tentu saja masa depanmu. Masa depan papa ada padamu, Lidya," tegas Pramana.

Lidya mendengus kesal. "Masa depan yang bagaimana dari sebuah perjodohan tanpa cinta ini, Pa?"

Kali ini Pramana tertawa mendengar ucapan putri satu-satunya itu. Pria paruh baya itu lalu duduk di singgasana kebanggaannya, di atas kursi elegan, sebuah ruang kerja yang cukup nyaman, dalam sebuah perusahaan besar miliknya. Kedua mata elangnya lalu menatap tajam sang putri dengan penuh tuntutan.

"Ada banyak pasangan hasil perjodohan yang hidupnya ternyata bahagia, anakku," ujarnya. "Kamu masih belum menjalaninya tapi sudah memvonis masa depanmu. Setidaknya kamu harus mencobanya terlebih dahulu."

Lidya tertawa miris. "Mencoba? Apa ada pernikahan coba-coba, Pa? Yang ada nantinya Lidya yang rugi," protesnya pelan.

"Rugi bagaimana? Malah bakal dapat banyak keuntungan, kamu nantinya," tegas Pramana tetap berkeras.

"Untung dalam hal apa? Tidak ada jaminan kebahagiaan dalam sebuah uji coba pernikahan, Pa. Yang ada Lidya bakal kehilangan keperawanan lalu ditinggal begitu saja kalau menantu Papa kelak ternyata tidak mampu mencintai Lidya, begitu juga sebaliknya," jawab Lidya lugas.

Pramana terdiam mendengar ucapan Lidya. Pria itu menyesap cerutunya lalu mengeluarkan asap dari mulutnya yang membentuk bulatan, ke arah atas. Kedua matanya menatap nanar langit-langit ruang kerjanya yang cukup mewah itu.

"Itu hanya bayangan negatif saja, Lidya," jawab Pramana. "Yakinlah, pilihan papa ini cukup baik buatmu kelak," imbuhnya.

"Pa, Lidya harus bilang apa lagi? Lidya tidak mau dipaksa." Lidya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Ia lalu menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kenapa ayahnya begitu berkeras untuk menjodohkannya?

"Atau kamu lebih memilih papa bangkrut dan kita hidup miskin, Nak?" tanya Pramana dengan suara bergetar.

"Tapi apa tidak ada cara lain, selain menikahkan Lidya dengan pria yang tidak ku kenal, Pa?"

"Kalau itu yang jadi masalahnya, papa akan mempertimbangkan dan akan berbicara dengan sahabat papa, calon mertuamu itu," ucap Pramana.

"Sebenarnya apa yang terjadi, hingga membuat Papa begitu berkeras menjodohkan Lidya?"

"Bisnis papa kolaps. Papa membutuhkan banyak suntikan dana, dan jumlahnya tidak sedikit, Lidya. Ini juga menyangkut hidup mati Mama," jelas Pramana dengan wajah sedih.

"Mama? Apa hubungan Mama dengan masalah ini?"

Pramana mengusap kasar wajahnya. Ia lalu beranjak dari duduknya, melangkah ke jendela dan menatap kejauhan dengan nanar. "Mama merelakan diri untuk menjadi jaminan, bahwa papa akan segera melunasi hutang bisnis papa," jawabnya pelan.

Lidya terkejut mendengarnya. "Jaminan? Bukannya papa bilang Mama masih menemani Opa di Belanda?" tanyanya heran.

Pramono menggelengkan kepalanya. "Mama ada di rumah besar milik keluarga Teddy," jawab Pramana sedih.

"Keluarga Teddy yang terkenal kejam itu?" Lidya membelalakkan kedua matanya. "Kenapa Papa membiarkan Mama begitu saja?"

"Papa terpaksa, karena Mamamu yang mendesak papa untuk menyerahkan Mama sebagai jaminan, demi keselamatanmu, karena sebenarnya yang mereka minta itu kamu, Lidya," jelas Pramana. Kali ini kedua matanya berair, susah payah ia menyembunyikannya dari Lidya, namun ternyata gadis itu mampu melihatnya dengan jelas. Seketika hatinya pun luluh. Ia tidak tega melihat ayahnya itu terluka.

