NovelToon NovelToon

Butir Cintaku Diatas Sajadah Biru

Gadis satu-satunya

"Tolong jangan mendekati ku lebih jauh lagi dari ini ..."

Teriakan seorang gadis berparas cantik dengan rambut panjang tergerai sempurna mengenakan pita kecil sebagai aksesoris rambutnya.

Gadis tersebut adalah Khadijah, nama lengkapnya adalah Khadijah Rahman. Anak gadis satu-satunya dari keluarga Asyidiq Rahman yang memiliki tiga orang anak.

Tubuhnya bahkan sudah terhentak ke atas lantai akibat dorongan tangan beberapa pemuda berandalan di sudut kota.

Ia tak mampu lagi mengelak, karena posisinya telah dikepung oleh ke lima pemuda tak dikenalnya tersebut. Tangannya dengan cepat meraih benda apapun yang sekiranya dapat melindungi dirinya saat itu.

Sebuah botol kaca kecil yang telah ia dapatkan, dengan cepat dia pecahkan ditanah hingga membentuk sebuah sudut runcing. Tapi rupanya gertakan Khadijah sama sekali tak membuat gentar para pemuda bringas disana.

"Hai sayang, mari kita bercinta sejenak!" sahut seorang pemuda dengan gaya selengekan.

"Tunggu dulu!" sahut pemuda berikutnya yang sejak tadi berjaga di ujung gang, untuk memastikan kondisi disekitar aman.

Ia mulai menyibak tubuh beberapa temanya saat itu dan menghampiri lebih dekat Khadijah.

"Dia adalah anak ustadz itu, apa kalian tidak takut berurusan dengan keluarganya?" imbuhnya dengan mengamati wajah Khadijah yang sudah sangat ketakutan.

"Persetan!"

"Kesempatan tidak datang dua kali bukan?"

"Kita beruntung karena tikus kecil ini berjalan sendirian dalam gelap malam!"

terang seorang pemuda yang memiliki badan paling gempal dengan suara besar. Dia sejak tadi sudah mengamati Khadijah dengan teliti , bahkan sesekali ia mengusap air liurnya yang hendak menetes di ujung bibirnya.

Kini para berandalan tersebut bersiap untuk membuka masing-masing dari celana mereka. Khadijah berteriak sekencang mungkin dalam derasnya hujan malam itu. Tapi sayang teriakannya sama sekali tak berarti di bawah kerasnya guntur dan derasnya air hujan.

"Kemarilah, karena takkan ada satu orangpun yang bisa menyelamatkan dirimu sayang!" serunya sambil menatap wajah Khadijah penuh kegilaan.

*

*

*

"Akh , akh." rintih Khadijah yang telah di gilir oleh beberapa orang pemuda.

Dalam gelapnya malam, bahkan Khadijah tak mampu mengingat betul wajah mereka satu persatu. Yang mampu ia ingat hanyalah suara dari ke lima pemuda itu .

Masih dengan suara isak tangis yang tertahan di ujung bibirnya, ia mencoba menerima segala kepahitan dimalam itu. Bahkan seorang dari mereka dengan tega bermain fisik dengan Khadijah saat perbuatan bejat itu dilakukan.

"Sakit , tolong lepaskan!" pekik Khadijah yang sama sekali tidak memiliki sisa tenaga lagi, pemuda tersebut bahkan tak segan menjambak serta memukul tubuh Khadijah saat keduanya berhubungan intim .

Semua itu ia lakukan agar mendapatkan sensasi kepuasan tersendiri baginya.

"Ayo cepat, tinggalkan saja dia." teriak pemuda lainnya yang sudah selesai menyalurkan nafsu bejatnya.

Tapi pemuda itu nampaknya sangat mendalami aksinya, bahkan ia dengan sengaja meletakkan benihnya sebanyak 3 kali pada Khadijah . Dan benar saja , akibat ulah ketiganya kini Khadijah terkulai lemas di bawah derasnya air hujan yang mengguyur malam itu.

Bahkan dirinya sempat tak sadarkan diri disana.

Kediaman rumah keluarga Khadijah.

"Bi, dimana adikmu. Kenapa sudah selarut ini dia tak pulang-pulang." tanya Rahman pada putra tertuanya dirumah itu.

Abizar Rahman adalah anak pertama dari ketiga bersaudara disana. Dia berprofesi sebagai seorang polisi dan memiliki hafalan sebanyak 15 juz.

