Aku berdiri di depan sebuah apartemen mewah dengan dua puluh lantai. Aku menengadahkan kepalaku mencoba melihat ke puncak apartemen itu.
"Wah, tinggi banget. Aku beneran bakal tinggal disini?" Gumamku, masih belum bisa mempercayainya.
Aku tinggal di sini bukan untuk menjadi penghuni. Tapi aku akan menjadi asisten rumah tangga. Ya, pembantu. Aku bertugas membersihkan apartemen milik seseorang, kemudian aku akan dibayar atas jasaku itu.
Setelah lulus SMA beberapa tahun lalu, aku diterima di salah satu Universitas di Jakarta. Aku adalah orang pertama di keluarga besarku yang melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Aku mendapatkan beasiswa yang akan menanggung semua biaya kuliahku hingga aku lulus nanti. Aku sangat bersyukur dan bangga, diterima di sebuah Universitas ternama dan di ibukota pula.
Namun biaya untuk kebutuhan sehari-hari harus aku cari sendiri. Maka dari itu aku bekerja paruh waktu untuk bisa menyewa kamar kost juga memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Orang tuaku tidak memiliki banyak biaya untuk memenuhi semua kebutuhanku di kota besar ini. Apalagi, aku punya dua orang adik yang masih bersekolah. Jadilah aku disini seorang diri menimba ilmu sambil membanting tulangku demi bertahan hidup.
Aku bekerja paruh waktu di sebuah minimarket selama beberapa bulan terakhir. Namun di semester baru ini aku jadwal kuliahku bentrok dengan jadwal shiftku di minimarket itu. Akhirnya aku terpaksa berhenti dan harus mencari pekerjaan lain. Namun ternyata mendapatkan pekerjaan di ibukota tidak semudah itu.
Aku masih ingat bagaimana aku sangat putus asa saat itu, tidak punya pekerjaan dan uangku semakin menipis. Sering kali terlintas dalam pikiranku apa aku berhenti kuliah saja dan kembali ke kampung halamanku? Namun aku kembali menepis pikiran-pikiran itu disaat memikirkan orang tua dan adik-adikku.
"Teteh gak apa-apa, Mah. Teteh masih punya uang, kok. Ini juga baru beli makan sama fried chicken." dustaku pada ibuku. Aku mengapit HPku diantara bahu dan telingaku sementara tanganku sibuk mengupas kentang yang dikirimkan minggu lalu oleh orang tuaku yang merupakan petani sayur.
"Udah, Mama simpen uangnya buat bekel sekolah Annis sama Asha, ya. Mama sama Bapak gak usah mikirin Teteh." Aku menolak saat ibuku mengatakan akan mengirimkan uang untukku. Lebih baik uang orang tuaku difokuskan untuk kepentingan sekolah adik-adikku, Annisa dan Ashanti.
Sebenarnya aku membutuhkan uang itu, jujur aku sudah bosan makan kentang dan sayuran kukus. Selama beberapa hari terakhir itulah yang aku makan untuk menghilangkan rasa laparku. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus berhemat.
Hingga suatu hari Bi Dini, kerabat dari ayahku yang bekerja sebagai asisten rumah tangga pada sebuah keluarga kaya raya, menawarkanku sebuah pekerjaan. Bi Dini terpaksa pulang ke kampung halaman kami karena suaminya sakit keras. Ia tidak bisa berhenti dari pekerjaannya jika tidak menemukan orang yang menggantikannya.
Karena sama-sama berada di kota besar ini, aku merasa berkewajiban membantu bibiku itu dan aku memang sangat membutuhkan pekerjaan agar aku bisa tetap berada disini dan menyelesaikan kuliahku. Akhirnya disinilah aku, menggantikan Bi Dini menjadi asisten rumah tangga di salah satu unit Apartemen ini.
