RASA Heran yang cukup membingungkan di alami oleh seorang pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda berbaju buntung warna coklat dengan celana warna putih kusam berikat pinggang warna merah itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting. Sambil pegangi tali bumbung tuak nya yang terbuat dari bambu sepanjang satu depa itu,Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan pandangi alam sekelilingnya.
"Aneh," gumamnya dalam hati,
"mengapa aku jadi menuju ke lereng gunung itu? Bukankah tujuan ku adalah ke balik gunung seberang sana,ke pondoknya si Kusir Hantu?! Yang dinamakan lembah seram itu? Bukankah aku ingin jumpa dengan si Tenda Biru ,Panji Klobot , dan kedua cucu Kusir Hantu yang cantik-cantik itu; Pematang Hati dan Mahligai Sukma?! Tapi?!"
Suto Sinting hentikan celoteh batinnya sebentar. Matanya tertuju pada sebuah Gua yang ada di balik bebatuan besar, Tepat di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan berdaun seperti daun beringin itu. Di depan gua tersebut terdapat pula sepotong kayu yang menyerupai papan penunjuk jalan. Tertarik dengan papan di atas tiang dari dahan pohon kering yang lurus itu, Suto Sinting segera membatin,
"Ada tulisan apa di papan itu?! Aneh sekali. Hatiku jadi tertarik untuk mengetahuinya?! Lereng gunung ini benar-benar mendatangkan keanehan bagiku. Sepertinya aku dituntun oleh sesuatu untuk menuju kemari."
Papan yang ada di atas sebuah tiang itu bagian salah satu sisinya berbentuk runcing, seperti tanda panah yang mengarah ke mulut gua. Di papan itu terdapat tulisan tangan dari getah yang telah mengering dan berwarna abu-abu. Tulisan itu berbunyi; "YANG TIDAK BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK" . mau tak mau senyum geli Suto Sinting pun mengembang tipis.
"Pasti ini kerjaan orang iseng," ujar Suto dalam hatinya.
Sebenarnya Pemuda bertubuh gagah, Kekar dan tampak jantan sekali walau tanpa kumis sehelai pun itu ingin tak pedulikan tulisan yang seolah-olah melarang orang masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi tiba-tiba hatinya merasa ingin sekali masuk ke dalam gua. Rasa ingin masuk kedalam gua itu timbulkan kegelisahan dan keresahan yang menambah nya merasa heran.
"Mengapa aku penasaran sekali ingin masuk ke dalam gua itu?! Ah menurut dugaan ku tak ada yang istimewa di dalam gua tersebut. Tetapi hati kecilku seakan mengharuskan aku masuk ke depan gua.bahkan rasa penasaran ini mendesakku dengan kuat?! Hmmm.... baiklah akan ku coba masuk ke sana daripada nanti tak bisa tidur karena rasa penasaranku ini"
Gua tersebut mempunyai lorong membelok ke kiri. Dari mulut gua ke tikungan lorong tak terlalu jauh, sekitar delapan langkah, tikungan itu terlihat jelas karena ada bias cahaya yang samar-samar. Cahaya itu berasal dari kedalaman lorong tersebut.
Pendekar mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya lebih dulu. Tindakan itu dimaksudkan sebagai sikap jaga-jaga kalau sampai ada sesuatu yang membahayakan dirinya, Dapat segera ditangkal oleh tuak sakti yang baru saja di minum nya itu.
"Oh, ternyata bias cahaya ini semakin terang jika aku membelok ke kiri?!" Gumam hati si murid sinting Gila Tuak itu.
Maka ia pun melangkah menyusuri lorong yang ujungnya membelok ke kiri . Semakin dalam, bias cahaya yang ada semakin lebih terang lagi. Akhirnya pemuda berhidung Bangir dengan kulit warna sawo matang itu tiba di sebuah ruangan yang terang. Ruangan itu ternyata ujung dari lorong gua. Tak ada lorong lagi di sekitar ruangan lebar berlangit-langit tinggi itu.
Langkah yang terhenti ternyata di barengi oleh sepasang mata yang membelalak lebar. Pendekar mabuk terperangah saat pertama kali temukan ruangan lebar tersebut. Ternyata ruangan itu mempunyai puluhan lilin yang dipasang di sana-sini, terutama pada ujung-ujung bebatuan yang makin merapat ke dinding semakin berbentuk tinggi menyerupai pilar.