"Entah pa, akan Abi susul dulu ke kedai." imbuhnya dengan ramah.

Hati Rahman begitu gelisah dibuatnya, karena ia tak ingin jika putri satu-satunya mengalami hal buruk diluar sana.

Sambil mengenakan jubah putih dan peci putih, Rahman berjalan mondar-mandir sejak dua jam yang lalu. Tangannya terlipat sempurna ke belakang, dan wajahnya sama sekali tak dapat menipu akan rasa khawatir yang begitu dalam.

"Ada apa pa?" sapa istrinya yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Khadijah ma, belum pulang." jelasnya singkat.

Fatimah adalah ibu dari ke tiga orang anak tersebut, ia dikenal sebagai wanita paling penyabar dan serta memiliki tutur kata yang halus. Bahkan Fatimah begitu disegani di komplek rumahnya oleh ibu-ibu sekitar.

Karena banyak dari mereka yang menganggap Fatimah sebagai contoh terbaik menjadi seorang ibu.

"Apa papa sudah menelponya tadi?" terangnya dengan wajah yang tak kalah khawatir dari sang suami.

Rahman hanya mengangguk tanpa bersuara dan melanjutkan kembali renunganya.

Abi yang sejak tadi menyusuri jalan masih belum dapat menjumpai sang adik, karena menurut penuturan pegawai kedainya Khadijah sudah ijin pulang semenjak setengah jam yang lalu.

"Di mana si kamu dek, kenapa belum juga terlihat." Ucapnya sambil meneliti setiap ujung jalan.

Abizar dengan sabar menyisir seluruh jalan yang biasanya dilewati oleh Khadijah malam itu, bahkan ia tak segan untuk mengulanginya kembali ke tempat semula.

Hingga Abizar terhenti disebuah depan gang tepat kejadian nahas itu terjadi, saat itu Abizar hendak memeriksa ponselnya kembali dan mencoba menelpon ponsel milik Khadijah.

"Kring kring kring ..." suara ponsel dari kejauhan samar terdengar.

Abizar yang sedang berada di atas motor miliknya seketika lompat dari atas motor dan menelusuri asal bunyi ponsel yang diyakini milik sang adik.

"Khadijah..." panggilnya lirih.

Cukup jauh Abizar berjalan, hingga terhenti disebuah gang buntu paling ujung. Ia terus menerus melakukan panggilan itu untuk memastikan kemana arah membawanya pergi.

Dan secara mengejutkan, Abizar yang telah lama mencari adiknya kini menemukannya ditempat yang begitu kotor dalam kondisi memilukan.

"Khadijah, bangun!" teriaknya lirih .

Dengan cepat Abizar melepaskan jaket miliknya dan membalut tubuh dingin sang adik disana. Wajah Khadijah begitu berantakan, dan beberapa pakaian miliknya pun sempat di lucuti para berandalan tersebut.

Masih dalam keadaan tak sadarkan diri, Abizar yang kebingungan mencari sebuah taksi malam itu. Nekat membopong tubuh sang adik hingga tiba dirumah. Ia pun tak lagi memikirkan motor miliknya yang terparkir sembarangan di bahu jalan.

Setelah 25 menit kemudian, Abizar berteriak di halaman rumah mereka sambil tersengal.

"Pa ..."

"Ma ..."

"Bilal ..."

Teriaknya memanggil satu persatu penghuni rumah itu dengan segera.

"Abi ..." sahut Fatimah dengan segera dan berjalan untuk membukakan pintu rumah tersebut.

"Astaghfirullah ... ada apa dengan adikmu nak?" tanya Fatimah dengan di iringi tangis.

Bahkan Rahman juga tak kuat melihat sang putri tercinta pulang dalam keadaan berantakan disana. Wajah Khadijah sebagian dipenuhi dengan kotoran pasir. Dan rambutnya terlihat begitu berantakan dan kusut.

Bilal anak kedua dari pasangan suami istri tersebut dengan cepat membawakan seember air yang bercampur minyak gosok. Ia berharap dengan itu, sang adik dapat segera sadar kembali.

Sambil terus memeras kain bewarna putih yang tak seberapa tebal itu, Bilal berulang kali juga mengusap minyak gosok itu ke depan hidung Khadijah. Sementara Fatimah tegah sibuk memberikan kehangatan melalui gosokan tangannya terhadap sang putri.

"Sayang , bangun nak!" panggilnya dengan pilu.

