Siang itu, Viona yang pulang dari bekerja mengajar sebagai guru kindergarten kids itu menaiki sepeda motor maticnya meluncur dengan kencang. Saat hendak berbelok, hal yang tidak pernah dia duga sebelumnya, sepeda motor matic kesayangannya itu menabrak sebuah mobil mewah dari arah yang berlawanan.
Ciiiiitttt
Braakkkkkk
Seseorang dari dalam mobil.
“Anda tidak apa-apa, nona?” tanya pria paruh baya yang sepertinya seorang sopir mobil mewah itu dengan membantu Viona berdiri karena jatuh tertimpa sepeda motor.
“Oh tidak apa-apa, Pak” jawab Viona tersenyum tanpa memandang sopir itu karena mengecek keadaan sepeda motornya.
“Apakah ada yang rusak, nona? Atau nona ada yang lecet?” tanya bapak sopir itu ramah.
“Hanya luka kecil kok Pak. Dan…tergores sedikit sepeda motor saya” jawab Viona lagi.
“Pak!” panggil seseorang laki-laki dari dalam mobil mewah itu.
“Sebentar, nona” pak sopir itu berlari menghampirinya.
“Tuan, maaf nona itu sepertinya mengalami kerusakan dan terluka” lapor pak sopir kepada majikannya.
“Sudahlah ayo cepat! Aku sudah terlambat” seru sang majikan hingga membuat pak sopir itu bingung antara tanggung jawab tuannya atau tanggungjawab korbannya.
“Tapi, tuan….”
“Mau kupecat kamu?!” nampak kaca jendela mobil itu ditutup kembali. Sayang Viona tidak dapat menyaksikan seperti apa majikannya yang sombong itu.
Karena takut dipecat, pak sopir akhirnya kembali masuk ke dalam mobil dan berniat untuk melajukan mobilnya.
“Stop!” hadang Viona ke depan mobil yang hendak melarikan diri itu.
“Ck. Ada apa lagi sih dia? Kasih dia uang, Pak. Untuk ganti rugi dia” perintah sang majikan.
Lalu sang sopir turun kembali lalu memberikan beberapa lembar uang merah pada Viona. Viona yang tak terima itu tetap menghadang jalan mobil mewah itu.
“Nona, ini dari tuan saya sebagai ganti rugi kerusakan dan luka anda nona” sang sopir menyerahkan beberapa lembar uang merah itu.
“Sungguh tidak sopan! Sudah tidak mau bertanggung jawab tapi malah melarikan diri” ocehan Viona itu dapat di dengar oleh sang majikan sang sopir. Hingga kaca jendela itu diturunkan kembali lalu menjawab ocehan Viona.
“Hei, kau! Minggirlah! Aku sudah mengganti rugi atas kecelakaan ini. Harusnya kau yang aku tuntut karena sudah membuat lecet mobilku ini. Jika bukan karena aku tergesa-gesa akan aku seret kau ke pengadilan. Jalan, Pak!” ucapnya arogan. Seketika Viona hampir terbius karena ketampanan dari majikan sang sopir itu menyadarkan dirinya kembali. Sang sopir berjalan cepat menuju mobil dan melajukan mobilnya tanpa babebu pada Viona. Viona yang merasa dirinya di abaikan itu merasa kesal dan marah.
“Kau…! Dasar kau laki-laki sombong! Jika nanti aku bertemu denganmu lagi akan aku tabrak lagi kau biar kita impas!” teriak Viona lalu menggerutu manyun. Kemudian dia mengambil sepeda motornya dan bersiap untuk melajukan sepeda motornya pulang ke rumah.
Setelah beberapa menit, sampailah dia di rumah sederhananya di sebuah komplek perumahan yang terbilang untuk kalangan menengah.
“Mama! Akhirnya mama pulang juga” sambut si kecil putra satu-satunya yang paling tampan, Elbarak, di rumah karena dia memiliki kakak perempuan yang juga sangat cantik. Saat ini Elbarak berusia 6 tahun. Sedangkan kakaknya berusia 12 tahun.
“Sayang, kamu sudah pulang, nak. Apakah kamu tidak ikut latihan di sekolah?” Viona membalas sambutan si kecil Elbarak dengan memeluknya dan menciumnya.
“Tidak, Ma. El minta sama pelatih besok saja. El mau mengerjakan tugas sekolah El dulu. El kembali ke kamar ya, Ma” ucap Elbarak lalu berbalik kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.
Sepulang sekolah biasanya Elbarak ikut latihan computer dan bela diri sama seperti kakaknya. Hanya, kakaknya lebih suka ikut bela diri dan latihan menguasai berbagai bahasa. Shanum, nama kakaknya Elbarak, si sulung dari keturunan Kusumawijaya. Namun, hari ini sang kakak ikut latihan bela diri hingga sore.
“Nyonya, sudah waktunya saya pulang. Permisi nyonya” pamit sang ART yang bekerja di rumah Viona paruh waktu. Viona memang tidak mencari ART yang fulltime karena baginya, dia ingin mengajari anak-anaknya hidup sederhana, meskipun dibalik itu semua, Viona bukanlah wanita sembarangan.
Pekerjaannya yang sehari-hari itu sebagai guru pun hanya menerima honor tidak seberapa. Anak-anaknya pun dia sekolahkan di sekolah negeri. Setelah pulang dari sekolah negerinya, anak-anak biasanya Viona ajak untuk mengasah bakat masing-masing dalam berbagai macam sanggar ataupun tambahan sekolah di home schooling.
“Baiklah, mbok. Terimakasih. Ini ada sedikit buat mbok Jum. Hati-hatilah di jalan ya, mbok” dengan berjalan pincang, Viona memberikan sebuah amplop coklat yang kebetulan hari ini mbok Jum waktunya menerima haknya yakni honornya. Honor pertama kalinya yang diterima Mbok Jum.
