NovelToon NovelToon

Something Between Us

Hazeline

Di sebuah ruang di lantai dua, ruang kaca dengan tirai putih yang melambai lembut bersama hembusan angin, seorang wanita berusia 28 tahun tengah melukis dengan wajah berseri. Sesuai dengan suasana hatinya, wanita itu melukis sebuah taman bunga yang pernah ia lihat di internet. Taman yang sangat ingin ia kunjungi.

Mungkin dia tidak akan pernah bisa pergi ke taman bunga itu, hingga yang bisa ia lakukan hanyalah melukis dan memajangnya di dinding untuk ia lihat setiap hari. Dinding yang sudah hampir penuh dengan semua lukisan Hazeline.

Ya, Hazeline. Wanita bermata coklat dengan rambut sepinggang yang ia biarkan tergerai dan bergerak dibelakang punggungnya.

Hazeline menghentikan aktifitasnya saat mendengar pintu diketuk. Lambat ia menjawab sebab ia sedang tidak ingin diganggu, sebenarnya. Namun ia tahu, di rumah ini, satu-satunya yang berkuasa adalah Immanuel Benzi. Dan saat ini yang mengetuk pintu adalah ketua pelayan di rumah mewah ini. Atau bisa disebut.. pengawas neraka yang tugasnya selalu memberi titah dari Manu untuk Hazeline kerjakan.

Pintu terbuka dan benar, Robert, pria paruh baya itu masuk sembari membawa sebuah benda yang sangat Hazeline benci. Daftar makanan yang harus ia masak.

Hazeline meletakkan kuas. Dengan sengaja ia hembuskan napas kuat-kuat. Makanan apa lagi yang Manu ingin dia masakkan?

"Permisi, Nyonya. Ini makanan yang Tuan inginkan besok untuk sarapan dan makan malamnya."

"Makan malam?" Tanyanya ulang. Karena biasanya Manu hanya menyuruhnya masak untuk sarapan pagi.

"Benar, Nyonya. Tuan menyuruh anda memasak makan malam untuknya."

Hazeline menerima daftar menu itu. Ia tatap dengan malas. Ah, masakan Jepang lagi.

"Baiklah. Terima kasih." Ucap Hazel, ingin pria tua itu segera pergi dari hadapannya.

"Satu lagi, Nyonya."

Hazeline menghela napas kesal. "Apa lagi?"

"Tuan sudah menyiapkan dress untuk Nyonya pakai makan malam besok."

"Hah?"

Pria tua itu menunduk, kemudian pergi. Sementara Hazeline masih menganga. Kenapa pakai dress segala? Wanita itu jadi takut. Makan malam bersama Manu? Sungguh, ini mimpi buruk kedua setelah yang pertama, menikah dengan monster itu.

...💐...

Dengan perlahan Hazeline meletakkan hasil masakannya di depan Manu yang sudah menunggu dengan wajah datar. Hazeline menuangkannya ke piring Manu dengan hati-hati. Jika terkena percikan kuahnya sedikit saja, Manu bisa mengamuk.

Hazeline mundur beberapa langkah, membiarkan Manu mencicipinya. Wanita itu mengenggam ujung dressnya, takut hal yang biasa akan terjadi lagi. Dan benar..

Piring itu Manu campakkan hingga pecah ke lantai. Hazeline hanya menghela napas. Sudah kesekian kali Manu melakukan ini padanya. Manu selalu menyuruhnya memasak walau ia hanya memakan sesuap kemudian memecahkan piringnya.

Manu berdiri, membenarkan posisi dasinya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi diikuti beberapa orang yang sejak tadi berdiri dibelakangnya.

Hazeline berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca dengan hati yang merintih. Perlakuan Manu padanya selalu kasar. Pria itu juga tidak berbicara pada Hazeline jika bukan hal penting.

Seseorang ikut berjongkok, membantu Hazeline mengumpulkan serpihan kaca.

"Seperti biasa, melempar piring setelah satu suapan. Kenapa dia memintaku memasak setiap hari jika masakanku tidak sesuai di lidahnya?" Ucap Hazeline dengan suara bergetar karena menahan tangisnya.

Lelaki itu menyerahkan sapu tangan kepada Hazeline, sampai Hazeline mendongak dan menghentikan aktifitasnya.

"Tidak ada gunanya menangisi hal yang sama setiap hari. Itu tidak akan mengubah apapun." Ucapnya dengan lembut terdengar di telinga.