Bau lilin panas tidak seperti bau lilin terbakar biasanya. Bau lilin itu menyebarkan aroma yang aneh, semacam rempah-rempah yang lembut sedikit berbau kayu Cendana. Lilin itu berwarna merah besarnya seukuran dengan besar cangkir teh. Tingginya satu jengkal, tapi mungkin sebelum meleleh mempunyai ketinggian lebih dari satu jengkal,karena bagian dasar tiap lilin penuh dengan gumpalan lilin yang meleleh, jumlah lilin tersebut lebih dari dua puluh batang. Nyala apinya tampak tenang, tidak terganggu hembusan angin.
Hal yang membuat Suto Sinting terperangah lebih lebar lagi adalah sosok Tua yang duduk di atas batu di kelilingi oleh lilin-lilin tersebut. Sosok lelaki tua itu duduk bersila dengan mata terpejam. Ia mengenakan kain putih yang menyelubungi tubuh kurusnya.
"Siapa kakek yang duduk di sana itu?" Tanya hati sang pendekar mabuk. Ia belum berani melangkah karena takut terkena jebakan. Matanya memandang sekeliling sebentar, memeriksa tempat itu demi keselamatan jiwanya.
Kakek berpakaian putih itu mempunyai rambut tipis warna putih, bahkan berkesan botak karena rambut nya bisa di hitung. Suto memperkirakan rambut itu hanya delapan belas lembar. Tetapi kumis dan jenggotnya lebat, juga berwarna putih rata. Dalam perkiraan Suto,kakek itu berusia sekitar delapan puluh tahun. Bahkan bisa lebih dari delapan puluh tahun.
Dilihat dari sikapnya duduk bersila nya yang memejamkan mata dan kedua tangannya ada di dada saling merapatkan telapak tangan, Suto Sinting yakin si kakek tua itu pasti sedang bertapa. Oleh sebab itu, Suto Sinting tak berani menganggunya, Tengkuk Kepala yang merinding seperti ditiup perawan itu membuat Pendekar mabuk segera undurkan langkah. Ia bermaksud keluar dari gua tersebut dengan mata masih pandangi si Petapa tua itu.
Tetapi ketika ia Balikan badan untuk melanjutkan langkah keluar gua, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang berseru kepadanya dengan nada datar. Suara itu tak lain adalah suara si Petapa tua.
"Jangan pergi dulu, anak muda!"
Pendekar mabuk kaget. Lalu berpaling pelan-pelan dan menatap si Petapa tua itu. Hatinya seperti ditendang seekor kuda saat itu merasa terkejut melihat si Petapa tua membuka mata. Ternyata bola mata si petapa tua itu berwarna putih seluruh nya. Tak mempunyai manik hitam di tengah Masing-masing bola matanya.
"Apakah dia buta?!" tanya Suto dalam hati, Karena ia sering jumpai orang buta yang bisa membuka kelopak mata, tapi pada masing-masing bola mata nya tak mempunyai manik hitam seperti manusia normal.
"Dari jauh Kupanggil dirimu, mengapa setelah sampai dirimu akan tinggalkan daku, anak muda?"
Pendekar mabuk ingin tertawa mendengar gaya bahasa yang di gunakan oleh si petapa tua itu. Terdengar janggal, atau berkesan jenaka. Tetapi wajah si Petapa tua itu tidak punya senyum seujung jarum pun. Matanya yang putih menatap lurus ke dinding seberang nya, bukan ke arah Suto. maka hati Pendekar tampan itu bertanya-tanya, akhirnya pertanyaan itu di lontarkan melalui Mulutnya dengan lembut dan sopan.
"Apakah kau bicara denganku. Eyang?"
"Mana mungkin aku bicara dengan batu-batu ini, Anak muda?!"
Suto Sinting hanya tersenyum dalam hati, menertawakan pertanyaan bodohnya. Tentu saja Petapa tua itu bicara dengannya karena di sekitar tempat itu tak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Mendekatlah kemari, Anak muda. Jangan takut, aku tidak akan menggigitmu."
Kali ini si Petapa tua sunggingkan senyum berkesan ramah dan bersahabat. Ketegangan hati Pendekar Mabuk mengendur. Mata putih si Petapa tua itu mengarah kepada Suto. Murid sinting si gila tuak itu merasa dipandang oleh Petapa tua dan benar-benar diharapkan untuk mendekatinya. Maka dengan langkah hati-hati tapi sikap gagahnya masih tampak jelas, Pendekar mabuk pun mendekat. Melewati jajaran lilin-lilin merah yang seperti membentuk pagar sebuah jalan setapak itu.