“Nyonya kakinya kenapa? Saya ambilkan obat dulu buat nyonya. Sebentar. Nyonya silahkan duduk dulu” betapa beruntungnya Viona mendapatkan seorang ART yang sangat perhatian padanya. Apalagi Mbok Jum seusia almarhumah ibunya jika seandainya ibunya masih ada. Segera mbok Jum berbalik pergi mengambil obat untuk Viona setelah menerima honor pertamanya. Awal Viona mempekerjakan mbok Jum saat Viona sedang berjalan pulang mendapati mbok Jum didorong anaknya hingga tersungkur di depannya waktu di pasar tradisional. Viona yang kasihan melihat mbok Jum menangis sambil menenteng tas dagangannya itu akhirnya menegur sapa mbok Jum. Dengan berbagai pertanyaan mbok Jum akhirnya bercerita tentang kehidupannya. Sampailah mbok Jum menjadi ART Viona. Sebenarnya Viona menginginkan mbok Jum menginap saja namun, mbok Jum tidak mau karena masih memikirkan anaknya yang masih membutuhkan bimbingannya. Viona merasa sangat kagum padanya. Ternyata masih ada wanita sekuat mbok Jum di dunia ini.
Viona duduk menunggu mbok Jum membawakan obat untuk luka di kakinya. Viona yang awalnya tidak merasakan sesuatu luka itu, kini merasakannya kakinya sangat perih. Celana panjangnya dia buka. Terlihat kini luka lecet akibat gesekan aspal di jalan tadi saat terjatuh tertimpa sepeda motornya.
“Astaghfirullah, Nyonya. Lukanya sampai berdarah. Maaf, nyonya, sebenarnya kenapa kaki nyonya bisa terluka seperti ini?” terlihat kepanikan di wajah mbok Jum. Kemudian mbok Jum mengangkat kaki Viona ke atas pangkuan pahanya.
“Jangan mbok! Tidak baik kakiku di situ, mbok” sungkan Viona. Baginya mbok Jum adalah orang tua meskipun hanya seorang ART di rumahnya, namun dia juga harus menghormatinya karena selama satu bulan ini mbok Jum selalu berbuat baik padanya.
“Tidak apa-apa, nyonya. Saya akan mengobatinya” tapi Viona mengangkat kaki kanannya ke atas kursi kecil di sampingnya.
“Maaf, ya mbok” ijin sopan Viona pada mbok Jum untuk mengangkat kakinya di samping mbok Jum.
‘Nyonya, anda sangat baik padaku. Aku berjanji pada nyonya, bahwa aku akan menjaga nyonya dan anak-anak nyonya sebaik mungkin. Terimakasih, nyonya meskipun kau orang lain, tapi kau tidak pernah menganggapku orang lain’ batin haru mbok Jum hingga hampir menitikkan air matanya. Beruntunglah dia segera mengontrol emosi rasa terharunya.
“Tidak apa-apa, mbok. Hanya luka kecil kok. Tadi tertabrak sebuah mobil. Beruntunglah hanya lecet saja. Mbok Jum tidak usah khawatir” Viona menjelaskan supaya mbok Jum tidak khawatir padanya dan menampilkan senyum termanisnya. Dilihatnya mbok Jum mengobati luka kakinya dengan telaten.
“Alhamdulillah, nyonya tidak apa-apa. Apa perlu saya pijat, nyonya? Atau nyonya mau pergi periksa ke dokter dulu. Saya bisa menunggu anak-anak di rumah” ucap mbok Jum perhatian.
“Tidak, mbok. Saya tidak apa-apa. Terimakasih ya, mbok, sudah mengobati luka kaki saya. Mbok Jum tidak usah khawatir lagi ya. Sekarang jika mbok Jum mau pulang tidak apa-apa. Karena hari sudah mulai sore. Hati-hati ya, mbok” balas Viona merasa terharu atas kebaikan mbok Jum.
“Benarkah, nyonya? Baiklah kalua begitu saya pamit pulang dulu. Besok pagi saya akan datang kemari lagi seperti biasa” ucap mbok Jum lalu membereskan obat-obat itu. Setelah selesai mengembalikan obat ke tempat semula, mbok Jum berpamitan.
“Uhhh sungguh sial hari ini” ucap Viona menyandarkan tubuhnya ke kursi. Harinya terasa melelahkan. Apalagi dia tidak hanya sebagai seorang guru. Namun juga seorang kepala sekolah yang merasa beban di pundaknya terasa begitu berat.
“Dasar laki-laki sombong. Jangan sampai kita bertemu lagi ya!” gerutu Viona kesal.
“Mami, aku pulang!” Shanum putrinya si sulung akhirnya pulang dari latihan bela dirinya.
“Sini, sayang. Kamu pasti capek ya” Viona merentangkan kedua tangannya untuk memeluk putrinya. Shanum mendekati mamanya dan mencium kedua pipi mamanya. Kemudian sadar jika mamanya tidak baik-baik saja, maka Shanum menanyakan perihal kejadian apa yang sudah menimpa mamanya.
“Apa yang terjadi dengan kaki mama? Kenapa lecet, ma?” Shanum bertanya dengan khawatir dan bermaksud untuk berlari mengambilkan obat untuk mamanya.
“Sudah diobati mbok Jum, sayang. Sudahlah kamu jangan khawatir ya. Ini luka kecil kok. Sudah sana, kamu mandi dulu dan makan siang. Kamu pasti tadi belum makan siang kan?” Viona berusaha menghibur putrinya. Shanum adalah anak yang tidak bisa melihat mamanya sakit.
“Ayo Shanum bantu ke dalam” Shanum bersiap menjulurkan tangannya untuk memapah mamanya. Kemudian Viona bangkit berdiri dan menerima bantuan Shanum.
“Baiklah. Mama akan merepotkanmu, sayang” Viona yang sudah berdiri di samping Shanum itu mencium kepala putrinya dengan sayang. Kemudian mereka berjalan menuju kamar Viona. Sampailah mereka berdua di kamar Viona dan Shanum mendudukkan mamanya di atas ranjang mamanya.
“Baiklah, ma. Shanum pergi mandi dulu ya. Jika nanti mama membutuhkan sesuatu, mama bisa berteriak memanggil Shanum. Shanum siap membantu mama” Shanum memeluk mamanya dengan kasih sayangnya dan mencium pipi mamanya lalu menampilkan senyum terbaiknya.
“Siap, putri mama yang cantik. Terimakasih sayang” balas Viona lalu melepas pelukan putrinya dan Shanum pergi keluar kamar mamanya.
Keesokan paginya, seperti biasa, Elbarak membuat ulah.
“El sayang, stop berulah ya. Kasihan mama kamu sayang. Ayo sini, tante akan menyuapimu. Lihatlah kaki mamamu sedang sakit. Masa sudah besar begini masih saja seperti bayi” ledek Irma. Ya, Irma datang pagi-pagi sekali karena Viona tadi malam menelponnya untuk datang pagi-pagi sekali untuk membantu membawakan berkas kantor ke rumahnya.