"Lalu apa hubungannya dengan perjodohan?" desak Lidya yang masih belum mengerti kondisi yang sebenarnya.

"Om Arman, sahabat papa, mau memberikan suntikan dana buat papa asalkan kamu mau menikah dengan Alex, putranya," jelas Pramana sembari mengusap sudut matanya yang basah.

"Tapi, Lidya tidak mau kalau_"

"Kita tidak bisa lagi menolak, Lidya. Kamu dengar sendiri bagaimana Arman sudah mengatur semuanya," potong Pramana.

"Maafkan Lidya, Pa. Lidya hanya mau perjodohan ini berjalan dengan wajar dan Lidya mengenalnya terlebih dulu, hanya itu saja."

"Hanya itu saja?" tanya Pramana memastikan. Lidya mengangguk pelan meskipun sebenarnya sangat berat. Ia merasa ada sedikit harapan bahwa keinginannya akan terpenuhi.

"Tunggu sebentar."

"Papa mau apa?"

"Meminta sedikit kelonggaran waktu, agar kalian berdua bisa saling bertemu dan mengenal, sebelum kalian menikah nanti," jawab Pramana.

Lidya mendecak pelan. Biarpun mereka bertemu, tidak akan menjamin keduanya akan cocok dalam waktu yang sangat singkat. Ayahnya itu sudah mengatakan bahwa dirinya harus segera menikah, dalam waktu dua minggu ke depan. "Mau berapa lama waktu kami untuk saling mengenal dan mendekatkan diri, Papa tidak sedang bercanda 'kan?" dumal Lidya dalam hatinya.

"Bagaimana, kamu setuju ketemu dulu sama calon suamimu, bukan?" tanya Pramana yang langsung saja menghubungi Arman, sahabat dan juga calon besannya itu. Lidya hendak menyangkal tetapi Pramana lebih dulu mengangkat satu tangannya, mencegah Lidya untuk bicara. Ia menekan kontak Arman, lalu mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselnya.

"Hai, Man! Bagaimana, kau ada waktu sebentar?"

"Katakan saja, aku hanya punya waktu lima menit sebelum berangkat ke bandara."

Pramana melirik arlojinya. "Begini, masalah pernikahan anak-anak kita, bolehkah aku meminta jika tanggal pernikahannya diundur satu minggu lagi?"

Sejenak hening, sebelum kemudian Arman menjawab, "Kenapa mundur? Aku sudah memesan undangan dan lain-lain sesuai tanggal yang sudah kita sepakati. Jangan bilang kalau kau mau merubahnya."

"Bukan begitu, hanya saja Lidya meminta waktu untuk lebih mengenal Alex sebelum menikah," jawab Pramana.

Terdengar kekehan tawa di ujung sana. Pramana mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud tawa dari sahabatnya itu, apakah ucapannya terlalu lucu di telinga konglomerat itu?

"Tidak perlu, mereka bisa saling mengenal setelah pernikahan. Kau tunjukkan saja dulu pada calon menantuku, bagaimana wajah asli Alex, anakku," jawab Arman.

Pramana hanya mampu menghela napas panjang. Ia paham benar bagaimana Arman jika sudah membuat keputusan.

"Oke, deal ya! Tanggal pernikahan tetap sesuai dengan apa yang sudah kita sepakati," putus Arman. "Aku berangkat dulu ke bandara, tiga hari lagi kita bertemu di tempat biasa untuk membicarakan rencana selanjutnya." Arman menutup pembicaraan secara sepihak. Jelas sekali terlihat jika ia sedang terburu-buru.

Lidya memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ayahnya ternyata tidak mampu bersikap tegas, menentang keputusan yang sudah diambil oleh Arman. Sudut matanya terlihat berair. Lidya putus asa dan tidak lagi bisa menolak, terlebih saat kedua mata ayahnya kini menatapnya dengan penuh harap.

***

2 Minggu kemudian

Lidya menatap bayangan wajahnya pada cermin dengan perasaan tidak percaya. Dalam sekejap, status singlenya telah berubah menjadi seorang Nyonya.

