NovelToon NovelToon

Charm of the twins A (Pesona si kembar A)

Kabar duka

Bismillah.

...Hidup dan mati seorang tidak akan pernah ada yang tahu, kematian hanya milik Allah, begitupula kehidupan....

Di sebuah rumah mewah, tampak banyak orang yang sudah berkumpul, ada beberapa bendera kuning terlihat sudah dipasang di depan rumah mewah tersebut, ramai orang sudah berdatang untuk melihat sosok jenazah opa Amran.

Di masa hidup beliau terkenal sebagai seorang yang amat dermawan, taat menjalankan perintah Allah. Kaya tak membuat almarhum opa Amran sombong.

Banyak orang berlalu lalang datang untuk mendoakan jenazah. Kepergian seorang yang amat kita sayangi memang sangat menyakitkan, kadang juga atas kepergian mereka kita tidak bisa menerima kenyataan.

Tapi apa boleh buat, Allah subhana Wata 'Ala telah berfirman dalam al-quran surah Al-'Imran ayat 185.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman yang artinya:

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya."

(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 185)

Mati adalah sebuah takdir ketetapan yang tidak bisa diubah oleh siapapun, karena Allah lah yang Maha Menghidupkan dan Mematikan segala sesuatunya.

Di rumah mewah yang sedang berduka, para saudara berkumpul untuk mengiringi almarhum opa Amran ke tempat peristirhatan terakhir beliau.

"Nafisa kedua adikmu belum sampai?" tanya Jihan pada putrinya.

Gadis itu hanya menggelengkan kepala pelan, "Mungkin sebentar lagi bun." sahut adik bungsunya.

Jihan mengangguk, sedangkan oma Rifa dan Radit sedang menemui para pengelayat, untuk pembacaan yasin akan segera dimulai.

"Bunda menemui ayah dan oma kalian dulu." Ujar Jihan yang mendapatkan persetujuan kedua putrinya.

"Dek, coba telepon kedua abangmu dulu." Suruh Nafisa pada Zira.

Zira merupakan adik perempuan Nafisa, anak bungsu dari pasangan Jihan dan Radit.

"Iya mbak."

Zira segera menghubungi kedua abangnya, rasa gelisa masuk ke dalam hati Zira dan Nafisa, kedua abang Zira masih berada diluar, menyelesaikan tugas kamupus mereka di kota sebelah.

Dua abangnya juga belum tahu mengenai kabar duka yang menimpa keluarga mereka hari ini.

Tut...tut....tut....

"Ayo angkat bang!" ucap Zira merasa gelisa.

Beberapa kali Zira menghubungi nomor telepon bang Athar nya, tapi sambung telepon Zira tak kunjung ada yang mengangkat.

"Dek, coba hubungi bang Azlam saja, siapa tahu diangkat." Usul Nafisa, Zira mengangguk setuju.

Dengan segera Zira menghubungi bang Azlam nya, tidak butuh waktu lama sambungan telepon itu akhirnya tersambung.

"Assalamualaikum dek." Sapa orang dari seberang telepon.

Deg!

Zira tak langsung menjawab, mendengar suara abangnya saja, Zira sudah tak sanggup bicara, dia tahu berita kepergian opa Amran akan begitu menyesakan untuk kedua abangnya. Terutama bang Azlam.

"Halo dek." Sapa Azlam lagi dari seberang telepon, karena tidak mendapatkan jawaban dari adiknya.

"Dek kamu baik-baik aja kan?"

Rasa khawatir menghampiri Azlam, dia takut terjadi sesuatu pada adik bungsunya. Lagipula tak biasanya Zira menelepon dirinya, jika tidak ada hal penting

Nafisa melihat adiknya tak sanggup bicara, akhirnya mengambil alih telepon itu dari tangan Zira.

"Biar mbak Nafisa saja yang bicara." Ujar Nafisa lembut pada adiknya.

Zira mengangguk lemah, cairan bening kembali menetes dari pelupuk matanya, mata gadis itu sudah bengkak.

"Assalamuaikum Az." Sapa Nafisa pada adiknya.

"Waalaikusalam mbak, ada apa mbak?"

Azlam semakin meraasa khawatir saja, dia merasa ada hal buruk yang sudah menimpa keluarganya.

"Bismillah." Ucap Nafisa pelan sebelum dia berbicara pada adiknya.