Aku akan tinggal untuk menjadi ART di apartemen yang ditinggali oleh seorang tuan muda yang masih duduk di bangku kelas 12 yang bernama Alghiffari Airlangga. Dia adalah putra kedua dari direktur utama PT Melcia Properti, perusahan yang memiliki beberapa real estate di kota-kota besar di Indonesia, termasuk apartemen yang sedang aku tatap ini.
Kabar baiknya, mereka adalah orang yang sangat kaya raya. Otomatis gaji ARTnya juga bisa dikatakan lumayan. Kabar buruknya, putra kedua mereka memiliki sikap yang sangat menyebalkan. Dia sangat tempramental. Setidaknya itulah yang sering bibiku katakan. Aku tidak tahu seburuk apa tabiat majikanku itu, yang pasti aku semakin tidak semangat untuk melakukan pekerjaan baruku ini.
Dengan malas aku melangkahkan kaki memasuki apartemen mewah itu. Aku masih tidak percaya, aku datang ke Jakarta untuk memperbaiki nasib keluargaku, namun aku disini malah bekerja sebagai ART, pekerjaan yang sama dengan yang dilakoni Bi Dini yang hanya lulusan SMP. Harga diriku sedikit terluka karenanya.
Tapi aku berusaha positif thinking. Semoga ini adalah salah satu bentuk perjuanganku sebelum aku menjadi orang sukses nanti. Semoga saja.
Kini aku berada di depan pintu sebuah unit di lantai dua puluh. Aku memasukkan kode akses dan seketika pintu itupun terbuka. Bibiku memang sudah memberikanku kode akses untuk pintu apartemen itu, dan mengatakan aku langsung masuk saja karena di jam segini majikanku itu memang masih belum pulang dari sekolahnya.
Aku terperangah melihat betapa nyaman dan mewahnya apartemen yang didesain dengan dominasi warna abu itu. Apartemen itu sangat nyaman dan luas untuk ditinggali seorang diri. Dapur, ruang tengah, dan juga ruang makan berada di satu ruangan. Ada dua buah kamar yang saling berhadapan dan aku melihat sebuah lorong kecil di sisi dapur. Aku berjalan kesana dan mendapati sebuah kamar kecil tanpa jendela dengan kasur kecil, lemari, dan meja rias yang bisa juga difungsikan menjadi meja belajar. Sudah pasti ini adalah kamarku.
Aku segera membereskan barang-barangku, memasukkan pakaianku ke dalam lemari kecil itu. Pun, Buku-buku dan laptop aku letakkan di meja rias itu.
"Bi!!" Terdengar teriakan dari luar sana.
Aku segera bergegas keluar kamar untuk menemui pemilik suara itu, yang aku yakin adalah majikanku, Alghiffari Airlangga.
"Iya, Tuan." Jawabku, dengan segera menghampiri seorang remaja laki-laki dengan seragam putih abu yang duduk di sofa ruang tengah, sedang membuka sepatunya. Cowok itu mendongak dan betapa tercengangnya aku.
Alghiffari sungguh cowok paling tampan yang pernah aku lihat. Aku melihat wajah dengan garis wajah yang begitu tegas dan sorot mata tajam dengan manik mata hitam yang bersinar seakan terdapat kerlipan bintang di sana. Hidungnya bangir sempurna. Kulitnya putih cerah tanpa cela.
Cowok dengan wajah nyaris sempurna itu bangkit dari sofa, seakan ingin menampakkan betapa menjulangnya dirinya. Aku hanya setinggi bahunya, aku kira. Dada bidang dan badan tegap sempurna itu berdiri kokoh di hadapanku.
Alghiffari menatapku dengan tatapannya yang bingung, "Lo siapa?"
Dengan segera aku menyadarkan diriku dan menjawab pertanyaan bernada dingin itu, "saya Ayana, Tuan. Keponakannya Bi Dini, kebetulan Bi Dini sudah berhenti jadi say...."
"Bikinin gue minum." Potongnya sembari melangkah menuju kamarnya. Sepertinya ia sama sekali tak peduli siapa asisten rumah tangganya, selama ada orang yang melayaninya tidak ada masalah baginya.