Selang setengah jam kemudian, Khadijah membuka perlahan kedua matanya. Ketika sadar, gadis itu berteriak sekencang mungkin dan histeris. Ia dengan cepat memeluk tubuh mamanya dengan erat.

Melihat aksi Khadijah, ketiga lelaki itu menatapnya penuh dengan kesedihan.

"Ada apa nak, tenanglah." pinta Fatimah sambil terus mengusap rambut sang putri perlahan.

Tapi Khadijah hanya bisa menangis tanpa penjelasan.

"Biarkan dia istirahat saja dulu ma, antarkan dia ke kamar." perintah Rahman pada sang istri.

Tanpa berlama-lama, Fatimah memapah sang putri masuk kedalam kamar. Tapi ke anehan itu masih belum ia sadari sebagai seorang ibu. Jalan Khadijah yang begitu terseok-seok saat ini, sebenarnya tengah menahan sakit begitu dalam karena anggota tubuh paling sensitifnya kini tengah mengalami sebuah luka.

"Tidurlah, ibu akan membuatkan susu hangat untukmu sayang." pinta Fatimah dengan tulus. Ia pun membantu sang putri untuk segera naik ke atas tempat tidur empuk miliknya.

Didalam kamarnya, Khadijah bahkan masih merasakan rasa takut begitu dalam. Hatinya begitu gusar dan memandangi sekeliling kamar, seakan tak percaya jika didalam rumah itu sudah benar-benar aman untuk dirinya.

*

*

*

"Bilal, ikut abang ambil motor." seru Abizar pada sang adik.

Kini keduanya telah berangkat untuk mengambil motor milik Abizar . Dan setelah usai mengambil motor, Keduanya yang baru saja memasukkan motor miliknya kedalam garasi telah ditunggu kedatangannya oleh Rahman.

Ia nampak cemas sambil memijat keningnya berulang kali didepan teras rumah.

"Abi, duduklah." Pintanya dengan nada lemah.

Bilal pun menghentikan langkahnya untuk ikut duduk bersama.

"Di mana kamu menemukan adikmu nak?" tanyanya dengan suara bergetar.

Hati ayah mana yang takkan pilu melihat kondisi sang putri begitu mengenaskan pulang kerumahnya.

"Di ujung gang buntu itu ayah."

Mendengar jawaban sang putra, Rahman seketika paham betul jalan yang dimaksud oleh putranya.

Dia masih saja terus berucap sambil mengelus dadanya berulang kali .

"Sabar pa ..." sahut Bilal yang berada tepat duduk di depan Rahman.

"Membayangkannya saja, hati papa sudah sangat hancur."

"Berjanjilah pada papa, kalian akan membantu adik kalian sebaik mungkin selama masa pemulihannya." pintanya dengan tetesan air mata.

Keduanya mengangguk patuh tanpa mengelak.

Saat itu, meraka memutuskan untuk beristirahat dan melihat perkembangan Khadijah esok hari.

Dan keesokan harinya, Fatimah yang tengah menyiapkan sarapan pagi untuk anggota keluarga yang lain dikejutkan dengan suara histeris Khadijah dari kamar.

"Tidak ..."

"Cepat pergilah ...!"

"Pergi kataku ..."

Seluruh make up miliknya telah di luluh lantakkan olehnya seketika, bahkan cermin rias miliknya menjadi sasaran empuk Khadijah disana.

Fatimah yang mendapati sang anak mengamuk , lantas pergi dan menghampiri sang suami untuk segera membantunya.

"Pa, Khadijah!" panggilnya dengan cemas.

Mendengar nama sang putri saja, Rahman lantas membuang majalah yang berada dihadapannya dan segera bangkit menuju kamar Khadijah.

Lelaki itu, melihat anaknya yang tengah terduduk sedih di ruangan paling ujung kamar miliknya. Dengan melipat kedua kakinya, Khadijah menundukkan wajahnya dan terus mengulang kata yang sama.

"Pergilah , pergilah." ucapnya terus menerus sambil terus bergetar tanpa henti.

"Sayang, Khadijah." sapa Rahman dengan berhati-hati.

"Kemarilah, ini papa nak!" pintanya lembut.

Khadijah yang sejak tadi bergumam sendirian dikamar perlahan mulai meraih ujung jari Rahman dan berdiri.

"Jangan takut nak, semua akan baik-baik saja!" tegasnya yang kini telah mendekap sang putri dengan rasa ibah.