"Dek kalian berdua pualng sekarang ya, mbak mohon, jangan tunggu apa-apa lagi, langsung pulang sekarang." Suruh Nafisa.

"Tapi mbak ka-"

"Mbak mohon dek, hiks...."

Tanpa Nafisa sadari dia mengeluarkan isak tangis.

"Mbak Nafisa kenapa nangis?" panik Azlam dari seberang telepon.

"Kamu dan Athar pulang sekarang ya dek, nanti kalian tahu sendiri mbak kenapa. Assalamuaikum."

"Waalaikumsalam." Sahut Azlam yang masih bingung.

Kenapa, dia dan saudara kembarnya disuruh pulang secara mendadak, padahal tugas mereka belum selesai.

Athar menepuk bahu saudara kembarnya, "Ada apa?"

Azlam menatap datar Athar, sambil dia menggelengkan kepalanya, tanda tidak tahu apa yang terjadi.

"Kita disuruh mbak pulang sekarang juga bang, tadi aku sempet dengar suara mbak nangis." Jelas Azlam.

"Kita pulang sekarang!" putus Athar tanpa basa-basi, Azlam mengangguk setuju.

Dikediam Amran suara lantuan ayat suci Al-quran sudah terdengar menggema diseluruh rumah tersebut.

"Mbak ayo kita ikut yasian." Ajak Zira pada mbaknya setelah mereka memberi kabar pada si kembar.

1 jam berlalu, akhirnya Azlam dan Athar sampai juga di kediaman keluarga Amran.

Deg!

"Inalilahiwainalilahirojiu'n." Ucap keduanya serempak.

Azlam danAthar saling melemparkan tatapan mereka satu sama lain, tanda keduanya sedang mencari jawaban dari sorot mata saudara kembar mereka.

Deg!

Jantung kedua orang itu terasa berhenti berdetak padahal tak tahu siapa yang sudah dipanggil lebih dulu oleh sang Ilahi air mata keduanya keluar tanpa permisi.

Mereka bertanya-tanya siapa yang meninggal dunia? Rasanya kaki mereka tidak bisa digerkan lagi. Radit tak sengaja melihat keduanya segera menghampiri Azlam dan Athar.

"Ayah siapa yang meninggal?" tanya Athar langsung saja.

Sayang sekali Radit tak bergeming dia tak sanggup bicara untuk mengatakan siapa yang pergi mendahului mereka semua.

Radit mengajak kedua putrnya masuk ke dalam, tanpa berkata sepatah kata pun.

Athar dan Azlam mengekori Radit masuk ke dalam, sampai di dalam semua orang tetap fokus, Jihan, Nafisa, Zira, kak Ayu dan oma Rifa menatap Athar dan Azlam sendu.

Deg!

Kini kedua saudara kembar itu tahu siapa yang sudah pergi meninggalkan mereka. Kedunya sama-sama terduduk lemas di dekat jenazah opa Amran.

"Opa!" ucap keduanya, suara mereka seperti tercekat di tenggorokan.

"Opa kenapa pergi meninggalkan Azlam secepat ini." Laki-laki yang selalu terlihat dingin itu, kini begitu rapuh.

Opa Amran merupakan sosok yang paling berperan penting untuk si kembar Athar dan Azlam.

"Opa kenapa? Kenapa begitu cepat pergi meninggalkan Athar."

Semua orang menatap sedu kedua laki-laki tampan yang baru saja datang termasuk oma Rifa, Jihan, Nafisa, kak Ayu dan Zira juga Radit.

Keduanya memeluk jenazah opa Amran begitu erat.

"Cucu-cucu oma tidak boleh bersedih begitu larut, tidak baik." Peringat oma Rifa.

Keduanya kini beralih memeluk oma Rifa, Athar maupun Azlam sadar, jika saat ini yang begitu terpukul atas kepergian opa Amran yang jelas oma Rifa dan kak Ayu. Ayah mereka juga tentunya.

"Oma." Ucap keduanya.

Setelah itu Athar dan Azlam ikut meyasini jenazah opa Amran. Tak lupa keduanya juga mensholati jenazah opa Amran begitu khusyuk.

Kak Ayu juga hadir disana, dia selalu ada disisi mamanya, Ayu begitu terpukul mengetahui kepergian sang papa yang menurutnya begitu cepat.