“Tapi, El tidak mau disuapi tante. Rasanya tidak enak” balas Elbarak.
“Kamu bilang apa?” Irma menggelitiki perut Elbarak. Semalam Elbarak diberitahu Shanum jika mamanya sedang sakit.
“Sini, dek, kakak suapin mau?” Shanum mencoba menawarkan adiknya untuk dia suapin.
“Tidak! Tangan kakak sama tidak enaknya dengan tangan tante Irma” ejek Elbarak pada kakaknya lalu tertawa karena merasa geli akibat ulah Irma dan Shanum.
“Sudah sudah kak, tante. Gelii!” teriak Elbarak.
Viona sangat senang melihat di pagi hari rumahnya selalu ramai dengan canda tawa seperti pagi ini. Dia tersenyum melihat keakraban Irma seorang karyawan yang sudah seperti adik baginya. Kini hidupnya yang sebatangkara hanya memiliki dua orang anak kini tidak sendiri lagi. Dia masih memiliki pegawai yang sangat menyayanginya seperti Irma juga mbok Jum.
Drama sarapan pagipun telah usai. Hari ini Viona meminta ijin kepada yayasan sekolahnya karena kakinya yang masih terasa sakit jika tergesek celana. Dia pun menyelesaikan tugasnya sebagai kepala sekolah dan usahanya dari rumah.
“Irma, nanti minta tolong kamu antarkan ke sekolah ya. Berkas teman-teman sudah aku tanda tangani. Tolong sampaikan kepada Bu Sila. Supaya beliau mengeceknya terlebih dahulu kembali sebelum dikirim ke dinas” ucap Viona pada Irma setelah kedua anaknya berangkat ke sekolah.
“Baik, kak” jawab Irma patuh. Lalu Irma pergi menuju ke sekolah tempat Viona bekerja untuk menyampaikan berkas-berkas itu.
“Selamat pagi, nyonya!” sapa mbok Jum ramah.
“Selamat pagi, mbok” balas Vio tak kalah ramah menampilkan senyum manisnya. Meskipun usia Viona tak lagi muda, namun wajah dan bodynya masih terlihat seperti anak muda jaman sekarang. Wajahnya yang ayu nan cantik dan memiliki kulit yang putih itu terlihat seperti perempuan yang belum memiliki anak dan tidak terlihat jika dia seorang janda.
“Bagaimana kabar nyonya pagi ini?” tanya mbok Jum yang baru datang itu langsung menghampiri nyonyanya.
“Alhamdulillah, mbok. Baru terasa sakitnya. Nanti jam 10.00 aku akan pergi ke dokter. Nitip rumah ya mbok. Jika aku belum pulang dan anak-anak sudah pulang, tolong berikan mereka buah-buahan yang ada di kulkas. Semua sudah aku siapkan tadi. Mbok Jum juga makanlah. Buah sangat penting buat kita, mbok” perkataan Viona itu membuat mbok Jum sangat menyayangi nyonya mudanya. Baginya nyonyanya adalah keluarga barunya.
“Nyonya, terimakasih. Nyonya sudah memberikan saya gaji yang lebih dari cukup buat saya. Selama saya jualan di pasar, saya tidak pernah mendapatkan hasil sebanyak itu, nyonya. Jadi sisanya saya tabung buat naik haji nanti” ucap mbok Jum menitikkan air matanya. Keinginan terbesarnya adalah bisa naik haji. Namun uangnya sering dicuri anaknya.
“Syukurlah, mbok. Aku turut senang mendengarnya. Semoga keinginan mbok Jum terijabah ya” kata-kata Viona diaminkan oleh mbok Jum.
“Permisi, nyonya. Saya mau ke belakang dulu. Bersih-bersih” ucapan mbok Jum diangguki oleh Viona. Lalu Viona menelpon seseorang entah siapa orang yang saat ini sedang ia hubungi.
“Halo…..” ucap Viona dengan wajah datarnya dan tampak sangat serius tanpa senyuman indah cerianya.
“Mbok Jum, aku berangkat dulu ya. Hati-hati di rumah. Jangan menerima siapapun ya. Jika ada bel rumah, mbok Jum diamlah di dalam rumah. Karena saat ini sedang marak penipuan” pamit Viona untuk pergi ke rumah sakit dan memberikan nasehat pada mbok Jum karena saat ini sedang marak penipuan dan kejahatan lainnya.
“Iya, nyonya. Insyaa allah mbok Jum akan ingat pesan nyonya” mbok Jum yang mengantar sampai belakang pintu itu kemudian mengunci pintu dan masuk ke dalam rumah setelah melihat nyonyanya masuk ke dalam taksi online.
Sampai di rumah sakit, Viona harus menunggu antrian 6 orang lagi. Dengan kaki yang terasa perih saat digerakkan dan terkena gesekan roknya itu membuat mengaduh lirih Viona. Saat ini, Viona merasakan ingin pergi ke toilet. Segera ia bangkit dengan kaki yang dipaksakan untuk berjalan meskipun sakit. Toilet yang terletak dekat denga ruang antri itu membuat Viona merasa lega. Saat Viona pergi keluar toilet, tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya hingga dirinya hampir terpental ke belakang jika seseorang tidak menangkap tubuhnya.
Dugg
Tabrakan antara tubuhnya dengan seseorang.
“Aaaa!” teriaknya.
Setttttt
Seseorang menangkap dirinya yang hampir terpental ke belakang itu sontak kaget.
“Kau!”
“Kau lagi!” seru Viona berbarengan dengan seorang laki-laki yang menangkap tubuhnya yang tinggi dan berpostur bak seorang model itu. Dia adalah Kelvin Atmodjoyo. Seorang pengusaha tersukses berwajah blesteran Jawa dan China. Namun jangan salah ya, keluarga Kelvin sangat menjunjung adat Jawa asal neneknya itu. ya, nenek Kelvin asli Jawa. Jadi meskipun Kelvin keturunan China, tapi dia dibesarkan dengan adat Jawa serta memiliki tata karma bak seorang ningrat dan memang neneknya keturunan keraton.
Seketika Kelvin menghempaskan tubuh Viona.