Hazeline menatap mata lelaki itu. Dia teramat baik, selalu saja membantu Hazeline setelah Manu membuatnya kesusahan.

"Kuharap kau bisa lebih kuat, Nyonya." Sambungnya lagi kemudian berdiri setelah Zeline menerima sapu tangannya.

Zeline masih mematung melihat punggung itu menjauh. Pandangannya menunduk, sapu tangan hitam kini ada di tangannya. Ini sapu tangan ke enam yang Hazeline pegang, ada berapa milik lelaki itu sebenarnya?

Dia Nathan, sekertaris yang menjadi tangan kanan Manu. Sebenarnya wajah Nathan sama dinginnya dengan Manu. Lelaki itu juga punya sifat yang kejam jika tuannya diusik. Namun tak sekejam Manu, Nathan terkadang menunjukkan sikap selembut sutranya pada Hazeline disaat perempuan itu tersiksa oleh Manu.

Nathan yang selalu ada disaat Hazeline terpuruk karena perlakuan kasar Manu membuat seorang Zeline pun perlahan mengaguminya, walau Zeline tahu bahwa lelaki itu melakukannya karena ia kasihan terhadap istri Manu itu.

"Nyonya, biar kami saja."

Dua orang pembantu rumah tangga dengan segera membersihkannya. Sejak tadi mereka menahan diri sampai Manu dan Nathan benar-benar pergi.

"Apa kau sudah mencoba masakanku, Bi?" Tanya Hazeline pada perempuan paruh baya yang ikut berjongkok di depannya.

"Sudah, Nyonya. Masakan Nyonya enak seperti biasa."

Zeline menghela napas. Ada dua puluh lima pekerja di rumah itu. Dia sudah menyuruh semuanya mencicipi masakannya dan semua bilang masakan Hazeline sangat enak. Tentu itu membuat Hazeline semakin gila menghadapi sikap Manu. Dia tidak paham makanan apa yang diinginkan Manu, masakan seperti apa yang ia mau. Jika memang masakannya tidak sedap, kenapa Manu terus memerintahkannya untuk masak?

"Terima kasih sudah membantu, Bi. Aku masuk dulu."

Hazeline pun berdiri dan melangkah masuk kembali ke ruang melukisnya. Jika wanita itu mendapat perlakuan buruk dari Manu, dia memang selalu ke ruangan itu untuk menenangkan perasaannya.

Hazeline menghempaskan tubuhnya keatas sofa. Pandangannya mengarah pada satu lukisan yang tertutup kain putih di sudut ruang. Sebuah lukisan yang belum ia selesaikan selama dua bulan terakhir.

Hazeline sudah tidak berniat melanjutkannya. Dia juga bingung, kenapa ia tergerak melukis tubuh Manu sejak malam itu. Malam dimana Manu pertama kali menyentuhnya. Malam pertama mereka melakukannya, malam pertama kali Hazeline merasakan kelembutan yang Manu berikan padanya.

Namun Hazeline menghentikan itu lantaran Manu kembali bersikap arogan dan kasar padanya. Kemana Manu yang lembut itu? Padahal Hazeline sempat terpikat dengan suara dan perlakuan Manu. Hanya malam itu saja.

Di hari selanjutnya, Manu tak lagi melakukannya dengan lembut. Terkadang Hazeline sampai harus menutup semua bekas yang Manu berikan di lehernya. Sampai pernah Hazeline hanya terbaring di kamar karena ulah Manu yang bengis. Sejak itu, Hazeline tidak menaruh hati sedikitpun pada Manu. Laki-laki yang menjadi cinta pertamanya sejak di bangku perkuliahan, tempat dimana ia dan Manu bertemu untuk pertama kali.

Mengingat itu seharusnya dada Hazeline berdebar, saat dimana ia bisa merasakan jatuh cinta pada seorang pria yang luar biasa itu hingga Hazeline pun berhasil menikah dengannya. Namun tidak, Hazeline menjadikan itu mimpi buruk untuknya.

Tetapi yang terjadi sekarang adalah Hazeline menyesalinya. Wanita itu menyesali semua yang pernah terjadi pada perasaannya terhadap seorang Manu. Ia mengira, menikah dengan pria yang ia cinta akan membuatnya bahagia. Namun ternyata tidak, Hazeline justru dilanda ketakutan setiap kali Manu pulang. Dia tidak boleh tidur jika Manu belum kembali ke rumah. Ia bahkan tidak berpikir masalah kecil bisa menjadi besar jika itu bersama Manu.

