NovelToon NovelToon

My Sexy Bodyguard

BODYGUARD KE 50

UNIVERSITAS NEGERI.

Alika Tiffani Raendra menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan wajah cemberut. Ia kesal sekali karena pria itu terus mengekor langkahnya bahkan saat ia pergi  ke toilet sekalipun. Tidak terhitung sudah berapa banyak mahasiswa yang menertawakanya dan mengatainya 'anak mami' hanya karena dirinya selalu dibuntuti oleh sedikitnya tiga orang pengawal ke mana pun ia pergi.

Seperti pagi ini, sedikitnya ada dua mobil pengawal yang mengawal mobilnya dalam perjalanan dari rumah hingga ia tiba di kampus, dan setelah tiba di kampus sedikitnya ada empat orang pria bertubuh besar yang mengekor langkahnya ke sana dan kemari, membuat Tiffani kesal dan mengusir mereka semua. Namun, hanya tiga pengawal yang pergi, sementara masih ada seorang pengawal yang tetap di tempatnya bahkan setelah Tiffani bentak habis-habisan sekali pun.

Tiffani tersenyum sinis, ia tahu jika pengawal itu hanya sok-sok'an bertahan agar terlihat tangguh dan mendapatkan pujian dari ayahnya. Padahal jika ia membentak pengawal itu sekali lagi, pengawal itu pasti lari seperti pengawal-pengawal sebelumnya.

"Pergi sekarang juga atau  kutendang!" seru Tiffani, sambil melepaskan sepatu berhak tinggi yang terpasang di kaki indahnya.

Kesabarannya telah habis, karena pengawal itu terus mengikutinya hingga ke dalam toilet, membuat beberapa mahasiswi yang berada di dalam toilet menjerit dan berlarian keluar dari dalam toilet.

"Cepat pergi sekarang juga sebelum aku benar-benar menghajarmu dengan sepatuku!"

Sukses!

Hanya perlu bentakan kecil dari seorang Tiffani, pria itu pun melarikan diri, pergi secepat kilat dari hadapan Tiffani.

Tiffani berdecak sembari menggelengkan kepala melihat berapa lemahnya mental para pengawal yang ayahnya pilih untuknya, rambut panjang Tiffani yang berwarna kecokelatan dan ikal bergoyang indah saat ia melakukan gerakan itu. "Dasar sampah pengecut!" gumam Tiffani, lalu memasang sepatunya kembali sebelum melangkah menyusuri koridor yang dipenuhi mahasiswa.

Alika Tiffani, siapa yang tidak mengenal gadis itu. Selain cantik dan memiliki body goal yang membuat gadis lain menjadi iri, ia juga merupakan mahasiswi terkaya di Universitas tempatnya kuliah. Hampir semua acara yang diadakan di Universitas, selalu didanai oleh Ayah Tiffani--Richard Raendra.

Itulah sebabnya tidak ada yang berani bermain-main dengan Tiffani. Meski demikian, masih ada beberapa mahasiswa yang suka mengejeknya, terutama saat Tiffani dibuntuti oleh pengawal-pengawal yang bertampang menakutkan.

***

R TOWER ....

Richard Raendra adalah seorang pengusaha kaya raya yang dihormati oleh banyak orang. Tidak ada yang tidak mengenal siapa itu Richard Raendra, seorang duda pemilik gedung R Tower, gedung tertinggi dan termegah di kota Jakarta.

Selain kaya raya, Richard juga memiliki sifat dermawan yang suka membantu. Namun, di balik kebaikan dan ketenarannya, Richard memiliki sisi gelap yang tidak diketahui banyak orang, kecuali orang-orang yang juga memiliki peran di bagian-bagian hitamnya sebuah kehidupan.

Richard berperawakan tinggi dan besar, wajahnya tampan meskipun mulai terlihat garis-garis halus di wajahnya, tanda usianya yang sudah tidak muda lagi. Ia juga terlihat sangat berwibawa dan menakutkan. Ada kesan aneh pada diri seorang Richard yang membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi saat berhadapan dengan Richard.

Richard mendengkus kesal. Ia yang sejak tadi duduk di balik meja kerjanya di dalam ruangan kerja di kantornya kini bangkit berdiri dan menghampiri empat orang pria yang merupakan pengawal putrinya. Setelah tiba di depan para pengawal itu, Richard berkata, "Serius kalian tidak ada yang bisa bertahan di samping Tiffani. Kalian bahkan baru bekerja tidak lebih dari satu minggu."

Baru beberapa menit yang lalu keempat pengawal putrinya itu datang ke kantornya dan melapor tentang tingkah putrinya. Bukan hanya melapor, keempat pria itu mengundurkan diri sekaligus.

Seorang pria mengangguk dan menjawab pertanyaan Richard. "Maaf, Tuan, bukannya kami tidak mau, tapi Nona Tiffani selalu menolak kami. Saat menolak, nona akan mempermalukan kami di depan banyak orang. Tidak masalah sebenarnya, tapi saat nona mulai marah nona akan mulai mengamuk dan melakukan kekerasan pada kami. Nona sering sekali melempari kami dengan sepatunya di depan teman-temannya."