Brukk
“Aduhh! Kau! Kau manusia yang kejam! Sudah menabrakku dua kali bukannya bertanggung jawab tapi malah menjatuhkanku. 2X kau menjatuhkanku!” seru Viona yang membuat orang-orang yang ada di sekitar situ melihatnya. Dia terjerembab lalu bangkit dengan susah payahnya tanpa dibantu laki-laki di depannya itu.
“Wah tampan sekali pria itu ya”
“Siapa pria itu?”
Celotehan para wanita yang ada di situ membuat Viona dan Kelvin tengok kanan dan kiri melihat situasi. Sadar akan ulah mereka berdua menjadi pusat tontonan, maka Kelvin menarik tangan Viona.
“Ehh ehhh!” Viona memberontak namun tak kuasa karena pegangannya sangat kuat sekali hingga dia tidak mampu melepas tangannya dari genggaman tangan laki-laki yang sedang menariknya itu.
“Kau pria kejam yang baru aku temui seumur hidupku!” seru Viona setelah tangannya dihempaskan olek Kelvin.
“Kau mengikutiku?” tanya Kelvin menuduh Viona dikira Viona mengikutinya.
“Hahaha..Kenapa kau pede sekali ingin aku ikuti? Heh! Dasar pria sombong! Jangan berharap aku mengikutimu! Tidak akan! Meskipun kau tampan, seperti kata mereka, tapi kau adalah pria kejam. Sudah menabrakku tapi tidak mau membantuku” kata Viona menertawakan Kelvin kemudian mengelilingi Kelvin dan menatap Kelvin dari bawah sampai atas.
“Kau kurang ajar sekali mengataiku seperti itu!” ucap Kelvin marah.
“Hahaha. Dasar kau pria aneh! Pria kejam! Ayo tanggung jawablah padaku. Mumpung di rumah sakit ayo bawa aku ke dokter untuk memeriksakan lukaku” sekarang gentian Viona yang menarik tangan Kelvin setelah mengatai Kelvin pria kejam. Entah kenapa Kelvin merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Entah seperti desiran di hatinya. Namun tak ia pikirkan.
“Memangnya siapa kau ini. Berani sekali kau menarikku seperti ini!” seru Kelvin menghempaskan tangannya yang di Tarik Viona itu.
“Tentu saja aku tahu kau itu siapa. Kau adalah orang yang menabrakku. Ayo sekarang ikut aku. Bawa aku ke dokter” tarik viona lagi. dan lagi-lagi Kelvin menghempaskannya lagi. Kemudian berjalan melewatinya dengan acuhnya. Dan langkah besarnya Kelvin itu tak dapat diimbangi Viona yang mengejarnya seolah Kelvin sedang terburu-buru sehingga melangkahkan kakinya cepat.
“Dasar orang gila! Pria kejam kau!” teriak Viona yang tak sadar bahwa dia saat ini sedang di rumah sakit.
“Ssssttt. Jangan berisik nona. Ini rumah sakit” seorang suster menegurnya. Kini iapun sadar.
“Ma..maaf, suster. Saya lupa” dengan santainya Viona menampilkan cengiran kudanya kemudian Viona berlalu dan kembali ke tempat dimana dia tadi sedang mengantri untuk periksa.
“Nona Viona Kusumawidjaya!” panggil suster yang berada di pintu ruang praktek dokter.
“Ya. Saya!” segera ia beranjak masuk ke dalam ruang praktek dokter.
“Selamat pagi, dokter!” sapa Viona ramah.
“Selamat pagi, nona” jawab sang dokter wanita yang usianya hampir paruh baya itu.
Tak terasa, matahari sudah berada di atas kepala yang menandakan hari sudah siang. Pun begitu, periksa atas lukanya kemarin sudah dokter periksa dan tidak menampilkan cedera apapun. Semua hasilnya baik dan kakinya sudah dikasih obat salep. Viona yang kini akan mampir pergi ke swalayan untuk membeli kebutuhan kedua anaknya itu segera memesan taksi online.
“Ke Swalayan ya Pak” ucap Viona pada sang driver taksi online.
“Baik, nona” jawab sang driver lalu melajukan kemudinya menuju Swalayan.
Setelah beberapa menit perjalanan, kini Viona telah sampai di swalayan yang ia tuju. Segera ia meraih troli dan berbelanja semua kebutuhan selama 1 bulan.
Selang 1 jam berada dalam swalayan, Viona memesan taksi online kembali untuk segera pulang. Setelah sampai di rumah, kepulangan Viona yang di sambut mbok Jum itu merasa kehausan.
“Mbok, minta tolong dibuatkan minuman dingin ya” pintanya pada mbok Jum.
“Sudah mbok siapkan, nyonya. Sebentar saya ambilkan di kulkas dulu ya” segera mbok Jum masuk ke dalam rumah dengan tentengan belanjaan nyonyanya. Beberapa tas belanjaan Viona membawanya sendiri.
“Terimakasih, ya Pak” ucapan terimakasih Viona tujukan pada driver taksi onlinenya.
“Sama-sama, Non!” jawab sang driver ramah.
“Huft! Lelahnya. Awas kau dasar pria aneh! Jika kau menabrakku lagi nanti, akan kulaporkan pada polisi!” gerutunya kesal pada Kelvin.
“Semua karena ulah si wanita itu. Sungguh sial jika bertemu dengannya. Awas saja kau!” ucap Kelvin menggertakkan gigi-giginya hingga urat di belakang rahangnya terlihat jelas.
“Kenapa kau tampak kesal?” tanya Hans Safero sang sahabat yang menjabat seorang asisten pribadinya di perusahaan yang dia kelola. Saat ini Kelvin berada di perusahaannya bersama Hans.
“Sejak bertemu kemarin dalam kecelakaan kemarin, dia sangat membuatku sial tapi juga sudah menyelamatkanku dari Erika. Kau tahu karena ulahnya itu, pertunanganku dengan Erika menjadi gagal. Karena terlambat, orang tua Erika menjadi marah dan membatalkan acara itu. Apalagi saat hendak ke rumahnya, Tuan McLye menelponku untuk bertemu saat itu juga. akhirnya yang datang ke rumah Erika hanya nenek dan juga mama” jawab Kelvin tampak kesal namun juga bahagia.
“Maaf, nenek dan nyonya Nora, jika acara tidak ada Kelvin sebaiknya kita tunda dulu pertunangannya. Kita menunggu Kelvin kapan luangnya” ucap papanya Erika hingga membuat Erika marah.
