"Aku dimana?" Luna mengerjap kaget saat merasakan angin dingin berhembus menerpa tubuhnya yang setengah polos.
Lebih kaget lagi mendapati dirinya berada di gulungan selimut yang ternyata tanpa sehelai benang pun membelit tubuhnya.
Luna menyadari tengah berada di tempat asing. Saat ia beringsut turun, ada sesuatu yang terasa nyeri dibawah sana. Mendadak matanya basah. Sesuatu yang benar- benar buruk tengah menimpanya saat ini.
Ia berada di kamar seseorang. Seorang lelaki lebih tepatnya. Nampak punggung kekar nan kokoh milik lelaki yang tengah tertidur di sampingnya.
Luna menghapus matanya yang basah. Hatinya hancur, ia hampir saja teriak untuk melampiaskan sakit hatinya. Namun akhirnya ia tahan, hingga ia hanya terisak dalam diam.
Dia tidak ingin membangunkan lelaki yang berada disampingnya itu. Sudah bisa dipastikan jika sosok lelaki itulah yang menidurinya semalam.
Luna merosot ke lantai, kemudian mengacak rambutnya hingga terasa sakit. Gadis itu tidak merasa menyakiti orang, namun mengapa kejadian yang sangat buruk ini menimpanya?
Saat ini, ia hanya ingin pergi dari sini. Melupakan kejadian yang menghancurkan hidupnya, yang bahkan tidak tahu seperti apa kejadian sebenarnya. Yang jelas ia merasa jijik pada dirinya sendiri.
Apa kata papanya nanti? Apa ia akan di buang karena sudah pasti ia akan dianggap sama seperti Mama Keiko, seorang germo yang membesarkannya selama ini.
Sungguh ia sudah hancur sekarang. Bahkan cita-cita yang ia idamkan seakan tak mampu ia bayangkan lagi. Karena yang terlintas hanya bayang-bayang kelam.
Beranjak dengan pelan Luna berpegangan pada ranjang king size di belakangnya. Ia pikir, ini adalah sebuah kamar. Namun ternyata ia berada di sebuah apartemen. Di lantai yang sangat tinggi. Hingga saat mengintip ke bawah, apapun yang ada disana nampak mini.
Gadis itu memunguti pakaiannya. Ketika mencoba mengenakannya kembali, ada beberapa bagian yang terkoyak. Seperti ditarik dengan paksa.
Mondar-mandir beberapa kali mencari sesuatu, akhirnya Luna menemukan sebuah jaket putih yang teronggok di atas sofa. Gadis itu bergegas mengenakannya, untuk menutupi beberapa bagian pakaiannya yang koyak.
Perlahan Luna mendekati pemilik tubuh kekar yang tidak ia kenali itu. Ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia akan membenci lelaki itu seumur hidupnya. Atau bahkan jika perlu menghancurkan hidupnya, seperti yang tengah dilakukan lelaki itu saat ini.
Sayangnya wajah lelaki itu hanya nampak sedikit karena tertutup oleh bantal yang ia gunakan.
Luna hendak beranjak pergi saat menunggu beberapa lama tidak ada pergerakan sama sekali dari lelaki asing itu. Jika ia memaksakan diri membalik tubuh itu, sudah pasti pemiliknya akan bangun. Itulah mengapa ia tidak melakukannya.
Gadis itu melangkah pergi, namun ketika ia hampir mencapai pintu, lelaki itu membalik tubuhnya. Dengan menguatkan diri, Luna memutar tubuhnya untuk mengenali lelaki itu.
Dan ... tubuhnya mendadak menegang melihat siapa pemilik tubuh yang menggagahinya semalam. Ia tidak menyangka lelaki yang nampak tidak perduli padanya itu rupanya seorang monster. Dan yang lebih menyakitkan, Luna mengenalnya.