Meskipun berada didekat orang rumah, Khadijah masih saja merasa ragu dan pandangan kedua matanya terkadang gusar tak menentu.

Sedangkan Fatimah yang sejak tadi menahan air matanya, memutuskan untuk segera keluar dari kamar sang putri dan menuntaskan segala tangisnya di balik dinding kamar Khadijah.

"Ma, aku dan abang akan perlahan membantu Khadijah. Jangan sedih ." ujar Bilal.

Betapa kompaknya keluarga ini ketika menghadapi musibah, mereka semua saling bergandengan tangan tanpa terpisah. Bahkan Khadijah sebagai anak dan adik terkecil dirumah itu sangat beruntung dikelilingi orang berhati malaikat seperti mereka.

Saat ini, Rahman telah berhasil membujuk Khadijah untuk segera tidur kembali setelah semalam penuh ia gelisah sendirian didalam kamar. Dan belum sedikitpun menutup ke dua matanya dengan baik.

"Mari kita makan," ajak Rahman pada anggota keluarga lainnya.

Dimeja makan, mereka terlihat begitu muram dan semuanya tak selera untuk memasukkan makanan walaupun hanya sedikit kedalam mulutnya. Tapi, Abizar yang memiliki hati lebih kuat seolah ingin meyakinkan semuanya jika keadaan akan segera membaik.

"Pa, ma. Bilal ayo kita makan, bagaimana bisa kita menjaga Khadijah jika diri kita saja lemah." tuturnya dengan memberikan senyuman.

Sejenak, ketiganya begitu meresapi tentang perkataan Abizar dan membenarkannya.

"Begini pa, Abizar memiliki teman seorang psikiater dia perempuan. Nanti Abizar akan minta tolong padanya untuk datang kemari."

"Karena melihat kondisi Khadijah, kayaknya masih belum bisa kita ajak dia keluar rumah ."

"Yah, papa setuju." timpal Rahman tanpa berlama-lama lagi.

Di ikuti dengan Fatimah dan Bilal yang juga mengangguk.

Hari itu, tepat pukul tiga sore teman Abizar yang bernama Laudya baru saja tiba . Gadis itu berpakaian rapi dan msngenakan hijab panjang menutupi dadanya sempurna.

Terlihat begitu anggun, ditambah lagi ia adalah gadis yang memiliki kesopanan sangat baik.

"Selamat sore pak, bu." sapa Laudya dengan lembut dan ramah.

"Perkenalkan saya Laudya, teman Abizar ." terangnya sambil menjabat tangan Fatimah saja .

"Duduk nak, Abizar sudah bercerita dengan kami. Tolong bantu anak kami Khadijah ya." pinta Rahman .

"Akan saya upayakan ya pak." imbuh Laudya tanpa berani memberikan janji.

Rahman dan Fatimah serentak megangguk setuju.

Kini Laudya telah bertatap muka dengan Khadijah, masih belum ada respon ketika gadis tersebut memutuskan untuk duduk disebelah Khadijah. Tapi setelah Laudya mengangkat tangannya untuk berkenalan dengan Khadijah, anak Rahman tersebut bereaksi seperti tak biasa.

Seketika Khadijah menepis tangan Laudya dengan kasar. Meskipun begitu, Laudya dengan lembut memperlakukan Khadijah disana.

"Aku teman barumu, tidak apa Khadijah." serunya sambil membuka tas berbentuk kotak miliknya.

Ia pun membuat beberapa resep obat setelah mendapati respon Khadijah, Laudya berharap gadis malang itu bisa segera pulih dari rasa trauma yang begitu dalam di jiwanya.

Dirinya pun tak dapat membayangkan jika hal itu terjadi menghampirinya , mungkin Laudya takkan setegar Khadijah sampai dengan saat ini.

"Bagaimana, apa adikku akan baik-baik saja?" tanya Abizar dengan khawatir.

"Sementara hanya obat ini yang aku tinggalkan untuknya, semoga saja Khadijah bisa melewati masa sulit ini yah."

"Aku akan datang kemari tiga hari sekali untuk memastikan kondisinya." terang Laudya .

...BERSAMBUNG...

Perkembangan

Sudah dua minggu berlalu semenjak kasus yang menimpa Khadijah terjadi. Gadis itu masih terlihat begitu murung disetiap harinya, bahkan ia sama sekali tak menyunggingkan senyumnya sama sekali.

