NovelToon NovelToon

Terjebak Pesona Partner Sewaan

Bab 1 Pengkhianatan

"Saya terima nikah dan kawin Tania Syahputri dengan mas kawin tersebut tunai."

Kata sah yang diucapkan para saksi membuat pernikahan itu sah secara hukum dan agama.

Dan aku, hanya bisa menangis di depan pintu masuk rumah sederhana itu. Akad nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu nyatanya tetap bisa ku ketahui.

"Zia..."

Ku dengar gumaman seorang pria berjas rapi menyebut namaku. Pria yang awalnya duduk tenang didepan penghulu yang sedang membacakan doa, kini berdiri dengan ekspresi tegang.

Ya, itu namaku. Si gadis malang yang ditinggal nikah oleh pria yang kemarin malam berlutut di hadapanku, mengucapkan kalimat penuh cinta dengan menyematkan sebuah cincin di jari manisku. Namun, pria itu kini sudah sah menjadi suami dari wanita lain.

Ku lihat pengantin wanita yang kini tengah menatapku. Bibirku bergetar menyebut namanya. "Kak Nia ...."

Ternyata tadi aku tidak salah dengar saat Reza menyebut mana Tania Syahputri dalam akad.

Tania yang sama, dia kakakku.

Air mataku enggan berhenti menetes. Waktu terasa berhenti detik itu juga. Ruangan yang hanya ada beberapa orang itu mendadak sunyi. Semua orang menatapku dan kedua pengantin yang baru saja melakukan akad nikah itu secara bergantian.

Bisik-bisik mulai terdengar seperti suara lebah di telingaku. Aku bergeming. Ku tatap wajah-wajah pengkhianat yang ada di depanku.

Aku menahan geram melihat pria yang terus saja menatapku dengan raut wajah bersalah itu. Entah dia benar-benar merasa bersalah atau dia hanya sedang bersandiwara.

Pria yang sialnya ku cintai, ku percayai dan juga ku curahi kasih sayang. Dan yang lebih menjijikkan dia malah menikahi kakakku sendiri.

"Pengkhianat!" Ucapku penuh penekanan.

Ku tunjuk wajah kakakku yang selama ini begitu ku sayangi dan ku hormati. Tapi, dalam sekejap ia mengubah rasa sayangku dengan rasa muak yang teramat besar.

Aku beralih pada pengantin pria karena aku tidak ingin mema-ki kakakku di depan banyak orang.

"Pembohong!" Teriakku kesetanan.

"Kamu pembohong, Za!" Ku tunjuk wajahnya yang diselimuti rasa bersalah itu.

Ia sepertinya ingin bicara dan menjelaskan mengenai hal ini. Tapi, tidak akan ku beri kesempatan untuk itu. Melihat akad nikah ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa aku hanya figuran dalam perjalanan cintanya.

Ku lepaskan cincin di jari manisku dan ku melempar asal ke tubuh pria itu.

Ia tampak terkejut namun berusaha menangkap cincin itu.

"Zia, aku bisa jelasin semua ini, Zi!"

"Ini gak seperti yang terlihat. Aku terpaksa, Zi!"

Dia berjalan mendekatiku dan berusaha meraih tanganku.

Ku tepis tangannya yang kekar itu. Enak saja dia mau menyentuhku sementara ia sudah menyayat hatiku dengan belati.

"Jelasin?"

"Apa lagi yang mau kamu jelasin, Za?"

"Dan kamu bilang, kamu terpaksa?"

Aku tertawa, miris sekali. Airr mata sialan yang menetes ini menjadi bukti bahwa hatiku tengah hancur berkeping.

Aku ingin terlihat kuat. Aku tidak ingin jadi wanita cengeng yang mengemis cinta padanya. Tapi, percuma saja. Hati yang hancur ini tetap membuatku tampak seperti gadis bodoh paling mengenaskan.

"Jelasin apa, Za?" teriakku mendorong dadanya.

"Jelasin kalau kamu selama ini bermain api dengan kakakku?" Ku tatap matanya. Ku tantang dia yang tadinya ingin menjelaskan mengenai hal yang ku lihat ini.

Pengakuanku sepertinya membuat beberapa orang disana merasa terkejut. Aku tidak mengenal mereka, bahkan orang tua Reza juga tidak ada disini.

"Dia kakakku, Za!" Tangisku pecah. Aku menunjuk kak Nia yang sedang menatap kami berdua.