"Baik, Tuan. Tuan mau dibuatkan apa?" Tanyaku dengan sopan.
Alghiffari menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya ke arahku, "lo gak dikasih tahu sama bibi lo, kesukaan gue apa?!" Bentaknya. Kedua alis tebalnya bertemu.
Aku mendengus dalam hati. Bentakan pertama di kurang dari 5 menit pertama bekerja. Terbukti sudah ucapan bibiku yang mengatakan majikanku ini memang sangat tidak ramah. Rasa kagumku terhadap ketampanannya memudar karena bentakannya itu.
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu." Cicitku seraya menundukkan kepalaku, aku sama sekali tidak ingin mencari masalah dengan remaja yang sama sekali tidak manis ini.
"Bikinin gue lemonade! Inget itu! Kalau gue baru pulang dari manapun bikinin gue lemonade, pake gula dikit aja. Ngerti lo?!" Ucapnya masih dengan nada tinggi.
"Baik, Tuan."
Aku segera berjalan menuju dapur. Pantas saja sikapnya begitu asam, minuman favoritnya saja minuman sari buah lemon dengan sedikit gula, aku mendengus dalam hati.
Tring.
Seketika moodku berubah saat mendengar satu notifikasi masuk. Aku menoleh ke arah layar HP yang aku letakkan di konter meja dapur. Reflek kedua ujung bibirku tertarik ke atas, menerbitkan sebuah senyum di bibirku. Sebuah pesan dari seseorang yang aku beri nama Hyuga telah membuat moodku yang buruk berubah begitu saja. Hanya satu kalimat yang dikirimkannya, namun mampu membuat hatiku terlonjak bahagia.
[Hyuga] : Ay, lagi apa?
- - -
Ayana Pitaloka
Alghiffari Airlangga
Aku segera membalasnya.
[Ayana] : Bentar ya, Ga.
Dengan segera aku memotong sebuah lemon dan memerasnya dengan alat yang memang sudah tersedia di dapur berdesain elegan itu. Aku berikan sedikit gula dan aku seduh menggunakan sedikit air panas agar gulanya larut. Kemudian aku tuangkan air dingin lengkap dengan beberapa bongkah es batu kecil. Aku letakkan di atas nampan dan menyimpannya di ruang tengah.
Aku melihat sepatu yang tadi dikenakan Alghiffari tergeletak begitu saja di depan sofa. Adikku Asha yang masih SD saja sepertinya sudah jauh lebih mandiri dari majikanku itu, karena Asha selalu meletakkan sepatunya di rak sepatu setelah ia membukanya. Sedangkan cowok ini, umurnya sudah 18 tahun namun masih belum bisa mengurus dirinya sendiri, dumelku dalam hati.
Aku meraih sepatu itu dan aku letakkan di lemari sepatu dekat pintu masuk. Kemudian aku melangkah menuju kamar Alghiffari dan mengetuknya.
"Tuan, lemonadenya sudah tersedia di meja." Ucapku agak berteriak. Terdengar sahutan dari dalam dan akupun segera menuju kamarku, ingin segera membalas pesan dari Hyuga.
[Ayana] : Ga, maaf ya. Aku tadi lagi bikin minum dulu.
Tidak lama Hyuga segera membalasnya.
[Hyuga] : Gapapa, Ay. Kamu lagi apa sekarang?
[Ayana] : Lagi diem aja di kamar, kalau kamu lagi apa?
[Hyuga] : Sama. Aku juga lagi di kamar. Baru pulang banget nih.
[Ayana] : Sore banget, biasanya kamu 'kan agak siang pulang kerjanya hari ini.
Aku memang sudah hafal dengan jadwal Hyuga, sudah hampir 6 bulan aku ber-chat ria dengan teman mayaku ini. Dia bekerja di sebuah coffee shop sebagai seorang pramusaji. Usianya sama denganku tapi dia tidak melanjutkan kuliah, memilih bekerja agar bisa membantu ekonomi keluarganya.