Semalam, terakhir yang ia ingat. Ia memang merasa pusing, kemudian pamit kepada teman-temannya. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat mengantarnya pulang, karena acara yang mereka datangi adalah acara resmi yang diadakan kampusnya. Itulah yang menjadi salah satu alasan mereka, hingga membiarkan Luna pulang sendirian.
Namun diperjalanan keluar, ia bertemu lelaki itu. Karena ia mengenalnya, dan lelaki itu berniat mengantarnya pulang maka Luna menerimanya. Dan setelahnya, ia tidak mengingat apa-apa lagi.
Luna bahkan meyakini dirinya sendiri tidak minum minuman keras semalam. Ia hanya minum segelas sirup yang diberikan oleh Pauline. Ya, ia hanya minum itu. Apa Pauline memberikan sesuatu pada minuman yang diberikannya? Hingga membuat Luna tidak sadarkan diri dan mengalami hal seperti sekarang.
Berarti semua ini sudah direncanakan. Betapa busuknya hati mereka! Mungkin bagi mereka yang hidup di negara bebas seperti Amerika, hal seperti ini bukanlah masalah besar. Namun baginya yang bahkan sejak kecil ditanamkan nilai- ilai moral beragama, tentu menjadi suatu perbuatan yang buruk.
Ya, mama Keiko memang menjaganya dengan baik. Bahkan dulu wanita yang sudah hampir berusia lima puluh lima tahun itu menyembunyikannya di rumah dengan penjagaan ketat dari para pengawalnya.
Seburuk apapun pandangan dunia pada Keiko, Luna selalu melihatnya berbeda.
Sekarang yang tertinggal dalam dirinya adalah rasa sakit. Sakit yang tumbuh di hatinya juga sakit yang diderita tubuh hingga organ intimnya yang tentunya semalam diambil dengan paksa.
"Lelaki laknat!" teriaknya dalam hati. Meski air matanya terus membasahi wajahnya, namun suara isakan dari tangisnya terus saja ia tahan.
Luna buru-buru keluar dari apartemen itu. Membawa segala kepedihan yang harus ia tanggung sendiri karena ia tidak ingin keluarga barunya mengetahui kejadian kejam yang semalam terjadi.
Tujuannya sekarang adalah rumah ayahnya. Rumah baru yang ia tempati setahun terakhir ini. Rumah yang mengangkat derajatnya. Memberinya identitas baru sebagai putri seorang pengusaha kaya yang diperhitungkan di Amerika, Ellard Efrain dan memberinya nama belakang Efrain yang membuat teman-teman barunya layaknya perangko yang menempel erat pada sebuah surat.
\=\=\=\=\=\=\=\=≠≠\=\=
"Sayang? Kau menginap dimana? Kenapa tidak menghubungi papa semalam jika kau tidak pulang. Papa sangat khawatir." Ellard yang sedang membaca koran paginya menurunkan sedikit kacamata yang ia kenakan, saat melihat sekelebat bayangan Luna yang melewatinya.
"Papa!" jawab Luna yang kaget. Ia pikir sang ayah tidak melihat kedatangannya yang bahkan mengendap-endap dan membuka pintu dengan gerakan sangat pelan. "Maaf aku tidak melihatmu disana. Aku menginap di rumah Maria, dengan beberapa teman." Luna menunduk dalam. Sungguh ia tidak pernah diajarkan untuk berbohong oleh mama Keiko. Sesuram apapun kehidupan di rumah bordil itu.
Sebelum pindah ke rumah inipun, mama Keiko memberikan nasihat banyak hal padanya. Tentang caranya bersikap pada orang lain, karena ia harus pandai membawa diri jika ingin dihargai di lingkungan baru yang akan ia hadapi.
"Bersihkan dirimu! Papa tunggu untuk sarapan," ucap Ellard tersenyum melihat wajah bantal anak gadisnya.
Di dalam kamar, Luna segera masuk ke kamar mandinya. Dengan pakaian yang masih lengkap, ia menyalakan shower yang kemudian membasahi seluruh tubuhnya.