SAMPAI Didepan batu besar yang dipakai duduk bersila oleh si Petapa tua itu, Pendekar Mabuk hentikan langkahnya. Ia segera dapatkan kedua kakinya dan tundukkan kepala dengan punggung sedikit membungkuk, sebagai sikap memberi hormat kepada si petapa tua itu. Dan senyum si Petapa tua semakin lebar, Tampak senang menerima sikap hormat pendekar mabuk.
"Jangan heran kalau kau tiba-tiba berada di sini di luar kesadaranmu, Suto Sinting. Akulah yang memanggil hatimu untuk datang ke lereng gunung Brahmana ini," ujar si Petapa tua dengan suara yang semakin lama terdengar semakin jernih. Tidak seserak waktu pertama ia perdengarkan suaranya.
"Pantas aku tahu-tahu mengarahkan langkah kakiku ke sini. Rupanya orang ini yang memanggil hatiku dan menarik rasaku untuk datang kemari?!"
Ujar Suto Sinting dalam hatinya. Tapi di mulutnya ia bicara lain dengan hatinya.
"Aku memang sudah menduga ada yang tak beres pada kendali rasa batinku, Eyang. Tetapi sampai sekarang aku aku belum tahu, apa maksud Eyang menarik kendali rasaku untuk datang ke gua ini?! siapakah Eyang sebenarnya?!"
Sebelum menjawab, bisa Petapa bermata putih itu tersenyum dulu. Senyum tua yang mempunyai kesan bersahabat itu terasa menyejukkan hati Suto dan menentramkan baginya.
"Jika kau ingin tahu namaku, tanyakan pada Sabawana gurumu, yang berjuluk Gila Tuak itu. Tanyakan kepadanya, siapa orang yang mempunyai tato dewa berbentuk bintang di kedua telapak tangannya...."
Petapa itu kini menghadapkan kedua telapak tangan nya ke arah depan. Pendekar Mabuk melihat jelas bahwa telapak tangan itu mempunyai Tato berbentuk bintang. Tato itu aneh, karena menyala biru remang seperti mengandung cahaya fosfor.
"Gurumu pasti mengenali dua bintang di telapak tanganku ini, dan dia akan berkata:' Ooo....itu bekas sahabatku yang bernama si Tapak Lintang'. Lalu dia akan ceritakan siapa diriku."
Kedua tangan itu kini turun ke pangkuan dan telapak tangannya ditempelkan ke paha kanan-kiri.
"Jangan lupa, tanyakan namaku kepada gurumu, Anak Bagus! Sebab kalau kau tidak tahu namaku, kau akan penasaran dan makan apa pun terasa tak enak."
Senyum keramahan Suto Sinting membias di wajah tampannya yang lembut itu.
"Tanpa bertanya kepada Guru pun aku sudah tahu bahwa Eyang bernama Tapak Lintang."
"Ooh....?! Alangkah saktinya kau, Nak!?. Belum bertanya sudah tahu namaku?!"
"Karena tadi Eyang sebutkan nama Eyang sendiri."
"Ooh... alangkah jujurnya kau. Ternyata kau tetap bersikap rendah walau kusanjung."
Suto Sinting tersenyum kecil, ia sempatkan diri memandang ke samping kanan kiri sambil menunggu penjelasan Eyang Tapak Lintang lebih lanjut. Beberapa waktu kemudian, suara si Petapa bermata putih itu terdengar lagi.
"Sebelum aku memilihmu dan menarik kendali rasaku, Lebih dulu aku telah meminta izin kepada Sabawana untuk memanggil muridnya. Bahkan aku telah meminta izin juga kepada Gusti Kartika Wangi, calon mertua mu itu, untuk meminjam panglima perangnya alias Manggala Yudha Kinasih bernama Suto Sinting."
Dalam hati Suto agak kaget mendengar nama Gusti Kartika Wangi itu disebutkan. Setidaknya batin Suto yakin bahwa Eyang Tapak Lintang Itu adalah orang berilmu Tinggi, terbukti dapat mengetahui bahwa jabatan Suto Sinting di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib yang di perintah oleh Ratu Gusti Kartika Wangi.
Seperti Kata Eyang Tapak Lintang, penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib itu memang calon mertua Suto Sinting. Sebab anak gadis ratu itu, yang juga menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi alam nyata , yang bernama Dyah Sariningrum alias Gusti Mahkota Sejati itu, adalah calon istri Suto menurut garis kehidupan si pemuda tanpa pusar itu. Tentunya si Petapa tua itu melihat noda merah kecil di kening Suto Sinting yang hanya bisa di lihat oleh orang-orang berilmu Tinggi.