“Apa maksud papa? Meskipun Kelvin tidak datang, tapi pertunangan ini tetap kita lanjutkan, pa!” teriak Erika pada papanya.
“Tidak bisa, Erika. Sabarlah. Mungkin ini adalah takdir menyuruhmu untuk bersabar. Nak, kita tidak bisa memaksa Kelvin sekarang untuk datang. Karena kamu dengar sendiri kan di telepon jika dia sedang bertemu dengan klien penting dari luar negeri. Tenanglah. Semua itu untuk masa depan kalian. Tenanglah. Kita tunggu Kelvin ya. Acara ini hanya di tunda” bujuk papanya Erika saat itu.
“Baiklah. Tapi papa janji ya pada Erika” jawab Erika akhirnya menyerah dengan bujukan papanya.
“Iya” jawab papa Erika sekenanya.
‘Kamu harus menepatinya Kelvin!” batinnya marah Kelvin sudah memperlakukan putri kesayangannya seperti ini. Kemudian keluarga Kelvin pulang ke rumah.
“Jadi, nenek juga mama kamu ke sana hanya untuk menyampaikan pesanmu saja? Bukankah seharusnya kau itu senang pertunanganmu itu akhirnya gagal? Bukankah selama ini itu yang kamu inginkan?” berondong Hans mempertanyakan pada sahabatnya itu.
“Iya aku senang. Hanya nanti Erika pasti akan tetap mengejarku. Dan aku tidak suka dikejar. Aku tidak suka perempuan agresif seperti dia. Dia sudah seperti adikku sendiri. Dan aku tidak meminta nenek dan mama untuk melanjutkan pergi ke rumah Erika. Mereka sendiri yang tetap bersikukuh. Hah kamu tahukan peraturan nenek?!” ucap Kelvin lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi kebesarannya.
‘Hahaha..Kenapa kau pede sekali ingin aku ikuti? Heh! Dasar pria sombong! Jangan berharap aku mengikutimu! Tidak akan! Meskipun kau tampan, seperti kata mereka, tapi kau adalah pria kejam. Sudah menabrakku tapi tidak mau membantuku’ entah kenapa kalimat itu tiba-tiba terngiang-ngiang di telinganya. Padahal baru pagi tadi dia mendengarnya. Hanya saja yang aneh baginya adalah, baru pertama kalinya ada seorang wanita yang mengejeknya. Yang tidak tertarik melihatnya. Maksudnya terlihat biasa saja ketika melihatnya. Justru selalu mengajaknya bertengkar. Mengingat kejadian pagi tadi membuatnya tergelitik untuk tersenyum tipis.
“Hei, bro! Kenapa kau tiba-tiba tersenyum sendiri begitu? Sakit kau dari rumah sakit?” Hans yang melihat sahabtnya itu terlihat aneh setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaan rumah sakit miliknya itu lalu memegang dahi Kelvin dengan membalikkan telapak tangannya.
“Tidak panas” tangannya dihempaskan Kelvin.
“Apa yang kau lakukan?” Kelvin menepis tangan sahabatnya, Hans itu.
“Kau tahu? Kau aneh. Seperti orang sedang jatuh cinta. Katakana padaku! Siapa dia? Atau…jangan-jangan wanita yang barusan kau ceritakan padaku yang kau tabrak kemarin itu? apa yang dia lakukan hingga membuatmu gila seperti ini? Hm?” pertanyaan Hans membuat Kelvin salah tingkah. Namun, bukan Kelvin namanya jika dia buka mulut.
“Sudahlah sana pergi ke mejamu. Siapkan semua berkas buat nanti aku pulang. Aku akan mempelajarinya di rumah” usir Kelvin pada Hans. Kemudian Hans bangkit dan berjalan keluar menuju ruangannya.
“Iya iya. Tidak usah kau usir aku akan keluar sendiri” ucapnya.
Setelah keluar ruangan Kelvin, Hans berbicara pada dirinya sendiri.
‘Aku harus mencari tahu sendiri. Lihat saja kau akan ketahuan. Hahaha’ batinnya tertawa. Kemudian dia berjalan ke ruangannya.
Hari pun sudah sore. Hari ini Shanum dan Elbarak, pulang bersama.
“Kami pulang, mama!” seru kedua anak Viona itu setelah memasuki dapur menghampiri mamanya yang sedang memasak di dapur. Viona mencium mereka satu persatu.
“Ayo semuanya pergi mandi. Ehhh bau acem” ucap sambil berpura-pura mengibaskan tangan kanannya Viona disertai kekehan kecil.
“Iya, Mama. Kan habis latihan. Bau acemnya seger kan, Ma?” ledek Shanum sambil berlari karena tangan Viona maju menggelitiknya juga adiknya. Lalu mereka berlari menuju kamarnya masing-masing.
“Saya ikut senang, nyonya. Melihat kebahagiaan nyonya serta anak-anak. Adem rasanya melihatnya” ucap mbok Jum tiba-tiba nyembul dari dalam kamar yang digunakan untuk menyetrika baju.
“Eh, mbok Jum ngagetin aku aja” jawab Viona merasa kaget dan mengelus dadanya menggelengkan kepalanya.
“Maaf, nyonya. Hehehe” mbok Jum terkekeh. Bersama keluarga Viona kini kehidupan mbok Jum jadi lebih berwarna. Meskipun jika sampai rumah, mbok Jum selalu kembali sedih melihat polah anaknya yang semata wayang itu.
Ting
Bunyi pesan di ponselnya Viona.
“Maaf, Bu Viona, ada berkas yang membutuhkan tanda tangan ibu lagi. Nanti pulang mengajar, saya akan ke rumah Ibu Viona sekalian saya mengantarkan ke dinas. Maaf jika mengganggu waktu istirahat Bu Viona" isi pesan dari salah satu gurunya, Bu Sila yang merupakan wakil dari kepala sekolah.
“Ok” jawab singkat Viona.
Setelah matahari hampir terbenam dari ufuk barat, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bu Sila datang tampak membawa tentengan seperti oleh-oleh. Namun Viona berpura-pura tidak menghiraukannya. Viona yang sudah menunggu di teras rumahnya itu menyambutnya dengan ramah.