Luna menangis. Bukan lagi terisak tapi meraung. Bisakah ia memutar waktunya kembali? Hingga kemarin ia tidak akan datang ke pesta di Universitas barunya itu. Atau mungkin ia tidak usah ikut pindah. Bersama mama Keiko, semuanya lebih aman. Meski ia berada di sarang pelacuran.
Namun ia juga butuh perlindungan. Mama Keiko mengatakan hanya sang ayah lah yang bisa melindunginya, karena bagaimanapun mama Keiko hanya seorang wanita.
Apalagi wanita yang berumur setengah abad lebih itu mengais rupiah di lingkaran bisnis hitam yang sewaktu-waktu bisa saja meledak.
Puas berteriak dan meraung, ia menyudahi ritual mandinya. Entah berapa kali ia menggosok dan memberikan sabun pada tubuhnya. Ia jijik sangat jijik dengan dirinya saat ini.
Luna mengenakan sweater dengan kerah tinggi. Jejak- jejak yang ditinggalkan lelaki itu bahkan memenuhi tubuhnya saat ini. Semua itu tidak begitu ia perhatikan tadi, namun ketika mematut di depan cermin, Luna kaget hingga akhirnya menangis lagi.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Amici💕
Ini novel baru saya, diramaikan ya... Grazie mille😍
.
"Papa masih menunggu?" ucap Luna berbasa-basi saat melihat belum ada aktifitas dari piring dan sendok di meja makan.
Ada sang ayah dan juga kakaknya disana. Entah kapan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya itu berada di sebelah ayahnya.
Dan tatapan Aglen masih sama. Sinis dan tidak ramah sama sekali. Bahkan setiap makan bersama entah pagi, siang ataupun malam hari Luna harus selalu menguatkan dirinya untuk menghadapi itu.
Luna menunduk dalam, hingga matanya pun basah kembali. Padahal sudah setahun mereka serumah, namun lelaki yang ia panggil kakak itu, masih saja bersikap tidak perduli padanya.
Ellard tersenyum menyambut anak gadisnya yang baru saja memasuki ruang makan, dan tentu tidak dengan Aglen. Kakak lelaki Luna berbeda ibu itu hanya mengganti tatapan sinisnya menjadi datar di depan sang ayah. Tidak ramah namun juga tidak kesal. Membingungkan.
"Anak gadis mandinya lama sekali. Sampai tercium wangi sabunmu dari tempat Papa." Ellard bangkit dari duduknya, menghampiri Luna yang berdiri mematung karena merasa sungkan dan tersisihkan.
"Tidak usah, Papa duduk saja. Maaf membuat Papa dan Kakak menunggu lama." Luna yang merasa tidak enak menghalau rangkulan sang ayah. Ia ganti menggandeng lelaki paruh baya itu kembali ke tempat duduknya.
Ellard baru setahun terakhir ini Luna ketahui, jika lelaki berkharisma yang banyak dibicarakan orang ini adalah ayahnya. Ayah biologisnya. Pantas saja ia tidak mirip sang ibu juga mama Keiko.
Bahkan gadis itu pernah menangis didepan mama Keiko saat SMP dulu, karena teman- teman sekolahnya mengoloknya. Kata mereka, Luna sebenarnya anak mama Keiko yang tidak diakui. Agar Luna tidak malu di sekolahnya. Namun mama Keiko bersikeras jika Luna bukanlah anaknya. Hingga akhirnya bukannya memberitahu seperti apa ayahnya, mama Keiko malah mencabut Luna dari sekolahnya dan ia mendapat pendidikan home schooling sampai lulus SMA.
"Makanlah, Lun. Jangan melamun," tegur Ellard ketika Luna hanya diam memegang sendoknya dan menatap lama piring didepannya.