To Be Continued...

...**...

Immanuel Benzi

Hazeline menatap dress hitam yang tergantung di lemari. Malam ini dia ikut makan bersama Manu. Hazeline sudah masak sesuai permintaan Manu, namun tak seperti biasa, Manu meminta Hazeline menemaninya. Untuk apa? Untuk ikut melempar piring lagi? Batin Hazeline.

Dia menghela napas panjang, hingga akhirnya memilih masuk ke kamar mandi untuk bersiap, karena sebentar lagi Manu akan kembali.

Setelah bersih-bersih, Hazeline keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk putih. Baru membuka pintu, Hazeline dikagetkan dengan sosok Manu yang berdiri menjulang tak jauh dari pintu kamar mandi. Wajahnya datar, tatapannya dingin kearah Hazeline.

Pria itu tak berkata apapun dan memilih keluar dari kamar, menyisakan Hazeline yang akhirnya menghembuskan napas yang sempat ia tahan.

Lama gadis itu di kamar, berdiri di depan cermin sembari menyisir rambutnya yang bergelombang. Ditatapnya gaun yang hanya sepaha itu. Apa yang akan terjadi malam ini, dia tak bisa menebaknya. Manu mengajaknya makan malam dengan dress seperti ini? Sungguh keanehan. Sudah tiga bulan mereka menikah, inilah kali pertama makan bersama. Biasanya Hazeline akan makan setelah Manu pergi. Tentu ini membuat Hazeline tidak tenang.

Pintu diketuk, Hazeline dengan segera membukanya.

"Permisi, Nyonya. Tuan sudah menunggu di mobil sejak tadi." Robert memberi informasi yang membingungkan.

"Menunggu di mobil? Bukankah kami akan makan malam?"

"Benar, Nyonya. Itu sebabnya tuan menunggu anda. Sebaiknya anda segera menyusul, agar tuan besar tidak marah." Robert hendak melangkah, namun tertahan saat mendengar suara Hazeline lagi.

"Tapi.. aku sudah masak menu yang dia minta. Aku pikir kami akan makan malam disini."

"Saya tidak tahu, Nyonya. Segeralah turun. Permisi." Robert menunduk dan berlalu.

Hazeline masih melongo di depan pintu. Jadi, untuk apa Robert sialan itu memberinya menu untuk dimasak jika akhirnya Manu mengajaknya makan malam diluar? Padahal Hazeline sudah menghabiskan 4 jam waktunya di dapur demi supaya Manu tidak mencampakkan lagi piringnya. Tapi ternyata semua itu sia-sia.

Tersadar, Hazeline segera mengambil tasnya dan keluar. Dia terhenti sejenak saat melupakan sesuatu. Ia masuk kembali dan menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Parfum yang dulu ia beli saat kuliah dan tidak pernah ia gunakan lagi karena memang dirinya selalu terkurung di istana berduri milik Manu.

Hazeline diam menatap Nathan yang membukakan pintu untuknya. Seperti biasa, lelaki itu tampak rapi dengan setelan jas abu-abu.

"Nyonya, silakan."

Mata Hazeline menangkap Manu yang duduk dengan sebuah tablet berukuran besar di tangannya. Dia tampak sibuk sampai kehadiran Hazeline pun tak membuatnya teralihkan.

Pintu ditutup, Nathan masuk dan duduk di belakang kemudi. Mobil pun berjalan ketempat yang Hazeline belum tahu arahnya bersama sebuah mobil lain didepan yang mengawal mereka.

"Kau sudah mengubahnya?" Suara bariton Manu membuat Hazeline yang sejak tadi melamun pun menoleh.

"Apa?" Tanya gadis itu tak mengerti.

Manu meliriknya sebentar, kemudian menatap kedepan.

"Sudah, Tuan. Mereka menggesernya sampai lusa." Jawab Nathan sembari mengintip sekilas dari spion depan.

Ah. Hazeline membuang wajah kearah jendela mobil. Sial sekali, tentu saja dia merasa malu. Bagaimana bisa seorang Manu bicara santai padanya? Pria itu bahkan tidak pernah menyebut namanya.

Hazeline menekan power window hingga kaca mobil terbuka separuhnya. Ia mendongak, merasakan angin berhembus untuk mengusir rasa malunya barusan. Seharusnya ia cukup sadar diri bahwa Manu memang hampir tidak pernah berbicara padanya jika bukan untuk sebuah perintah atau larangan.

