NovelToon NovelToon

Risa bukan Zeline

Bab 1

Katanya di dunia ini ada tujuh orang dengan wajah serupa. Hal itu yang kini tengah dirasakan Risa kirana. Gadis berusia 25 tahun itu, bertemu dengan salah satu orang yang begitu mirip dengannya di sebuah pusat perbelanjaan.

"Kamu?" Risa mengernyitkan dahi saat orang itu tiba-tiba menariknya.

"Ikut gue!"

Dan Risa hanya bisa pasrah saat perempuan itu mengajaknya entah kemana. Perempuan itu terus menariknya dan masuk ke salah satu tempat makan di dalam pusat perbelanjaan, dia memilih kursi yang sepi lalu barulah melepas tangan Risa yang sedari tadi didalam tautan tangannya.

"Duduklah!" Ucapnya kemudian setelah dirinya juga mendaratkan tubuhnya di salah satu kursi yang ada di depannya.

Risa mencoba mencerna semuanya, dan dia tetap menuruti perintah perempuan itu.

"Siapa kamu?"

"Yang jelas bukan kembaran loe."

Risa mendengus kesal, perempuan itu yang menariknya tapi dia juga yang bersikap jutek pada Risa.

Perempuan itu tampak memindai tubuh Risa dari atas ke bawah, dari bawah ke atas membuat Risa merasa risih, perempuan itu seperti tengah merendahkannya, ya Risa tahu jelas, apa yang dipakainya sama sekali tidak bermerk, sedangkan perempuan di depannya… sedang sibuk dengan pikirannya tiba-tiba perempuan tadi kembali berkata.

"Gue Zeline."

"Aku tidak bertanya."

Perempuan itu tampak menghela nafas panjang saat mendengar ucapan Risa.

"Ada sesuatu yang perlu aku katakan," ucapnya lagi.

"Bukannya sedari tadi kamu sudah berbicara."

"Please dengarkan gue!"

Risa menatap perempuan itu yang tiba-tiba berbicara penuh iba.

"Hmm," jawab Risa dengan gumaman, lalu mengambil ponsel di tasnya yang berbunyi tanda ada pesan masuk.

"Gue minta kita tukeran."

Risa yang sedang mengetik sesuatu di layar ponselnya mengangkat wajah menatap perempuan yang bernama Zeline, tidak mengerti.

Zeline lagi-lagi menghela nafasnya, kali ini dia meraih tangan Risa yang kini ada di atas meja lalu menggenggamnya.

"Gue mohon sama lo, kita tukeran lo jadi gue dan gue jadi lo."

"Jangan ngaco, aku tidak bisa," Risa menarik tangannya dan segera bangkit dari kursi hendak berlalu pergi tapi Zeline menahan tangannya.

"Gue mohon, wajah kita sangat mirip, ya walaupun ada perbedaan, tapi bisa jika kita menutupi perbedaan itu," ucapnya dengan memelas.

"Aku tidak bisa."

"Please!"

Risa kemudian melepaskan tangan Zeline dari tangannya.

"Gue kesepian, gue tidak bisa keluar dengan bebas dan gue merasa tertekan, gue hanya ingin tahu bagaimana rasanya dunia luar. Gue ingin tahu rasanya punya teman, tapi gue tidak bisa, sampai akhirnya tadi gue melihat loe, gue ikutin lo terus untuk memastikan, dan setelah yakin jika loe memang mirip sama gue, gue tarik loe dan bawa loe kesini."

Langkah kaki Risa tiba-tiba berhenti, tidak tahu kenapa ada rasa perih di dadanya saat mendengar tiap kalimat yang Zeline ucapkan. 

Risa memutar badan dan menghadap Zeline yang kini menundukkan kepalanya.

Risa mengedarkan pandangan, untung tempat mereka duduk cukup jauh dari keramaian, mungkin karena terbilang, mereka disana bukan disaat jam makan yang sebenarnya. Risa kemudian menarik tangan Zeline dan memintanya duduk kembali.

Zeline hanya menurut sambil menghapus air matanya kasar.

"Orang tua gue tidak pernah di rumah, selalu sibuk dengan urusan mereka, abang gue sudah dua tahun ini juga tidak kembali setelah putus dengan kekasihnya, gue sendiri, hanya para pelayan yang menemani gue dan gue sangat kesepian, gue rasanya bisa mat…"

"Jangan ucapkan hal itu," potong Risa cepat.