Noda merah itulah Tanda bahwa Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, adalah panglima perang dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam Gaib.
"kau adalah orang yang terpilih dan layak menjadi penolongku, Bocah Bagus!" Ujar Eyang Tapak Lintang.
"Menolong Dalam Hal Apa, Eyang?! Tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keheranannya di dalam Hati.
"Aku hanya ingin memintamu membantu titisan ku yang sedang mencari pedang pusakaku. Pedang itu bernama Pedang Jagal Keramat, Terbuat dari besi anti karat dan tinggi nya setinggi tubuhmu, Bocah Bagus! Pedang itu semula ada di sini, Kutancapkan ditanah belakangmu itu...."
Pendekar Mabuk segera menengok ke belakang. Kerutan dahi nya semakin kuat ketika melihat tanah berlubang besar, garis tengah nya sekitar dua langkah, mirip sumur yang telah tertimbun tanah sebagian. Di kanan kiri lubang itu terdapat bebatuan yang telah berlumut.
"Di tanah berlubang itukah pedang tersebut ditancapkan?!" Tanya Suto Sinting dalam hati.
"Besar sekali bekas tancapan nya?! Jangan-jangan lubang itu bekas sumur tua?!"
Ketika Suto Sinting berpaling ke arah semula, ingin menanyakan kesangsian hatinya itu, tiba-tiba matanya menegang dan hatinya tersentak kaget. Ternyata si Petapa tua yang mengaku bernama Tapak Lintang itu sudah tidak ada. Tapi lilin di sekitarnya masih tetap menyala.
Pendekar Mabuk lebih terkejut lagi dan Mulutnya terbengong melompong dengan mata sulit sikedipkan. Bahkan ia Nyaris tak percaya pandangan matanya sendiri ketika melihat ke arah batu yang dipakai duduk bersila si Petapa tua tadi. Diatas batu itu hanya ada kerangka manusia yang mengering dan berserakan. Sebagian kerangka tampak bersandar pada dinding batu di belakang nya. Benang laba-laba dan debu nyaris membungkus kerangka tersebut, menandakan usia kerangka yang sudah sangat tua.
"Gila! Mengapa jadi begini?! Ke mana Eyang Tapak Lintang tadi?!" Gumam Suto Sinting dengan Tegang , karena bulu kuduk nya segera merinding.
"Oh, lubang yang dikatakan bekas pedang menancap itu juga sudah berlumut semua?! Nyaris menjadi rapat ?!" ujar hati Suto penuh keheranan.
"Lumut ada dimana-mana?!" Gumamnya dengan menatap ke sana-sini.
"Hmm...! Bau debu dan udara pengap terasa kuat sekali? Sepertinya gua ini sudah lama tidak di huni orang?! Sebaiknya aku lekas-lekas keluar dari gua ini!"
Langkah Pendekar tanpa pusar itu dipercepat. Namun bias cahaya lilin-lilin itu masih menerangi lorong menuju keluar. Hanya saja. Kali ini semakin mendekati pintu gua Suto Sinting dibuat semakin heran. Karena lantai dan dinding lorong tidak sebersih tadi, melainkan banyak rumput dan lumut yang tumbuh liar dari situ.
"Edan! Kenapa lumut dan tanaman ini dapat tumbuh sebegitu cepatnya?! Tadi waktu ku susuri lorong ini, tampak bersih dan tak ada sehelai rumput pun?!" gerutu Suto Sinting dalam hati. Jalannya semakin sulit karena semakin dekat dengan pintu Gua semakin banyak tanaman rambat sejenis rumput ilalang.
"Astaga...?!" Suto Sinting terpekik kaget ketika mengetahui pintu gua hanya tampak sedikit sekali. Sisanya tertutup oleh ilalang yang tumbuh subur dan merimbun. Tinggi ilalang itu nyaris menyamai tinggi tubuh Suto Sinting sendiri.
Pendekar Mabuk terpaksa berjalan sambil menyingkap ilalang ke kanan-kiri, bagaikan ingin berburu kelinci hutan.
Duuurrr!
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Tanah tempat nya berpijak mulai terasa bergetar. Dinding gua itu pun tampak bergetar dan langit-langitnya meruntuhkan tanah serta bebatuan kerikil lembut.