Ya, hari ini dirinya menikah dengan putra tunggal seorang pengusaha besar, Alex Pradana, sang CEO muda Pradana Group. Salah satu perusahaan terbesar di wilayah Asia, yang berlokasi di Indonesia.

Dengan langkah lunglai ia mendekati ibunya yang berdiri menunggunya di depan pintu ruang rias pengantin, salah satu kamar hotel berbintang lima, kawasan kota itu.

Lidya menatap sendu wajah ibunya yang terlihat lelah. Raga sehat yang sedikit tambun milik ibunya dulu, kini telah berganti kurus kering, seolah ibunya itu sedang kekurangan gizi, padahal suaminya seorang pengusaha terpandang. Sungguh miris kenyataan hidup yang harus mereka lewati saat ini.

Tanpa terasa buliran bening luruh begitu saja di wajah cantik Lidya, membuat hati Maria mencelos seketika. Ia tahu putrinya itu terpaksa menerima perjodohan ini, tanpa menyadari bahwa Lidya begitu sedih melihat kondisi fisik ibunya.

"Sabar sayang, badai pasti berlalu dan kamu akan mendapati kebahagiaan bersama calon suamimu," ucap Maria yang lalu membimbing putrinya itu untuk melangkah menuju ballroom hotel, tempat resepsi pernikahan itu akan dilaksanakan.

"Mama benar, Lidya akan merubah takdir kita menjadi lebih baik," jawab Lidya. "Lidya akan mengembalikan Mama seperti sebelumnya."

"Maksudmu?"

Masih Lugu

Lidya terkekeh lalu mengusap wajah Maria dengan penuh sayang. "Lidya pengen lihat Mama gemuk lagi," jawabnya.

"Ah, mama sudah cukup nyaman dengan tubuh langsing begini, Nak," kilah Maria.

"Kurang gemuk sedikit," sahut Lidya.

Maria tertawa. "Sudah, jangan bahas mama terus. Sekarang giliranmu bahagia," ucapnya. "Lihat, menantuku itu tampan sekali, cocok kalau bersanding dengan putriku yang cantik ini." Kedua mata Maria menatap Alex yang berdiri sendirian di depan kursi pelaminan, menatap ke arah mereka.

"Tampan ya, Ma? Tadinya Lidya kira yang mau dijodohin sama Lidya itu om-om yang sudah berumur, eh, ternyata masih muda," ujar Lidya sembari menatap nanar Alex.

"Tapi kenapa wajahmu begitu?"

"Wajahku kenapa, Ma?"

"Kamu seperti bingung, apa kamu tidak suka kalau ternyata yang dijodohkan denganmu orangnya tampan?"

Lidya kembali terkekeh. "Suka tidak suka, Lidya harus tetap menikah, Ma. Jadi, mau ternyata dia tampan atau nggak, Lidya sudah siap dari awal," jawabnya pelan.

"Kenapa tidak menolak saja kalau kamu tidak suka? Papa bilang kamu mau-mau aja, jadi mama ikut mendukung kemauan Papamu."

Lidya menghela napas panjang dengan pelan. Ingin rasanya ia jujur pada ibunya itu, tetapi ia sudah berjanji pada ayahnya untuk tidak mengatakan tentang masalah sesungguhnya yang membuatnya harus menerima perjodohan itu. Lagipula ia tidak mau jika sampai ibunya itu menyalahkan dirinya sendiri setelah mengetahui semuanya.

"Lidya pengen jadi anak yang berbakti, Ma. Sudah banyak yang Papa sama Mama lakukan buat Lidya selama ini, jadi, sekarang 'lah waktunya Lidya untuk membalas budi pada kalian."

Maria menatap putrinya itu dengan sedih. Selama ia tinggal di Belanda untuk mengurus ayahnya yang sedang sakit, Pramana selalu bilang kalau Lidya baik-baik saja dan bisa hidup mandiri tanpa dampingan darinya, seperti sebelum kepergiannya.

Meskipun tinggal berjauhan, Maria mengetahui kabar tentang bisnis Pramana yang sedang kolaps. Ia tahu, suaminya itu terpaksa menikahkan Lidya dengan Alex hanya untuk mendapatkan suntikan dana yang besar, yang mereka janjikan jika Lidya menyetujuinya.