"Gue ingin merasakan apa yang orang-orang rasakan, apa gue salah?" Tangis Zeline pecah dan Risa bukan orang yang tega apalagi jika melihatnya sudah menangis, seperti Zeline ini.

Risa segera bangun dan berdiri di samping Zeline duduk, membawanya ke dalam pelukan. Dan Zeline yang baru pertama kalinya mendapat pelukan seperti itu justru semakin terisak.

Dua tahun yang lalu, sebelum abangnya tahu bahwa kekasihnya mengkhianati, abangnya selalu ada di samping Zeline memanjakannya, semua apa yang Zeline inginkan selalu diberikannya, hanya bersama abangnya, walaupun abangnya sibuk bekerja, tapi dia selalu menyempatkan waktu untuk Zeline, hingga hari itu tiba, hari dimana abangnya tahu jika kekasihnya berselingkuh, abangnya jadi tidak banyak bicara lagi, auranya semakin dingin, membuat Zeline merasa takut di dekat abangnya sendiri. Ada lega juga kehilangan secara bersama Zelina rasakan. Lega karena dia tidak bersama abangnya yang punya aura menyeramkan, tapi juga merasa sedih dan kehilangan saat abangnya memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan meninggalkan Zeline seorang diri. Dan sejak itu, Zeline menjadi seorang siswi yang suka membolos dan berbuat ulah demi mendapatkan perhatian orang tuanya. Tapi apa yang Zeline pikirkan tidak sesuai dengan yang dibayangkan, kedua orang tua Zeline tetap tidak hadir saat mendapat panggilan dari sekolah dan yang hadir hanya seorang pelayan yang sudah cukup lama bekerja di mansion dari sebelum Zeline dilahirkan.

Zeline sedikit mengendurkan pelukan mereka kemudian mendongak menatap Risa. 

"Lo mau kan jadi gue? Hanya sebentar, setidaknya sampai gue lulus sma, hanya sekitar 7 bulan lagi," ucap Zeline menatap Risa dengan matanya yang sembab.

"Sma?"

"Iya. Lo mau kan, please! Loe gak usa khawatir karena loe hanya sendiri di rumah besar itu."

Risa melepaskan tangan Zeline yang masih melingkar di perutnya. Risa melangkah lalu duduk kembali di depan Zeline.

"Tidak semudah itu Ze, karena aku bekerja, dan aku bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan keluargaku di kampung," jawab Risa pelan. Iya bagi Risa itu tidak mudah, karena dia memang harus bekerja untuk keluarganya, Risa memang anak kedua, tapi kakak pertamanya sudah menikah dan punya kehidupan sendiri, sementara Risa, dia juga harus bekerja untuk biaya kuliah adiknya.

Zeline meraih tangan Risa, "Aku akan menggantikan elo bekerja," ucapnya mantap.

Risa menatap Zeline tak yakin, bukan karena Risa meremehkan Zeline, tapi dilihat dari penampilan Zeline yang sepertinya orang kaya, ditambah usia Zeline yang masih muda, apa Zeline bisa menggantikan dirinya bekerja, dan lagi jika Zeline pun bekerja berarti yang mendapat uang pun Zeline bukan dirinya. Risa benar-benar dibuat dilema oleh permintaan perempuan yang baru satu jam dikenalnya itu.

"Zeline bukannya tidak mau, mana bisa aku berpura-pura jadi anak sma, sedangkan usiaku sudah 25 tahun, rasanya tidak mungkin, aku tidak bisa."

Zeline menatap Risa kembali dari atas ke bawah.

"Seriusan? Tapi tidak terlihat loh jika loe, hmm maksudku kak…"

"Risa kirana panggil saja Risa," ucap Risa yang tahu jika Zeline bingung akan memanggilnya apa, karena dirinya tadi memang belum memperkenalkan diri.

"Dan panggil mbak saja jangan kakak," lanjutnya lagi.

"Serius mbak Risa 25 tahun? Tapi mbak Risa masih seperti anak sma loh," ucap Zeline tak percaya.

"Mana ada mbak bercanda, tapi Zeline intinya mbak gak bisa, maaf," setelah mengucapkan itu Risa kemudian bangkit dari duduknya dan segera pergi dari sana, niatnya yang tadi hendak menonton bersama temannya dibatalkannya begitu saja.

Bab 2

Seorang gadis yang duduk di mobil lagi-lagi menghela nafas berkali-kali membuat seorang pria paruh baya melirik dari spion di atasnya dan bertanya.

"Ada apa Non Zeline?" 

"Non Zeline?"