Richard mengerti bagaimana perasaan para pengawal itu. Toh, bukan kali ini saja pengawal Tiffany mengundurkan diri dengan alasan yang sama. Kebanyakan dari pengawal yang mengundurkan diri merasa harga dirinya terluka. Tubuh mereka besar dan bertato, wajah mereka bengis dan menakutkan, seharusnya mereka terlihat berwibawa dan menyeramkan saat berjalan di samping Tiffani yang cantik dan anggun, tetapi semua kesan menakutkan itu akan dihancurkan Tiffani dengan mudah, apalagi saat Tiffani mengancam mereka dengan sepatu yang melayang di depan banyak orang.

"Maafkan kami, Tuan, kami masih ingin bekerja dengan Anda, tapi tidak untuk mengawal Nona Tiffani," ujar seorang pengawal lagi.

Richard mengangguk. Meskipun memiliki pembawaan yang menakutkan, tetapi Richard memiliki hati yang baik. Ia tidak akan mengabaikan keluhan yang datang padanya. Apalagi jika keluhan itu menyangkut Tiffani.

"Baiklah. Aku tidak bisa memaksa jika kalian tidak ingin bekerja lagi. Aku akan mencari pengawal baru untuk putriku."

***

Sore hari yang sejuk, angin berembus dengan begitu lembut, menggerakkan dahan pohon tabebuya yang memiliki bunga berwarna-warni. Beberapa bunga berjatuhan di atas rumput hijau yang menghampar di halaman rumah keluarga Raendra.

Sebuah mobil memasuki halaman parkir, lalu sebuah mobil menyusul dan memilih untuk berhenti di bawah rindangnya pohon tabebuya.

Pintu mobil pertama terbuka, dan Richard keluar dari dalamnya. Kedua mata elangnya kemudian memandang mobil yang berhenti di luar area parkir--mobil Tiffani.

"Ayah!" seru Tiffani begitu keluar dari dalam mobil. Gadis itu langsung berlari menghampiri Richard dan memeluk tubuh Richard dengan begitu erat.

"Kamu merusak rumputnya, Tiffani," ujar Richard, sambil menepuk punggung putrinya.

Tiffani menjauh dari sang ayah, lalu menoleh ke belakang, di mana ia memarkirkan mobilnya secara asal-asalan. "Nanti juga akan tumbuh lagi."

Richard menggeleng sambil mencubit kedua pipi Tiffani. "Kamu memang suka merusak apa pun, Fan. Sore ini kamu merusak rumput, dan siang tadi kamu merusak harga diri pengawal yang bertugas untuk menjagamu."

Tiffani meringis. "Mereka mengadu?"

"Bukan hanya mengadu, mereka juga mengundurkan diri karena ulahmu itu."

Tiffani mengulum senyum. Ia bangga sekali karena kali ini ia lagi-lagi berhasil menyingkirkan pengawal yang terus membuntutinya.

"Kenapa mereka lemah sekali," ujar Tiffani dengan santainya. "Seharusnya sebagai seorang pengawal, mereka harus memiliki fisik dan mental yang kuat. Tidak mudah menyerah hanya karena aku sedang bad mood."

Richard menjewer telinga putrinya. "Mereka bukannya lemah, Fani, kalau mereka mau mudah bagi mereka untuk membalas perbuatanmu, tetapi mereka tidak mau, Nak. Dan, ya, ayah akan memcarikanmu pengawal yang bermental kuat, agar tidak mudah menyerah saat kamu mulai bad mood."

Tiffani melotot. "Ayah akan mencari pengawal lagi untukku?" pekik Tiffani. "Ah, Ayah, tidak usah. Aku tidak butuh pengawal. Lagi pula untuk apa pengawal kalau aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku benar-benar tidak butuh!" Tiffani menjauh dari Richard, lalu mulai berlari menuju bangunan utama.

Richard menatap punggung Tiffani yang menjauh. Ia menghela napas. "Kamu tidak tahu betapa berbahayanya di luar sana untukmu, Nak."

***

GUDANG PENYIMPANAN RAHASIA ....

Segala aktivitas seharusnya berhenti saat malam semakin beranjak naik. Kebanyakan manusia normal akan beristirahat, entah tertidur atau hanya sekadar berbaring di atas kasur yang empuk sambil bergelung di dalam selimut yang hangat. Namun, hal demikian tidak berlaku bagi para pekerja yang bekerja untuk Richard Raendra. Mereka memang bekerja di malam hari, saat semua orang sedang terlelap dan terbuai oleh sebuah mimpi indah yang palsu.

Beberapa kotak besar yang terbuat dari kayu dan beberapa bahkan terbuat dari baja diturunkan dari sebuah truk berukuran besar. Kotak-kotak itu kemudian dibawa menggunakan forklift menuju sebuah gudang penyimpanan, di mana terdapat ratusan kotak yang sama tersimpan di dalamnya.

Bruk!

Sebuah kotak jatuh dari forklift , dan isinya berhamburan di atas tanah berpaving.

"Rama! Bang_sat! Apa kamu tidak bisa berhati-hati, hah! Kalau sampai ada yang rusak maka habislah kita. Dasar bang_sat!" Robi berteriak, lalu menghampiri kotak yang terjatuh sambil terus mengumpat.