"Kita doakan yang terbaik untuk almarhum opa ya."

Athar dan Azlam mengangguk lemah. Semua orang mengiakan ucapan oma Rifa.

Lagi

Bismillah.

Pemakaman opa Amran berjalan dengan lancar tak lama setelah pemakaman selesai air hujan turun untuk membasahi bumi di kota J.

Semua keluarga Amran sudah berkumpul di kediaman Amran, acara pemakaman untuk opa Amran sudah terlaksankan. Masih terlihat wajah para duka yang ditinggalkan orang tercinta.

Mereka berkumpul di ruang tamu ada juga yang pergi ke kamar mereka masing-masing.

"Bang, kita tidak boleh terus bersedih, kita harus menghibur oma dan yang lainnya." Ucap Azlam sambil menatap lurus ke depan.

Hujan masih turun menguyur kota J, kedua suadara kembar berwajah tampan itu sedang menenangkan diri mereka di kamar Azlam.

Athar yang tengah duduk didekat jendela sambil menatap hujan kini beralih menatap adik kembarnya.

Dia pikir ada benarnya juga yang dikatakan oleh Azlam, mereka tak boleh terus bersedih, mereka harus bisa menerima semua takdir yang sudah terjadi.

"Kamu benar Az, tapi aku penasaran, kenapa opa bisa pergi secepat ini? Selama ini opa selalu terlihat baik-baik saja di hadapan kita." Sahut Athar.

Hal itulah yang sedari tadi mengganggu pikiran saudara kembar Azlam.

"Kita akan cari tahu nanti bang, aku yakin cepat atau lambat kita akan menemukan jawabannya, setidaknya kita juga bisa bertanya pada bunda atau yang lainnya.

Athar mengangguk setuju, rasa sedih tentu saja masih menghampiri seluruh keluarga besar Amran.

Termasuk pak Joni dan ibu Kasih, sebagai besan dari almarhum opa Amran.

Tok

Tok

Tok

Saat Athar dan Azlam sedang asyik menenangkan pikiran mereka, suara ketukan dari pintu kamar Azlam, membuat kedunya tersadar dari lamunan dan kembali ke dunia nyata setelah mengobrol sejenak tadi.

Jika Athar dan Azlam boleh jujur, kepergian opa Amran sangat membuat keduanya begitu terpukul dan kepergian opa Amran untuk selama-lamanya begitu cepat bagi mereka berdua.

Tapi rasa sedih itu harus bisa disembunyikan, karena ada orang-orang yang mereka sayangi, lebih terpukul atas kepergian opa Amran, dari pada mereka berdua.

"Bang Athar, bang Azlam aku boleh masuk?" ucap orang dari luar.

Pemilik suara itu masih menunggu jawaban dari sang pemilik kamar, tadi Zira sudah ke kamar abang Athar nya, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa disana.

"Masuk saja dek." Sahut Azlam, karena dia yang memiliki kamar.

Mendapatkan persetujuan dari sang pemilik kamar, Zira segera masuk.

"Bang." Ucapnya saat sudah berada di dalam.

Zira menatap kedua bangnya secara bergantian, netranya sudah berkaca-kaca.

Athar paling tidak bisa melihat adik bungusnya menangis, Athar segera bangkit dan menangkan Zira.

"Abang, hiks.....hiks....hiks...., Zira mau ketemu opa." Sedih Zira.

Zira menangis sejadi-jadinya dipelukan abang Athar nya, sesak sekali rasanya Athar dan Azlam melihat adik mereka begitu terpukul.

Azlam menepuk pundak adiknya pelan, "Yang sabar dek, kita tidak tahu takdir seorang." Kata Azlam.

Dia berusaha menenangkan adiknya, walaupun dia juga merasa hatinya begitu sesak, Zira hanya mampu mengangguk lemah.

"Tapi ini sangat cepat bang." Balas Zira.

"Jangan seperti ini dek, kasihan opa, beliau pasti tidak ingin melihat kita sedih." Athar pun ikut menenangkan Zira.

"Athar, Azlam, Zira, turun dulu dek, kak Ayu sama suaminya mau pulang."

Kepala Nafisa muncul dari balik pintu kamar Azlam, sebenarnya Nafisa sudah ada disana sedari tadi, tapi dia tak berani mengganggu adik-adiknya.