"Ah iya pak," Zeline tersentak kaget.

"Kenapa pak?"

"Tidak apa-apa Non, sudah sampai."

"Ah iya."

Zeline langsung saja turun, pandangannya begitu takjub melihat rumah megah di depannya.

"Non Zeline tidak masuk?" Sang sopir membuyarkan lamunan Zeline yang tengah menatap kagum rumah itu.

"Iya, ini mau masuk."

Zeline pun melangkah dengan gontai dia tidak tahu bagaimana menghadapi ini semua ke depannya.

"Non Zeline mau makan malam di kamar lagi?" Tanya seorang pelayan menghentikan langkah Zeline yang baru saja akan menaiki tangga.

Zeline terdiam cukup lama, menoleh dan menatap pelayan yang justru menunduk.

"Bibi sudah makan?" 

Pelayan itu spontan mengangkat kepalanya, tidak percaya dengan pertanyaan Zeline barusan. Zeline menghela nafas, karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, dia berbalik dan melangkah menuju dapur. Sedangkan pelayan tadi mengikuti di belakang Zeline. Menatap penuh iba, Nona nya yang sendiri di rumah sebesar ini, nona nya pasti merasa kesepian, bibi sangat tahu itu, karena dia lah yang paling lama bekerja di rumah keluarga itu dari zaman abang Zeline kecil. Sementara Zeline mengedarkan pandangan, membayangkan bagaimana kehidupannya selama ini disini. Zeline lagi-lagi menghela nafas, menarik salah satu kursi dan duduk disana.

Bibi kemudian dengan sigap mengambilkan makanan untuk nona nya.

Zeline mendongak menatap bibi yang kini menaruh piring berisi makanan di hadapannya.

"Bibi belum makan?"

Bibi sempat menghentikan gerakannya sebentar, lalu kembali melanjutkan apa yang dilakukannya tadi.

"Bi Rima!"

"Hmm belum Non."

Zeline menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Duduk Bi, temani Zeze makan! Zeze bosan makan sendirian terus," ucap Zeline yang mulai mengaduk-ngaduk makanannya.

"Bibi tidak mau menemani Zeze?" Tanya Zeline menatap Bi Rima yang masih berdiri di sampingnya.

"Tapi Non…"

Zeline meletakkan sendok dan garpunya, menoleh dan menatap Bi Rima.

"Jika bibi tidak mau, Zeze juga malas makan."

Tidak ingin Nona nya melakukan hal itu, mau tidak mau bibi pun ikut mengambil makanan.

"Jangan disitu bi, disini saja," pinta Zeline menepuk kursi sebelahnya, saat bibi justru akan duduk di lantai.

Bibi tidak bisa berkata-kata, wanita itu kini hanya menuruti saja permintaan Zeline. Selesai makan Zeline membawa piring bekas makannya dan hendak mencuci piring itu tapi segera saja di cegah oleh bibi.

"Biar bibi saja Non."

Zeline terdiam kemudian tersenyum.

"Ya sudah bi, kalau begitu Zeze ke kamar dulu, mau istirahat," pamit Zeline yang langsung melangkahkan kakinya pergi menuju kamarnya.

Kamar yang berada di sebelah kiri tangga adalah kamarnya, sementara di sampingnya adalah kamar abang Zeline yang sudah dua tahun ini tidak ditempati, Zeline benar-benar merasa kesepian, tinggal di rumah sebesar itu seorang diri.

Perlahan tangan itu membuka pintu yang ada di depannya. Lagi-lagi gadis itu merasa takjub, langkahnya bergerak mengitari kamar yang luas itu, pandangannya tertuju pada foto-foto yang ada di dinding maupun di meja. Ditatapnya foto itu satu persatu, kebanyakan foto hanya berisi Zeline sendiri, dan beberapa foto, ada foto Zeline dan Zhen abangnya. Sementara foto lengkap keluarga itu hanya ada satu, membuat gadis itu meringis mengingat bagaimana kesepiannya Zeline selama ini.

Langkah kakinya kini menuju ke arah ranjang, dijatuhkan tubuhnya di kasur empuk itu perlahan. Mencoba memejamkan matanya berharap bisa melalui hari-harinya mulai besok. Rasa kantuk yang tiba-tiba mendera membuat gadis itu akhirnya benar-benar terlelap.

