Namaku Denisa Anisa, umurku tahun ini menginjak 20 tahun. Aku tinggal di sebuah panti asuhan "Harapan Bunda". Entah sejak kapan tepatnya aku menjadi penghuni disini, yang aku tahu sejak kecil aku sudah berada disini, bermain dengan banyak anak seusia denganku kala itu. Hingga beberapa tahun berubah dan pantai pun berganti penghuninya. Ada yang melanjutkan sekolah dengan beasiswa yang didapatnya atau bahkan bekerja.
Tak pernah terbesit sedikitpun dalam benakku untuk bertanya siapa orang tua kandungku dan keluargaku. Aku sudah cukup merasa bahagia disini.
Tinggal di panti asuhan tentunya aku harus tahu diri. Setelah lulus Sekolah menengah waktu itu aku memutuskan untuk bekerja, membantu ibu ibu panti yang bekerja keras guna membiayai kehidupanku dan anak anak panti lainnya.
Beberapa adik adik bahkan telah menemukan orang tua baru yang mengadopsi mereka. Sejak usia 5 tahun aku tak pernah mau diadopsi. Aku lebih senang berada di panti. Beruntungnya ibu pemilik panti sangat baik hati, beliau tak pernah menunjukkan data data tentangku ketika ada keluarga yang datang ingin mengangkat anak. Aku sangat bersyukur untuk itu.
Aku diterima bekerja di sebuah butik milik ibu Yenni, seorang wanita baik yang menjadi donatur tetap di panti. Hanya ada 3 karyawan di butiknya dan salah satunya adalah aku. Kami bertiga berasal dari tempat yang sama, sama sama sebagai anak yatim-piatu. Mungkin memang butik ini di khususkan sebagai penampung anak anak seperti kami yang ingin bekerja, entahlah yang jelas semua ini sangat membantu kami.
Tak ada penyesalan dalam diri dan hatiku. Ku jalani hidupku dengan penuh semangat, satu keinginan yang ku pendam dan ku jadikan semangat selama ini. Aku ingin menjadi orang sukses dan mampu membiayai kebutuhan adik adik di panti. Selain beberapa penghuni dan pengurus yang sudah bisa bekerja, kami semua mencukupi kebutuhan dengan mengandalkan uang dari para donatur yang setiap bulannya rutin memberi bantuan. Bukan hanya untuk biaya makan, namun juga sekolah dan biaya kesehatan. Aku tahu semua itu membutuhkan banyak sekali biaya mengingat penghuni panti sekian waktu kian bertambah.
"Denisa."
Terdengar suara ibu panti memanggil namaku. Bergegas aku menghampiri beliau. Ku alungkan tangan menyambut tangannya dan menciumnya secara takzim.
"Ibu mencari saya?"
"Iya, nak. Yuk ikut ibu, ada yang ingin ibu bicarakan denganmu."
Beliau tersenyum hangat, sangat hangat. Aku yang tak pernah merasakan bagaimana dekapan seorang ibu tentu hanya tahu bagaimana dekapannya. Wajah teduhnya sungguh membuatku nyaman berada disisinya.
Bu Rahma, beliau adalah pimpinan panti dimana aku tumbuh besar selama ini. Darinyalah aku bisa merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu. Meski harus berbagi dengan yang lain namun pada nyatanya kasih sayang beliau tak pernah di bedakan. Semua mendapatkannya dengan adil.
Terkadang aku bertanya, apakah ibu kandungku juga mempunyai sifat mulia seperti bu Rahma?
Aku menggeleng untuk mengembalikan kesadaranku. Bagaimana mungkin aku membandingkan kasih sayang Bu Rahma dengan kasih sayang ibuku yang bahkan hingga usiaku yang ke 20 tahun tak pernah melihat atau bahkan mengenal sosoknya. Jika memang orang yang seharusnya ku panggil dengan sebutan ibu itu mempunyai kasih sayang tentu aku tak akan pernah berada di sini saat ini, di sebuah panti asuhan.
Kami berjalan beriringan dengan aku bergelanyut manja di lengan bu Rahma. Banyak hal yang kami bicarakan selama berjalan menuju ruangannya yang berada di bagian depan bangunan panti.