Ketiga orang itu menoleh ke pintu kamar Azlam, mereka hanya melihat kepala Nafisa saja, membuat ketiganya menyunging senyum.

'Syukurlah, setidaknya mereka masih bisa tersenyum.' Nafisa membalas senyum ketiga adiknya.

"Iya mbak." Sahut ketiganya kompak.

Keempat orang itu turu menuju lantai bawah menggunakan lift, semuanya diam membisu dari mereka tidak ada satupun yang ingin memulai pembicaraan termasuk Nafisa.

Masih bertanya-tanya di dalam kepala mereka semua kenapa suami kak Ayu mengajak kak Ayu pulang lebih cepat, padahal mereka masih berada dalam suasana duka. Lebih tepatnya lagi kak Ayu masih dalam kehilangan sosok yang begitu dia cintai. Cinta pertama kak Ayu sebelum bertemu suaminya bukan.

"Nggak bisa! Kenapa suami kak Ayu suruh pulang cepet! Kak Muklis tidak tahu perasaan kak Ayu atau bagaimana?" kesal Zira.

Di dalam lift bukan hanya Zira yang merasa kesal semua orang juga merasakan apa yang Zira rasakan. Hanya saja kekesalan Zira terhadap suami kak Ayu lebih mendominasi.

"Mbak kenapa sih kak Muklis suruh kak Ayu cepet-cepet pulang?"

Nafisa tersenyum pada adik bungsunya. "Kita dengar penjelasan suami kak Ayu di bawah ya."

Ting!

Pintu lift terbuka, di ruang tamu semua orang sudah berkumpul mereka berempat segera menghampiri semua orang yang berada di ruang tamu.

"Kak Ayu!" teriak Zira yang membuat semua orang menutup kuping mereka.

"Astagfirullah dek, jangan teriak-teriak!" tegur Athar.

Sayang sekali Zira tak mendengarkan ocehan Athar, dia bahkan langsung memeluk kak Ayu. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu, kak Ayu akan langsung menyampaikan niatnya, lebih tepatnya niat sang suami.

"Zira, Athar, Azlam kak Ayu pulang dulu ya." Pamit Ayu.

"Tapi kenapa cepat sekali kak? Bukankah kak Ayu masih bisa berada disini untuk beberapa hari kedepan?" ucap Athar sambil menatap tak suka suami kak Ayu.

"Athar jangan begitu nak." Tegur Jihan.

"Iya bunda Athar tau, tapikan kak Ayu tidak harus pegi secepat ini, opa baru saja pergi meninggalkan kita! sekarang suami kak Ayu mau bawa kak Ayu pulang egois!" emosi Athar.

"Aqlan Athar Amrullah! Jangan sopan santunmu! Ayah tidak pernah mengajarkan seperti itu." Tegur Radit.

"Mas." ucap Jihan sambil memegang tangan suaminya.

"Tapi apa yang dikatakan bang Athar benar ayah! Suami kak Ayu egois!" sahut Zira membela abangnya.

Sedangkan suami kak Ayu yang bernama Muklas hanya dia seribu bahasa.

"Zira Asyifa Amran! Kamu bisa jangan ucapanmu kan? yang sopan pada orang tua!" Sentak Radit.

"Mas istighfar." Peringat Jihan.

"Astagfirullah."

Athar dan Zira tidak lagi benari bersuara, keduanya masih ingi membantah ayah mereka, tapi tatapan Radit yang begitu tajam membuat mereka menduduk saja.

"Mama, mas Radit maaf jika saya sudah membuat kekacauan. Saya tahu keluarga ini masih berduka, begitu juga dengan saya atas kepergian mertua saya. Tapi saya mohon izinkan saya dan Ayu pulang, saya baru saja mendapatkan telepon dari ibu, kalau bapak jatuh sakit, sekarang beluai dilarikan ke rumah sakit." Jelas Muklas agar tidak ada kesalahan pahaman.

"Innalillahiwainnailaihirojiu'n." Ucap semua orang kompak.

Athar dan Zira menatap Muklis dengan perasaan bersalah mereka sudah mengira yang tidak-tidak.

"Maafkan kami kak Muklis." Ucap Athar yang diikuti oleh Zira.

"Tidak apa, saya maklum, mama, mas Radit mbak Jiha, semuanya izinkan kami pulang."

