Isakan tangis seorang gadis di dalam kamarnya begitu baru saja memasuki kamarnya. Wajah pucat lantaran baru usai di rawat di rumah sakit membuatnya begitu lemah. Tiara Mustika namanya, kesedihannya begitu terasa kala tak sengaja ingin datang ke kamar sang ibu untuk bertanya pakaian obat yang harus ia minum. Namun, tak di duga perdebatan kedua orangtuanya membuat Tiara sangat syok sekali.
"Ini pasti ada jalan keluarnya, Bu. Sudah jangan menangis terus seperti ini. Kita masih bisa berobatkan Tiara kok. Kalau ibu terus menangis seperti ini Ayah juga tidak bisa tenang. Bagaimana kalau Tiara tahu akan penyakitnya? Sudah ibu harus tenang. Ayah juga tidak habis pikir kenapa kedua anak kita sama-sama memiliki penyakit yang begitu mengerikkan, bahkan Tiara jauh lebih mengerikkan dari Viona yang selama ini sangat sering mengeluh." Tiara membungkam mulutnya mendengar percakapan kedua orangtuanya.
"Ini pasti salah periksa, Ayah. Ibu tidak percaya Tiara menderita kanker. Ini pasti salah dokter memeriksanya." tutur Nada menggeleng menangis dan Danish pun membawa sang istri ke dalam pelukannya.
Keduanya sama-sama menangis sedih. Entah mengapa mereka begitu mendapatkan cobaan bertubi-tubi bahkan di saat masalah pertama tentang Viona belum usai kini Tiara pun sudah di vonis oleh dokter menderita kanker tumor di bagian tulang belakang. Hingga itulah alasan Tiara sering merasakan mual dan berjalan tidak begitu nyaman. Di rumah sakit ia mengalami drop beberapa hari. Dan saat ini sudah lumayan membaik, meski dokter meminta untuk tetap di rumah sakit, Tiara meminta pulang beberapa hari karena begitu bosan dan merasa tubuhnya membaik.
Tiara berbaring di tempat tidur berusaha mengehentikan tangisannya. Saat itu sang adik yang berusia 23 tahun datang ke kamarnya dengan wajah tersenyum cantik. Adik yang begitu manja pada Tiara. Tak heran semua menyayangi Viona sebab ia sedari kecil sudah menderita lemah jantung. Bolak balik rumah sakit bukan hal yang mengejutkan lagi bagi mereka. Namun, siapa sangka jika kali ini jutru Tiara lah yang mengalami hal yang jauh lebih mengerikkan dari sang adik.
"Kak, mata kakak merah dan bengkak. Kakak sedih? Ada apa?" tanya Viona duduk di sisi tempat tidur sang kakak.
Tiara tak kuasa menahan tangisnya mengingat usianya yang tak lagi lama. Selama ini ia merasa tubuhnya baik-baik saja meski terkadang sangat mudah lelah saat bekerja.
"Vi, kamu sehat terus yah? Kakak sayang banget sama kamu." ujarnya bangun dan memeluk sang adik begitu erat. Selama ini Tiara sangat takut setiap kali Viona tak sadarkan diri di rumah sakit berhari-hari.
"Aku selalu sehat dan panjang umur lah karena punya kakak sebaik Kak Tiara." seru Viona membalas pelukan sang kakak.
Tiara lama terdiam hingga tiba-tiba pikirannya tertuju pada satu hal. Dan membuatnya begitu penasaran saat ini. Keduanya menatap pintu kala terdengar suara ketukan di luar sana. Viona bangkit saat melihat sang ibu yang datang bersama dengan pria tampan bernama Axel.
"Sayang, kamu kenapa tidak memberiku kabar? Hah! Aku begitu khawatir, Ra." pria itu datang dan masuk ke dalam kamar mendengar dari Nada jika sang kekasih baru saja pulang dari rumah sakit.