Dulu, ketika usiaku masih kecil. Aku ingat hanya ada 20 an anak yang tinggal disini. Namun saat ini, tempat ini menjadi lebih besar dan penghuninya pun kian bertambah. Hanya tersisa aku, Citra dan Raditya sedangkan teman teman yang dulu entah sudah ada dimana bersama keluarga baru mereka.
Citra dan Raditya usianya lebih muda dariku setahun. Citra dan aku bekerja di tempat yang sama yaitu butik milik bu Yenni, sedangkan Raditya memilih bekerja di bengkel pak Aswan yang tak jauh dari panti.
"Gimana tempatmu bekerja, nak?" Tanyanya kala kami telah duduk di sofa panjang yang berada di ruang kerja beliau.
"Baik bu. Biasanya di akhir pekan saja kami akan sibuk, di waktu itu lebih banyak tamu yang berkunjung dibanding hari hari biasanya."
"Kalian harus baik baik bekerja, ya. Tapi jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatan, jangan sampai sakit karena bukan hanya kalian saja yang akan rugi nantinya."
Aku mengangguk sebagai jawaban dari apa yang beliau ucapkan. Terlihat bu Rahma menghela nafas berat. Sepertinya ada hal lain yang ingin beliau katakan padaku dan bukan hanya sekedar basa basi mengingatkan aku untuk menjaga diri.
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin ibu katakan padamu. Ibu harap kamu bisa memikirkannya dengan matang sebelum mengambil keputusan."
Deg
Entah mengapa hatiku tiba-tiba merasa tak enak. Ada sesuatu yang tak bisa aku simpulkan sebagai apa namun rasanya sangat mengganjal dan tak enak.
Jangan bilang akan ada keluarga yang mengadopsiku kali ini? yang benar saja, di umurku yang sudah 20 tahun mana ada keluarga yang mau mengadopsi ku. Aku bergumam lirih hanya dalam hati.
"Kemarin, nyonya Yenni menemui ibu, beliau bicara banyak hal. Tentang yayasan yang manaungi panti ini yang ternyata adalah miliknya juga, dan tentang harapan serta keinginannya." Bu Rahma menjedah ucapannya. Wanita cantik dengan gamis coklat muda tersebut membenarkan posisi duduknya.
"Tak ada penyesalan dalam hati beliau membangun yayasan demi panti ini. Akan tetapi, Nyonya Yenni juga memiliki harapan yang sangat besar padamu. Dia menyukaimu, menyukai setiap sikap serta keseharaianmu. Untuk itu, beliau meminta ijin ibu untuk melamarmu menjadi menantu untuk anak tertuanya."
Jujur aku terkejut, namun aku tetap memilih diam menunggu bu Rahma menyelesaikan kata katanya. Aku hanya menundukkan pandanganku sembari berpikir, banyak hal yang aku pikirkan namun aku masih memilih diam.
"Anak tertuanya bernama Raka Aditama, umur kalian terpaut 8 tahun. Saat ini dirinya masih berada di LA untuk menyelesaikan studinya. Kira kira bulan depan, nak Raka baru pulang ke sini dan meneruskan usaha papanya."
"Ibu tak ingin memaksamu, nak. Semua keputusan ibu serahkan padamu sepenuhnya. Disini ibu hanya sebagai jembatan perantara untuk menyampaikan pesan dari Nyonya Yenni. Apapun keputusanmu ibu akan mendukungnya."
Bu Rahma tersenyum lembut, seolah beliau tahu tentang kegalauan yang tengah ku hadapi saat ini. Aku hanya mengangguk mengiyakan semuanya.
Ku hela nafas dalam, dalam kamar yang telah ku tempati bertahun-tahun selama aku berada disini aku merenungkan semuanya. Tentang keinginan bu Yenni, tentang diriku sendiri dan terlebih tentang nasib panti ini kedepannya.
Hari hari berlalu tanpa terasa sebulan telah berganti. Denisa masih menjalani harinya seperti biasa, bekerja dari pagi hingga malam menjelang dilakukannya dengan penuh syukur. Setidaknya dirinya bisa membantu anak anak lain yang memiliki nasib sama seperti dirinya.