[Hyuga] : Iya, tadi biasa aku main bola dulu.
[Ayana] : Tiada hari tanpa main bola deh kayaknya kamu.
[Hyuga] : Hehe, tahu aja. 'kan kamu sendiri tahu aku mau kayak Kojiro Hyuga, jadi atlet bola profesional. Cuma sekarang lagi nyangkut dulu jadi pelayan di coffee shop.
Teman mayaku ini memang sangat mengidolakan tokoh Kojiro Hyuga, rival Tsubasa Ozora di serial kartun klasik, Captain Tsubasa. Karena sama-sama menyukai serial inilah, aku dan Hyuga menjadi sangat dekat.
[Ayana] : Semoga kesampean deh. wkwkwk
[Hyuga] : Gak ikhlas gitu doainnya ada 'wkwk'nya.
[Ayana] : (emoji senyum sambil menutup mulut dengan tangan)
[Hyuga] : Eh, Ay. Gimana jadinya jawaban kamu? Udah kamu pikirin pertanyaan aku kemarin?
[Ayana] : Aku udah bilang 'kan, aku pengen kita ketemu dulu. Aku gak mau pacaran sama orang yang belum pernah aku temuin, bahkan nama asli dan wajah kamu kayak gimana aja aku gak tahu.
[Hyuga] : Gak bisa gitu kayak gini aja. Chat dan telepon kayak biasa, tapi status kita bukan temenan lagi, tapi jadi pacar.
Begitulah, aku dan Hyuga sudah sedekat itu. Bahkan ia sampai memintaku menjadi pacarnya. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu, tidak ingin jika Hyuga akan hilang perasaan padaku saat melihatku. Aku memang kurang percaya diri. Aku tidak terlalu cantik. Aku akui itu.
Maka dari itu aku tidak siap kehilangan sosok yang selalu menemaniku selama 6 bulan ini. Tidak juga untuk melangkah lebih jauh seperti yang diharapkan oleh Hyuga, ke tahap berpacaran. Tidak, sungguh aku tidak siap dengan semua perubahan yang akan terjadi. Aku terlanjur berada di zona nyaman ini.
Hyuga terus menerus meminta kejelasan dari hubungan kami. Namun jika harus berpacaran, aku tidak bisa dengan cara seperti ini. Memiliki hubungan tapi tidak tahu wajahnya seperti apa dan namanya siapa, serta bagaimana kehidupan sebenarnya di dunia nyata. Meskipun aku merasa nyaman dengannya tetap saja aku tidak mau. Berpacaran haruslah di dunia nyata dengan wujud dan perasaan yang nyata pula. Maka dari itu, aku memberanikan diriku untuk mengambil resiko.
[Ayana] : Makanya kita harus ketemu. Kalau kamu masih suka sama aku setelah kita ketemu, aku mau jadi pacar kamu.
Begitulah, aku benar-benar bertaruh. Jika saat bertemu Hyuga tetap menyukaiku, aku akan sangat bersyukur dan tentunya sangat bahagia. Namun jika tidak, aku harus mempersiapkan hatiku kehilangan dia.
[Hyuga] : Kita selama ini udah nyaman banget 'kan ngobrol kayak gini. Kamu udah tahu aku suka kamu, aku juga tahu kamu suka sama aku. Kita gak perlu sampai ketemu. Kita pacaran di dunia maya aja.
Memang, akupun sudah menyatakan perasaanku pada Hyuga. Katakanlah aku ini aneh, tapi perasaan ini memang benar aku rasakan pada laki-laki yang entah seperti apa rupanya itu. Tapi perhatian, selera humor, kesamaan kami dalam menyukai anime klasik, dia yang tidak mempermasalahkan aku yang seorang Kpopers, dan juga perasaan nyaman saat kami mengobrol, benar-benar membuat perasaan ini tumbuh begitu saja pada teman mayaku itu. Aku benar-benar tidak peduli seperti apa rupa seorang Hyuga, asalkan pribadinya masih seperti Hyuga yang aku kenal, maka aku akan tetap menyukainya.