Tapi, sudah ada perkembangan baik menurut penuturan Laudya yang selalu menjenguknya ke rumah. Khadijah tak lagi mengamuk, hatinya lebih tenang ketika bersinggungan dengan hal-hal sensitif.

Melihat perkembangan itu, ke dua orang tua dan kedua kakak Khadijah begitu merasa lega dibuatnya.

*

*

*

Malam itu, hujan begitu deras mengguyur diluar di imbangi dengan suara petir yang begitu menggelegar. Sontak ingatan Khadijah kembali merebak pada kejadian nahas hari itu.

Dia menarik selimut putrinya begitu tinggi hingga menutupi kepalanya. Ia kembali panik dan begitu gelisah mendengar petir yang saling bersautan di luar rumahnya.

Karena merasa tak aman, Khadijah menjerit sejadi-jadinya malam itu dan berlarian ke kamar mandi. Ia seolah ingin mendapatkan tempat paling aman dirumah itu.

Ia mengunci dirinya rapat-rapat disana, dan duduk paling ujung di sana.

"Khadijah pa ..." ujar Fatimah kepada Rahman suaminya.

Hari itu, Rahman yang hendak melakukan ibadah sholat berjamaah mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk melihat putrinya.

Ia pun meletakkan sorban miliknya diatas kursi dan mengecek keadaan Khadijah.

"Sayang ..." panggil Rahman ketika telah membuka pintu kamar Khadijah.

Saat itu, ia tak dapat menemukan putrinya. Bahkan jendela kamar Khadijah masih terbuka lebar keduanya. Terlihat setengah basah korden putih yang menjuntai ke bawah disana.

"Dimana Khadijah pa ..." sahut Fatimah resah.

Sedangkan Abizar dan Bilal yang baru saja tiba dari tempat kerja lantas menyusul kedua orang tuanya dikamar adiknya. Keduanya sejak tadi bingung mencari keberadaan mereka, karena dalam keduanya tak kunjung mendapatkan respon.

Rahman kali ini beralih ke kamar mandi milik sang putri yang masih menyala dan terdengar suara gemericik air didalam.

"Tok tok tok ..." ketukan Rahman berulang kali, sambil terus memanggil sang putri.

"Sayang, apa Khadijah didalam ?" tanyanya dengan sedikit keras.

Tapi sama sekali tak mendapati jawaban.

Kini Rahman mencoba sekuat mungkin untuk menarik gagang pintu tersebut, tetap masih belum terbuka . Ia juga mencoba mendobraknya dengan kasar, masih belum terbuka juga.

"Biarkan Bilal yang mendobrak ini pa." sahut putra kedua dari balik punggung keduanya.

"BRAKKKK."

Hanya dengan sekali dobrakan pintu itu terbuka sempurna, karena Bilal mengambil ancang-ancang sebaik mungkin pada tubuhnya.

Fatimah menjerit sejadi-jadinya, ketika sang putri tergeletak dengan bersimpah darah. Ia memutuskan untuk melukai pergelangan tangannya menggunakan gunting yang ada di dalam sana. Khadijah tak kuat lagi menahan segala bayang ketakutan selama ini.

Kedua kakaknya dengan sigap mengangkat tubuh sang adik dari dalam kamar mandi, sedangkan Rahman tengah bersiap untuk mengeluarkan mobil .

Khadijah di bopong keluar dari dalam kamar mandi dan dilarikan kerumah sakit.

Kini Khadijah tengah dipangku oleh Fatimah sepanjang jalan, ibu itu terus menangisi nasib sang putri yang kian hari kian menyedihkan.

Sedangkan Bilal dan Abizar tengah menaiki motor untuk mengikuti kedua orang tuanya dari belakang.

Setibanya dirumah sakit.

"Tolong, tolong putriku suster!" teriak Rahman yang menunjuk ke arah sang putri dalam gendongan Abizar.

"Baik pa."

Beberapa orang perawat disana dengan sigap memasuki ruangan dan disusul juga oleh dokter muda yang memiliki paras tampan kulit putih dan memiliki tubuh serta tinggi badan proporsional.

Dia terlihat seperti keturunan orang arab.

Mereka pun menunggu dengan gelisah, apa yang tengah terjadi didalam ruangan itu pada sang putri. Hingga akhirnya lampu kecil merah diatas pintu ruangan itu telah mati dan dokter muda tersebut keluar menghampiri ke empatnya .