"Celaka! Gua ini akan runtuh dan aku akan tertimbun di dalamnya kalau tak lekas-lekas keluar dari sini?!" Ujar Suto Sinting, Bicara sendiri sambil menghibur hatinya yang sempat tegang, sebab suara gemuruh itu terdengar lagi dan langit-langit gua semakin banyak meruntuhkan tanah dan batuan kecil.
Getaran yang dirasakan sudah berubah menjadi guncangan. Pendekar mabuk terpaksa harus berlari menerabas ilalang tinggi, Berusaha mencapai luar gua sebelum gua itu benar-benar runtuh dan menguburnya hidup-hidup.
...*...
...* *...
...ADA Langkah kaki yang agak terburu-buru. Langkah kaki itu milik seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan Rompi warna putih dan celana coklat, kebalikan dari Pendekar Mabuk. Kemana pun pemuda itu pergi selalu membawa Bambu, seperti Suto Sinting. Tapi bambunya berwarna kuning dan panjang seperti tongkat pramuka dari gugus depan mana pun. Bambu yang mirip tongkat Pramuka itu dinamakan Toya. Itulah senjata si pemuda yang dikenal Suto Sinting Bernama Santana....
Sebenarnya ia bukan bernama Santana. Nama itu hasil singkatannya sendiri dari nama aslinya, Sandhi Tanayom. Ia memang pemuda yang kalem tapi konyol. Sepertinya tak pernah marah, Tapi tahu-tahu lawannya dibuat tak berdaya dengan jurus andalannya.
Pemuda itu jika ditanya, jawabannya selalu tulalit alias tidak nyambung. Suto Sinting sering dibuat jengkel jika berbicara dengan Santana. Ia dulu pernah mau membunuh Pendekar Mabuk karena dibayar oleh seorang ratu sesat. Tapi murid si Gila Tuak mengalahkannya dengan kecerdasan otaknya.
Pemuda yang berasal dari pulau parang itu sebenarnya ingin menuju ke gunung Pare untuk menemui mantan musuhnya yang menjadi Sahabat nya, yaitu mendung merah. Tetapi ketika ia melewati kaki bukit, tiba-tiba diserang oleh seseorang dengan sebongkah batu yang melayang dengan sendirinya. Batu itu semula ada di tanah yang menggunduk tinggi, Mirip anak bukit. Tiba-tiba saja batu tersebut Melayang cepat dari arah depan Santana. Wuuusss...!
"Babi!" Pekik Santana dengan kaget.
"Eh, bukan...! Batu?!" Tongkat bambu kuning segera bertindak. Sambil lakukan lompatan kesamping untuk hindari batu tersebut, Tongkat bambu kuning nya dihantamkan ke arah batu tersebut. Wuuut...! Duaaar....!
Batu itu pecah menjadi empat bongkah. Hantaman Toya ke batu timbulkan suara ledakan, Karena Toya itu selalu dialiri tenaga dalam yang cukup besar.
"Untung aku waspada, Kalau tidak waspada bisa wassalam nyawaku....," Ujarnya bersuara lirih. Santana geleng-geleng kepala pandangi batu yang nyaris merenggut nyawanya. Setidaknya membuat kepala nya pecah berkeping-keping.
"Siapa yang melempar kan batu ini padaku?" ujar batin nya sambil memandang ke arah datang nya batu tersebut. Di gundukan tanah yang mirip anaknya itu tak ada orang sepotong pun. Hidung orang saja tak terlihat di sana, Apalagi seluruh sosok tersebut. Tapi Santana yakin kalau batu itu pasti dilemparkan oleh seseorang.
"Tak mungkin anak kecil bermain katapel dengan batu sebesar kepala babi itu. Pasti orang dewasa yang konyol, Atau memang sengaja ingin membunuhku dengan batu itu. Hmmm..!" Santana tersenyum kalem dengan mata melirik kanan kiri , Ia berlagak melangkah lagi bagai tak pedulikan batu tersebut.
Lima langkah kemudian batu yang telah di tinggalkan dan pecah menjadi empat bongkahan itu tiba-tiba mencelat sendiri secara serentak.
Weers...! Keempatnya mengarah ke punggung dan kepala Santana. Dua bongkahan batu saling berserempetan bagai berebut ingin dulu-duluan kenai kepala Santana.
Traakk...! Suara itu yang mengandung kecurigaan Santana dan dengan cepat berbalik ke belakang.