Maria tidak tahu jika ternyata suaminya itu berbohong pada putrinya dan mengatakan bahwa dirinya dijadikan jaminan, padahal sebenarnya tidak.

Meskipun Pramana mengatakan padanya bahwa Lidya dengan senang hati menerima perjodohan itu, tetapi hati seorang ibu bisa merasakan, bahwa sebenarnya putrinya itu terpaksa melakukannya.

Maria mengusap lembut bahu Lidya. "Mama cuma bisa berdoa, semoga kamu bahagia bersama Alex," ucapnya sembari mencoba untuk tersenyum, seperti yang kini dilakukan oleh Lidya padanya. "Secepatnya kasi mama cucu ya, laki atau perempuan sama saja, yang penting sehat, kamunya juga," lanjut Maria yang sontak membuat Lidya tersedak mendengarnya. Belum apa-apa ibunya ini sudah meminta cucu.

"Kalian lama sekali," tegur Pramana. "Sudah banyak tamu yang datang, cepatlah bersanding dengan Alex," titahnya pada Lidya yang lalu menggamit lengan istrinya, mengajaknya duduk di tempat keluarga inti mempelai, bergabung dengan yang lain.

Kini Lidya melangkah dengan hati berdebar menuju ke tempat Alex yang sudah menatapnya dengan tidak sabar. Dapat ia lihat gurat kecewa pada raut wajah tampan milik lelaki yang kini resmi menjadi suaminya itu.

"Cepat berdiri di sini, jangan bengong!" desis Alex yang lalu menarik pergelangan tangan Lidya dengan sedikit kasar.

Lidya yang sejak bertemu Alex sudah paham dengan sikap kasarnya hanya patuh dan berdiri diam di samping pria itu lalu menatap ke para tamu undangan yang sudah berdatangan.

"Wajahmu itu jangan kaku, tersenyumlah!" tegur Alex sekali lagi.

Lidya pun mencoba untuk tersenyum, walau terpaksa. Ia berusaha menyambut setiap tamu dengan baik, sesekali Alex memberinya arahan, bagaimana ia harus bersikap elegan jika rekan bisnis Alex datang.

Tiga jam sudah mereka berdiri menyalami setiap tamu undangan yang datang, tiga jam itu pula Alex sama sekali tidak mengajaknya bicara hal lain, selain aturan tentang bersikap dan bertutur kata.

Hingga akhirnya acara itu pun selesai. Semua keluarga pergi dari ballroom, mengikuti sang mempelai, dan berpisah untuk menempati kamar yang sudah disewa secara khusus oleh pihak keluarga Alex.

Lidya duduk terpaku di depan cermin, menatap wajah cantiknya yang tertutup bahan riasan yang cukup mahal. Ada rasa sedikit menyayangkan di dalam hatinya, ketika harus menghambur-hamburkan uang begitu banyak hanya untuk hal seperti ini, padahal masih ada yang tidak kalah bagus dengan harga jauh di bawahnya. Lidya mencebik dan mengedikkan bahunya, toh bukan dirinya yang membayar semua itu.

"Lekas hapus riasan dan bersihkan tubuhmu," titah Alex yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia hanya melirik sekilas pada Lidya lalu melempar handuknya begitu saja ke atas meja rias, tepat di hadapan Lidya yang seketika tertegun melihatnya.

Tanpa banyak bicara, Lidya segera mengambil pakaian ganti yang sudah di siapkan oleh ibunya, berikut semua perlengkapan kebersihan tubuhnya, lalu segera masuk ke dalam kamar mandi.

Alex menyibukkan diri dengan ponselnya. Sudut bibirnya terangkat ketika ia membaca sebuah pesan di sana. "Tunggu aku malam ini," desisnya pelan. Ia lalu merebahkan diri dengan nyaman karena merasa begitu lelah.