“Assalamu’alaikum Bu Viona. Bagaimana kabarnya Bu Viona?” sapa Bu Sila mengucap salam lalu cipika cipiki.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah jauh lebih baik, Bu Sila. Terimakasih. Silahkan duduk dulu, Bu” balas Viona ramah menggandeng Bu Sila untuk duduk.
“Mana yang harus saya tanda tangani, Bu?” tanya Viona sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Oh ini, Bu” jawab Bu Sila mengulurkan berkas yang berisi 2 lembar itu.
Segera Viona menandatangani lalu membubuhi cap stempel pada tanda tangannya.
“Sudah” ucap Viona tersenyum.
“Terimakasih, Bu. Oiya ini ada titipan dari teman-teman buat Bu Viona. Semoga Bu Viona segera sembuh kakinya. Dan kembali ke sekolah lagi segera. Anak-anak sudah menanyakan Bu Viona” ucap Bu Sila yang selalu sopan terhadapnya. Bu Sila adalah guru berprestasi di sekolah yang ia naungi. Selain ramah dan sopan, Bu Sila juga cantik dan bersahaja. Tapi entah kenapa salah satu diantara teman-temannya, ada yang tidak menyukainya. Karena Bu Sila termasuk guru yang diunggulkan oleh yayasan setelahnya.
“Kenapa repot-repot, Bu?! Maasyaa allah tabarakallah. Terimakasih ya, Bu. Minta tolong disampaikan ke teman-teman ya” ucap Viona lalu bangkit berdiri mengikuti Bu Sila berdiri.
“Tidak apa-apa, Bu Viona. Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Bu. Assalamu’alaikum” pamit Bu Sila menganggukkan kepalanya setelah cipika cipiki kembali.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Bu Sila” jawabnya. Setelah Bu Sila pergi, Viona kembali masuk ke dalam rumah.
“Nyonya, hari sudah sore, saya ijin pulang ke rumah ya. Terimakasih, nyonya” ucap mbok Jum menyodorkan tentengannya.
“Sama-sama, mbok” jawabnya.
Sore itu Kelvin pulang sendirian tidak bareng bersama Hans. Kelvin melajukan mobilnya ke komplek apartemen mewah. Mobil mewahnya itu memasuki pelataran sebuah rumah mewah. Yaitu rumah keluarga besar Atmodjoyo Diningrat. Kelvin memasuki rumahnya dengan jalannya yang elegan dan dingin meskipun disambut banyak pelayan rumah.
“Selamat datang, tuan muda!” sambut para pelayan serempak.
Bukannya menjawab namun justru diam membisu dan tetap berjalan.
“Dasar kau cucu yang nakal!” begitu memasuki rumah, Kelvin mendapat sambutan hangat berupa pukulan dari tongkat sang nenek.
“Aww. Nenek, sakit. Kenapa nenek memukulku? Pulang ke rumah bukannya mendapat sambutan special tapi malah mendapat ciuman tongkat kesayangan nenek” ujar Kelvin sambil menghindar dan terus menghindari ciuman tongkat neneknya.
“Ibu. Sudahlah. Ayo kita segera ke ruang makan. Makanannya akan menjadi dingin jika kita kelamaan menghajarnya. Ayo ku bantu ibu berjalan” ucap Nora, mamanya Kelvin.
“Memangnya aku sudah tidak bisa berjalan?!” ujar nenek Kelvin kesal terhadap cucu satu-satunya itu lalu menerima uluran tangan dari Nora kemudian berjalanlah mereka berdua beriringan.
“Begitu’kan lebih baik” gumam Kelvin yang masih terdengar di telinga nenek dan mamanya sambil terkekeh.
“Dasar kau cucu nakal. Kau susah diatur. Sudah tahu jika kedua orang tuamu itu ingin menjodohkanmu dengan Erika si perempuan manja itu. Meskipun beruntung mereka menundanya tapi kau sudah memberikan wajah yang buruk pada kami. Urusi saja urusanmu dengan mereka sendiri! Jangan kau meminta bantuan pada kami!” kesal nenek yang berbicara sambil sesekali menoleh ke belakang dan terus berjalan.
“Ibu, sudahlah. Nanti tensi ibu tinggi lagi. Biar Nora yang membereskan semuanya, Bu” ucap Nora pada ibunya sambil mengelus lengan ibunya yang ia gandeng.
“Kau ini selalu memanjakan anakmu ini” sahut nenek yang masih kesal.
“Nenek, benar mama. Kan yang menjodohkanku dengannya itu almarhum papa. Bukan kemauanku sendiri. Sudahlah, nek. Ayo kita makan dulu. Perutku sudah keroncongan seperti mau konser saja” Kelvin mengambil alih untuk menggandeng neneknya dan mendudukkan neneknya ke kursi kebesarannya yang sudah disiapkan oleh mamanya.
“Memangnya ada itu perut konser. Kau itu yang selalu konser dengan banyak wanita-wanita di luaran sana” sahut sang nenek yang tak mau kalah dari cucunya.
“Cucu nenek yang tampan ini tidak pernah membuat konser, nek. Mereka sendiri yang sudah membuatnya jika bertemu dengan Kelvin. Mereka terpesona dengan ketampanan cucu nenek ini. Ah begitu saja nenek tidak tahu” ujar Kelvin kemudian duduk di kursinya.
“Nenek selalu tahu apa yang kau lakukan di luaran sana. Jadi jangan berbuat macam-macam ya!” nenek mengingatkan kembali cucunya untuk tidak bermain wanita.
“Tidak, nek. Nenek tenang saja. Kelvin tidak akan melakukan itu. Bukankah Kelvin harus menjaga wibawa keluarga Atmodjoyo Diningrat?!” ucap Kelvin menggoda neneknya dengan kekehan kecil. Mamanya yang melihat dan mendengar perdebatan mereka berdua, hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum bahagia. Dia sangat bahagia melihat hubungan antara nenek juga cucunya.
“Selamat malam semuanya” terdengar suara bass khas laki-laki yang usianya hanya selisih beberapa tahun dengan Nora, datang menghampiri mereka yang hendak menyantap makanan mereka, Devan, paman Kelvin bersama anak kecil laki-laki yang tampan.
“Hai, tampan jagoan om nih sedang datang. Ayo kita makan bersama, Chio” sambut Kelvin pada Chio yang merupakan anak dari pamannya itu ramah. Devan selalu bersikap dingin semenjak istrinya meninggal karena sakit. Devan orang yang selalu irit bicara.