"Kak, nanti pulang kerja kita mampir ke supermarket dulu ya." Citra menghampiriku dengan senyum yang mengembang di bibirnya yang tipis.
Aku mengangguk meng iyakan ajakannya. Hari ini kami menerima gaji dan bonus bulan ini juga lumayan besar. Aku berencana untuk sekalian membeli keperluan di panti serta membeli sedikit hadiah untuk adik adik.
Kami berdua berjalan beriringan, butik yang memang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari panti membuat kami lebih memilih berjalan kaki pulang dan pergi. Keadaan yang masih ramai membuat kami terbiasa. Meski takut pada awalnya namun lama kelamaan semua jadi biasa saja, apalagi disepanjang jalan ada banyak pedagang kecil yang kami kenal. Mereka sangat baik, tak jarang ada saja diantara mereka yang sekedar memberi kami makanan untuk di bawa pulang ke panti dan dibagikan untuk adik adik.
Apapun rezekinya kami terima tanpa mengeluh. Panti asuhan yang berada di pinggiran kota tak membuat kami patah semangat. Justru kami sangat senang karena warga disini masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Saling menyapa dan tersenyum sudah cukup bagi kami.
Tak jauh di depan sebuah supermarket yang buka 24 jam nampak Raditya telah berdiri menunggu kedatangan kamu berdua. Sebelum keluar dari butik tadi aku sempat meminta Citra untuk mengabarinya agar menunggu kami.
Kedua adikku itu nampak sangat bahagia sekali. Setiap habis gajian kami bertiga selalu menyisihkan sebagian untuk membeli kebutuhan panti. Tak jarang kami saling bergantian untuk memenuhinya. Seperti malam ini, Citra mendapat giliran untuk berbelanja kebutuhan untuk makan selama sebulan. Sedang aku mendapat bagian untuk menyimpan sebagian uang untuk biaya sekolah beberapa adik adik di panti. Dan Raditya kebagian membeli jajanan untuk mereka. Namun kali ini, mengingat bonus yang sedikit lebih banyak aku berencana untuk membeli kebutuhan mandi dan juga buku tulis untuk persediaan.
Kami melakukannya bukan tanpa alasan. Terkadang uang hasil para donatur yang tak menentu setiap bulannya membuat kami harus bisa memutar otak dan menggunakan uang yang kami punya sebaik mungkin.
Gaji yang tak seberapa namun membuat hati kami bahagia kala melihat senyum adik adik panti. Sudah terbayang di pelupuk mata, bagaimana antusiasnya mereka nanti menyambut kedatangan kami.
*
*
*
"Kak. Kemarin aku lihat Bu Yenni datang ke sini. Beliau bertemu dengan bu Rahma. Mereka bicara serius sekali, nah pas aku tak sengaja lewat di dekat ruangan beliau, aku sedikit mendengar mereka bicara tentang menikah gitu. Entah siapa sih soalnya aku buru buru pergi."
Raditya berbicara sambil memasukan gorengan yang kami beli tadi dalam mulutnya. Dia yang memang memiliki potensi lebih lama di panti mengingat bengkel tutup sore hari tentu sedikit tahu tentang kejadian dipanti.
"Kebiasan ih kak Radit, sukanya nguping." Citra nyeletuk dengan mulut penuh dengan tempe mendoan. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan keduanya.
Kami bertiga tidur dalam 1 raungan dengan 2 buah kasur yang berbeda. Aku dan Citra berbagi kasur sedang Radit sendiri. Kamar Radit sedang di renovasi dan rencananya kamar itu akan di buat sedikit lebar agar muat beberapa orang.
Pikiranku melayang ke 5 hari lalu. Waktu itu aku sedang mendapat giliran libur kerja dan disaat itulah Bu Rahma menanyakan keputusan yang ku ambil tentang tawarannya.
Jujur saja, sosok Raka sangat asing bagiku. Hanya Rico dan Rena yang aku kenal, si kembar itu memang sering ikut Bu Yenni ke panti atau sekedar mampir ke butik.