Pasalnya Tiara tak ingin mengganggu pekerjaan Axel di luar negeri hanya karena sakitnya yang menurutnya tidak parah. Namun, kini Tiara tak lagi bisa berkata apa-apa ketika tahu penyakitnya yang sebenarnya. Kesedihan terasa semakin berat ia tahan melihat pria yang begitu mecintainya.
"Ini mawar kesukaan kamu." Axel meletakkan buket bunga mawar pink di meja samping tempat tidur Tiara.
Di tatapnya lekat wajah tampan yang kini di hadapannya. Nada pun mengajak Viona untuk keluar dari kamar sang kakak. Mereka sudah begitu precaya dengan Axel yang memang sangat baik dan sopan terlebih kamar Tiara tak di tutup pintunya.
"Aku mau memelukmu." ujar Tiara untuk pertama kalinya meminta hal itu dari Axel. Patuh meski dalam hati Axel merasa sangat aneh melihat mata sang kekasih yang berkaca-kaca saat ini dan meminta di peluk.
Keduanya pun berpelukan sangat erat. Bahkan Tiara sambil memejamkan mata memeluk tubuh sang kekasih. Suasana di dalam kamar mendadak hening saat itu hanya air mata Tiara yang berjatuhan. Ia akan meninggalkan semuanya dalam waktu yang tidak ia tahu, sungguh rasanya begitu sakit. Tiara akan meninggalkan keluarganya, meninggalkan karirnya dan meninggalkan Axel yang bahkan berniat menikahinya dalam waktu dekat.
"Hey, Ra. Ada apa? Kau menangis? It's okey aku sudah kembali dan akan menemanimu terus." ujar Axel sembari mengusap air mata sang kekasih yang tidak bisa di hentikan saat itu.
Lama Tiara menggenggam tangan Axel dan tersenyum. Ia ingin puas-puas melihat wajah tampan nan baik di depannya saat ini. Hingga akhirnya Viona datang membawakan segelas es sirup untuk Axel. Bahkan di rumah itu saja Axel sudah memiliki minuman khusus yang di sediakan Tiara untuknya setiap kali ia datang ke rumah sang kekasih.
Baru saja Viona hendak meninggalakan kamar, suara Tiara menghentikan langkahnya. "Vi, sini." panggil Tiara membuat Viona membalikkan tubuhnya kembali dan mendekat.
"Iya, Kak. Ada apa?" tanya Viona heran.
Tiara menatap Viona dan Axel secara bergantian. Ia tersenyum lebar meski dalam hati begitu pedih rasanya.
"Kalau di lihat-lihat kalian juga serasi yah? Padahal Axel jauh lebih tua." Tiara terkekeh namun tidak dengan Axel.
"Sayang, apa sih?" tegur pria itu pada Tiara.
"Hahaha mana serasi, Kak. Aku itu cocoknya denga pria yang masih berwajah baby face. Kalau Kak Axel mah sudah cocok punya anak dua." ejek Viona dengan kekehannya.
Baginya itu hanya ejekan untuk Axel yang selalu tegang sulit senyum. Tanpa Viona tahu dari kata sang kakak ada arti yang saat ini tengah di pikirkan oleh Tiara. Lama akhirnya Viona dan Tiara tertawa bersama melihat wajah kaku milik Axel.
"Hahaha...kakak yakin mau menghabiskan umur kakak dengan pria seperti Kak Axel? Pasti suasana rumah hanya kedengaran suara jangkrik aja nanti." ledek Viona lagi dan Tiara pun terkekeh melihat tampak sang kekasih yang hanya menunjukkan deheman kecil saja.
Akhirnya setelah menunggu Tiara terlelap karena obat, kini Axel keluar dan menutup pintu kamar sang kekasih. Di depan sana Nada sudah duduk bersama dengan sang suami yang memang menunggu kehadiran Axel. Ada perasaan aneh yang Axel rasakan ketika melihat raut wajah keduanya.