*

*

Pagi-pagi sekali Zeline sudah bangun bahkan gadis itu sudah berpakaian seragam rapi, mengambil tas nya lalu melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju dapur. Di dapur wanita yang kemarin menyambutnya. Sepertinya wanita itu yang memang ditugaskan untuk mengurusnya. Zeline mendekat lalu menarik kursi dan duduk disana. Dan suara kursi yang ditarik membuat Bi Rima terkejut dan langsung menoleh, lebih terkejut lagi karena nona nya sudah duduk disana bahkan sudah tampak rapi.

"Kenapa bi?" Tanya Zeline yang melihat keterkejutan dari wajah paruh baya itu.

Bi Rima menggeleng, "Tidak apa-apa non," jawabnya. Walaupun sebenarnya dalam hati bingung, karena nona nya yang biasanya harus dibangunkan dulu, kini justru sudah bersiap untuk pergi. Tapi dalam hati Bi Rima merasa senang melihat perubahan baik itu, bi Rima segera menyiapkan sarapan untuk nona nya berupa sandwich yang berakhir dengan tatapan ragu.

"Bi," panggil Zeline teramat pelan.

"Iya Non."

Zeline menatap ragu wanita itu, tapi akhirnya berkata juga.

"Lain kali bisakah bibi menyiapkan makanan dengan nasi?"

Bibi yang mendengar itu, menatap nona nya tidak biasa. Nona nya itu tidak biasa makan pagi dengan makanan berat, tapi kali ini…

"Zeze mau jadi anak yang kuat, dan kuat itu butuh tenaga ekstra, jadi mulai saat ini, Zeze akan makan pagi dengan makanan berat," ucapnya pada bibi membuat wanita itu tersenyum dan langsung saja menyiapkan makanan permintaan Zeline.

Sementara itu, dalam hati Zeline merasa lega karena alasan itu terdengar masuk akal bagi bi Rima, dia tidak bisa membayangkan jika jam sepuluhan akan kelaparan karena hanya makan sandwich sepotong ini, bisa-bisa otaknya tidak bisa berkonsentrasi dan pelajaran hanya akan masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Sambil menunggu Bi Rima, Zeline mengambil ponsel dan memainkannya. Tapi gerakan jarinya terhenti, ada yang tiba-tiba membuatnya penasaran.

"Bi, abang sering menghubungi bibi?"

Gerak tangan wanita itu terhenti hanya sebentar, dan Zeline menyadari itu.

"Ti...tidak non," jawab bibi gugup.

Dan Zeline hanya mengangguk mengerti. 

Tak lama, nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya sudah tersaji, Zeline yang memang sudah lapar langsung menyantap makanan itu dengan lahap hingga tak tersisa sedikitpun, setelah itu barulah Zeline berpamitan untuk pergi ke sekolahnya, walaupun agak berdebar, tapi Zeline yakin bisa melakukannya.

Sopir yang biasa mengantar sudah menunggunya di halaman. Dan begitu melihat Zeline, pria paruh baya itu, langsung membukakan pintu, membiarkan Zeline untuk masuk.

"Terima kasih pak," ujar Zeline dengan senyumannya. Sopir itu hanya mengangguk, lalu berlari bagian kursi kemudi, masuk dan langsung menjalankannya.

Dan kini tibalah Zeline di sekolah yang elite, dan hanya anak orang-orang kaya saja yang bisa bersekolah disana. Zeline sengaja berangkat lebih awal, karena ingin berkeliling dulu, mengakrabkan diri dengan lingkungan itu. Sudah cukup lama Zeline berkeliling, hingga dua orang laki-laki berteriak memanggil namanya, berlari dan langsung merangkulnya.

"Ngapain disini? Kelas kita disana!" Ucapnya sambil menunjuk ruangannya yang berada di seberang ruangan yang saat ini Zeline injak.  

Zeline menatap keduanya bergantian, Zeline mengenalnya, tapi dia risih dirangkul seperti ini, tidak terbiasa.

"Lepas Van!" Ucap Zeline melepaskan tangan Evan dari bahunya. Evan dan Rio, dia adalah teman yang paling akrab dengan Zeline, dalam kata lain, Zeline hanya punya dua orang teman di sekolah ini, yaitu mereka berdua.

"Kenapa loe tumben-tumbenan, kesambet?" Kali ini Rio yang berucap, tidak biasanya Zeline seperti itu, biasanya Zeline santai saja jika dirinya maupun Evan merangkulnya.

Zeline hanya mengedikan kedua bahunya acuh, lalu melangkah lebih dulu meninggalkan Rio dan Evan yang saling pandang, kemudian sama-sama mengangkat kedua bahunya, dan berlari menyusul Zeline yang sudah lumayan jauh dari jangkauan mereka.