Kedua anak bu Yenni sangat ramah dan baik. Keduanya tak segan membantu atau bahkan tak canggung bergabung dengan kami. Dari keduanya aku menarik kesimpulan jika kakak mereka pasti juga memiliki sifat yang sama seperti yang mereka miliki. Aku hanya berharap keputusan yang ku ambil kali ini tak pernah salah.
Apapun akan aku lakukan demi kelangsungan hidup adik adikku di panti. Aku tak ingin hanya karena keputusan ku membuat panti mengalami sesuatu yang membuatku menyesal.
*
*
*
Hari yang telah ditentukan tiba, hari dimana aku akan bertemu dengan calon suamiku. Aku gugup tentu saja, namun aku selalu mencoba untuk meredamnya dengan menarik nafas dalam beberapa kali dan menghembuskannya secara perlahan.
Diusiaku yang sudah menginjak 20 tahun, aku belum pernah mengenal yang namanya cinta. Pemuda yang dekat denganku selain Raditya tentu saja Rico. Adik Raka itu sangat baik dan penuh perhatian.
Dari balik jendela kaca aku bisa melihat mobil Bu Yenni memasuki gerbang panti. Terlihat Rico dan Rena juga keluar dari mobil tersebut. Sementara di belakangnya nampak sebuah mobil sport berwarna merah masuk dan keluarlah seorang pemuda dengan setelan santai, tak lupa kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Hatiku berdebar keras, menebak nebak apakah pemuda itu yang bernama Raka, calon suami ku. Rasa gugup kembali menderaku, aku tak percaya diri kali ini.
Keringat dingin tiba-tiba keluar dan membasahi kedua telapak tanganku. Apalagi ketika mendengar pintu kamar yang aku tempati di ketuk dan menampilkan wajah Bu Yahya yang sedang tersenyum dan menghampiriku.
"Tamunya sudah datang, apa kamu sudah siap Nisa?"
"Saya gugup, bu." jujurku sambil meremas ke dua tanganku diatas pangkuan.
"Itu hal wajar, nak. Tak apa, namanya baru pertama kali bertemu kan? nanti juga kamu pasti bisa bersikap seperti biasa." Bu Yahya berujar sambil mengusap pundakku pelan.
Kembali ku tarik nafas beberapa kali sebelum kami bangkit dan keluar dari kamar menuju ruangan Bu Rahma.
Masuk ke dalam ruangan mataku langsung bersitatap dengan si kembar yang melambaikan tangannya kearahku. Aku hanya tersenyum sebelum kemudian meraih tangan Bu Yenni dan Bu Rahma yang duduk berdampingan disana.
"Nisa sini, duduk di dekat ibu." Bu Yenni menepuk sofa di sampingnya. Ingin rasanya aku menolak namun tentu aku tak mampu.
"Nah, Raka. Kenalkan ini Denisa dan Denisa ini Raka anak ibu." Bu Yenni mengenalkanku dengan antusias.
Aku bingung harus bagaimana bersikap pada akhirnya aku memilih menganggukkan kepala menyapa pemuda yang menatapku tajam di balik kacamata hitamnya.
"Ibu harap kalian akan saling mengenal dan bisa menerima perjodohan ini dengan baik." Bu Yenni menggenggam tanganku erat. Ada perasaan hangat yang menjalar dari genggamannya tersebut membuat rasa nyaman ku rasakan.
Ku lirik si kembar yang hanya diam dengan senyum simpul di bibir mereka.
"Kami harus memanggilmu dengan sebutan kakak ipar mulai sekarang?" Rena nyeletuk membuat semua yang ada dalam ruangan tersenyum tak terkecuali aku. Namun tidak dengan Raka, dia masih asyik dengan ponsel ditangannya seolah apa yang kami bicarakan di ruangan ini tak begitu penting baginya.
Bahkan hingga acara ramah tama berakhir pun, tak ada suara yang keluar dari bibir nya. Dirasa cukup mereka semua pamit pada akhirnya.
"Besok jam 9 aku akan menjemputmu, jadi bersiaplah!!"