Dia sedang merasa senang atau sedih? Atau dia bersenang-senang diatas kesedihanku ini?

"Apa yang ada di fikiran kamu? Mengapa kamu melakukan semua ini padaku?"

"Untuk apa kamu melamarku kalau akhirnya kak Nia yang kamu nikahi?"

Reza hanya bisa menunduk lemah. Pria pengecut itu seperti singa kehilangan taringnya.

"Ada apa ini, Zia?"

Itu suara papa. Bagaimana bisa papa berada di tempat ini? Apa papa mengikutiku?

Aku menoleh kebelakang. Ternyata papa datang bersama mama. Sudah kepalang tanggung. Aku tidak akan menyembunyikan kebusukan kak Nia lagi.

"Papa tanya saja pada putri papa itu!" Ku tunjuk wajah kak Nia yang kini tengah membulatkan matanya.

Kenapa? Dia terkejut melihatku yang berani mengadukannya pada papa? Apa selama ini dia merasa diatas awan karena aku tidak pernah mengadukannya pada papa mengenai kenakalannya di luar rumah?

Dia terlalu beruntung. Dan dia menyia-nyiakan semua kebaikan keluargaku. Dia hanya anak angkat yang papa dan mama rawat karena orang tuanya tidak mampu membesarkannya sebab masalah ekonomi.

Ku lihat papa dan mama menatap kak Nia dan Reza bergantian. Aku berjalan mendekat ke arah mama yang menarikku dalam pelukannya.

Melihat pakaian yang kak Nia dan Reza pakai, mereka pasti tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Reza? Nia? Jelaskan pada papa, mengapa sampai seperti ini akhirnya?"

"Kalian benar-benar menikah?" Tanya mama dengan suara tercekat. Aku tahu, mama juga hancur melihat kak Nia menikah dengan pacarku yang sudah menemaniku selama dua tahun terakhir.

Ku lihat kak Nia mengangguk pelan. Air matanya menetes seolah ia merasa menyesal telah mengkhianati adiknya sendiri.

"Aku terpaksa, Ma. Aku ... aku mengandung anaknya Reza, Ma."

Duaaaar!

Bak petir menyambar, pengakuan Kak Nia membuat semua orang terkejut.

"Aku sedang mengandung 6 minggu, Ma. Dan ini adalah anaknya Reza, Ma." Dia mengelus perut ratanya.

"Papa kecewa padamu, Nia!" Papa membentaknya. Papa marah besar dan aku seharusnya membawa papa pergi dari sini sebelum tekanan darah papa naik.

"Dan saya lebih kecewa pada pria busuk sepertimu!" Telunjuknya mengarah ke wajah Reza.

Aku dan mama mengusap bahu papa. Aku tidak ingin hal ini membuat kesehatan papa memburuk. Aku sudah jatuh dan tidak ingin tertimpa tangga lagi.

"Maafkan Nia, Pa. Maafkan Nia, Ma." Dia menangis memohon pada mama dan papa.

"Mama mendidik kamu dan Zia dengan seadil-adilnya, Nia. Mama menyayangi kalian dan tidak membedakan antara kamu dan Zia."

"Supaya apa? Supaya kelak kalian menjadi saudara yang saling menyayangi."

"Tapi mama salah! Kamu menunjukkan kualitas dirimu yang sebenarnya!" Mama marah besar dan mengungkit masa lalu kak Nia.

"Ma... Nia minta maaf, Ma."

Kak Nia memohon di hadapan mama dan papa. Kenapa dia tidak bisa memikirkan resiko yang akan ia dapatkan?

Pertama, ia merebut kekasihku. Salah- bukan merebut. Aku tidak seratus persen menyalahkannya. Kalau Reza tidak sama dengannya, mana mungkin ada benih Reza di rahimnya.

Kedua, ia menikah dibelakang kami semua. Tanpa memberi tahu mama dan papa. Dia sungguh tidak menghargai semua kebaikan mama dan papa selama hampir 20 tahun merawatnya.

Bab 2 Undangan Pernikahan

Aku merasa muak dengan drama yang menyakitkan ini. Lebih baik aku membawa kedua orang tuaku pergi dari sini.

Ku ajak papa dan mama untuk pulang dan meninggalkan mereka semua. Setelah aku mengatakan bahwa aku menganggap tidak pernah mengenal mereka berdua.