"Edan!" Pekiknya kaget melihat keempat batu menyerang bersama. Maka dengan cepat Santana jatuhkan diri ke tanah. Brukkk...! Wuuusss..! Keempat batu itu kenai sasaran kosong. Tapi Santana menyeringai kesakitan, karena ia jatuhkan diri bertiarap, Ternyata ulu hatinya terganjal sebongkah akar pohon yang muncul dari dalam tanah berbentuk seperti ujung tombak tumpul. Karuan saja napas Santana menjadi sesak karena ulu hatinya seperti di sodok dengan kuat. Perut pun terasa mulas.
Dengan tarikan napas panjang. Rasa sakit di ulu hati dapat sedikit teratasi. Ia segera bangkit dan memandang sekeliling lagi. Ia yakin ke empat bongkahan itu tak mungkin bisa bergerak sendiri. Pasti ada yang menggerakkan dan melemparkannya dengan kekuatan batin. Mungkin dari jarak jauh , atau dari tempat terdekat yang bersembunyi.
"Siapa yang usil padaku?! Silakan keluar dan tunjukkan tampangmu biar aku bisa ganti usil padamu!" Seru Santana dengan suara lantang, Tapi wajah nya kelihatan berang. Ia masih sempat tersenyum walau berkesan Sinis.
"Kalau kau tak berani tampakkan batang hidungmu, berarti kau banci! Kalau kau perempuan berarti perempuan ganjen yang tak laku walau jual diri!"
Santana sengaja memancing dengan hinaan supaya orang yang usil padanya itu mau tampakan diri. Ia penasaran dan ingin tahu siapa sebenarnya orang itu.
"Ayo tampakan batang hidungmu! Eh, kalau bisa jangan batang hidung saja yang nongol. Aku bisa lari ketakutan jika batang hidung mu saja yang nongol. Ayo , tongolkan wujudnya!"
Weeees....! Bruuuuuusss.....!
"Aaaow...!" Santana memekik sambil melayang bagai dilemparkan oleh kekuatan badai besar. Tubuh itu melayang sejauh delapan langkah dan jatuh terbanting setelah membentur pohon, Bruuukkk....!
"Aauuuuuuh....!" Rengek Santana dengan suara berat. Ia segera bangkit dengan menggunakan tongkat nya sebagai penumpu tubuh. Kepalanya sempat berdenyut-denyut bagai ingin meledak karena benturan keras dengan pohon tadi. Namun Santana merasa masih sanggup menahan rasa sakit di kepala nya itu. Ia lemparkan pandangan ke arah datangnya terjangan tadi.
Pada saat itu sebenarnya Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Ia terpancing oleh suara ledakan saat Santana menghantam batu dengan bambu kuning nya tadi, tetapi Suto hanya berada di atas pohon rindang, karena ketika ia tiba di situ, ia melihat sekelebat bayangan menerjang santana. Santana jatuh, Suto Sinting melihat bayangan yang menerjang itu menjelma dalam bentuk seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Santana juga segera memandang ke arah lelaki tua berjubah abu-abu dengan rambut putih sepanjang bahu tanpa ikat kepala itu. Pakaian dalam yang di bungkus jubah berlengan panjang itu berwarna kuning, dengan ikat pinggang dari kain merah. Lelaki tua bertubuh kurus itu memandang Santana dengan mata cekung nya yang memancarkan ketajaman melebihi ujung pedang.
Rupanya pemuda itu mengenal siapa tokoh tua bertongkat merah ujung atasnya membentuk ukiran kepala naga sedang menganga ke langit itu, Hiasan rumbai-rumbai benang putih pada kepala tongkat membuat Santana yakin betul bahwa tokoh yang menerjangnya tadi adalah tokoh aliran hitam dari pulau wingit.
"O, rupanya kau usil yang usil padaku, Jahanam Tua?!" sapa Santana dengan senyum pahitnya. Mendengar nama Jahanam Tua di sebutkan Santana, Ingatan Pendekar Mabuk segera melayang pada seorang pemuda berambut kucai dan berwajah tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian serba merah dengan punggung bajunya bergambar Tengkorak. Ia dikenal dengan nama Tengkorak Tampan itu adalah murid dari si Jahanam Tua.
Pemuda itu telah tewas saat lakukan pertarungan dengan Hantu Urat Iblis untuk merebut putri Raja Gundalana. Si Hantu Urat Iblis sendiri tumbang ditangan Suto Sinting.
"Sebaiknya kuikuti saja percakapan Santana dengan Si Jahanam Tua itu, supaya aku tahu apa persoalan sebenarnya sehingga Jahanam Tua menyerang Santana?!" Ujar Suto Sinting dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!