"Emm... Iya, Pa." Luna menjawab dengan gugup dan terpaksa menyendok beberapa suap makanan yang sama sekali tidak menarik baginya. Bahkan perutnya sama sekali tidak bisa menerima makanan itu. Tanpa merasakannya, Luna hanya menelan saja apa yang ada didalam mulutnya.
"Bagaimana perkembangan usahamu dengan Stefan, Ag?"
"Lumayan, Pa. Stefan memang cakap dalam bisnis ini. Tidak salah kita mengajaknya bekerjasama." Aglen yang sedari tadi diam menunjukkan senyum kecilnya ketika ditanya masalah pekerjaannya.
Dalam hidup Aglen, tidak ada yang menarik selain bisnis sang ayah yang juga ia geluti. Lelaki tampan yang belum juga menikah itu gila kerja.
"Pa, Luna sudah kenyang. Luna keatas dahulu." Mendadak Luna memotong perbincangan ayah dan anak itu.
"Kenyang? Bahkan kau belum menghabiskan seperempatnya, Sayang?" Ellard menatap heran pada anak gadisnya. Selama ini, Luna tidak pernah seperti ini. Meskipun Ellard tahu kedua anaknya itu tidak akur. Tapi mereka juga tidak pernah berseteru.
"Biarkan saja, Pa. Mungkin dia sedang tidak napsu makan. Kita teruskan saja pembahasan kita tentang pekerjaan, ini jauh lebih penting."
Ellard menatap kepergian Luna, sedikit merasa aneh dengan anak gadisnya itu.
"Apa kau tidak berangkat ke kampus, Sayang?" tanya Ellard sebelum Luna menghilang di balik tangga.
"Hari ini libur, Pa. Karena ada perayaan ... kemarin." Mendadak dadanya nyeri mengingatnya. Luna naik ke lantai dua dengan terburu-buru. Dia takut membayangkan nasibnya jika sampai sang ayah tahu apa yang terjadi.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Hemm...."
"Kau belum bangun? Astaga Stefan! Sudah jam berapa ini? Aku tidak banyak waktu untuk menunggumu," teriak Aglen melalui telepon genggamnya pada sang sepupu, Stefan.
"Apa kau sedang PMS? Teriak-teriak tidak jelas seperti itu padaku." Jawaban dari Stefan membuat Aglen semakin naik darah.
"Apa kau lupa janji kita pagi ini? Baiklah kita batalkan saja," ucap Aglen enteng. Meski sebenarnya Aglen hanya menggertak. Karena ia tidak akan mendapatkan orang seperti Stefan dengan mudah jika mereka bukan saudara.
Stefan adalah sosok pekerja keras yang pantas diperhitungkan di dunia usaha yang digeluti Aglen dan sang ayah, Ellard. Ide- ide cemerlangnya serta tangan dinginnya telah banyak menyukseskan berbagai proyek milik pamannya itu.
"Kau mengancamku?"
"Untuk apa? Diancam seratus kalipun tidak mempan jika itu dirimu," ketus Aglen kesal.
"Setengah jam lagi. Aku pasti datang!" teriak Stefan bangkit dari tidurnya.
"Setengah jam? Kenapa tidak sepuluh menit, aku sudah bosan disini," sahut Aglen keras.
"Kau pikir aku tukang sulap? Sudah tunggu saja jangan banyak protes!"
Stefan meraih handuknya. Tunggu, sepertinya ada sesuatu yang tertinggal. Tas wanita ada di sofanya. Pasti ini miliknya. Tapi tidak mungkin untuk mengembalikannya.
Stefan segera masuk ke kamar mandi. Di depan cermin lelaki itu tersenyum sendiri membayangkan kejadian semalam. Ia memang menyesalkan perbuatannya. Tapi ia sangat bahagia menjadi yang pertama. Bahkan bekas gigitan di beberapa bagian tubuhnya terlihat memerah. Sepertinya gadis itu tidak sadar melakukannya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Seharian ini, Luna hanya di rumah saja. Tidak ingin pergi kemanapun atau melakukan apapun. Meski ia bolos kuliah dan beralasan libur pada sang ayah, tapi bagaimana dengan besok. Alasan apa yang harus ia buat lagi?