Dengan menggandeng tangan mama dan papa, kami pergi dari tempat ini. Aku sedih, tapi aku lega. Aku marah, tapi aku merasa ini adalah yang terbaik.

Terima kasih ya Tuhan, karena telah mengirimkan orang baik untuk memberi tahuku mengenai pengkhianatan ini. Jika tidak, aku pasti akan terus terjebak dalam kebohongan yang mereka ciptakan.

Tadi pagi, aku menerima pesan dari seseorang yang memberitahu padaku bahwa Reza akan menikah dengan seorang gadis tanpa menyebut nama gadis itu.

Orang yang mengirim pesan itu juga tidak bisa memberi tahu identitasnya karena akan membahayakan nyawanya.

Awalnya aku tidak percaya, tapi orang itu terus meyakinkanku hingga mengirimiku sebuah alamat rumah.

Aku penasaran dan aku ingin membuktikannya sendiri. Aku datang, dan aku sudah terlambat. Tapi, lebih baik terlambat datang dan mengetahui hal buruk itu dibanding ia tidak pernah datang dan akhirnya akan terus dibohongi.

Dua minggu berlalu dan aku tidak lagi menganggap masalah kemarin adalah penghalang.

Aku tetap melakukan aktivitasku dan jujur saja, aku lebih produktif sekarang. Aku fokus pada usaha toko roti yang sudah ku geluti selama setahun terakhir.

Pria itu masih sering menghubungiku, tapi aku tidak pernah menggubris pembohong itu lagi.

Seorang kurir masuk ke dalam toko kue dan mencariku.

"Ada paket, mbak."

Aku menerima paket itu dan membukanya saat berada di ruanganku.

Sebuah undangan dengan tinta emas mengukir nama Reza dan kak Nia.

Tertulis juga namaku dengan garis miring Partner di bagian depan undangan itu.

Ini seperti hinaan bagiku. Mereka mengira bahwa aku akan semakin terpuruk setelah menerima undangan ini.

Aku tersenyum miring. Aku akan datang ke pernikahan kakakku yang sudah tidak diakui sebagai anak lagi oleh papa dan mama.

Aku akan datang. Aku akan melenggang dengan anggun di red carpet yang sudah kalian sediakan! Tunggu saja!

Ku panggil seseorang yang merupakan sahabatku saat SMA untuk datang ke ruanganku. Dia juga merupakan salah satu dari pegawaiku.

"Ada apa, Zi?" tanyanya padahal hanya wajahnya yang mengintip dari pintu. "Kamu sakit?"

"Masuk dulu, Ri." Segitu perhatiannya dia padaku. Aku yang sehat wal-afiat ini ia kira sedang sakit.

Namanya Riri. Ku minta ia untuk duduk di depanku. Aku tahu, dia penasaran karena aku mamanggilnya padahal tidak ada masalah dengan toko kue.

"Kamu sedang gak mau memecat aku kan, Zi?" Pertanyaannya membuatku ingin tertawa.

"Ya enggaklah, Ri! Memangnya aku sinting apa? Main pecat-pecat orang sembarangan!"

"Ya, siapa tahu. Putus cinta juga buat semua syaraf di kepala kamu putus!"

Aku berdecak sementara ia malah tertawa.

"Minggu depan Reza dan kak Nia melangsungkan resepsi pernikahan."

Riri sama sekali tidak terkejut lagi. Dia memang teman curhat yang selalu menyemangatiku. Jadi, dia sudah tahu semua masalah yang menimpaku.

"Sabar ya, Zi!" Riri mengusap tanganku.

"Aku yakin penghianat-penghianat itu pasti akan mendapat karmanya, suatu hari nanti."

"Ssst! Malah doain yang gak bener!" Marahku. Aku memintanya datang bukan untuk menerima kalimat belas kasihan itu.

"Aku butuh bantuan kamu."

"Apa?"

"Aku butuh partner untuk datang ke pesta itu."

"Apa?" Riri terkejut. "Partner? Cowok, Zi?"

"Iyalah! Masa cewek, Ri."

Ku lihat Riri berfikir sejenak. "Siapa orangnya, Zi?"

"Makanya aku panggil kamu ke sini, Ri. Aku gak tau mau pergi dengan siapa. Kamu ada teman atau saudara gitu?"

"Yang tinggi, ganteng, menarik, dan kalau bisa sih kaya!" sambungku.