"Xel, ada yang ingin kami bicarakan. Apa Tiara sudah tidur?" tanya Danish kala mendengar pintu kamar sang anak di tutup Axel tadinya. Mereka semua berbicara di ruang tamu. Sementara Viona nampak melukis di ruang khusus miliknya.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu kini melukis wajahnya dan sang kakak yang saling berpelukan dan ada wajah tampan Axel yang tengah menatap tajam mereka dari arah lain. Sungguh begitu lucu di mata Viona saat ini.
"Sudah, Paman." sahut Axel pada akhirnya.
Kini Nada pun berbicara sesuai dengan perintah sang suami. Mereka bercerita bagaimana gejala yang di alami Tiara hingga akhirnya hasil pemeriksaan dari rumah sakit terlihat jika penyakit Tiara begitu mematikan. Sudah Nada dan Danish duga jika Axel akan tak percaya. Sama halnya dengan mereka juga yang sulit percaya dengan hal ini. Namun, gejala dan hasil memang sama seperti yang dokter katakan. Bahkan mereka pun juga berniat ingin membawa Tiara periksa ke rumah sakit lainnya.
Belum cukup seminggu berita mengejutkan menghampiri keluarga Danish, kini mereka harus di kejutkan lagi dengan keadaan Viona malam itu yang tiba-tiba terjatuh di kursi lukisnya. Tepat jam sembilan malam Tiara datang membawakan susu untuk sang adik seperti biasa. Tubuhnya yang lemas ia paksa untuk beraktifitas. Tiara tak ingin membuat kedua orangtuanya bersedih lagi. Meski besok adalah hari untuk ia berangkat keluar negeri satu keluarga demi memastikan kesehatan Viona kata Nada. Tanpa ia tahu jika Tiara mengetahui tujuan keberangakatan besok adalah untuk dirinya.
"Vi? Viona? Kakak bawa susu nih sama cemilan. Buka pintunya dong." teriak Tiara di depan pintu ruangan lukis sang adik. Kedua tangannya kesulitan jika harus membuka pintu dan bisa membuat bawaannya terjatuh semua. Namun, beberapa detik ia berdiri suara sang adik tak kunjung terdengar dari dalam. Bahkan pintu masih tetap tertutup tanpa ada pergerakan sama sekali.
"Ada apa, Ra? Kamu kenapa gerak sana sini sih? Ibu sudah bilang istirahat saja kan? Sudah cukup kamu kerja seharian itu bisa buat kamu lelah sekali, Nak." ujar Nada yang mendekati Tiara kala mendengar teriakan Tiara saat itu.
Tak ada kata yang Tiara ucapkan selain senyum saja. Ia tidak tahu harus marah atau sedih saat ini. Kedua orangtuanya bahkan tak berniat memberi tahu dirinya tentang penyakit menakutkan itu. Jujur Tiara sangat takut hingga setiap malamnya ia harus terbayang kepergiannya dari dunia ini. Tiara selalu merasa setiap malam akan menjadi waktu terakhirnya. Ingin sekali Tiara menangis memeluk sang ibu. Tapi ia sadar kedua orangtuanya akan sangat terluka merasakan ketakutannya. Selama ini sudah cukup Danish dan Nada ketakutan tiap kali melihat Viona drop.
"Sini ibu bantu buka." ujar Nada yang memilih membuka pintu dengan lebarnya.
Di detik berikutnya Tiara berlari panik menjatuhkan semua yang ada di tangannya.
"Viona! Vi, bangek dek. Viona! Ibu panggil ayah!" Tiara yang berteriak yang tak sadar membuat Nada sangat takut. Bukan hanya perihal Viona, namun darah yang mengalir di hidung Tiara membuat Nada tak sanggup bergerak.
Wanita itu justru mendekati Tiara dan memeluknya. "Ibu, apa yang ibu lakukan? Viona pingsan, Bu?" teriak Tiara yang panik sekali melihat sang adik sudah terbaring di lantai dekat kursinya. Lantai itu tampak berantakan dengan cat yang terjatuh dari meja.
"Ayah, tolong Viona!" Nada hanya berteriak sembari memeluk erat tubuh Tiara.