Hatinya kalut, sangat. Otaknya berpikir cepat, ingin menyelesaikan masalah ini. Namun tidak ada satu solusi pun yang terlintas disana.
Satu- satunya penyelesaian adalah menikah, karena laki- laki itu telah menodainya. Tapi, dirinya sendiri telah membenci lelaki itu, dan tidak akan sudi menjadi istrinya. Ataukah ia harus menghadapinya seorang diri?
Luna menelan salivanya berkali-kali. Segelas minuman yang disediakan pelayan belum sama sekali disentuhnya. Padahal tenggorokannya sangat kering sejak tadi, akibat kerasnya si otak berpikir.
Setiap kali mengingat kejadian semalam, matanya terasa panas kemudian bulir-bulir bening itu jatuh tanpa bisa ia kendalikan.
Mengingat? Bahkan ia tidak sadar sama sekali semalam. Apa yang ia ingat dari tindakan lelaki laknat itu. Yang ia rasakan hanya sakit dari akibatnya tadi pagi, karena baginya ini adalah pertama kali.
Luna seperti orang linglung. Sore nanti saat sang ayah pulang, ia harus menutupi kesedihannya lagi dengan keceriaan. Seperti pagi tadi saat sarapan, berbuat sedemikian rupa hingga orang-orang rumah beranggapan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Apakah ia harus pura-pura menjadi kuat? Sedangkan di rumah ini hanya sang ayahlah yang paling dekat dengannya. Jika ia bercerita dengan mama Keiko, sudah pasti penyelesaiannya dengan kekerasan.
Wanita yang membesarkannya itu tidak pernah berpikir panjang jika ada orang menyakiti Luna. Jahat ia balas jahat. Baik ia balas baik.
Mama Keiko, mendadak ia rindu dengan wanita itu. Penyelamat hidupnya setelah sang ibu tiada, meskipun atas nama persahabatan dan balas budi.
Amici💕
Maafkan saya merevisi semuanya. Ada beberapa bagian yang saya tambahi. Dan ada beberapa bagian yang saya hilangkan, berdasarkan saran editor saya harus mengganti beberapa yang dirasa terlalu memperlama cerita. 🙏
.
Bagaimana jika setelah ia menceritakan kepada ayahnya, ia akan diusir dari rumah ini? Bukan! Bukan karena ia takut miskin, atau hidup susah. Tapi disini, sang ayah meindunginya penuh dari semua kejahatan di luar rumah termasuk dari para musuh mama Keiko yang berulang kali ingin menculiknya dulu.
Di negara ini, tanpa pengaruh sang ayah, dia bukanlah apa-apa. Karena bisnis mama Keiko beresiko bersinggungan dengan dunia hitam. Sementara mama Keiko tidak memiliki siapapun kecuali dirinya. Maka dialah yang akan menjadi sasaran jika mereka berselisih paham dengan wanita paruh baya yang seksi itu.
Lalu, bagaimana jika dia tidak menceritakannya dan sang ayah sampai mengetahuinya dari orang lain? Tentu semua itu akan membuat Ellard semakin murka. Entah apa yang akan dilakukan lelaki itu kelak jika dia mengetahui identitas lelaki laknat yang telah menodainya yang ternyata adalah keponakannya sendiri.
"Nona. Ada teman anda di depan, mereka mengatakan jika mereka adalah teman kuliah anda," ucap seorang pelayan yang mendekati Luna yang sedang melamun di taman belakang rumahnya.
"Siapa, Bi?"
"Sepertinya kalau saya tidak salah mengenali, itu nona Pauline dan teman-teman anda yang lain."