[Ayana] : Aku gak mau kalau kayak gitu, Ga. Kalau kamu maunya pacaran, kita harus ketemu dulu. Kalau gak mau, ya udah kita tetep kayak gini aja.
[Hyuga] : Please dong, Ay. Emang kamu gak mau kita punya status? Kita udah deket terlalu lama. Harusnya kita udah pacaran sekarang.
[Ayana] : Kamu kenapa sih bisa segitunya pengen aku jadi pacar kamu? Dan kenapa juga kamu gak mau ketemu?
[Hyuga] : Aku pengen lebih dari sekedar temen sama kamu. Kita bisa punya status dulu aja. Nanti kalau udah makin cocok, baru kita pikirin buat ketemuan.
[Ayana] : Gini deh, senggaknya kita tukeran foto dulu. Gimana?
Hyuga membaca chat dariku itu, tapi ia tidak balas lagi. Aku menjadi sedikit resah.
Ah, sudahlah. Akupun tidak ingin mempermasalahkannya. Aku melirik jam di sudut atas layar ponselku. Sudah waktunya aku untuk segera menyiapkan makan malam untuk majikanku.
Aku menyimpan ponselku di kamar dan berjalan menuju dapur. Aku melihat daftar menu makanan yang sudah dibuat oleh Bi Dini. Untuk malam ini menunya adalah ayam goreng tepung dan capcay cumi. Akupun segera mempersiapkan bahan-bahannya.
Saat sedang mengiris sayuran, Alghiffari keluar dari kamarnya. Kembali aku terperangah dibuatnya. Ia menggunakan pakaian santainya dan itu membuatnya semakin tampan. Ia menggunakan hoodie berwarna hitam, celana jeans hitam dengan model robek-robek di beberapa bagian. Kini ia berjalan menuju lemari sepatu di dekat pintu dan kembali ke sofa ruang tengah untuk memakai sepatu vans hitamnya. Jujur, ini menjadi pemandangan yang akan membuatku betah juga bekerja disini.
Manusiawi bukan seorang perempuan menyukai ketampanan seorang laki-laki?
"Tuan, apa tuan mau pergi? Pulang jam berapa, ya?" Tanyaku.
Alghiffari menoleh tajam ke arahku, "Ngapain lo nanya-nanya?!"
Sekali lagi kekagumanku pada ketampanannya menguap begitu saja mendengar cara bicaranya yang begitu menyentil perasaanku. Tidak bisakah dia berbicara dengan lebih sopan dan lebih baik? Sekalipun aku hanya asisten rumah tangganya, aku ini lebih tua darinya. Walaupun hanya 3 tahun, sih.
"Saya mau masak untuk makan malam, Tuan. Jika tuan Alghiffari akan pergi, saya akan menyiapkannya nanti saat tuan kembali, supaya makanannya masih hangat." Aku menjelaskan dengan sabar dan sesopan mungkin. Namun cowok itu seperti tidak mendengarku. Ia malah sibuk membuka ponselnya, kemudian berjalan menuju pintu keluar setelah meraih sebuah kunci dari meja dekat TV.
Aku mendengus. Ya sudah, aku akan memotong-motong dulu saja sayuran dan semua bahan. Saat tuan muda menyebalkan itu pulang, baru aku akan memasaknya. Lagipula memasak capcay dan menggoreng ayam tepung tidak akan lama.
"Gue pulang jam 10." Aku mendongak saat sedang mengiris sayuran. Wajah tampan Alghiffari menatapku dari jarak kurang dari dua meter, dan itu membuatku tertegun.
"Gue pulang jam 10, atau jam 11, bisa juga jam 12. Liat aja nanti. Pokoknya makanan harus udah siap pas gue pulang. Dan inget, gue gak suka makanan dingin. Terus gue risih denger lo manggil nama gue panjang-panjang, cukup Ghiffa aja." ucapnya dengan nada dinginnya.