"Ibu antar kamu ke kamar. Viona akan di tangani ayahmu. Ayo, Tiara." Tiara menggelengkan kepala mendengar ucapan sang ibu. Ia harus ikut ke rumah sakit memastikan sang adik baik-baik saja.
"Tidak, Bu. Viona harus kita jaga. Ayah!" ujar Tiara berteriak lagi.
***
Selesai dengan perdebatan panjang, kini mereka semua akhirnya ke rumah sakit. Meski Nada melarang Tiara untuk ikut. Ia tetap berkeras ikut ke rumah sakit. Dan sejak malam itu sampai kini sudah tiga hari lamanya, Viona tak kunjung sadarkan diri. Ia masih kritis di rumah sakit. Rasanya pikiran Danish dan juga Nada campur aduk memikirkan kedua anaknya. Apakah mereka akan kehilangan dua anak mereka sekaligus di waktu yang bersamaan? Tiba-tiba muncul pikiran buruk itu di kepala Nada. Wanita itu menangis memeluk sang suami. Hanya Danish kekuataannya saat ini untuk bersandar.
"Kita pasti kuat, Sayang. Kita bisa melewati ini semua." ujar Danish memeluk sang istri.
Siang itu mereka berdua duduk di ruang Viona, setidaknya Tiara akan aman di jemput oleh Axel sepulang kerja. Ingin melarang Tiara kerja, namun mereka kenal sekali dengan anak pertamanya yang begitu keras kepala. Tiara sangat pekerja keras sejak sekolah. Sekali pun terlahir dari keluarga berada, tak serta merta membuatnya bermalasan.
Tak ada yang tahu, Tiara di sini telah berjuang memberikan jantung pada sang adik.
"Nona Tiara, apa sudah memikirkan hal ini baik-baik?" tanya sang dokter yang membuat Tiara mengangguk yakin.
Semua pemeriksaan telah selesai secara diam-diam di lakukan Tiara beberapa hari ini. Dan inilah saat yang tepat ketika Tiara sudah merasakan tubuhnya semakin lemas dan darah yang semakin sering keluar dari hidung, bahkan gusinya.
"Saya yakin, Dok." Tiara tersenyum membayangkan seseorang yang begitu ia cintai akan bahagia dengan orang yang ia pilihkan juga.
Ruang operasi pun menyala tanda sang dokter sudah memulai semuanya. Tiara masih nampak tersenyum hingga semua selesai beberapa jam berikutnya.
***
"Tidak!! Tiara!" teriakan terdengar bersahut-sahutan kala sang dokter menyampaikan hal yang paling tak di sangka oleh Nada dan Danish.
"Tidak, dokter. Tiara tidak mungkin pergi." Nada berlari ke ruangan di mana jenazah sang anak sudah tertutup oleh kain putih.
Dokter hanya memberikan beberapa berkas yang berhasil di urus Tiara selama ini. Bahkan ada surat yang sudah Tiara selipkan di dalam sana. Dan berita mengejutkan itu juga membuat Axel menggeleng tak percaya. Sepanjang jalan dari kantor pria itu terus memukul stir mobilnya ketika keadaan mobil sangat laju melintas di jalan raya.
Air matannya jatuh menetes mendengar kabar dari Danish yang baru mendengar hal itu dari dokter. Dadanya rasanya ingin berhenti mendengar ucapan Danih di telepon.
"Xel, kemari lah. Di rumah sakit sekarang.Tiara sudah tidak ada." itulah kata yang sempat membuat Axel terdiam mematung dengan ponsel yang jatuh.
Axel terus mengumpat sepanjang jalan, sesekali ia menggeleng sesekali pula ia tertawa. Namun, air matanya tak bisa berbohong. Ia benar-benar terluka dengan berita ini. Acara kejutan untuk sang kekasih bahkan sudah ia siapkan di tanggal anniversary mereka dua hari lagi sekali gus untuk melamar.