Darah Luna mendidih mengetahuinya. Jika ia punya keberanian saat ini, ingin sekali ia mencaci maki gadis yang enam bulan terakhir mendekatinya itu.
Tangan Luna mengepal dibawah meja, wajahnya memerah karena marah. Namun ia tidak ingin melakukannya sekarang, karena hatinya masih berperang dengan dirinya sendiri.
"Suruh pergi saja, Bi! Katakan aku tidak ingin menemui siapapun."
"Juga ada telpon dari Tuan Bhara, apa Nona_"
"Sudah kukatakan aku tidak ingin menemui siapapun dan menerima telepon dari siapapun!"
"I-iya Nona." Pelayan itu segera pergi. Menyisakan keheranan akan sikap sang majikan yang berubah drastis. Luna tidak pernah semarah itu dengan siapapun.
Sang pelayan bergegas ke depan menghampiri para gadis yang merupakan teman snag majikan. Mereka berdiri di depan mobilnya dan masih diluar pagar.
"Maaf, Nona Luna sedang tidak ingin diganggu," ucap pelayan itu sambil mengangguk dan senyum yang dipaksakan.
"Hah? Tidak salah? Kami kesini bukan untuk mengganggu. Kami hanya ingin mengetahui keadaannya karena kemarin saat acara belum selesai dia mengeluh pusing. Dan hari ini, dia tidak masuk kuliah, iya kan?" ucap Pauline yang di iyakan kedua temannya yang lain.
"Maaf, lebih baik kembali lain kali saja." Sekali lagi pelayan itu mengangguk, agar para gadis didepannya itu memaklumi permintaan sang majikan.
"Sudah kita pergi saja, mungkin Luna memang sedang tidak ingin diganggu," ucap seorang gadis yang memakai kacamata dengan rambut pendeknya. Ia adalah teman yang paling pengertian, Luna memanggilnya Selly.
"Iya. Sepertinya begitu. Aku juga sudah mengirimkan pesan padanya tadi. Tapi sama sekali tidak dibalas." Temannya yang lainnya menimpali. Gadis berperawakan kurus ini bernama Alda.
"Ayo!" Pauline menjadi yang paling pertama beranjak dari tempatnya berdiri. Gadis yang paling modis diantara yang lain itu sempat melirik kedalam dan tersenyum menyeringai.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Bujangan apa kau ini, Stefan? Oh, aku lupa kalau kau sudah tidak bujangan," sindir Aglen tepat sasaran. "Kalau kau terus terlambat seperti ini, banyak orang yang akan kau rugikan," ucap Aglen kemudian.
Tepat jam 9, sepupunya itu baru memasuki ruangannya. Seingat Aglen, Stefan tidak pernah sampai terlambat seperti ini. Lelaki itu memang santai jika berhadapan dengannya.Namun Stefan sosok yang profesional baik saat bekerja maupun dalam kesehariannya.
"Kau banyak bicara, Ag. Aku baru sekali ini terlambat. Itupun karena partnerku adalah kamu." Stefan membuka kancing jasnya dan duduk disebelah Aglen.
"Oh, jadi kalau denganku kau bermalas-malasan. Apa kau masih suka tidur dengan para gadis tidak jelas itu? Kau sudah tua, kapan kau berubah Stef? tingkahmu itu bisa menghancurkan karirmu." Aglen menatap jengah sepupunya yang memiliki gelar playboy sedari SMA itu.
Sudah berulang kali Aglen menasehati nya, tapi bukan Stefan namanya jika mendengarkan nasihat Aglen. Ayah ibunya saja sudah bosan menasehati anak tunggalnya itu.
Stefan adalah putra satu-satunya kakak dari ayah Luna, William Efrain yang menikah dengan Christina yang berkebangsaan Yunani. William sama hebatnya dengan sang adik, Ellard. Kedua kakak beradik itu sosok yang tidak bisa dipandang sebelah mata di dunia bisnis properti di Negara itu.