Rama yang bertugas untuk mengoperasikan forklift segera turun dari kendaraan pengangkut barang berat tersebut dan berlutut di samping kotak yang terjatuh.

"Lihat! Lihatlah. Kalau sampai senjata-senjata itu ada yang patah atau cacat, maka Tuan Richard akan membunuh kita!" Robi meneriaki Rama, sambil meninju kepala Rama dengan keras.

Rama emosi. Ia memang hanya seorang pekerja, tetapi ia tidak suka jika ada pekerja lain yang mengintimidasinya, apalagi sampai melakukan tindakan fisik padanya.

Rama bangkit berdiri, tubuhnya memang tidak sebesar Robi, wajahnya juga tidak bengis seperti Robi, tetapi ia memiliki keberanian yang melampaui keberanian Robi.

"Apa yang kamu lakukan barusan, hah? Siapa yang memberimu izin untuk meninju kepalaku?!" Rama meremas kerah pakaian Robi.

Robi mendorong Rama. "Aku bahkan tidak melakukannya dengan keras! Ingat, aku adalah bismu di sini. Aku bosmu sialan!" teriak Robi

"Tetap saja aku tidak suka!" Rama balas berteriak. "Aku tidak peduli dengan statusmu. Aku tidak suka bos macam dirimu!"

Perkelahian pun terjadi, menarik perhatian beberapa pekerja, tidak terkecuali Richard yang telah berdiri di dalam kegelapan sejak beberapa waktu lalu untuk mengawasi pekerjaan anak buahnya.

Setelah bergumul beberapa menit tanpa ada yang melerai, Robi keluar dari kerumunan dengan wajah yang berdarah. Sementara Rama tidak terluka sedikitpun.

"Robi, yang benar saja kamu kalah dari anak ingusan seperti Rama!" seru salah seorang pekerja sambil tertawa terbahak-bahak, dan pekerja lainnya ikut tertawa.

"Sialan kalian semua!" Robi berteriak sambil menendang kotak di depannya dengan kesal.

Sementara itu di kejauhan Richard bertanya pada asistennya yang sejak tadi berdiri di sebelahnya. "Cari tahu siapa pemuda itu," perintah Richard.

"Yang mana, Tuan, yang babak belur atau yang selamat?" tanya si asisten dengan ragu.

Richard berdecak. "Tentu saja yang selamat. Aku rasa aku menemukan bodyguard baru untuk putriku. Bodyguard ke 50 dalam tiga bulan terakhir."

Bersambung.

NONA MUDA

Pertemuan singkat yang terjadi antara Rama dan Richard mampu membuat Richard tertarik pada Rama. Bagaimana tidak, jika Rama adalah pria yang cekatan dan tidak banyak bicara, selain itu Rama juga memiliki harga diri yang tinggi dan mampu membela dirinya dengan baik saat mendapat tekanan.

Richard sebenarnya telah tiba beberapa menit sebelum truk kontainer yang membawa senjata api ilegal berhenti di halaman sebuah gudang penyimpanan. Seperti biasa, ia mengawasi pekerjaan anak buahnya dalam diam, sekaligus memastikan bahwa kiriman senjata api kali ini sesuai dengan pesanan. Ia melihat bagaimana cara Rama bekerja. Rama begitu fokus, tidak banyak mengobrol seperti rekannya yang lain. Bahkan Ramalah yang paling banyak menurunkan kotak-kotak kayu berisi senjata api dari dalam truk sementara rekan-rekannya sibuk membicarakan bokong menggoda seorang wanita bayaran di sebuah bar.

Pembawaan yang seperti itu bagi Richard sangat pas untuk mendampingi putrinya yang banyak bicara. Richard suka pria yang pendiam, dan begitu juga dengan putrinya. Selain itu wajah Richard sangat tampan, dengan bentuk tubuh yang proposional--tidak besar, tetapi tidak terlalu kurus juga--dan yang paling penting adalah, Rama jago bela diri bahkan tanpa senjata sekalipun.

Damar, asisten Richard melangkah menuju salah satu gudang penyimpanan senjata untuk mencari keberadaan Rama. Setelah menemukan Rama, Damar langsung menghampiri Rama.

"Selamat malam, Tuan yang tak terkalahkan," ujar Damar, pria berusia 28 tahun itu memang suka menggunakan istilah-istilah yang merepotkan dalam menyebut seseorang.

Rama yang sedang menyusun kotak-kotak kayu segera menoleh ke tempat Damar berdiri. "Aku?" tanyanya, terlihat bingung.

"Yup, Anda, karena di sini tidak ada siapa pun lagi." Damar membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.

Rama menegakkan tubuhnya dan memberi hormat pada Damar. Ia tahu jika Damar adalah asisten sang bos, karena beberapa kali ia melihat Damar mondar-mandir di sebelah Richard.

Damar mengibaskan tangan di hadapan Rama. "Jangan begitu. Aku bukan atasan di sini. Kita satu server, oke. Maksudku kita sama-sama seorang pekerja."

Rama mengangguk, meski begitu tetap saja ia membungkuk beberapa kali sebelum akhirnya bertanya pada Damar.

"Ada apa, Tuan?" tanya Rama.

Damar berdeham, kemudian menjawab pertanyaan Rama. "Tuan Richard memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang."