Kemudian dia meninggalkanku dan berjalan menuju pintu. Aku kembali mendengus kesal. Apalah aku ini yang hanya seorang ART. Padahal besok aku ada kuliah pagi. Aku ingin cepat terlelap, namun aku harus menunggu majikanku itu pulang dan memastikannya makan makanan yang masih hangat, baru aku bisa beristirahat. Benar sekali yang diwanti-wanti bibiku, tuan muda itu memang sangat rewel, resek, dan merepotkan.
Tapi jujur aku terpana saat Ghiffa menatapku. Ditatap orang setampan itu, membuat hatiku entah mengapa sedikit berdebar.
Itu masih manusiawi, 'kan?
Setelah selesai menyiapkan bahan-bahan makanan, aku merebahkan tubuhku di tempat tidur dan ku raih ponsel yang kuletakkan di atas meja rias itu. Tidak lama sebuah pesan dari Hyuga masuk. Segera aku membukanya.
[Hyuga] : Okay deh kalau gitu kita tukeran foto dulu aja.
[Hyuga] : Ini foto aku. (mengirimkan sebuah foto seorang laki-laki dengan seragam pegawai coffee shop)
Aku terpana melihatnya. Dia cukup imut. Kulitnya sawo matang, matanya ramah, dan sedikit kurus. Aku kira karena dia seorang yang hobi bermain futsal, tubuhnya akan sedikit berotot.
[Hyuga] : Sekarang kirim foto kamu juga, ya.
Aku sedikit berdebar. Cukup lama aku memilih foto mana yang akan aku kirim padanya. Aku memilih foto dimana aku terlihat cukup manis, tapi aku tidak jadi mengirimkannya. Aku takut dia kecewa saat melihatku langsung nanti, karena aku menggunakan sedikit filter pada foto itu jadi wajahku sedikit berbeda.
Kemudian aku mencari lagi foto lain, dan aku berniat mengirimkan fotoku yang menampakkan seluruh tubuhku, dari atas kepala hingga kaki. Namun aku tidak percaya diri. Aku sangat pendek. Tinggiku hanya 145 cm, dan tubuhku ini kurus sekali. Bahkan orang-orang yang tidak mengenalku sering menyangka aku masih siswa SMP. Iya SMP, bukan SMA karena tubuhku yang pendek ini. Juga di foto itu terlihat sekali kakiku sangat pendek. Aku kembali mengurungkan niatku untuk mengirimkan foto itu. Akupun kembali mencari foto lain.
Pip..pip..pip..
Terdengar suara pintu apartemen diakses. Apakah Ghiffa sudah pulang? Secepat itu?
'Kenapa dia udah pulang lagi sih? Aku belum memasak apapun untuknya!' Rutukku dalam hati.
Segera kubawa tubuhku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam untuknya. Bukankah dia akan pulang paling cepat pada pukul 10 malam? Aku menoleh ke arah jam dinding dan ini baru saja pukul 6.30 malam.
'Dasar ngerjain banget sih tuh anak!' Aku mendumel dalam hati.
Namun perkiraanku salah. Bukan Ghiffa yang mengakses pintu itu. Aku melihat seorang wanita paruh baya yang begitu anggun dengan bibir merah merona, berjalan memasuki ruang tengah. Rambutnya yang panjang tergerai indah menutupi hingga ke dadanya. Wanita itu menatap ke arahku.
"Kamu Ayana? Keponakan Bi Dini?" Tanya wanita itu ketika melihatku. Aku kira aku tahu siapa wanita ini.
"Betul, Nyonya. Saya Ayana." Segera aku menjawabnya dengan sopan, sudah bisa dipastikan dia adalah Nyonya Natasha, ibu dari Ghiffa.
"Mana Ghiffa? Panggil dia kesini." Titahnya seraya duduk di sofa ruang tengah.
"Maaf Nyonya, Tuan Muda sedang keluar. Mungkin akan pulang pukul 10."