"Apa-paan ini, Ra? Kau bercanda denganku." ujar Axel. Hingga beberapa menit kemudian pria itu sampai di rumah sakit. Axel memarkirkan mobil sembarang tempat, ia berlari menuju ruangan di mana Danish memberi tahu tadi.
Di dalam ruang jenazah dimana Nada sudah menangis memeluk sang anak, sementara Danis mengusap bahu sang istri. Danish juga ikut menangis melihat keadaan sang anak yang sudah begitu pucat. Tiara yang selama ini segar ternyata menutupi wajahnya dengan polesan make up tanpa mereka ketahui. Dan satu orang yang Tiara tidak ingin sedih melihat wajahnya, yaitu Viona sang adik.
"Ra, ini nggak lucu. Bangun, Ra. Bangun, Sayang. Tiara bangun!" Axel mengguncang tubuh sang kekasih. Di angkatnya kepala Tiara dan di peluknya begitu erat. Axel benar-benar sulit percaya gadis yang ia peluk sudah tak bernyawa lagi.
"Tiara!!!" teriaknya saat itu juga Axel banjir dengan air mata. Ia mengeratkan pelukannya demi melampiaskan kesedihan pada Tiara. Rasanya begitu pilu melihat Axel kehilangan wanita masa depannya.
Hanya Viona yang tidak tahu hal ini. Hanya Viona yang terbaring tanpa melihat kepergian sang kakak. Belum usai Axel menyudahi kesedihannya, kini Danish memberikannya sebuah surat. Axel menatap pria di depannya saat ini.
"Ini, dari Tiara di berikan dokter." ujar Danish menggerakkan tangan yang menggenggam surat itu dan Axel pun mengambil dengan satu tangan.
“Sayang, aku pergi. Aku pergi bukan karena tidak mencintaimu. Aku pergi karena aku tahu waktu ini pasti akan ku dapatkan dalam waktu dekat. Aku tahu kalian semua ingin aku sembuh. Tapi itu hal yang tidak mungkin. Axel aku sungguh mencintaimu. Tapi cinta kita sampai kapan pun tidak bisa bersatu. Maafkan aku yang tidak meminta izin darimu. Aku titip Viona yah? Dia adikku, adik yang paling aku cintai. Jaga dia seperti kau menjagaku selama ini. Viona lebih memiliki kemungkina bertahan ketika aku memberikan jantungku padanya. Aku minta nikahi dia demi aku, Sayang. Aku sangat percaya Viona akan bahagia di tangan pria sepertimu. Andai aku memiliki waktu lebih lama hidup, tentu akulah wanita yang paling bahagia memiliki pria sepertimu. Sayang, Viona berhak melanjutkan hidupnya yang sudah lama terenggut penyakit. Sedang aku sudah puas melewati masa hidupku selama ini. Aku mohon jaga adikku, jangan beritahu dia tentang kepergianku sampai kalian benar-benar bahagia dan memiliki anak. Aku mohon, Axel. Nikahi Viona. Aku sangat mencintaimu lebih dari apa pun, maafkan aku yah?”
Axel terduduk di lantai dengan derai air mata yang begitu membasahi wajahnya. Surat yang di tulis Tiara entah kapan, membuat Axel tak bisa berkata apa pun lagi. Hanya getaran di pundak pria itu yang menandakan jika dirinya benar-benar bersedih.
Semua begitu kehilangan Tiara, kini Axel hanya menatap sang kekasih dari arah ia terduduk. Tak ada apa pun lagi yang bisa mengembalikan Tiara jika bisa ia lakukan.
“Tega kamu, Ra. Tega kamu lempar aku begitu saja untuk Viona yang bahkan tidak sama sekali aku mencintainya. Oke baik. Kamu menginginkan ini semua kan?” gumam Axel yang sangat marah dengan keadaan.
Nada mau pun Danish menangis melihat Axel yang kembali memeluk kepala Tiara. Kesedihan mereka benar-benar terdengar jelas di ruangan jenazah itu.
Sementara di ruang operasi dokter dan perawat sudah membawa Viona masuk ke ruangan. Bahkan segala berkas sudah siap.