Rama menghela napas. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi, terutama jika ada yang mengadu bahwa ia baru saja menjatuhkan kotak kayu berisi senjata. "Apa Tuan memanggil saya karena saya telah menjatuhkan beberapa kotak tadi? Senjatanya tidak ada yang rusak, Tuan, saya sudah mengecek semuanya dan semuanya baik-baik saja."

Damar tersenyum. "Bukan. Tuan Richard tidak memanggilmu untuk membicarakan perihal senjata yang berserakan di atas tanah beberapa waktu lalu. Ada hak lain, dan ini lebih penting daripada sekadar senjata."

Rama memgerutkan dahi, ia bingung kenapa Richard memanggilnya jika bukan karena urusan senjata api.

"Ayolah, Tuan tidak bisa menunggu lebih lama." Damar meminta Rama untuk mengikutinya.

Rama segera menutup kotak-kotak kayu, dan langsung mengekor langkah Damar menuju salah satu bangunan yang paling mungil daripada semua bangunan yang ada di sana. Bangunan itu adalah bangunan yang dijadikan kantor oleh Richard Deandra.

***

Tok, tok, tok.

"Masuklah!" Richard berteriak dari dalam ruangan, begitu ia mendengar suara ketukan di pintu ruangannya.

Pintu berayun membuka, dan Damar muncul di baliknya bersama dengan Rama.

"Tuan, aku membawanya bersamaku," ujar Damar, lalu melirik ke Rama yang berdiri di belakangnya. "Majulah, jangan bersembunyi di belakangku," desis Damar pada Rama.

Rama mengangguk, kemudian segera maju beberapa langkah agar dirinya terlihat oleh Richard yang tengah duduk di balik meja kerjanya. "Tuan, saya Rama, ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Rama, sembari sedikit membungkukkan tubuhnya demi kesopanan, toh selain sebagai bosnya, Richard juga jauh lebih tua dari dirinya.

"Ya, ada yang aku inginkan darimu, dan hal ini lebih bersifat pribadi, tidak ada hubungannya dengan segala pekerjaan yang ada di sini," ujar Richard.

'Sial, apa dia menginginkanku? Apa dia seorang gay?!' Rama membatin dan mulai berpikir yang tidak-tidak.

"Apa itu, Tuan?" tanya Richard.

"Ikutlah denganku ke kota, dan tinggallah bersamaku. Aku tertarik padamu."

'****! Dia memang gay!' Rama mengeluh di dalam hati.

"Bagaimana?" tanya Richard, membuyarkan lamunan Rama dan pikiran-pikiran kotornya yang tidak berdasar.

"Tapi, Tuan, maafkan saya sebelumnya. Mungkin yang akan saya ucapkan ini sangat tidak sopan dan menyinggung Anda, tapi Anda harus tahu agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara kita. Saya ... saya normal, Tuan, saya bukanlah pemakan sesama jenis."

Hening.

Atmosfer di ruangan menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Rama tahu jika perkataannya barusan akan membuat sang bos mengamuk. Namun, ia salah. Bukannya mengamuk, Richard malah tertawa terbahak-bahak, begitu juga dengan Damar. Damar bahkan sampai berlutut dan tertawa terpingkal-pingkal di lantai ubin yang berdebu.

”Kamu lucu sekali," komentar Richard. "Ikutlah denganku, dan kamu akan tahu bahwa aku pun bukan pemakan sesama jenis. Aku memiliki putri, dan aku ingin kamu menjadi pengawal untuk putriku."

***

Tiffani menggeliat saat sinar matahari yang hangat masuk melalui jendela kamarnya yang tidak bertirai, dan sinar yang hangat itu langsung menimpa tubuhnya yang tidak tertutup oleh selimut.

Tiffani berdecak kesal, lalu menarik selimut yang ada di bawah kakinya untuk menutupi tubuhnya.

"Nona, bukan saatnya untuk kembali tidur." Suara seorang wanita yang sudah tidak asing di telinga Tiffani terdengar tegas melarang Tiffani untuk kembali tidur.

"Nona." Suara itu kembali terdengar, dan sangat mengganggu bagi Tiffani.

Tiffani mengeluh. "Ayolah, Pengasuh, aku masih mengantuk."

"Anda ada ujian hari ini, Nona, seharusnya Anda sudah bangun sejak sepuluh menit yang lalu. Saya bahkan sudah memberi toleransi sebelas menit untuk Anda," omel suara itu yang merupakan seorang pengasuh yang ditugaskan untuk merawat Tiffani dan membantu untuk memenuhi semua kebutuhan pribadi Tiffani.

Tiffani bangkit dari posisi berbaringnya, lalu menatap pengasuhnya dengan kesal. "Hanya lebih satu menit! Apa bagusnya?!"

"Itu lebih bagus daripada tidak sama sekali." Si pengasuh mengomel. "Ayolah, Tiffani, aku lelah harus terus berperan menjadi pengasuh yang sabar dan baik hati. Jika aku adalah ibumu, aku akan menyeretmu ke kamar mandi sekarang juga dan menyiram kepalamu dengan air dingin."