Bisiknya membuatku sedikit terkejut. Ku anggukkan kepala sebelum dirinya berlaku pergi menyusup ibu dan kedua adiknya yang sudah melangkah lebih dulu.
Raka benar-benar datang keesokan harinya. Pemuda tampan dengan bulu bulu halus disekitar rahangnya yang menambah kesan seksi itu mengajak Denisa menuju sebuah butik yang telah di tentukan oleh Bu Yenni. Keduanya di minta untuk mencoba kebaya dan jas yang akan mereka kenakan di akad nikah nanti.
Hening.
Ya, hanya keheningan yang tercipta diantara keduanya. Raka yang terlihat cuek tentu saja membuat Denisa kebingungan untuk bersikap. Ingin melukai pembicaraan namun dirinya juga bingung harus memulainya dari mana. Raka yang hanya fokus pada jalanan dan setir mobilnya seolah tak melihat keberadaan dirinya. Pemuda itu tak sedikitpun menoleh atau bahkan bicara padanya.
Akan tetapi mata Denisa membulat sempurna ketika menyadari bahwa mobil yang Raka kendarai tak lagi menuju panti seperti rencana awal yang di sampaikan pemuda itu pada Bu Rahma sewaktu pamit tadi, jika urusan mereka di butik selesai maka akan segera kembali ke panti. Denisa menoleh beberapa kali ke arah Raka akan tetapi tak ada reaksi yang dilakukan oleh pemuda itu. Tatapannya tetap lurus ke depan.
"Ehm, mas apa kita tak lagi salah jalan?" Lirihnya guna membuat Raka tersadar kalau kalau dirinya sedang melamun.
"Tidak. Aku akan membawamu ke suatu tempat sebelum pulang." Raka menjawab tanpa menoleh. Pemuda itu membawa siku kanannya bersandar di jendela mobil dengan pandangan yang masih lurus ke depan.
Denisa hanya mengangguk, entah Raka melihatnya atau tidak yang jelas hatinya sedang tak baik baik saja saat ini. Banyak pertanyaan yang hadir dalam benaknya, namun semua menjadi kusut sebelum ada jawaban yang datang.
Entah benar atau salah, namun kali ini Denisa percaya jika apa yang dirasakannya bukanlah hal biasa. Dengan menahan air mata yang mencoba keluar membasahi pipinya. Denisa hanya bisa memejamkan mata dan membuang pandangan ke luar jendela. Sepertinya melihat pohon yang berjejer di pinggir jalan lebih mengasyikkan.
*
*
*
Citra menarik tangan Raditya cepat. Malam itu, Citra sengaja meminta Radit untuk menjemputnya. Alasan takut ketika harus berjalan seorang diri membuat Radit akhirnya pamit pada bu Romlah untuk menjemputnya.
"Ada apa sih? kok aneh gini."
Radit mengernyitkan dahinya, dia memang merasa aneh dengan sikap Citra kali ini. Tak biasanya dia minta di jemput apalagi dengan alasan takut pulang sendiri. Dirinya yang bekerja di butik susah lumayan lama tentu saja pernah mengalami situasi seperti saat ini ketika Denisa libur. Namun tak sekalipun Citra pernah mengatakan takut.
Citra menghela nafas berat, ditatapnya Radit yang tentu saja juga menatapnya penu tanya. Keduanya yang memang akrab bukan hanya karena seumuran namun jalan hidup yang mereka jalani pun sama membuat keduanya dekat bahkan lebih dari kata saudara. Radit tentu sangat tahu jika gadis yang dianggap adiknya sendiri itu tengah menyimpan sesuatu.
"Ada apa?" ulangnya sekali lagi dengan nada pelan.
Keduanya memilih duduk sebentar di depan sebuah supermarket. Dengan di temani dua kotak minuman dan sebungkus biskuit mereka memutuskan untuk berbicara disana. Saat dipanti nanti keduanya harus bersikap biasa saja seolah tak ada yang terjadi.
Citra menghela kembali nafasnya, miris dengan takdir hidup yang mereka jalani tapi lebih miris lagi ketika mengetahui orang yang sangat mereka sayangi rela mengorbankan masa depannya demi mereka.