Semua orang mengangguk setuju, "Azlam, antar kak Ayu dan suaminya." Titah oma Rifa.

"Baik oma." Sahut Azlam patuh.

#Doa untuk opa

Bismillah

Masih berada di ruang tamu bernuansa moderen dengan waran cat tembok putih elegan tentunya di kediaman keluarga Amran.

Suasana di ruang tamu begitu hening, kak Ayu dan suami sudah pulang diantar Azlam.

Khmmm!

Keheningan di ruang tamu sedikit mencair kala Radit berdehem sebentar untuk mencairkan suasana.

"Ayah mau ke kamar bund." Ajak Radit pada Jihan.

Jihan yang paham maksud dari suaminya mengajak ke kamar. Jihan tahu Radit belum ingin bercerita pada Athar tentang kepergian opa Amran pada kedua putranya.

Ditambah lagi Azlam tidak ada diantara mereka, tau sendiri dia sedang mengantar kak Ayu dan suami.

Jadilah di ruang tamu itu hanya tinggal beberapa orang saja setelah kepergian Jihan dan suami dan beberapa orang lainnya, "Oma, ayo kita sholat isya berjamaah yuk." Ajak Nafisa.

"Ayo yang lainnya juga, biar Athar yang jadi imam." Ucap Nafisa lagi.

Tak lupa Nafisa menyungingkan sebuah senyum manis pada mereka semua, "Boleh juga ide mbak Nafisa." Sahut Zira.

Pada akhirnya mereka semua melaksanakan sholat isya berjamaah di musola yang ada di dalam kediaman keluarga Amran.

Semua orang sudah selesai mengambil air wudhu, mereka sudah berbaris rapih di dalam mushola, Athar juga sudah siap untuk menjadi imam.

"Allahu akbar." Ucap Athar sambil mengakat kedua tangannya, tanda takbiratul ihram sudah dimulai.

10 menit berlalu akhirnya sholat berjamaah isya sudah selesai dilaksanakan sangat khusyuk. Selesai membaca dzikir sesudah sholat mereka semua mendoakan yang terbaik untuk opa Amran.

"Ya Allah, Ya Rabb penguasa seluruh alam, Pencipta semesta yang ada di langit maupun di bumi, yang Maha mematikan dan Maha menghidupkan, tempatkanlah opa disisi terbaik Engaku." Doa Athar.

Tak terasa air mata mengalir dari pelupuk mata Athar, cairan bening itu mengalir begitu saja seakan mengikuti alur yang ada.

"Ya Ilahi Rabbi engkau lah Maha segala-galanya, tempatkanlah opa Amran di syurga Engaku ya Robb." Giliran Zira yang berdoa untuk opanya.

"Ya Allah, terimalah semua amal ibadah opa, lapangkahlah dada kami semua yang masih ingin bersama beliau, namun Engaku lebih menyayangi beliau." Doa Nafisa pun.

Oma Rifa juga turut mendokan suaminya yang sudah pergi meninggalkan oma Rifa lebih dulu.

Doa istri, anak dan cucu untuk opa Amran terus melangit dari mereka semua.

"Alhamdulillah." Ucap oma Rifa setelah selesai berdoa.

Sontak mereka semua merasa heran, apa yang membuat oma Rifa sampai mengucapkan hamdalah. Nafisa, Athar dan Zira ketiganya menghadap oma mereka, sambil memperlihatkan tatapan tanya.

Oma Rifa yang paham akan tatapan ketiga cucunya tersenyum, beliau membuka mulutnya akan bicara.

"Sini." Suruh oma Rifa.

Beliau menyuruh ketiga cucunya untuk lebih mendekat, tanpa diperintah untuk yang kedua kalinya, Nafisa dan kedua adiknya lebih mendekat pada oma Rifa.

"Alhamdulillah, oma merasa lebih lega setelah memanjatkan doa pada sang Maha Kuasa. Sekarang dengarkan oma baik-baik, Allah masih sayang sama kita."

"Diambilnya orang yang kita sayang, bukan berarti Allah tidak menyayangi kita, tapi karena Allah sayang pada kita." ucap oma Rifa sambil tersenyum.

"Tapi oma, bukan begitu Allah sudah memisahkan kita, dari orang yang kita sayang?"