Mona Adelia, adalah seorang gadis yang seusia dengan Tiffani. Mona merupakan sahabat sekaligus pengasuh Tiffani yang ditugaskan untuk membantu Tiffani menyiapkan segala keperluan kuliah, pakaian, hingga peralatan mandi. Semua hal yang tidak bisa dilakukan oleh pengawal dan pelayan, maka Monalah yang melakukannya, karena Tiffani tidak suka jika ada pelayanan yang masuk ke kamarnya dan menyentuh semua barangnya.

"Ayo, cepat. Kalau kita terlambat, maka aku akan mengadu pada ayahmu." Mona menarik lengan Tiffani, dan menuntun Tiffani ke kamar mandi, hal yang sudah pasti tidak dapat dilakukan oleh puluhan pelayan yang ada di rumah itu. Mana ada pelayan yang berani menyentuh kulit mulus Tiffani.

Tiffani diam saja dan menuruti apa yang Mona perintahkan. Ia tidak mungkin berdebat dengan Mona dan menolak perintah Mona. Toh, sebagai sahabatnya Mona sudah sangat berjasa padanya.

"Oke, oke, aku mandi. Siapkan saja pakaian untukku, setelah itu kamu bisa sarapan duluan. Aku akan menyusul setelah selesai bersiap-siap," ujar Tiffani.

Mona mengangguk. "Jangan lupa sikat gigi dan pakai sabun yang benar, Tiffani."

Tiffani memutar bola matanya dengan malas. "Aku bukan anak kecil. Pergi sana!"

Brak!

Tiffani membanting pintu kamar mandi dengan keras.

Mona tertawa. Ia suka menggoda Tiffani. Tiffani memang terbiasa untuk dilayani. Kehidupan mewah yang Tiffani jalani membuat sang ayah rela membayar berapa pun agar sang putri hidup dengan nyaman, tetapi Tiffani sangat benci jika diperlakukan seperti anak kecil, apalagi jika harus diingatkan untuk rajin sikat gigi. Baginya, peringatan seperti itu hanya dah diberikan untuk anak yang berusia 5 tahun, bukan 20 tahun.

Setelah selesai berpakaian, Tiffani langsung keluar dari kamar dan turun menuju lantai bawah. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Mona duduk di salah satu anak tangga.

"Mon," sapa Tiffani.

Mona langsung bangkit berdiri, dan menoleh untuk menatap Tiffani. "Sudah selesai?"

Tiffani mengangguk. "Kenapa tidak sarapan duluan?"

"Mana bisa aku turun sendirian tanpa kamu Nanti ayahmu akan banyak bertanya di mana gerangan tuan putri, kenapa pelayannya turun sendirian."

Tiffani mencubit pinggang Mona. "Ayahku tidak sejahat itu."

Mona terkekeh. "Iya, aku tahu, aku hanya bercanda. Ayo." Mona menggenggam tangan Tiffani dan menuntun Tiffani menuruni anak tangga hingga mereka tiba di ruang makan.

Di ruang makan aroma lezat makanan langsung menguar, memenuhi rongga hidung siapa pun yang ada di sana dan membuat cacing-cacing yang kelaparan di dalam perut tuannya segera melompat kegirangan.

Sebuah meja besar berbentuk oval berada di tengah ruangan, dikelilingi dengan beberapa kursi bersandaran tinggi yang memiliki ukiran rumit pun mewah. Sementara itu di salah satu kursi telah duduk seorang pria berwajah tegas dan berkharisma, dan beberapa pengawal berjas hitam lengkap dengan senjata berdiri di setiap sudut ruangan.

Mungkin bagi yang baru pertama kali melihat pemandangan ini akan merasa aneh dan bertanya-tanya untuk apa menempatkan pengawal di dalam ruang makan lengkap dengan senjata?

Akan tetapi, hal itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena dulu sekali keluarga Richard Raendra pernah diserang saat sedang menyantap hidangan makan malam. Kejadian itu membuat Richard memperketat keamanan, baginya di mana pun ia dan putrinya berada tidak menutup kemungkinan sebuah serangan akan terjadi dan membuat putrinya berada di dalam bahaya.

Tiffani dan Mona melangkah menuju meja makan, dan dengan sigap seorang pengawal menghampiri keduanya.

Tiffani terkesima saat kedua matanya menangkap sosok rupawan itu. Ia tahu jika pengawal yang sedang berdiri di hadapannya sekarang ini pastilah pengawal baru, dan ia mulai bertanya-tanya apakah pengawal baru ini adalah miliknya, toh kemarin dia baru saja membuat empat pengawal mengundurkan diri secara bersamaan.

"Selamat makan," ujar Mona, sambil melepaskan tangannya dari lengan Tiffani.

Ketika tiba di ruang makan, Mona memang akan memisahkan diri dari Tiffani dan mengambil tempat di meja paling ujung, sementara Tiffani akan duduk berhadapan dengan Richard untuk menyantap sarapan.

Seharusnya saat Mona pergi, si pengawal baru harus menghampiri Tiffani, mempersilakan Tiffani untuk duduk di kursi yang telah pengawal siapkan sebelumnya. Namun, kali ini bukannya menghampiri Tiffani, si pengawal baru malah mengekor langkah Mona, dan menarikkan kursi untuk Mona duduki.

"Silakan, Nona," ujar pengawal baru itu yang tak lain dan tak bukan adalah Rama.