Riri menggaruk keningnya yang ku yakin tidak gatal sama sekali. "Aku mana punya teman sesempurna itu. Kalau ada mungkin sudah ku pacari lebih dulu, Zi!"

"Teman cowokku cuma Putra sama Jojo!"

Astaga! Kenapa aku melupakan hal itu. Dia memang bukan tipe gadis yang mudah berteman akrab dengan laki-laki.

Putra adalah karyawanku yang menangani layanan pesan antar. Sementara Jojo adalah salah satu koki yang bekerja di bagian dapur toko ini.

"Jadi, aku harus pergi dengan siapa dong, Ri?"

"Jangan datang, Zi. Gampang kan?"

"Dan mereka akan mentertawakan aku karena gak berani menghadapi kenyataan, Ri."

Dia mendengus kesal. "Oke kalau itu mau kamu. Tapi, aku gak punya teman sesempurna itu."

"Sewa orang, Ri!" Ide itu tiba-tiba muncul di kepakaku

"Apa?!"

Beberapa hari berlalu dan aku belum menemukan pria yang akan menjadi partnerku untuk datang ke pesta itu.

Aku membuka toko kue jam 6 pagi seperti biasa. Aku memang selalu datang lebih dulu dibanding 6 karyawanku yang lain.

Seorang pria masuk ke dalam. Aku tersenyum menyapa pelanggan yang datang hampir setiap hari itu.

"Selamat pagi, Mas Zayn!"

Wajahnya fresh seperti biasa. Rambutnya disisir rapi dan pakaiannya selalu marching. Ia memperkenalkan dirinya sebagai jomblo bahagia. Ya, meski aku tidak percaya sepenuhnya.

"Selamat pagi. Saya mau sarapan seperti biasa, mbak!"

Aku mempersiapkan pesanannya. Aku membuat secangkir kopi dan meletakkan beberapa potong cake di piring lalu membawanya ke meja dimana pria itu duduk.

Riri yang baru saja masuk tertawa pelan. "Pelanggan pertama, Mas Zayn?" tanyanya.

Zayn mengangguk pelan. "Seperti biasa."

Riri menyenggol tanganku yang sedang menata kue yang baru ku bawa dari dapur untuk ku tata di etalase.

"Cocok tuh, buat jadi partner sewaan!" Riri melirik Zayn dan pergi sambil tertawa pelan.

"Ngawur!" Balasku marah. "Enggak, ah!"

Mana mungkin aku menjadikan Zayn, pelanggan setiaku sejak dua bulan terakhir itu sebagai partner untuk datang ke acara pernikahan mantan.

"Coba saja, Zi! Dia sepertinya menyukaimu."

"Sok tau! Kamu bukan duk*un cinta, Ri!"

Riri tertawa. "Aku bisa melihatnya dari caranya menatap kamu, Zi."

Aku menggeleng pelan. "Semakin hari kamu semakin ngawur, Ri."

"Aku bisa melihatnya dari caranya menatap kamu. Preeet!" Ejekku meniru kalimatnya.

"Pacar aja gak punya! Dasar jomblo halu!" Ku julurkan lidahku mengejeknya.

Riri lagi-lagi tertawa. "Jomblo bahagia ini. Dari pada punya pacar tapi dikhianati!"

"Sindir aja terus!"

Untung saja, mas Zayn duduk di meja paling pojok. Ku harap dia tidak mendengar obrolan kami.

Hingga sehari menjelang pernikahan mantan, aku masih juga belum menemukan pria yang akan menjadi partnerku.

"Masih belum ketemu orangnya?" Tanya Riri saat aku sedang membantu karyawanku berberes karena toko sudah tutup sepuluh menit yang lalu.

Jam kerja Riri sudah habis jam 2 siang tadi. Tapi, ia sering datang saat malam hari untuk menemaniku atau sekedar ngopi sambil menikmati suasana malam hari karena ia kos sendirian di kota ini.

"Belum, Ri," jawabku lemas. "Apa sebaiknya aku gak usah datang saja ya?"

"Mas Zayn, pria yang tepat, Zi. Yakinlah! Aku gak akan mungkin menjerumuskan kamu dalam masalah baru."

"Tepat untuk apa?" Suara pria yang Riri sebut namanya membuat kami terkejut.