"Kamu benar Zira, tapi ingat setiap yang bernyawa pasti akan mati, Allah telah berfirman bukan dalam surat Al-'Imran ayat 185."

Nafisa, Athar maupun Zira menatap takjub oma mereka. Wanit yang sudah memiliki 4 cucu dewasa kini begitu ikhlas atas setiap cobaan yang menimpa beliau. Zira begitu bangga bisa memiliki oma seperti oma Rifa yang selalu mengajarkan kebaikan pada mereka semua.

Athar menatap omanya, seperti ada sebuah pertanyaan yang ingin Athar ajukan pada sang oma yang memiliki hati begitu tegar.

Oma Rifa kembali menatap ketiga cucunya yang masih setia mendengarkan petuah dari beliau.

"Jadi tidak yang tak bernyawa akan hidup selamanya. Semua yang kita alami di dunia ini merupakan ujian dan cobaan untuk kita. Contohnya saja kita memiliki segalanya di dunia ini, sebenarnya kekayaan ini cobaan untuk kita. Begitu juga dengan orang miskin, lumpuh, cantik, tampan. Semua yang ada pada diri kita cobaan dan ujian untuk kita sendiri." Jelas oma Rifa.

Athar dan Zira terlihat sedang memutar otak mereka atas penjelasan yang diberikan oleh oma Rifa. Sementara Nafisa bisa memahami kata-kata omanya.

"Kenapa kaya disebut sebagai ujian oma? Bukankah orang kaya memiliki segalanya?"

"Pertanyaan bagus. Karena semua yang kita miliki ini hanya titipan dari Allah, kekayaan yang kita punya bukan milik kita, tapi miliki Allah."

"Allah sedang menguji kita, dengan kekayaan yang kita milik, apakah kita tetap bersyukur dan tetap mengingat Allah disaat bergelimang harta, apa kita juga bisa menjaga amanah ini dengan baik? orang kaya bisa jadi buta akan dunia dan uang, diotaknya hanya ada uang, uang dan uang, dia melupakan Allah, padahal semua hanya titipan, bukan begitu."

"Benar oma." Jawab ketiganya kompak.

"Lalu orang miskin oma?" tanya Zira.

"Begitu juga orang miskin, dia bisa bersyukur atau tidak atas kemiskinan yang menimpanya, karena sesungguhnya hidup kita di dunia, hanya sementara. Kaya ataupun miskin adalah cobaan yang harus kita lalui. Diakhirat kelak hisab orang miskin tidak akan terlalu berat."

Ingat akan kisah nabi Sulaiman As. Nabi Sulaiman adalah manusia terkaya yang pernah ada, bahkan bala tentaranya dari golongan jin dan manusia, tapi nabi Sulaiman tidak pernah sombong, nabi Sulaiman tetap taat pada perintah Allah.

Dan ingat juga pada kisah nabi Ayub As, nabi Ayu diuji oleh Allah dengan kemiskinan dan juga penyakit yang luar biasa oleh Allah, tapi beliau tetap bersabar, bahkan semkian bertaqwa pada Allah Swt.

Nafisa memeluk oma Rifa sayang, diikuti oleh kedua adiknya, "Kita semua sayang oma."

"Oma juga sayang cucu-cucu oma, terima kasih kalian selalu ada untuk oma."

Tanpa mereka sadari, ternyata oma Rifa meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya, secepat mungkin beliau menghapus air matanya. Beliau tidak ingin terlihat sedih di depan para cucu-cucunya.

Masih di rumah yang sama, di kamar Ayah dan bunda dari 4 putra dan putri yang luar biasa. Sepasang suami istri itu juga sedang memanjatkan doa untuk orang yang mereka sayangi sudah pergi lebih dulu dari dunia ini.

Ayah dan bunda dari 4 orang anak itu terlihat menguatkan satu sama lain, walaupun sudah ikhlas atas kepergian opa Amran, tapi tetap saja rasa kehilangan masih membekas pada mereka semua.

"Mas, kapan kita akan memberitahu semua ini pada Athar dan Azlam?" tanya Jihan hati-hati.

"Mas tidak tau dek, tapi mungkin tidak sekarang, mas masih belum sanggup untuk cerita pada kedua putra kita."

Jihan mengelus tangan suaminya, "Apapun keputusan mas, Jihan tetap ikut."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!