"Kau."

Hazeline menoleh kembali saat merasa Manu memanggilnya.

"Tutup itu!" Sentak Manu, membuat Hazeline buru-buru menaikkan kaca mobil.

Dia kemudian diam menatap kedepan. Rasa sedih menyelimutinya. Manu selalu saja begitu. Apa dia tak bisa berkata halus?

Diliriknya Nathan. Pria itu juga tengah melihatnya dari spion depan. Pandangan mereka bertemu beberapa detik, sampai Nathan yang memutuskannya karena ia harus fokus ke jalan di depannya.

Hazeline menatap jalanan melalui kaca jendela. Tatapan Nathan masih terikat di matanya. Tatapan yang sangat sering ia lihat jika Manu melakukan hal semacam ini. Membuat Hazeline kini sedikit kesal karena ia tahu Nathan tengah mengasihani dirinya.

Suasana di mobil hening sampai Nathan menepikannya tepat di depan sebuah restoran yang Hazeline sendiri belum pernah kunjungi. Dari luar saja sudah terlihat mewah, Hazeline sebenarnya tak sabar ingin masuk dan mencicipi makanan di dalamnya. Seenak apakah makanan itu sampai Manu mau singgah dan makan disini.

Hazeline berjalan dibelakang. Bukan dirinya yang bersanding dengan Manu, melainkan Nathan yang juga tengah menjelaskan sesuatu pada Manu.

Kalau dilihat-lihat, posisi Hazeline bukanlah seperti istri Manu. Lebih tepatnya pembantu yang terus mengekori Manu.

Mereka berhenti disebuah meja yang tak jauh dari kolam ikan koi berkaca dengan pancuran kecil. Manu belum duduk, dia masih serius berbicara dengan Nathan. Sementara Hazeline berjalan mendekat kearah kolam yang tingginya hampir sepinggang wanita itu.

Dia membungkuk memperhatikan para ikan berenang dengan santai. Jarinya mengetuk-ngetuk kecil kaca saat ikan mampir lewat di dekatnya. Sedikit senyuman terukir di wajah Hazeline melihat ikan itu. Suara air juga membuatnya sedikit tenang.

Senyuman Hazeline tak luntur. Dia terus mengetuk kaca menyapa ikan. Tanpa sadar ia merasa, suara yang sejak tadi ia dengar kini tak lagi ada. Dia menoleh kebelakang, curiga apakah ia sudah ditinggalkan dua laki-laki itu.

Bukan ditinggalkan, Hazeline justru menjadi pusat dua pasang mata yang menatapnya hingga aktifitas kedua orang itu terhenti.

Hazeline buru-buru berdiri tegak. Aktifitasnya mengetuk kaca pasti membuat dua orang itu merasa terganggu.

Bola mata Hazeline kembali melirik manik milik Nathan beberapa detik. Ia dapati pandangan yang sama seperti biasa. Hazeline canggung karena mata Manu pun tak lepas darinya.

Hazeline menunduk dengan kedua tangan saling memilin di depan, tanda bahwa ia merasa bersalah hingga Manu akhirnya membalikkan badan untuk duduk di meja yang sudah ia reservasi.

Hazeline masih bingung. Apakah ia harus ikut duduk atau tetap berdiri disana. Karena apapun yang ia lakukan nampaknya selalu salah di mata Manu.

Mata Manu menatap Hazeline. Wanita itu langsung tahu apa artinya. Ia pun segera duduk dihadapan Manu yang tengah memegang menu.

"Kalau begitu, saya permisi, Tuan." Ucap Nathan. Ia menundukkan kepala kemudian menghilang entah kemana.

Suasana ini terasa kaku bagi Hazeline. Tidak biasanya ia berdua dengan Manu selain di kamar. Itupun ia harus menunggu Manu tertidur duhulu, baru ia berani merebahkan diri disebelah Manu. Dan sekarang, mereka duduk berdua, berhadapan. Tak ada pelayan seperti di rumah, tak ada tamu lain yang datang, mereka benar-benar berdua.

Hazeline ikut membuka buku menu. Matanya langsung membulat menatap gambar makanan yang ada disana. Semua itu, dia pernah memasaknya. Bukan sekali dua kali, sangat sering Manu menyuruhnya memasak semua menu yang ada disana. Lalu, apa makanan disini sangat enak sampai Manu pesan makanan yang sama dengan makanan saat sarapan pagi tadi?