"Keluarga pasien ..." panggilnya sembari membuka masker yang menutupi wajahnya.

"Saya dok." sahut Rahman yang di ikuti anak dan istrinya.

Pemuda itu masih tampak sibuk melepaskan sarung tangan medis miliknya.

"Untung pasien segera dilarikan ke rumah sakit dengan cepat, dia kehilangan begitu banyak darah saat ini . Kondisinya masih lemah, tapi beruntung dia masih bisa bertahan untuk sejauh ini."

"Dan luka dipergelangan tangannya cukup dalam, jadi saya harus menjahitnya tadi." jelasnya dengan ramah dan sopan.

"Terimakasih banyak dok ." sambut Rahman dengan berlinang air mata, sementara Bilal dan Abizar sama-sama memegang pundak sang papa untuk memberikan penguatan.

Melihat kejadian itu, membuat dokter muda yang memiliki nama Al Farizi tersebut begitu senang. Dia sangat suka, jika melihat keluarga yang begitu kompaknya untuk menjaga satu sama lain .

Dokter Al, begitulah sapaan akrab bagi dokter muda tersebut. Di usianya yang masih dibilang sangat muda, Al sudah mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

Hingga kini dikenal sebagai dokter muda terbaik disalah satu rumah sakit terbesar di kota besar.

"Dokter Al, anda sudah ditunggu oleh pasien di kamar mawar." panggil seorang perawat dari dekat.

"Mari," ajak Al.

Ia pun menundukkan kepalanya sesaat sebelum meninggalkan keluarga Rahman . Secara bersamaan kini Khadijah pun di pindahkan ke ruang kamar melati.

Ruangan yang memiliki fasilitas VVIP itu, terlihat begitu lengkapnya. Bahkan ada ruangan khusus kelaurga sendiri untuk didalam kamar pasien. Kamar itu juga memiliki kamar mandi begitu luas dan sebuah tv dengan layar begitu besar.

Sangat nyaman bagaikan dirumah sendiri.

"Kalian berdua belum makan kan?"

"Makanlah terlebih dahulu nak." perintah Fatimah pada kedua orang putranya.

Bilal yang dikenal paling bijak dalam mengatur keuangan , tiba-tiba saja mengeluarkan beberapa kotak makanan dihadapan sang ibu dan ayah.

Flashback Bilal.

"Aku akan membawa ini, untuk dirumah sakit nanti. " terangnya sebelum keberangkatan ke rumah sakit, dengan telaten Bilal menata seluruh makanan yang ada dimeja kedalam sebuah rantang berbentuk kotak.

Disana, ia menata sandwich kesukaannya dengan abangnya. Beserta nasi dan juga lauk.

*

*

*

Melihat itu, Fatimah tersenyum ke arah Bilal dan membantunya untuk membuka seluruh kotak makan tersebut.

"Makanlah bu," Abizar dengan sigap mengangkat sendok masuk dalam mulut sang ibu.

Ia tak ingin jika ibunya harus jatuh sakit juga, karena memikirkan nasib pilu sang adik. Sedangkan Rahman masih setia mendampingi putrinya yang masih terbaring dan terpejam diatas ranjang dengan beberapa selang berisikan cairan dan darah.

Setelah Fatimah usai disuapi oleh sang anak, kini ia pun bangkit beralih menghampiri Rahman untuk bergantian.

"Makanlah pa, Bilal sudah menyiapkan untukmu." titahnya.

Rahman pun mengangguk perlahan sambil melihat ke arah putrinya sekali lagi.

Sepanjang ketiganya memulai untuk makan bersama, Fatimah terus membacakan ayat suci Alquran untuk kebaikan sang putri.

Sambil terus mendekap tangan Khadijah , Fatimah berulang kali mengulang surah tersebut dari mulutnya.

Dan perlahan, jari Khadijah bergerak sedikit demi sedikit.

Fatimah begitu senang ketika sang putri menunjukkan progres yang cukup baik.

Tapi hal itu tak berhenti disana, bersamaan dengan hal itu Khadijah kembali menjerit di tengah kesadarannya.

...BERSAMBUNG...

...----------------...

...Berikut adalah visualisasi Khadijah Rahman ...

Mulai stabil

Rahman dengan cepat menekan sebuah tombol yang tak berada jauh dari ujung ranjang Khadijah. Selang beberapa menit, beberapa orang perawat dan dokter jaga menghampiri kamar putrinya.