Ya, Stefan adalah playboy terkeren idaman para gadis di Negara itu. Banyak para gadis yang rela melemparkan tubuhnya pada lelaki itu. Atau sekedar kencan buta karena tergila-gila padanya.
Namun lelaki smart itu tidak sembarangan bermain wanita. Dia memilihnya, dan tentu saja hanya one night stand, tidak lebih. Apalagi dia tidak pernah melupakan pengaman saat melakukannya. Baginya, benih unggul yang ia miliki hanya boleh tumbuh di rahim wanita yang diinginkannya.
Mengingat kejadian semalam membuat Stefan mendadak pening. Dia telah meniduri sepupunya sendiri. Dan tidak memakai apapun sebagai pengaman. Tubuh Luna membuatnya gila, hingga ia lupa memakai pengaman yang bahkan sudah ia simpan di saku celananya.
Apa Luna akan hamil? Tidak- tidak! Tuhan tidak akan sejahat ini padanya. Lagipula bukankah mereka baru sekali ini melakukannya? Dan ini tentu juga yang pertama kali untuk sepupunya itu. Stefan tahu itu, dan sialnya lelaki itu menggilainya.
Semua ini terjadi atas hasutan teman Luna. Bahkan gadis yang mengaku teman dekat Luna itu membantunya memuluskan rencana kotor itu.
Stefan tahu, Luna dibesarkan oleh seorang mucikari kelas kakap. Hal itu sudah menjadi rahasia keluarganya, dan tidak ada yang mempertanyakannya lebih lanjut. Namun lain dengan Stefan, lelaki yang sedari awal sama sekali tidak respect dengan Luna itu, meragukan kesucian sepupu barunya itu.
Dan tentu menjadi pertanyaan besar apakah Luna sama saja dengan wanita yang membesarkannya itu, atau masih perawan.
Padahal keduanya sama sekali tidak pernah berbicara kecuali ada sesuatu hal yang penting. Baik Luna ataupun Stefan tidak pernah ingin berinteraksi lebih jauh ataupun disengaja.
Namun sejak Pauline bercerita banyak hal tentang Luna, bahkan tentang masa lalu yang hanya abu-abu saja diketahui keluarga, Stefan menjadi tertarik.
Dan sungguh sial, dia menyukai gadis itu pada akhirnya. Mungkin berawal dari tubuhnya saat ini, dan Stefan ingin memiliki seutuhnya. Tapi apa kata pamannya nanti? Saat tahu Stefan telah memperkosa anak gadis satu-satunya itu.
"Kenapa? Jangan katakan kau mendadak sakit dan izin pulang. Masih banyak yang harus kita bahas hari ini. Papa juga memintamu menemuinya, setelah kau dari sini." Aglen segera beranjak untuk menghubungi sekretarisnya agar segera menyiapkan beberapa berkas yang harus dilihat Stefan.
"Paman Ellard?" Stefan kaget mendengarnya. Apa karena kejadian semalam? Secepat itu?
"Ada perlu apa paman Ellard ingin bertemu denganku?" tanya Stefan tanpa ekspresi.
Hatinya masih shock bukan main. Ia tahu kejamnya sang paman jika berhubungan dengan orang yang menyakiti keluarganya. Bisa ia rasakan, jantungnya yang memompa cepat tidak terkendali. Rasanya si jantung mau kabur saja.
"Ohhh ... Stefan! Kau menanyakan pertanyaan yang bodoh! Yang jelas ayahku bukan menemuimu untuk memintamu menjadi menantunya, karena itu tidak mungkin!" Ucapan Aglen tegas namun mengena.
Stefan mendengkus resah. Namun lelaki itu berusaha terlihat baik- baik saja."Ya, baiklah. Segera kita selesaikan pekerjaan kita saja dulu," ucap Stefan pelan.
💗💗Terima kasih readers tercinta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!