Bab 3 Selama Satu Minggu

Tiba-tiba pria bernama Zayn itu muncul di pintu yang sudah tertutup hampir seluruhnya. Hanya menyisakan sela sekitar setengah meter dan Zayn masuk dari sela itu.

"Saya boleh masuk, kan?" tanyanya padaku dan Riri yang masih terpaku karena kemunculannya yang tiba-tiba.

Aku bahkan melihat mulut Riri ternganga dan matanya terbuka lebar.

"Mas Zayn ngapain ke sini? Toko sudah tutup, mas."

"Aku lapar, Mbak Zi. Baru balik dari kantor."

Aku bisa melihatnya. Ia masih memakai kemeja yang sama seperti yang ia pakai pagi tadi.

"Oh, ya. Apa yang tepat dariku?" tanyanya menopang kedua tangannya diatas etalase. Aku khawatir etalase berbahan kaca itu pecah karena tekanan lengannya yang kekar.

Oh Tuhan, aku malah fokus ke lengannya yang terasa sesak dengan kemeja yang ia gulung itu.

"Begini, Mas. Zia butuh emmm..." ku tutup mulut Riri yang ember itu. Enak saja dia mau membongkar aibku di depan orang lain. Untung saja aku bisa bergerak cepat. Kalau tidak, habislah aku.

Aku nyengir ke arah mas Zayn. "Jangan dengarkan dia. Dia suka sekali mengada-ada, Mas."

Riri melepaskan tanganku yang membungkam mulutnya. "Dia butuh partner untuk datang ke pernikahan mantan. Dan dia ingin mas Zayn menemaninya!" Katanya tanpa titik dan koma.

Riri kutu kutu kupret! Bikin malu aja!

Zayn tertawa. "Boleh! Kapan?"

Aku membulatkan mata. Tidak ku sangka pria ini langsung setuju. Apa dia sudah terlalu lama menjomblo sehingga butuh teman wanita atau memang dia terlalu baik? Bersedia membantuku yang notabenenya tidak terlalu akrab dengannya.

"Besok malam."

"Tapi, tidak gratis!"

Apa ku bilang? Dia ternyata tidak sebaik yang ku duga.

"Tidak usah, Mas. Dia hanya bercanda." Aku malas bernegosiasi. Lebih baik ku batalkan saja dari pada memenuhi syarat yang akhirnya akan menyulitkanku.

Dia orang berkecukupan, sudah ku tebak imbalannya bukan uang melainkan sesuatu yang harus ku lakukan untuknya.

"Bayar saja sewanya dengan dua potong cake dan secangkir kopi selama seminggu."

Aku menatapnya heran. "Murah sekali."

Jika dihitung-hitung tidak sampai lima ratus ribu.

Zayn tertawa. "Kalau begitu sebulan saja."

Akhirnya kami bertiga duduk di meja yang sama. Riri lebih banyak bekerja dalam mengurus masalah ini. Dia yang menceritakan masalahku dengan mendramatisir.

Aku hanya bisa pasrah mengikuti aturan main yang Riri buat. Sedangkan mas Zayn mendengarkan dengan teliti semua penjelasan Riri sambil menyantap beberapa potong kue yang ku hidangkan.

Riri juga memberitahunya mengenai penyebab kandasnya hubunganku dengan Reza.

"Zia, mas Zayn sudah setuju. Kamunya malah seperti gak yakin gitu." Riri protes karena aku hanya duduk menyandarkan punggungku di kursi seolah aku tidak bersemangat menjalankan rencana ini.

"Konyol banget, Ri." Itu yang ada dalam fikiranku saat ini. Apa aku terlalu berlebihan untuk terlihat baik-baik saja di depan kak Nia dan Reza?

"Konyol apanya? Bukannya kamu sendiri yang bilang butuh partner sewaan?"

"Sekarang sudah ada di depan mata. Sesuai ekspektasi, dan kamu malah mundur?"

Maksudku adalah partner yang bisa ia cari di aplikasi atau mungkin memang ada jasa penyewaan pacar atau apa sajalah. Asal bukan dengan pria yang ku kenal dan pelangganku pula.

Bukankah ini hanya membuatku makin terlihat menyedihkan?

"Kamu harus buktikan ke mereka kalau kamu baik-baik aja, Zi." Riri memegang bahuku.

"Ayolah, Zi. Tunjukkan pada para pengkhianat itu kalau hidup kamu jauh lebih baik tanpa mereka."