Bab 3

Rio mencolek-colek Zeline yang duduk di depannya. Tapi gadis itu tidak kunjung menoleh, membuat Rio yang greget dengan sikap sahabatnya hari ini mendorong bangku Zeline dengan kakinya.

"Kenapa sih Rio?" 

Rio justru mencengir tak bersalah.

"Kamu sudah mengerjakan PR belum? Kalau sudah aku mau nyalin jawabannya dong."

Evan yang sibuk dengan ponsel, meng pause sejenak game yang sedang dimainkannya, meletakkan ponsel, lalu menegakkan badan dan melipat kedua tangan di atas meja, menoleh menatap Rio yang duduk di sebelahnya bergantian dengan Zeline yang duduk di depan sebrangnya, tepatnya pas di depan Rio.

"Loe tidak salah bertanya sama Zeline? Mana pernah Zeline mengerjakan PR yang ada bentar lagi dia pasti ngajak kita cabut di detik-detik jam pelajaran akan dimulai," sahut Evan.

"Oh iya, ya," Rio dan Evan pun sama-sama tertawa.

Zeline yang mendengar itu, mencebikkan bibirnya kesal, separah itukah Zeline jika di sekolah? Itu dulu bukan? Sekarang dia akan benar-benar serius belajar, aksi protesnya agar mendapat perhatian akan merugikan Zeline sendiri dan dia bertekad akan merubah kebiasaan buruk Zeline selama ini.

"Ini!" Zeline tiba-tiba menyerahkan bukunya.

Mata Rio dan Evan melotot tak percaya. Keduanya bahkan berdiri dan kini berdiri di depan meja Zeline yang memang ada di paling depan.

Evan menempelkan punggung tangannya di kening Zeline. "Sepertinya loe benar-benar kerasukan."

"Tapi kerasukannya setan rajin," sahut Rio dan keduanya pun tertawa membuat Zeline kembali mencebik.

Zeline hendak merebut kembali bukunya, tapi Rio lebih kuat menahannya.

"Cepat salin, jika tidak gue bakal ambil lagi."

Rio dan Evan saling pandang, kemudian dengan segera kembali ke bangku masing-masing dan dengan cepat menyalin jawaban Zeline.

"Tapi Zel, kau yakin ini jawabannya benar," ucap Rio saat mengembalikan buku gadis itu.

Zeline mendengus, lalu berkata.

"Yang penting dikerjakan bukan," setelah mengatakan itu, Zeline mengambil bukunya dari tangan Rio, karena guru sudah masuk ke dalam kelas.

"Kumpulkan PR kemarin!" Ucapnya guru itu setelah sebelumnya saling menyapa dengan para murid.

Semua murid berdiri dan maju ke depan dengan membawa bukunya dan mengumpulkan di meja guru. Setelah dirasa sudah hampir semua mengumpulkan barulah Zeline diikuti Evan dan Rio di belakangnya maju ke depan. Rio mendorong Evan yang berjalan lambat, hingga Zeline yang berada di depan Evan ikut terdorong, Zeline memejamkan mata.

"Kenapa tidak sakit?" Gumam Zeline yang kemudian membuka sedikit matanya mengintip, jelas saja dia tidak sakit karena seseorang ternyata menahan dengan berdiri di depan Zeline dengan menghadap ke arahnya. Buru-buru Zeline menegakkan tubuhnya yang menempel pada tubuh pria itu.

"Maaf dan makasih," ucap Zeline dengan wajah yang memerah karena malu.

Pria itu justru meletakkan bukunya dan meninggalkan Zeline begitu saja yang kini membuka mulutnya tak percaya.

"Mingkem woy!" Ucap Evan dan Rio bersamaan menunduk agar bisa melihat wajah Zeline.

Zeline tersentak kaget, kemudian menatap keduanya bergantian.

"Ini semua gara-gara kalian," ujar Zeline meletakkan bukunya di atas meja guru, lalu dengan cepat berbalik dan kembali ke bangkunya. 

"Tumben kalian bertiga disini?" Ucap guru itu siapa lagi jika bukan ditujukan pada Evan, Rio dan Zeline yang biasanya lebih memilih membolos daripada mengikuti pelajaran guru itu.

Rio dan Evan hanya cengengesan tidak jelas, membuat guru itu hanya menghela nafas dan menyuruh mereka duduk.