"Ya ampun itu anak. Seudah tinggal sendiri begini 'kan, semakin seenaknya. Jam segini bukannya istirahat di rumah. Malah keluyuran." Omel Nyonya Natasha.
Kemudian aku berinisiatif membuatkan minuman untuknya.
"Gak diangkat lagi. Ini anak bener-bener! Tiap saya telepon pasti direject atau gak diangkat." Nyonya Natasha kembali mengomel sembari mengotak-atik ponselnya, mencoba kembali menghubungi sang putra.
"Silahkan diminum dulu, Nyonya." Aku meletakkan sebuah cangkir berisi teh di meja di depan Nyonya Natasha.
Kemudian aku melangkahkan kakiku menuju kamarku di belakang dapur.
"Ayana," panggil Nyonya Natasha ketika aku akan membuka pintu kamarku. Aku membalikkan tubuhku dan bergegas menghampirinya.
"Iya, Nyonya." Aku menautkan kedua tanganku, berusaha bersikap sopan.
"Begini, karena kamu sekarang gantiin Bi Dini. Saya titip Ghiffa sama kamu. Semua kebutuhan dan keperluan Ghiffa tolong kamu yang siapkan. Bangunkan dia setiap pagi saat akan sekolah, siapkan seragam dan sarapan untuknya. Jangan siapkan roti atau susu untuk sarapan, dia punya perut yang sensitif, dia suka mual kalau minum susu pagi-pagi. Bersihkan apartemen ini setiap hari. Dan jangan lupa siapkan makanan untuknya dalam keadaan hangat, dia tidak suka makanan yang sudah dingin. Cek juga kebutuhan kamar mandinya dan keperluan dapur, jika sudah habis segera sediakan. Kamu paham?" ucap Nyonya Natasha panjang lebar.
Aku pun menggangguk paham, itu sudah disampaikan juga oleh Bi Dini padaku.
"Dan," Nyonya Natasha melanjutkan, "kamu laporkan semua yang terjadi pada Ghiffa dan apapun yang dilakukannya setiap hari. Sekecil apapun itu kamu laporkan pada saya."
"Apa saja yang harus saya laporkan, Nyonya?" Aku membutuhkan detailnya.
"Apapun itu. Seperti kalau dia pulang malam seperti sekarang. Beri tau saya."
"Baik, Nyonya. Saya akan laporkan semuanya pada Nyonya." Aku menyimpan nomor Nyonya Natasha setelah ia meminta nomorku.
"Oh iya, saya hampir lupa," imbuhnya. "Saya dengar kamu anak yang pintar dan berprestasi, makanya kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Benar?"
Aku mengangguk sedikit malu dan juga bangga majikanku mengakui bahwa aku cukup pintar sehingga bisa mendapatkan beasiswa.
"Karena kamu seorang mahasiswi, saya bisa mengandalkan kamu untuk melihat perkembangan akademiknya di sekolah. Kamu tanyakan ia ada tugas atau tidak, ada ulangan atau tidak. Jika dia mengalami kesulitan, bantu dia. Saya mohon ya, Ayana. Apalagi, ini tahun terakhirnya di SMA. Saya harap dia bisa lulus dengan nilai yang baik. Saya serahkan pada kamu." Tatapan Nyonya Natasha berubah memohon padaku.
Jujur saja, permintaan itu sedikit membebaniku. Aku tidak yakin bisa membuat Ghiffa mau belajar dengan serius untuk tahun-tahun terakhirnya di SMA.
"Juga, jangan buat dia kesepian, ya." Nyonya Natasha melanjutkan, "tolong kamu temani dia, ajak dia ngobrol, dan tanyakan bagaimana ia di sekolah dan kesehariannya setiap hari. Gantikan peran saya ya, Ayana."
Ucapannya barusan membuatku berpikir aku bukan hanya sebagai ART, tapi juga pengasuh dari cowok badung dan manja bernama Alghiffari Airlangga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!