Melihat kejadian itu, Tiffani menjadi kesal, sementara Mona dan Richard menertawakan kesalahan yang Rama buat.

"Bukan aku nona muda di sini, Tuan, tapi dia." Mona menunjuk ke tempat Tiffani berdiri.

Rama meringis, ia merasa bodoh sekali karena tidak bisa membedakan yang mana nona muda.

"Ma-maaf," gumam Rama, kemudian melangkah menghampiri Tiffani. "Silakan, No--"

"Jangan ikuti aku!" bentak Tiffani. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Sebenarnya Tiffani tidak ingin bersikap demikian kepada pengawal barunya yang begitu tampan, tetapi ia tersinggung setengah mati. Bagaimana bisa pengawal itu tidak bisa membedakan yang mana nona muda di rumah ini. Menyebalkan sekali.

Bersambung.

BODYGUARD TAMPAN

Richard terkekeh melihat tingkah putri kesayangannya yang keras kepala dan tidak mudah bersahabat. Tidak heran jika dalam waktu tiga bulan saja Tiffani sudah memecat sebanyak 49 pengawal. Sekarang saja Tiffani terlihat tidak bersahabat pada Rama, padahal Rama terlihat lebih unggul dibanding pengawal-pengawal Tiffani lainnya. Selain tampan, Rama juga masih muda, bahkan Rama terlihat seusia dengan Tiffani.

Tiffani menghempas bokongnya dengan kasar di kursi, lalu mulai meraih selembar roti gandum, mengoles roti itu dengan mentega dan kemudian mengunyah roti itu dengan kasar.

Sambil menyantap sarapan, Tiffani mulai memikirkan bagaimana cara membalas kelancangan pengawal barunya. Setidaknya ia harus memberi pelajaran kepada pengawal yang telah menghinanya secara tidak langsung, entah itu sengaja ataupun tidak sengaja, dan akan lebih bagus lagi jika ia bisa memecat pengawal itu sekalian.

"Ayah, siapa dia?" tanya Tiffani, sambil mengedikkan kepala ke tempat Rama berdiri.

Richard yang sedang mengunyah sarapannya meminta Rama untuk memperkenalkan diri. "Rama, perkenalkan dirimu," titahnya.

Rama mengangguk, lalu maju mendekat ke Tiffani. "Perkenalkan, Nona, saya adalah pengawal baru Anda. Saya Rama," ujar Rama, sambil membungkuk ke Tiffani.

Tiffani memindai penampilan Rama dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bagi Tiffani pria bernama Rama itu terlalu sempurna untuk menjadi seorang pengawal. Wajah Rama begitu tampan dengan mata elang yang memiliki tatapan tajam dan memabukkan, bibirnya terlalu sensual, hidungnya terlalu mancung, alisnya begitu tebal dan memiliki bentuk yang sempurna. Tubuh Rama memang tidak sebesar para pengawal yang pernah bekerja untuk menjaganya, tetapi dengan bentuk tubuh seperti yang Rama miliki, Rama malah terlihat lebih seksi dan cocok untuk berada di sebelahnya.

Tiffani menggeleng, ia begitu terkejut dengan pikirannya sendiri yang menganggap Rama cocok untuk menjadi pengawalnya. Padahal memiliki pengawal adalah sesuatu yang sangat memuakkan baginya.

"Berapa usiamu?" tanya Tiffani.

Rama yang sejak tadi menunduk, sekarang mengangkat wajahnya dan menatap Tiffani. Ia terlihat berpikir keras, dan hal itu membuat Tiffani bingung.

"Kamu bahkan tidak ingat berapa usiamu? Wah, jika hal seperti itu saja membuatmu bingung, tidak heran jika barusan kamu salah mengira bahwa Mona adalah putri ayahku yang harus kamu jaga," komentar Tiffani. "Sudahlah, tidak usah dijawab. Aku tidak begitu tertarik."

Tiffani lalu mengalihkan pandangan, menatap Richard yang masih asyik menyantap sarapan. "Ayah, bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak butuh pengawal. Pengawal sangat membuat ribet ayah. Bayangkan saja jika aku selalu diikuti oleh tiga atau empat pria sekaligus setiap hari. Mona saja sudah cukup bagiku, aku tidak butuh pengawal."

Richard tersenyum dan membalas tatapan sang putri. "Kali ini ayah pastikan kamu tidak akan merasa tidak nyaman, Nak. Ayah sudah melihat bagaimana kemampuan bela diri Rama, dan itulah sebabnya ayah memilihnya untukmu. Kamu tidak akan diikuti oleh beberapa pengawal sekarang. Hanya Rama yang akan bertugas untuk menjagamu. Apakah itu adil?"

Tiffani kembali menatap Rama. "Dia jago berkelahi?"

Richard mengangguk. "Ya, dia jago menghajar seseorang. Mulai sekarang ayah akan merubah formasi saat kamu hendak bepergian. Tidak ada lagi mobil pengawal yang akan mengekor mobilmu, kamu tidak nyaman dengan hal itu, 'kan?"

Tiffani mengangguk.

"Mulai sekarang hanya ada satu mobil, dan kamu akan duduk di kursi belakang dengan Rama, sementara Mona di depan bersama dengan sopir. Dengan begitu jika terjadi apa-apa, Rama akan mudah menjangkaumu."