Ya, secara tak sengaja Citra mendengar pertengkaran bu Yenni dengan Raka tadi pagi.
Flashback on.
Tak seperti biasa, kali ini Citra berangkat lebih pagi. Dia yang memang sengaja tak sarapan di panti karena ingin menikmati semangkok bubur mang Totok yang setiap pagi mangkal di sebelah butik.
Dengan langkah santai Citra mengayunkan kakinya menyusuri trotoar yang tiap hari di lewatinya. Dengan senandung kecil di bibirnya mewarnai pagi ini dengan indah. Seperti yang biasa Denisa katakan, jika ingin hatimu bahagia maka awali pagimu dengan sesuatu yang akan membuatmu ceria. Dengan demikian maka kebahagiaan akan mengikutimu sepanjang hari.
Langkah kecilnya terhenti ketika sudah memasuki gerbang butik. Nampak bu Yenni keluar dari dalam mobil dengan raut wajah marah diikuti oleh Raka yang berjalan di belakangnya. Mereka nampak berdebat.
Citra yang sedikit penasaran mengikuti mereka pada akhirnya. Bahkan bubur ayam mang Totok yang dirindukannya sejak membuka mata seolah tak lagi menarik. Dengan pelan Citra masuk dan mencoba mengintip dalam butik.
"Mama tidak akan pernah menyetujuinya, tidak sekarang atapun nanti. Kamu dengar!! lakukan yang mama ingin atau kamu silakan tentukan jalan kamu sendiri." Ucapan tegas bu Yenni meski dengan nada pelan namun mampu membuat tubuh Raka membeku.
"Ma, aku mencintai Laras sejak lama. Mama pikir akan sangat mudah aku melupakannya? tidak ma!! aku tak bisa!!" Raka melirih dengan mengusap wajahnya kasar.
Citra yang sedang menguping tentu saja kaget mendengar semua pengakuan Raka, pemuda yang dia tahu beberapa hari lagi akan menjadi suami Denisa. Gadis baik yang begitu dia sayang. Tak ingin membuang kesempatan, Citra merogoh ponselnya dan merekam semuanya.
Flashback off.
"Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu kak Nisa, kak?"
Citra menoleh ke arah Radit yang terdiam sejak dirinya selesai melihat vidio hasil rekaman Citra. Keduanya hanya bisa saling pandang dan menghembuskan nafas beberapa kali.
"Aku juga nggak tahu. Kak Nisa sudah banyak berkorban untuk kita semua. Tak seharusnya dia menerima semua ini kan?tapi kita bisa berbuat apa untuk membantunya. Kita bertiga adalah orang miskin yang hanya membutuhkan uang dan menyusahkan, kita hanya membuat hidup orang lain susah dan kita juga yang telah membuat rencana mereka berantakan. Semua karena keberadaan kita dan kak Nisa yang harus menanggung semuanya. Andai mungkin, kita bisa membawa kak Nisa untuk pergi jauh dan menghindari semuanya." Radit menunduk, hatinya perih.
Sosok kakak yang sangat disayanginya berada diambang ketidak bahagiaan akan tetapi dirinya tak mampu berbuat apa-apa.
"Bagaimana kalau kita kasih tau kak Nisa akan hal ini? paling tidak, kak Nisa akan punya alasan untuk menolak nantinya." Citra berujar pelan. Sebagai orang luar tentu dirinya dan Radit tak ada hak untuk membatalkan rencana pernikahan Denisa dengan Raka yang jelas sudah diatur sedemikian rupa oleh ibu panti.
"Kita coba saja, apapun hasilnya nanti kita serahkan pada Tuhan dan keputusan kak Nisa. Yang paling penting, kita harus melindunginya setelah ini. Tak perduli dimana dia akan tinggal, sebisa mungkin kita harus tetap menjaga kak Nisa."
Citra menganggukkan kepalanya, Denisa sangat berharga bagi ke duanya. Sosoknya mampu menjadi penyemangat dan juga menjadi contoh nyata seseorang yang memiliki ketulusan. Dari Nisa lah mereka belajar sabar dan ikhlas menerima jalan takdir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!