Hari itu juga pemakan di langsungkan tanpa adanya Viona. Entah apa jadinya ketika gadis itu tahu jika sang kakak sudah tiada saat ini.
“Tiara! Kenapa seperti ini akhir hubungan kita?” Axel kini memeluk erat nisan Tiara yang sudah tertancap kokoh di tanah yang menggunung itu.
Axel dan kedua orang tua Tiara sama-sama kehilangan saat ini. Kepergian yang tak di duga bagai mimpi buruk bagi mereka. Diam-diam Tiara sudah menyusun semuanya demi sang adik.
“Bagaimana dengan pesan Tiara, Xel? Ibu dan Ayah tidak akan memaksa mu. Itu bukan hal yang mudah untuk di lakukan. Tapi, ada baiknya kamu pikirkan dulu permintaan Tiara. Ibu benar-benar tidak menyangka jalannya jadi seperti ini. Seharusnya Tiara tidak menyerah. Seharusnya Tiara tidak memikirkan Viona saja.” Nada kembali menangis mengingat semuanya.
Bukan karena tidak sayang dengan Viona, namun mereka berdua adalah anaknya. Mereka berdua bisa berjuang bersama. Bukan menyerah dan mengutamakan sang adik seperti ini. Ingin sekali Nada marah, namun ia tidak tahu harus marah pada siapa.
“Kenapa, Ayah? Kenapa hidup kita sesakit ini? Ibu tidak kuat lagi.” Danish memelik erat tubuh sang istri dan ikut menjatuhkan air mata.
Ia juga sebagai seorang ayah tentu sangat sakit menerima kenyataan yang ada. Bahkan semua miliknya rela ia berikan pada sang anak dan keluarganya, tetapi sayang semua itu tidak bisa mengganti kepergian Tiara dan penyakit Viona.
Mereka semua pun akhirnya pulang menuju rumah masih-masing setelah pemakaman selesai. Keberadaan Viona di rumah sakit sampai terlupakan saat ini. Nada sangat sedih ia ingin mengistirahatkan pikirannya di kamar.
“Ayah ke rumah sakit dulu. Ibu istirahat yah? Ayah hanya sebentar kok. Lagi pula ada perawat yang menjaga Viona.” tutur Danish mengusap lembut kepala sang istri lalu menciumnya.
Nada sama sekali tak bersuara, seolah tenaganya sudah habis terkuras saat ini. Ia hanya ingin berbaring dan menangis. Semua masih terasa tidak nyata baginya. Baru saja Tiara bersama mereka pagi tadi, hari ini ia sudah tak ada bersama mereka.
“Tiara…kenapa kamu memilih jalan seperti ini, Nak? Kamu pergi tanpa memeluk ibu dan ayah. Kamu pergi tanpa memberikan waktu ibu lama-lama denganmu. Kamu pergi setelah kesibukanmu di kantor, Sayang.” Nada kembali menangis pilu memandangi foto sang anak.
Sulit rasanya menerima semua kenyataan ini.
Sedangkan di rumahnya, Axel hanya duduk diam di sisi tempat tidur. Matanya menatap kosong ke depan jendela. Pikirannya berputar pada isi pesan Tiara yang memintanya menikahi Viona. Axel memejamkan mata berusaha menenangkan diri. Hatinya masih terlalu sakit untuk segera mengisi orang asing di hidupnya.
Yah, bagi Axel Viona adalah orang asing. Sikap Axel yang serius dan kaku membuat hubungan dengan calon adik ipar terasa begitu jauh. Hanya Viona saja yang sering menggoda pria tersebut dengan mengatakan wajah tua dan kaku.
“Argh!!!” Axel teriak marah sembari mengacak rambutnya kesal.
Apakah mungkin dirinya bisa menikahi wanita yang sama sekali tidak ia cintai? Bagaimana bisa Axel menikahi gadis yang membuat sang kekasih menyerahkan nyawanya begitu cepat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!