Lidya tertegun ketika melihat Alex tertidur dengan hanya memakai boxer dan singlet. Rambutnya yang masih basah memperlihatkan sisi macho dari lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Tanpa terasa Lidya mendekat dan memerhatikan wajah Alex dengan intens. Gadis yang baru pertama kali melihat sosok lelaki dari jarak sedekat itu pun tak urung menelan saliva, saat melihat postur tubuh Alex yang begitu sempurna. Jujur ia sangat kagum, namun ia tidak mau begitu saja menyimpulkan, karena ia masih belum paham bagaimana sifat Alex yang sebenarnya. Sejauh ini yang ia tahu, pria itu cukup dingin dan sedikit kasar.

"Ada yang kurang dari wajahku?"

Lidya tersentak saat ujung jemarinya hampir saja menyentuh rahang kokoh milik Alex dan ternyata pria itu membuka matanya secara tiba-tiba. "Ah, maaf, ada nyamuk di wajahmu," jawab Lidya sekenanya. Ia lantas beranjak dari tepian ranjang hendak duduk di depan meja rias, karena malu pada Alex.

Alex terkekeh lalu menarik tangan Lidya dengan keras hingga gadis itu terjatuh di sebelahnya.

Jantung Lidya berdegup kencang. Kedua matanya menatap curiga pada Alex yang kini mendekatkan wajah, seolah hendak menciumnya.

"Kenapa, bukannya kita sudah menikah? Aku bebas melakukan apapun padamu," ucap Alex saat Lidya memalingkan wajahnya, menghindari ciuman dari suaminya itu.

"Ehm, a-aku ...."

Alex bergerak cepat mengungkung tubuh Lidya di bawahnya, membuat tubuh gadis itu seketika mengejang.

Alex menyeringai, lalu menatap tubuh Lidya dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Ia menggeleng dan mendecih pelan. "Wanita seperti ini yang mereka tawarkan padaku, cih!" desisnya pelan.

Lidya mengerutkan dahinya, tidak mengerti dengan ucapan Alex.

"Sudah siap?" tanya Alex dengan tatapan liarnya yang menyorot tajam, menyelami bibir dan gundukan kembar yang melekat pada tubuh Lidya.

"Siap apa?" tanya Lidya jengah.

"Siap ku santap, jangan pura-pura lugu!"

Lidya ternganga. Ia masih saja tidak mengerti apa sebenarnya maksud Alex. Alih-alih bertanya, Lidya justru tertawa. "Aku bukan makanan," ujarnya.

Alex memutar bola matanya ke atas. Ia lalu ******* bibir Lidya dengan kasar, membuat gadis itu seketika gelagapan.

"Lepaskan," pinta Lidya yang kini menggelinjang saat kedua tangan Alex bergerak bebas menelusuri tubuhnya dan berhenti di dua bukit kembar miliknya. "A-lex!"

Alex tak memerdulikan ucapan Lidya. Pria itu terus menyerang Lidya dengan ganas. Hingga suara ketukan di pintu membuyarkan pergulatan itu.

"Sial, mengganggu saja!"

Ternodai Suami Sendiri

"Buka pintunya!" titah Alex pada Lidya. Pria itu lalu berlari menuju kamar mandi dan menyambar handuk kimono miliknya.

Lidya merapikan pakaian yang ia kenakan dengan perasaan lega. Ia lalu melangkah ke pintu dan membukanya.

"Tuan Alex ada, Bu?" tanya seorang pria dengan pakaian formal di tubuhnya. Pria itu menganggukkan kepalanya dengan sopan saat melihat Lidya.

"Ada di dalam, silahkan masuk, Pak," balasnya sembari menyeringai.

Pria itu sedikit mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis. "Maaf, Nyonya," ralatnya. "Kalau boleh minta tolong, sampaikan pada Tuan, saya menunggunya di sini," ucapnya sungkan.

"Baiklah, biar aku--."

"Masuklah, Kim, kita bicara di sini saja," titah Alex yang berteriak dari dalam. Sontak Lidya membuka lebar pintu kamarnya lalu bergegas pergi, memberikan kesempatan pada kedua pria itu untuk bicara.

Setelah Lidya menghilang, Alex menatap pria yang ia panggil Kim itu dengan penuh tanya. "Bagaimana?"

Kim melirik ke arah luar lalu mengunci pintu dan kembali duduk di hadapan Alex. "Wanita itu ternyata hamil dengan pria lain, Tuan," ujarnya melaporkan.