Mas Zayn mengangguk setuju. "Kalau menurutku, dia benar. Datang dan tunjukkan pada mereka bahwa kamu mampu menegakkan kepala meski mereka telah menyakiti kamu."

Malam merangkak naik. Aku terpaksa pulang bersama mas Zayn. Kami juga mengantarkan Riri ke kosannya.

Kata Riri, hal ini lumayan bisa membangun chamistry diantara kami berdua. Entahlah, aku tidak memikirkan chamistry diantara kami karena jantungku kehilangan kendali saat hanya berdua dengan pria ini.

Bagaimana bisa dia masih wangi begini, padahal dia baru pulang bekerja? Apa parfumnya begitu mahal sampai sedikitpun tidak tercium bau keringat atau bahkan rokok. Batinku berkecamuk memikirkan pria disampingku.

Ya, aku memang belum pernah melihatnya menghisap benda berasap itu. Atau mungkin dia memang bukan perokok.

Kami terlibat pembicaraan yang lumayan seru. Aku tidak berdebar-debar lagi. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

Kami membahas masalah pekerjaan dan hal pribadi yang menurutku merupakan informasi penting untuk menjadi modal acting kami besok malam.

"Tebak saja!" Ucapnya saat ku tanya berapa usianya.

"25."

Dia tertawa. Astaga! Tampan sekali. Masa iya, pria setampan ini masih menjomblo?

"Aku gak semuda itu."

"26?"

Dia tertawa lagi. Matanya sampai hampir tertutup karena terlalu sipit. "30."

Woow! Jomblo matang!

Dia tidak sedang menipuku, kan?

"Kenapa mukanya gak percaya gitu?"

"Aku serius. Tahun ini, aku 30."

"Cocoklah sama kamu yang masih 25." Dia tertawa lagi.

Tuhan! Aku bisa terkena diabetes jika terus-terusan melihat senyumnya.

Mengapa selama ini aku tidak pernah memperhatikannya? Mengapa aku melewatkan pria tampan ini begitu saja?

Sial! Ini pasti gara-gara Reza yang brengsek itu. Aku terlalu fokus pada hiu rakus sepertinya sampai tidak melihat lumba-lumba yang memikat ini.

Aku turun dari mobilnya. Aku melihat senyumnya sekali lagi. Lumayan, sebagai pengganti suplemen sebelum tidur.

"Ku jemput besok malam!"

Aku terus tersenyum. "Terima kasih. Sampai ketemu besok, Mas!" Aku melambaikan tangan seperti anak kecil.

Aku terus tersenyum sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

"Cepat sekali, move on nya, Zi?" Aku mencari sumber suara. Ternyata, cinta pertamaku sedang duduk di sofa sendirian. Papa pasti menungguku pulang.

"Papa? Belum tidur?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Papa sedang menonton tv. Belakangan ini, terhitung semenjak ia menerima undangan kak Nia, papa selalu tidur larut malam. Aku tahu, ia pasti juga memikirkan kak Nia atau mungkin juga memikirkan perasaanku.

Papa mungkin menyesal karena seolah telah membuang kak Nia begitu saja. Padahal aku juga tahu, papa menyayanginya.

Dan papa pasti memikirkan perasaanku yang ia fikir akan sangat terluka karena mereka mengundangku.

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Dia siapa? Pacar baru kamu, Zi?"

Aku menggeleng. "Masih PDKT, Pa."

Maaf aku berbohong, Pa. Ini semua ku lakukan agar papa mengizinkan aku pergi dengan mas Zayn besok malam.

"Apa tidak terlalu cepat?"

Aku meringis menunjukkan gigi putihku. "Yang penting pria itu bukan sebagai pelampiasan, Pa."

"Melupakan Reza bukan hal mudah, Pa. Tapi, mengingatnya justru malah membuat hati Zi sakit."

Papa sepertinya mengerti apa maksudku. "Hati-hati dalam bergaul, Zi."

Aku mengangguk. Papa pasti takut aku hamil seperti kak Nia. Ternyata selama ini kak Nia sering ke hotel bersama Reza.

Padahal, setauku kak Nia hanya suka pergi ke club atau karaoke bersama teman-temannya.

Aku tidak sepenuhnya menyalahkan kak Nia. Reza juga bersalah. Pria itu yang serakah, tidak cukup dengan satu wanita.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!