"Buka buku halaman 51," ucap guru itu kepada para murid dan setelah itu, semua murid pun dengan seksama mendengarkan pelajaran yang guru itu sampaikan, termasuk Zeline, membuat Rio dan Evan benar-benar takjub pada makhluk yang kini merasuk ke dalam tubuh sahabatnya saat ini.

*

*

"Jadi gak ke rumah Rio main game?" Tanya Evan yang kini berdiri di samping Zeline duduk.

Jam pulang sekolah sudah lima menit yang lalu berbunyi, semua murid di kelas itu sudah hampir semuanya pulang dan tinggal empat orang yang ada disana, Zeline, Rio, Evan dan juga satu lagi yang memang biasa pulang paling terakhir.

Zeline yang sedang memasukkan bukunya berhenti sambil mengernyitkan dahi.

"Kenapa? Lo lupa? Kita sudah janjian dari minggu lalu gak jadi mulu."

Zeline menutup resleting tas nya membenarkan posisi duduknya lalu menatap Evan dengan wajah memelasnya.

"Sorry gue gak bisa."

"Kenapa?" Tanya Rio yang kini merangkul bahu Evan.

"Gak kenapa-kenapa? Hanya lagi mager aja malas kemana-mana plus ngapa-ngapain."

"Loe sakit?" Rio menempelkan punggung tangannya di kening Zeline, agak hangat memang.

"Ya sudah loe istirahat saja, mau kita antar?"

Zeline tampak menimbang, menolak mereka sebenarnya tidak enak, tapi Zeline juga tidak bisa berbuat apa-apa, dan setelah berpikir akhirnya gadis itu pun mengangguk mengiyakan.

Evan mengambil tas Zeline dan membawanya, sedang Rio membantu Zeline berdiri dan hendak menuntunnya tapi segera Zeline tolak secara halus.

"Gue bisa sendiri yo."

Rio mengangguk tak memaksa, pria itu kemudian mempersilahkan Zeline untuk berjalan lebih dulu.

Kini mereka bertiga sudah masuk ke dalam mobil Rio yang langsung dikemudikan oleh pria itu menuju rumah Zeline, tidak hanya sekali mereka kesana, sudah beberapa kali tak terhitung, karena mereka sudah berteman dari pertama masuk sma. Menurut Zeline berteman dengan anak laki-laki lebih enak dibandingkan anak perempuan yang sedikit-sedikit ada masalah jadi perdebatan bahkan kadang sampai ribut, ya walaupun banyak yang mengatakan jika tidak ada namanya teman antara anak laki-laki dan perempuan karena pasti salah satu diantaranya mungkin saja akan menyimpan rasa lebih.

"Mau mampir kemana dulu gak? Atau lo pengen apa, kita turun lalu beli dulu," ujar Evan yang duduk di kursi belakang.

Rio mengangguk, sepemikiran dengan Evan.

Zeline menggeleng, dia memang tidak ingin apapun, dia hanya ingin berbaring saja, tubuhnya merasa lelah, apalagi belakangan ini dia merasa kurang tidur karena kesibukannya.

Rio yang mengerti, langsung melajukan mobilnya ke rumah Zeline.

"Makasih ya Van, Yo, maaf kalian jadi gak bisa mampir, aku benar-benar ingin istirahat," ucap Zeline sebelum turun dari mobil.

Rio dan Evan kompak mengangguk, dan membiarkan Zeline turun. Walau sebenarnya dalam hati mereka merasa aneh dengan Zeline hari ini, menurut keduanya Zeline tidak seperti biasanya, mereka berdua bahkan saling memastikan jika mereka baru saja tidak salah mendengar.

Sedangkan Zeline yang sudah turun dari mobil melambaikan tangannya lalu berlalu masuk. Zeline langsung saja menaiki tangga menuju kamarnya, tidak tahu kenapa kepalanya mendadak pusing.

Setelah sampai di kamar Zeline langsung mengganti pakaiannya dan merebahkan diri di atas kasur empuknya, berharap setelah bangun tidur nanti tubuhnya akan kembali segar. Entah karena kantuk atau pusing yang dirasanya kini Zeline benar-benar sudah tertidur. Tidak tahu berapa lama dirinya terlelap, tapi tidurnya terusik saat seseorang tengah mengecup kening dan mengelus lembut rambutnya. Zeline mengerjapkan mata, dan perlahan membukanya.

"Abang!"

Mata gadis itu langsung terbelalak bahkan Zeline sampai bangun dan langsung duduk ketika melihat siapa orang yang saat ini duduk di pinggiran ranjang samping dirinya tidur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!