Raut wajah Alex terlihat cerah seketika. "Jadi bukan karena aku?"

Kim menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Bukan, Tuan. Kami sudah mendapatkan bukti yang akurat tentang hal ini," jawabnya.

Alex tertawa lepas. "Kau memang yang paling bisa ku andalkan, Kim! Tidak sia-sia aku memberimu gaji yang tinggi sebagai asistenku," pujinya.

"Terima kasih."

"Mana, tunjukkan padaku buktinya."

Kim merogoh saku dalam, di balik jasnya, lalu mengeluarkan amplop dan menyerahkannya pada Alex. "Silahkan, Tuan."

Alex tersenyum lebar. "Jadi aku terbebas dari segala tuduhan dan tanggung jawab apapun, termasuk biaya hidupnya?"

Kim mengangguk tegas. "Tentu saja, Tuan. Kami sudah konsultasi dengan pengacara Anda secara langsung dan beliau mengatakan bahwa semua bukti ini adalah kunci kemenangan Anda."

Alex mengangguk-anggukkan kepalanya. "Haruskah aku menemuinya?"

"Untuk apa, Tuan?"

"Menuntut balik atas semua tuduhan palsunya," jawab Alex.

"Saya rasa tidak perlu, Tuan. Pengacara Anda sudah melakukannya," jawab Kim sembari tersenyum miring.

"Kalian memang orang-orang terbaik!" puji Alex.

Kim hanya mengangguk sopan dan menyambut pujian itu dengan senyuman.

"Hera, kau akan mendekam di penjara bersama bayimu, miris sekali nasib anakmu itu," desis Alex sembari menyebut nama salah satu teman wanitanya, yang menuduh Alex telah menghamilinya.

"Ada lagi yang harus saya kerjakan, Tuan?" tanya Kim.

"Tidak ada. Semuanya sudah selesai."

"Kalau begitu saya pergi dulu, Tuan Alex," pamit Kim.

"Tunggu dulu, apa kau ada jadwal hari ini?"

Kim melihat buku catatannya lalu menggelengkan kepala. "Hari ini saya hanya bertugas seperti biasa, Tuan. Ada yang harus saya kerjakan?"

"Temani aku malam ini," ujar Alex sembari tersenyum miring. "Seperti biasanya."

Kim tersenyum penuh arti lalu mengangguk. "Baik, Tuan."

"Terima kasih."

Kim beranjak pergi setelah Alex menganggukkan kepalanya tanda telah selesai urusan mereka berdua. Sesekali ia menggelengkan kepalanya heran, mengetahui kelakuan atasannya itu yang gemar bermain wanita. Padahal salah satu korbannya nyaris saja menuntut dan menjebloskannya ke penjara karena ulahnya.

***

"Anda bisa kembali ke kamar, Nyonya. Maaf, saya sudah mengganggu waktu Anda berdua," ucap Kim, memberitahu Lidya, saat mereka bertemu di lobi hotel.

"Sudah selesai urusannya?" tanya Lidya basa basi. Ia begitu lelah dan penat, ingin segera beristirahat saat ini juga.

"Sudah," jawab Kim singkat. "Saya pergi dulu," pamitnya sembari mengangguk hormat.

Lidya menatap punggung kekar milik Kim, asisten Alex yang mulai menjauh darinya. Ia lalu melangkah ragu menuju kamar. Jantungnya kembali berdegup kencang ketika mengingat pergulatannya yang singkat bersama Alex. Seketika ia merasa gerah. Kini ia bingung memutuskan, apakah ia masuk saja ke dalam kamar atau kembali turun dan berjalan-jalan untuk menghabiskan waktu. Yang ada dalam benaknya saat ini hanya rasa malu dan jengah.

"Kenapa berdiri di sini? Masuklah!" suara bariton Alex membuyarkan lamunan Lidya. Ia tidak menyangka bahwa ternyata suaminya itu berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, seolah sengaja menunggunya. Sontak gadis itu pun berlari masuk lalu membaringkan tubuhnya ke atas ranjang king size yang cukup nyaman itu, lalu menutup tubuhnya dengan selimut sampai sebatas leher.