“Mari, om. Duduklah bersama kami” ajak Kelvin. Kemudian Devan mendudukkan Chio bersama mereka untuk ikut makan malam bersama. Kedatangan Devan adalah karena Chio minta ke rumah neneknya.
“Om Kelvin, Chio punya mainan baru loh. Ini!” ucap Chio polos dengan menunjukkan mainan barunya sebuah robot-robotan.
“Sayang, ayo makan dulu baru bermain!” sahut Devan pada putranya. Lalu Chiopun menurutinya.
“Baik, papa” jawab Chio lirih lalu meletakkan mainan robotnya.
Mereka berlima menikmati makan malam mereka dengan hening. Hanya dentangan sendok dan piring yang terdengar. Kelvin dalam keluarga besarnya adalah orang yang sangat humble. Di luar saja dia Nampak dingin dan bersahaja.
Setelah beberapa menit menikmati makan malam bersama, Kelvin dan Devan kembali ke apartemen masing-masing. Hingga Nampak kembali sepi di rumah mewah keluarga Atmodjoyo Diningrat. Hari yang sudah mulai larut itu menampakkan bulan penuh yang sangat indah. Kini Kelvin sedang dalam perjalanan ke apartemennya.
Setelah melalui beberapa belokan, Kelvin telah sampai di apartemennya yang masuk kawasan elit para pengusaha serta para pejabat. Mereka tak saling mengenal satu sama lain karena sebagian besar dari mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Ting
Bunyi lift apartemen dibuka. Nampak kaki jenjang berbalut celana hitam resmi itu melangkahkan kakinya menuju sebuah apartemen miliknya dengan beberapa kode digit angka pada pintu apartemen Kelvin. Setelah kode-kode itu cocok, pintu apartemen pun terbuka. Ketika memasuki area dalam apartemen, maka siapapun akan disuguhi desain interior yang begitu mewah dan menawan. Perpaduan cat antara putih dan krem itu membuat kesan elegan. Suasana yang sangat sunyi itu tiba-tiba mengingatkan Kelvin pada sosok wanita yang selalu mengajaknya untuk berdebat setelah pertemuan mereka dua kali dua hari berturut-turut yang selalu diawali dengan bertabrakan. Kelvin menyunggingkan senyuman tipisnya mengingat wanita itu.
“Huhh” helaan nafasnya ketika dia merobohkan tubuhnya ke atas sofa di dalam kamarnya. Kemudian dia melepas semua pakaiannya kecuali boxernya. Dia berjalan ke kamar mandi dan meluruhkan rasa lelahnya dengan guyuran air shower dalam kamar mandinya.
Keesokan paginya, Hans sudah menghampirinya dengan membawakan dua buah sandwich kesukaan Kelvin.
“Pagi sekali kau datang kemari ada hal penting apa?” ujar Kelvin yang tahu sahabatnya itu jika datang pagi buta pasti ada hal penting yang perlu dia sampaikan padanya.
“Semalam Tuan Mclye mengirimkan berkas-berkasnya lewat emailku. Lihatlah! Coba kau baca dulu” Hans melempar berkasnya ke atas meja yang ada di depannya itu. masih di ruang makan, Kelvin yang duduk di depannya itu, meraih berkas Tuan Mcley. Dibacanya sengan teliti. Dia menemukan kejanggalan dalam pengajuan proposal Tuan Mclye.
“Sepertinya proposalnya rancu. Bagaimana bisa perusahaan besar Tuan Mclye itu mengirimkan berkas seperti ini kepada kita?” ucap Kelvin yang masih memandangi berkas ditangannya itu.
“Kau benar. Semalam setelah aku pelajari, sudah menunjukkan bahwa perusahaan Tuan Mclye sedang mengalami kerugian atau kebangkrutan. Tapi dia lupa jika dia sudah membubuhkan keterangan itu. itu artinya dia akan menghapus nama brand kita dan mengakui brand pakaian kita bahwa produk pakaian itu adalah hasil karya mereka” sahut Hans.
“Periksalah! Aku tidak mau ada yang ditutup-tutupi. Aku hanya menwarkan kerjasama brand pakaianku dengan meminimalisir dana yang ada. Aku tidak mau kecolongan” ujar Kelvin geram yang merasa akan ditipu oleh perusahaan Tuan Mclye.
“Baik” jawab Hans lalu menyantap sandwichnya. Begitu pula Kelvin.
“Nanti kau pergilah dulu ke perusahaan. Aku ada perlu sebentar” ucap Kelvin pada sahabatnya itu yang masih asyik mengunyah makanannya itu.
“Mau kemana kamu?” tanya Hans dengan mulut penuh dengan makanan.
“Aku ingin pergi ke rumah sakit sebentar. Untuk mengecek ulang barang yang datang kemarin” jawabnya sambil menyantap makanannya yang diberikan oleh Hans.
“Emmmm” jawab Hans mengunyah makanannya.
Tuk
Kelvin bangkit dan memukul kepala Hans.
“Makan jangan banyak bicara” ucap Kelvin kemudian berlalu meninggalkan sahabatnya itu masuk ke dalam kamar.
“Dasar kau sahabat kurang ajar. Main pukul seenaknya” gumam Hans.
“Makan tidak boleh menggerutu!” seru Kelvin yang mendengar gerutuan Hans.
Sedangkan di tempat yang berbeda.
“Ayo, sayang, bangun sudah siang! Nanti kamu terlambat. Ayo ayo ayo!” seru Viona membangunkan Elbarak mengguncangkan tubuh Elbarak pelan hingga Elbarak terbangun menggeliat.
“Mama ini kan tanggal merah. Elbarak sekolahnya libur, mama” ucap Elbarak menggeliatkan tubuhnya lalu menutupi tubuhnya dengan selimut kembali. Dia tahu jika hari ini adalah hari libur.
“Meskipun libur, tapi kamu harus sholat dulu sayang. Baru kamu tidur lagi boleh. Ayo, kakak sudah menunggu kita di mushola kecil kita” ucapan lembut Viona dan kecupan hangat yang membuat siapapun yang mendapatkan itu akan merasa sangat nyaman dan menenangkan. Viona menyibakkan kembali selimut Elbarak. Ya, dalam rumah yang sederhana itu terdapat sebuah ruangan kecil yang mereka gunakan untuk beribadah sholat.