"Putri saya dok." sahut Fatimah dengan gusar pada seorang dokter yang bernama Farah.

Ia mengangguk dan segera mengecek keadaan Khadijah secara bertahap. Dokter yang memiliki paras ke ibuan tersebut dengan cantiknya berbalut hijab bewarna fuchsia.

Kini tangannya tengah mengangkat sebuah jarum suntik, lalu sesekali ia menyentil ujung jarum untuk memastikan agar cairan yang keluar mengalir sempurna. Dan saat ini, mulai diarahkan ke lengan Khadijah yang sudah di pegang erat oleh seorang perawat.

Khadijah yang sama sekali tak berani akan jarum suntik, seketika menutup kedua matanya dengan erat sambil menggigit bibir bawahnya.

"Ini tidak akan membuatmu sakit , cantik." jelas Farah dengan lembut.

Suntikan tersebut adalah obat penenang bagi Khadijah agar ia bisa lebih tenang mengontrol emosinya.

Melihat sang adik berangsur tenang, kini Abizar dan Bilal berpamitan kepada kedua orangtuanya untuk segera kembali bekerja.

*

*

*

Abizar adalah seorang polisi lalu lintas, ia selalu mengatur padatnya jalan raya disetiap harinya. Berbeda dengan Bilal, adik kedua dari Abizar tersebut bekerja sebagai kurir disalah satu ekspedisi di ibukota terbesar.

Kendati orang tuanya sudah begitu kaya raya, tak membuat kedua anak laki-laki Rahman ini berpangku tangan. Mereka selalu berusaha untuk tidak besar membawa embel-embel nama sang papa dalam setiap pekerjaannya.

Hari itu, Bilal yang sudah bersiap untuk membawa seluruh barang kirimnya tiba-tiba saja terhentikan oleh suara Furqon.

"Hei Bil," sapanya dengan memegang ujung tangan Bilal pada setir motor.

"Ada apa?" sahut Bilal sambil membuka kaca helm miliknya begitu juga dengan maskernya.

Furqon yang baru saja tiba, dengan wajah santainya tapi begitu tegang didalam hatinya memberanikan diri untuk bertanya.

"Gimana Khadijah?"

Suara Furqon bergetar.

"Adik persmpuanku?" tanya Bilal balik dengan kebingungan.

Sepengetahuan dirinya, sama sekali tidak ada yang tahu jika Khadijah tengah terbaring dirumah sakit kecuali ia dan seluruh kerabat dekatnya.

"Tahu dari mana Khadijah sakit?" tanya Bilal dibalik helmnya.

Pertanyaan balik Bilal membuat Furqon begitu gelisah, bahkan keringat dingin mulai nampak diujung wajahnya.

"Hm, anu itu."

"Iya aku tadi mampir dirumah makan yang biasa Khadijah tunggu, aku sama sekali tak melihatnya disana." Furqon mencoba berkelit.

Meskipun begitu, Bilal tetap saja merasa ada yang aneh pada diri Furqon saat itu. Dirinya selama ini tak pernah menanyakan hal tentang adik perempuannya tersebut, bahkan sangat terkenal acuh diseluruh teman kerja Bilal.

"Iya, kabetulan Khadijah sedang sakit dan dirawat dirumah sakit sekarang." imbuh Bilal .

Mendengar penjelasan dari Bilal, rasa bersalah dari dalam hatinya tiba-tiba saja menyeruak kembali dengan mendalam. Bibirnya bahkan tak bisa berkata lebih jauh lagi.

"Hei, hei." sahut Bilal dengan mengibaskan satu tangannya ke arah wajah Furqon yang mendadak melamun.

"Oke kalau gitu, lanjut deh Bil." imbuhnya dengan buru-buru menghilang dari hadapan Bilal.

Saat itu juga ia beralih menghindari Bilal dengan cepat, sebelum pertanyaan curiga Bilal memborbardir dirinya.

"Aneh,"

"Tapi, enatahlah!" gerutu Bilal sambil melanjutkan pekerjaannya.

Seperti biasa, Bilal selalu menghabiskan seluruh waktunya untuk berkeliling kota dalam mengantarkan seluruh paket miliknya. Dan tak jarang pula, Bilal menemui sang kakak jika jam istirahat tiba.

Keduanya sering menghabiskan jam istirahat bersama hanya untuk sekedar makan siang, di pos jaga milik Abizar.