Alex menyeringai melihat tingkah Lidya. Sebagai lelaki yang cukup berpengalaman dalam urusan wanita, pria itu tahu, Lidya sedang malu dan salah tingkah.

Tiba-tiba muncul niat isengnya. Alex melepas singlet lalu menyusul Lidya, berbaring di sebelahnya sembari sesekali berdeham kecil. Lidya semakin tak karuan ketika satu tangan Alex mulai melingkar di pinggangnya.

"Lidya," panggil Alex pelan.

"Hm?"

"Boleh ya?"

"Boleh apa?" tanya Lidya gugup.

"Itu ...."

Lidya berdecak pelan. Ia lalu diam tanpa berniat untuk menjawab Alex.

"Lid?" panggil Alex sekali lagi.

"Ada apa?"

"Inimu, anu ...."

"Ck! Apa sih?" tak urung Lidya yang tadinya tidur miring memunggungi Alex, kini berbalik dan menatap Alex kesal.

"Kakimu, kenapa kau tumpangkan seperti itu di atas kakiku?" jawab Alex dengan wajah seriusnya.

"Hah? Ka-kaki?" Sontak Lidya melihat kakinya yang menindih kaki Alex. Seketika wajahnya merona saat Alex menertawakannya.

"Kau kira apa? Aku tidak semesum itu jika bersamamu, ingat itu!"

"Eh, tapi kau sendiri yang datang mendekatiku," protes Lidya.

"Itu hanya perasaanmu saja, Nyonya Alex Pradana gadungan," cibir Alex yang lalu beranjak dari tempat tidur.

Lidya hanya mampu menatap nanar punggung Alex yang kini tertutup singlet hitam. Lelaki yang adalah suaminya itu kini melangkah keluar sembari membanting pintu kamar dengan keras.

"Hm, sedang kelebihan tenaga rupanya," gumam Lidya kesal. "Gadungan? Apa maksud ucapanmu itu, bukankah kita sudah menikah secara resmi?" gusarnya. Ia lalu menyambar ponselnya di atas nakas, bermaksud untuk melihat sosial media miliknya. Sudah satu minggu belakangan ini toko online miliknya juga tidak pernah ia jenguk dan kelola. Ia berharap ada pemesanan yang masuk, entah satu atau dua, setidaknya cukup untuk menghibur dirinya.

Sudut bibir Lidya terangkat ketika ia melihat deretan pesan yang masuk dari para sahabatnya, mengucapkan selamat atas pernikahan.

Lidya tersenyum tipis, melihat satu pesan masuk dari ayahnya.

|Terima kasih, Nak, berkatmu bisnis papa berjalan lagi. Semoga kelak kau hidup bahagia bersama pria pilihan ayah.|

Lidya menghela napas panjang. Pesan dari Pramana membuatnya semakin yakin, pernikahan ini adalah semata demi untuk kebahagiaan ayahnya. Bukan dirinya ataupun juga ibunya.

Saking asiknya Lidya bermain ponsel, tanpa terasa hari sudah semakin sore, sementara Alex tak kunjung datang ke kamar itu.

Lidya melangkah ke pintu dan membukanya, melihat jika suaminya sedang berada di luar, namun di sepanjang koridor hotel itu terlihat kosong dan sunyi.

Lidya menutup pintu lalu kembali berbaring santai di atas ranjang. Iseng ia mencari sosial media menggunakan nama Alex, dan menemukan beberapa postingan terbaru hari ini, yang menampilkan foto Alex sedang minum bersama teman-temannya di sebuah kafe.

"Pantas sampai jam segini belum datang," gumam Lidya. Ia menggulir foto, iseng melihat beberapa komentar yang ada di bawahnya. Dahinya berkerut ketika membaca panggilan sayang dari seorang wanita. "Apa wanita ini kekasihnya?"

Belum lagi Lidya selesai melihat semua foto-foto yang ada, ia dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka dengan kasar. Kedua matanya membulat saat melihat Alex melangkah masuk dengan sempoyongan.

"Lily, aku datang," ucap Alex yang lalu menendang pintu kamar dengan satu kakinya, lalu melangkah mendekati Lidya sembari melepaskan pakaiannya satu persatu.