“Baiklah, mama” jawab Elbarak lalu terduduk dan berangsur turun dari ranjangnya dengan malas.
“Hebat anak mama” sahut Viona. Lalu tiba-tiba dia terdiam teringat almarhum suaminya.
“Kau bisa lihat itu kan pa?! Mereka kini sudah tumbuh besar. Kau pasti bangga dengan mereka. Mereka anak-anak yang patuh dan pengertian” gumamnya melamun. Kemudian dia bangkit dari ranjang putranya dan berjalan keluar menghampiri Shanum yang sudah menunggu untuk sholat berjamaah.
“Mana adik, ma?” tanya Shanum saat mendapati mamanya berjalan keluar kamar Elbarak sendirian.
“Masih di kamar mandi, sayang” jawab Viona tersenyum manis.
Tak berselang lama, terlihat Elbarak keluar kamar mengenakan sarung dan peci sangat lucu dan menggemaskan. Pecis yang miring dan sarung yang dipakai sekenanya itu membuat Shanum dan Viona tertawa gemas.
“Kau sangat lucu, dek. Sini kakak benerin dulu sarungnya” Shanum meraih tubuh adiknya untuk membenarkan sarung adiknya. Dia menjadi kakak yang baik untuk adiknya, Elbarak.
“Sudah, ayo” lanjut Shanum. Kemudian mereka bertiga sholat subuh berjamaah.
Setelah sholat subuh, Elbarak dan Shanum kembali ke kamar mereka masing-masing. Di hari liburnya ini, Viona ingin bersepeda pagi mengelilingi komplek perumahannya untuk melatih menggerakkan lutut kakinya. Sekarang kakinya sudah membaik berkat salep dari dokter. Setelah membereskan mukena dan sajadahnya, Viona bersiap untuk berolahraga pagi. Dengan menggunakan pakaian sportnya yang bisa terlihat seksi itu. Sepeda yang akan dia gunakan sudah dia siapkan. Melihat sepeda motor maticnya, dia teringat dengan pria arogan yang tidak ingin dia temui lagi. dia memandangi sepeda motor maticnya yang lecet dan pecah bagian body sampingnya. Sepeda motornya yang rusak itu belum sempat dia bawa ke bengkel. Rencananya hari ini dia akan membawa ke bengkel langganannya saja.
Viona mengunci rumah dan siap meluncur bersama sepeda kesayangannya. Sambil bersiul dia menikmati pemandangan yang dia lewati dan udara pagi yang masih bebas polusi kendaraan. Apalagi hari ini adalah hari libur. Dia akan menikmatinya sepuasnya.
Saat dia melamun asyik dengan perasaannya sendiri tiba-tiba sebuah sepeda motor sport menyenggolnya.
Brukkk
“Aaaahhh!” teriak Viona yang disenggol dari arah belakang itu. Sebuah sepeda motor itu berhenti dan memarkirkannya di pinggir jalan di tempat yang aman.
Masih menggunakan helm full facenya atau helm cakil itu, Kelvin menghampiri Viona yang terduduk di tanah menunduk mengelus kakinya yang terkilir akibat jatuh tersenggol atau terserempet motor sportnya Kelvin. Mereka masih belum menyadari jika mereka berdua sudah pernah bertemu dalam keadaan tabrakan dan berdebat.
“Kau tidak apa-apa, nona?” tanya Kelvin menghampiri Viona dan mensejajarkan tubuhnya dengan berjongkok.
“Kakiku terkilir. Bisa tidak anda mengemudi tidak menyerempet pengendara lain?!” Viona merasa kesal karena kakinya baru sembuh sudah terserempet lagi dan masih menundukkan kepalanya. Kelvin belum menyadari bahwa wanita di hadapannya kini adalah Viona, wanita yang ia tabrak dua kali itu karena Viona juga mengenakan helm sepedanya dan menggunakan kacamata hitamnya.
Saat Viona dan Kelvin melepas kacamata dan helm bersamaan baru mereka menyadarinya.
“Kau!” ucap mereka serempak.
“Kau menabrakku lagi?! Oh Tuhan kenapa bisa bertemu kau dalam keadaan menabrakku lagi? apa kau tidak puas jika belum menabrakku sampai babak belur ha?!” teriak Viona kesal.
“Hei! Kau yang jalannya itu meleng! Sungguh sial kenapa aku selalu bertemu denganmu lagi” seru Kelvin jengkel. Kini dia malah yang marah. Harusnya Viona yang marah-marah.
“Kenapa jadi kamu yang marah? Bukannya bantuin berdiri. Bantu aku berdiri!” seru Viona kesal menjulurkan tangan kanannya pada Kelvin. Kelvin yang melihat itu pun menyambut tangan Viona untuk membantunya berdiri. Namun, Viona yang kakinya terkilir itupun tiba-tiba ambruk jatuh lagi. Untunglah Kelvin menopangnya sehingga Viona tak terjatuh lagi. Dan terjadilah nyanyian cinta seperti yang ada di film-film Bollywood itu loh gaesss. Saling tatap-tatapan matanya atau beradu pandang gitu. Entah kenapa tiba-tiba hatinya berdesir dan perutnya geli. Tiba-tiba Kelvin merasakan ada yang berbeda dengan dirinya setelah saling menatap.
“Bisa jalan tidak? Begitu saja manja!” seru Kelvin memelototkan matanya setelah dia sadar.
"Hei! Matamu buta?” ketus Viona tak kalah sewot pada Kelvin.
“Menyusahkan saja!” gerutu Kelvin.
“Kau pasti sengaja kan?” lanjutnya lagi.
“Enak aja bilang aku sengaja. Kalau bukan karenamu, kakiku juga tidak sakit. Memangnya aku tahu kalau kamu akan lewat sini dan menyerempetku?! Aneh” ucap Viona kesal. Tanpa babibube, Kelvin menggendongnya dan meletakkan Viona pada boncengan sepeda motornya.
“Eh eh apa yang kau lakukan padaku? Ehhh sepedaku” teriak Viona tanpa digubris oleh Kelvin.
“Kau akan membawaku kemana? Jangan macam-macam kau!” lanjut Viona bingung karena dirinya kini sudah duduk di sepeda motor Kelvin, laki-laki yang beberapa hari terakhir ini sudah membuatnya kesal.
“Diamlah kalau kau tidak mau jatuh lagi!” teriak Kelvin memakai kembali helm full facenya lalu melajukan motornya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!