"Ayah terlalu berlebihan--"

"Tidak. Ayah hanya terlalu sayang padamu." Richard mengoreksi ucapan Tiffani.

Tiffani tahu jika sudah begitu ia tidak lagi bisa mendebat sang ayah. Tiffani hanya tersenyum simpul lalu melanjutkan makannya, sementara Rama kembali ke tempatnya semula, berdiri tidak jauh dari meja makan, menyaksikan sang tuan rumah menyantap sarapan sambil menahan desakan di dalam perutnya sendiri yang juga minta untuk diisi.

Setelah selesai sarapan Tiffani langsung bangkit berdiri dan mengecup pipi Richard. "Aku pergi, Ayah."

Richard mengangguk. "Hati-hati, dan jangan bicara pada orang asing--"

"Jangan pergi tanpa pengawal, jangan pergi ke mana pun tanpa Mona, jangan mudah percaya pada perkataan orang yang tidak dikenal, dan jangan lupa kabari ayah apa pun yang tejadi." Tiffani menyelesaikan ucapan sang ayah dengan cara menirukan gaya bicara sang ayah.

Richard tertawa.

"Ayah sudah mengucapkan hal itu sebanyak puluhan ribu kali. Aku sudah sangat bosan, Ayah."

Richard membelai rambut Tiffani yang sepanjang pinggang. "Ayah tidak pernah bosan mengatakannya, karena ayah khawatir dan juga menyayangimu, Nak."

Tiffani melunak, wajahnya yang sejak tadi terlihat kesal kini berubah ramah secepat datangnya kilat. Ia lalu memeluk Richard. "Aku juga sangat menyayangimu, Ayah."

Setelah beberapa saat, Tiffani melepas pelukannya dari Richard. "Baiklah, bye, Ayah." Tiffani melambai sambil melangkah keluar dari ruang makan. Mona dan Rama segera bangkit berdiri dan mengekor langkah Tiffani.

Baru beberapa langkah keluar dari ruang makan, Tiffani mendadak menghentikan langkah dan berbalik untuk menatap Rama. "Tasku!" serunya, sambil menunjuk ke ruang makan yang baru saja mereka tinggalkan.

Rama mengangguk, lalu segera berlari untuk mengambil tas Tiffani yang tertinggal di kursi makan.

***

Di dalam perjalanan menuju kampus, Mona terus mengobrol tentang ujian yang akan mereka laksanakan hari ini, sementara Tiffani membaca buku-buku yang ia bawa walaupun tidak ada satu pun kalimat yang ia mengerti.

"Oh, ya, apa kamu sudah sarapan?" tanya Mona pada Rama yang duduk di sebelah Tiffani, saat ia sudah bosan mengoceh tentang ujian yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Tiffani.

Rama terlihat terkejut karena Mona mendadak mengajaknya bicara. Ia kemudian menggeleng. "Belum, Nona."

Mona mengibaskan tangan. "Ish, panggil aku Mona saja, karena yang nona di sini hanya Tiffani." Mona kemudian mengeluarkan roti yang telah dioles dengan selain kacang dan memberikannya pada Rama.

"Untukku?" tanya Rama.

"Ya, untukmu. Aku sudah biasa membawa roti seperti ini di dalam tas, karena Tiffani sangat cepat menghabiskan sarapannya. Terkadang aku belum kenyang, tetapi sudah harus beranjak dari hadapan meja makan, karena Tiffani sudah selesai sarapan."

Rama meraih roti yang ditutupi berlapis-lapis tisu itu. "Terima kasih, Mona."

Mona merona, dan hal itu membuat Tiffani kesal.

"Makan yang kenyang, Rama," ujar Mona, dengan suara yang mendayu-dayu.

Tiffani yang melihat tingkah Mona menjadi semakin kesal. Namun, rasa kesalnya menyingkir sejenak saat Rama mengajaknya berbicara.

"Nona, apa aku boleh memakan ini?" tanya Rama, pada Tiffani.

Tiffani mengangguk. "Makanlah."

"Terima kasih."

Akan tetapi, baru saja Rama mengigit ujung roti yang ia pegang, Tiffani berteriak meminta mobil untuk berhenti.

"Stop, stop, stop!" seru Tiffani.

Mobil berhenti mendadak, membuat Roti yang dipegang Rama terjatuh.

"Ada apa, Nona," tanya Rama. Ia tidak terlihat kesal sama sekali, tetapi tidak terlihat khawatir juga pada Tiffani yang mendadak berteriak.

Tiffani menunjuk minimarket yang ada di seberang jalan. "Aku haus, belikan aku minum."

"Biar aku saja. Rama kan sedang makan," ujar Mona, menawarkan diri.

"Tidak usah, Mona, biar aku saja. Roti pemberianmu juga sudah jatuh, maaf. Sebenarnya masih bisa dimakan, tetapi sekarang tidak lagi karena sudah terinjak oleh sepatu Nona Tiffani."

Tiffani dan Mona menunduk bersamaan untuk melihat sepotong roti miliki Rama. Roti yang malang itu memang sudah terinjak oleh sepatu Tiffani.