"Alex, kau mabuk?"

Alex tertawa menyeringai. "Ada apa, kau merindukanku, Lily? Maaf, aku terpaksa menikah tanpa memberitahumu," sesalnya sembari menjatuhkan tubuhnya dan memeluk Lidya dengan erat.

"Lepaskan! Aku bukan Lily, buka matamu, Alex!"

Alex tidak memedulikan teriakan Lidya. Ia terus saja menciumi leher dan bahu gadis itu sembari membisikkan nama Lily.

Lidya berkali-kali menampik ucapan Alex dan berusaha melepaskan diri dari pria itu, tetapi tenaga Alex terlalu besar. Lidya tak mampu melawannya, hingga akhirnya tubuhnya terkunci tubuh polos Alex yang menindihnya dengan kuat. Alex terus menceracau dan menciumi seluruh tubuh Lidya. Semakin Lidya berontak, ia justru semakin bersemangat untuk terus melampiaskan hasratnya pada sang istri.

Lidya yang belum siap terpaksa menggigit lengan Alex dan juga bagian-bagian tubuhnya yang lain, yang bisa ia jangkau, tetapi tetap saja masih kalah. Alex seolah tidak merasakan sakit sama sekali.

Pergulatan itu terus terjadi, hingga akhirnya Lidya memekik tertahan, menahan sakit pada bagian intinya, saat Alex berhasil menghujam, menyatukan tubuh mereka dengan sempurna.

Air mata Lidya menetes dari sudut matanya saat Alex telah menuntaskan hasratnya dan kini berbaring telentang di samping tubuh Lidya yang lemas tak bertenaga. Dalam sekejap, pria itu tertidur dengan pulas, kelelahan, seolah baru saja selesai bekerja keras.

Lidya mengusap air matanya lalu menyambar selimut dan menutup tubuh polos Alex sepenuhnya. Ia lalu mencoba untuk berdiri dengan susah payah, bagian bawah tubuhnya terasa begitu sakit. Lidya memaksakan diri untuk melangkah dengan tertatih menuju kamar mandi. "Kenapa harus seperti ini?" desisnya kecewa. Meskipun Alex adalah suaminya, ia merasa begitu kecewa karena Alex melakukannya dengan cara paksa. Banyak yang bilang malam pertama itu indah, tapi bagi Lidya, malam pertamanya bagaikan bencana, yang membuatnya terluka, terlebih Alex selalu menyebut nama wanita lain saat melakukannya.

Setelah selesai membersihkan diri, Lidya keluar dari kamar mandi dengan wajah sembab. Langkahnya masih tertatih menahan sakit. Ia tersenyum pahit saat melihat Alex masih mendengkur dengan nyaman di atas ranjang. Ia tidak tahu bagaimana nanti harus menjawab, ketika Alex bangun dan tersadar dengan kondisi tubuhnya yang polos itu.

Baru saja Lidya duduk di bangku rias, suara ketukan di pintu membuatnya berdiri dan melangkah perlahan untuk membukanya.

"Maaf, Tuan Alex di dalam, Nyonya?"

"Kim? Suamiku sedang tidur, tunggulah sebentar akan 'ku bangunkan," ucap Lidya.

Kim melirik ke dalam sekilas, ia melihat Alex tidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya.

"Alex, Kim mencarimu." Lidya menyentuh lengan Alex perlahan lalu menggoyangkannya. Alex menggeliat lalu membuka matanya perlahan.

"Lily?" gumam Alex sembari menatap Lidya.

"Lily siapa, Alex? Bangunlah, Kim menunggumu di luar," titah Lidya dengan jengkel.

"Kim? Oh tidak, jam berapa ini?" Alex terhenyak. Ia langsung saja bangun dan beranjak dari tempat tidur tanpa menyadari kondisi tubuhnya yang polos.

"Pakai dulu bajumu!" ucap Lidya sedikit berteriak kecil. Ia takut Kim mendengarnya dari luar.

"Baju? Kenapa--, apa yang terjadi? Kau memperkosaku?" tuding Alex yang sontak membuat Lidya mendelik padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!