"Woy, ayo makan kak!" teriaknya tepat berdiri dipos jaga milik Abizar.

Kedua tangannya telah menenteng dua bungkus nasi favorit mereka setiap harinya. Satu bungkus nasi campur yang hanya berlauk telur dadar dan sebuah sambal serta sayur kacang menjadi pilihan keduanya untuk mengganjal perutnya selama bekerja.

Nasi itu tak cukup mewah, bahkan hanya seharga lima ribu rupiah saja. Untuk ukuran nasi dengan harga yang tak menguras cukup banyak kantong, keduanya sudah begitu nikmat dibuatnya.

Meskipun mereka tahu, jika hal itu dapat ia lakukan di salah satu cabang rumah makan milik sang papa maka seluruh karyawan disana dengan suka hati memberinya percuma.

Tapi hal itu tak pernah dibuat satu kalipun oleh keduanya. Mereka tahu, jika menjadi seorang anak lelaki tugas berat tengah menanti untuk mereka emban nantinya.

"Sudah berapa banyak hutangku padamu dek."

"Kau selalu membawakan nasi untukku ." ujar Abizar sambil meletakkan topi beserta atribut lain miliknya.

"Kakak ini, macam dengan siapa lah bicaranya. Ini Bilal adik kakak!" sahutnya dengan menepuk dada bidangnya sendiri.

Melihat tingkah konyol sang adik bahkan terkesan lucu didalam pandangan Abizar, ia hanya tertawa sambil membuka bungkus nasi yang terikat erat dengan sebuah karet.

Memang keduanya begitu harmonis sebagai sepasang saudara kandung, sikap mereka yang saling menyayangi dan melindungi satu sama lain patut di acungi jempol.

Disela makan siangnya, Bilal tiba-tiba saja membicarakan yang telah ia curigai pada Furqon . Dirinya menceritakan segalanya tanpa mengurangi ataupun menambahkan perkataan disana.

"Jangan su'udzon dulu, husnudzon saja lebih baik." uajrnya setelah mendengar cerita sang adik.

Sebagai seorang polisi, tentu Abizar juga memiliki pandangan tersendiri atas peristiwa yang terjadi pada sang adik. Perlahan, Abizar juga tengah menelisik jauh masalah itu tanpa sepengetahuan keluarganya.

*

*

*

Sementara ditempat tongkrongan lain, Furqon menyambangi seorang pemuda yang memiliki tubuh lebih gempal diantara lainnya. Bahkan dirinya juga disebut sebagai ketua dalam gerombolan pemuda lainnya.

"Gimana ini ..." sapa Furqon dengan wajah bimbang dan gelisahnya.

Pemuda berparas penuh tato diseluruh wajahnya itu menatap Furqon dengan jeli. Sambil menepuk punggung Furqon kuat-kuat ia bertanya.

"Ada apa denganmu , hah?" tanyanya.

Baliq adalah nama pemuda yang akrab disapa sebagai ketua oleh teman lainnya, rambutnya ikal bahkan dibiarkan menjuntai panjang tanpa dipangkas sekalipun. Tapi meskipun demikian, rambut itu masih tertata rapi dan cukup apik. Karena setiap bulannya Baliq merawatnya dengan sempurna.

"Khadijah ..." jelasnya singkat menyebut sebuah nama.

Bahkan Baliq sama sekali tak mengenali nama itu dengan baik, karena tak ada satupun orang teman perempuannya memiliki nama itu.

"Siapa dia?"

"Aku sama sekali tak mengenali nama itu disini."

"Disini cuman ada Sari, Ratna , Pitri, Tata dengan Vero!"

"Apa itu cewek cem cemman kau ya!" sindir Baliq dengan menimpa lengan Furqon .

"Ck." Furqon berdecak.

Tongkrongan itu telah Furqon kumpuli sejak tiga bulan lamanya, sebenarnya Furqon adalah anak yang baik bahkan sikapnya begitu manis dan patuh terhadap sang ibu.

Tapi semenjak kejadian yang menimpa sang ibu, Furqon telah menjadi sosok baru yang jauh berbeda. Ia bahkan sulit menemukan jalan kembalinya sendiri.

Dimana sang ayah yang begitu tega menganiaya ibunya hingga mengakibatkan lumpuh total seumur hidup. Semua hal buruk itu terjadi di depan mata kepala Furqon sendiri.

...BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!