"Fani," desis Mona, yang terlihat kesal. Ia tahu jika Tiffani pasti sengaja melakukannya.

"Tidak sengaja," ujar Tiffani dengan santainya, lalu segera menendang roti tersebut ke bawah tempat duduk Rama.

Rama yang melihat hal itu hanya bisa diam.

"Aku akan beli minum dulu," ujar Rama, lalu keluar dari dalam mobil.

Seketika puluhan keluhan keluar dari bibir Rama saat ia tidak lagi berada di sekitar Tiffani. "Dasar anak manja. Bisa-bisanya dia menginjak rotiku! Kalau haus, kenapa tidak bawa minum dari rumah. Menyebalkan sekali," omelnya.

***

Sebagai gadis yang memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggiurkan, Tiffani memang selalu mencuri perhatian di mana pun ia berada. Tidak terkecuali saat ia berada di kampus. Memang benar adanya jika tidak ada mahasiswa yang berani bermain-main dan menggoda Tiffani, tapi hal itu hanya berlaku pada kalangan mahasiswa yang berasal dari golongan kelas bawah. Tiffani sering menyebut mereka sebagai golongan kelas dua dan tiga. Sementara untuk golongan mahasiswa kelas satu yang memiliki status sosial sama seperti Tiffani, hal itu tidak berlaku sama sekali. Golongan mahasiswa itu tetap saja menggoda dan menggangu Tiffani.

Seperti pagi ini, baru saja Tiffani turun dari mobil, seorang mahasiswa menghampiri Tiffani dan menyentuh dagu Tiffani.

"Hai, Cantik," ujar mahasiswa yang bernama Brian tersebut.

Melihat tindakan Brian yang kurang ajar, Rama langsung menangkap tangan Brian dan memutarnya sedemikian rupa hingga Brian merintih kesakitan.

"Argh, argh, argh! Sial, lepaskan aku!" teriak Brian.

Akan tetapi, Rama tidak melepaskan tangan Brian, sampai Tiffani meliriknya dan memintanya melepas tangan Brian.

"Kamu tidak dengar apa katanya? Lepaskan dia!" bentak Tiffani.

Rama langsung melepas tangan Brian dari genggamannya.

"Siapa orang sialan ini, Tiffani? Apa dia tidak tahu siapa aku, hah?!" tanya Brian, sambil mendorong tubuh Rama.

"Ck, sudah, sudah, jangan terus mendorongnya." Mona melerai. "Dia bodyguard baru Tiffani. Om Richard sendiri yang memilihnya, jadi jangan macam-macam, Bri!" ujar Mona, menghalangi Brian yang terus mendorong Rama.

Tiffani yang terlihat bosan segera meninggalkan perkelahian kecil yang terjadi antara Mona, Rama, dan Brian.

Melihat Tiffani pergi menjauh, Rama langsung menyusul langkah Tiffani dan berjalan tepat di belakang Tiffani tanpa bersuara seperti yang seharusnya seorang pengawal lakukan.

Suasana koridor yang tadinya tenang mendadak menjadi riuh saat Tiffani lewat. Terdengar banyak bisik-bisik dan cekikikan yang menggaung.

Tiffani mengibaskan rambutnya ke belakang, ia melangkah penuh percaya diri dan merasa bangga karena kecantikannya yang sudah diakui membuat banyak orang terpesona. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa saja yang sekarang sedang terkagum-kagum memandangnya, tetapi dari kalangan mahasiswi juga.

"Mereka pasti terpesona pada penampilanku yang modi. Aku memang pandai memadupadakan pakaian," batin Tiffani.

Akan tetapi, beberapa saat kemudian Tiffani sadar jika bukan dirinya yang sedang dipandangi dengan penuh kekaguman oleh para mahasiswi saat ini, tetapi Ramalah yang sedang menarik perhatian puluhan mahasiswi di koridor.

"Hai, Tiffani, bodyguard barumu cute banget, sih. Boleh dong kenalin ke kita," teriak salah seorang teman Tiffani.

"Iya, Fan, siapa namanya?"

"Kalau kamu memecatnya, aku akan bilang pada ayahku kalau aku juga butuh bodyguard," ujar salah seorang lagi.

Detik berikutnya teman-teman Tiffani menjadi heboh, dan langsung mengerumuni Rama.

Rama yang tidak biasa dengan situasi seperti itu hanya bisa berdiri diam bagai patung. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali meskipun ada puluhan tangan yang terulur ke arahnya meminta untuk berkenalan.

Beruntung Mona datang tepat waktu, Mona menarik tangan Rama agar pria itu terbebas dari kerumunan.

"Kenapa kamu tidak pergi dari sini?" tanya Mona.

"Aku tidak bisa pergi, karena Nona tidak pergi." Rama menunjuk Tiffani yang ada di hadapannya.

Ya, Tiffani memang masih berdiri di sana, ia terlalu terkejut karena Rama semudah itu mendapat perhatian dari teman-temannya.

Mona mengibaskan tangan di depan wajah Tiffani yang melamun. "Ayo pergi dari sini sebelum Rama dimangsa oleh mereka," ujar Mona, kemudian menarik lengan Tiffani dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi ia menarik lengan Rama. "Sulit sekali memiliki bodyguard tampan!"

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!