"Samakan saja." Ucap Hazeline pada pramusaji yang datang untuk menulis pesanan mereka.

Suasana kembali hening saat pramusaji pergi. Diliriknya lagi Manu dengan takut-takut. Pria itu tengah sibuk dengan gadget di tangannya, membuat Hazeline sedikit bersyukur dari pada Manu diam saja menatapnya.

Tak lama, pesanan mereka datang. Hazeline memperhatikan bagaimana plattering di restoran itu. Dia ingin menirunya supaya tampilan makanannya terlihat lebih menarik.

Disaat Hazeline masih menatapi susunan makanan diatas piring, Manu sudah menyantapnya. Hazeline bisa mendengar suara sendok Manu yang terus mengayun kearah piring. Manu menyantapnya bukan satu suapan, melainkan sudah beberapa suapan.

Hazeline sampai terperangah. Itu artinya makanan itu sungguh enak. Iapun segera mengambil sendok dan menyuapkan ke mulutnya. Hazeline terdiam mengecap makanan itu. Tunggu, sebentar.

"Ini tidak lebih enak dari masakanku." Gumam Hazeline dengan alis berkerut. Tanpa sadar, suaranya bisa didengar oleh Manu. Sampai lelaki itu menghentikan aktifitasnya.

"Ah, maksudku, makanan ini sungguh enak. Aku akan mempelajarinya supaya hasilnya mirip dengan ini dan anda menyukainya."

Ocehan Hazeline diabaikan Manu. Dia kembali menyantap makanannya.

Hazeline memejamkan mata. Hampir saja dia mengacaukannya. Tapi.. matanya kembali menatap makanan itu. Bagaimana caranya supaya rasa masakannya sama dengan restoran ini? Apa ada yang salah di lidahnya hingga hanya Manu yang merasakan kelezatannya?

Hazeline menghembuskan napas kasar. Tak habis pikir. Dia sulit menerima ini, masakannya jelas lebih enak tapi kenapa Manu malah selalu membuangnya?

"Kau mengeluh?"

Kembali Manu mengagetkannya. "Ah, tidak. Aku-"

"Kau kesal sampai suara napasmu pun aku bisa mendengarnya?"

Hazeline panik. Tak ia sangka bahkan hembusan kuat napasnya juga menjadi masalah.

Jantung Hazeline mulai berdetak kencang. Dia ketakutan.

"Tidak, bukan begitu. Aku-"

Hazeline tersentak saat Manu menghempaskan sendok hingga suara berisik piring itupun berbunyi keras.

Manu menatapnya tajam, membuat Hazeline semakin bergetar. Namun ia berdiri, ingin menenangkan Manu dan menjelaskan bahwa ia tak bermaksud begitu.

"Maaf, aku tidak bermasuk begitu. Aku hanya-"

Ketakutan Hazeline membuatnya ceroboh. Tanpa sadar ia membuat makanannya tumpah dan mengenai pahanya.

"Aaah. Panas!" Hazeline memekik, tangannya reflek mengipas. Namun Manu hanya berdecak dan mencampakkan lap setelah membersihkan mulutnya.

Manu pergi meninggalkannya. Suasana hatinya sungguh buruk karena Hazeline mengacaukan makan malamnya.

"Tunggu, Tuan. Sebentar." Hazeline mengejarnya dengan kaki yang menahan panas. Padahal pahanya hingga kakinya sudah memerah, namun ia mengabaikan itu. Rasa takutnya lebih besar sekarang.

"Tuan, maafkan aku." Hazeline akhirnya berhenti karena tak kuat dengan perih di kakinya. Air matanya menetes saat melihat mobil hitam milik Manu berjalan cepat. Dia ditinggal sendirian.

Hazeline terduduk disalah satu kursi tamu. Dia menangis disana. Disaat bersamaan, dia melihat Nathan datang. Dia berlutut dihadapan Hazeline, mengeluarkan sapu tangannya. Lalu ia lap-kan ke kaki Hazeline yang tertumpah kuah panas tadi.

Hazeline hanya terisak. Ia bahkan tak lagi malu melakukan itu di hadapan Nathan yang hanya diam mengelap kaki Hazeline sampai benar-benar bersih.

TBC

Nathan

Hazeline hanya terisak. Ia bahkan tak lagi malu menangis tersedu di hadapan Nathan yang masih berjongkok mengelap kakinya yang tertumpah kuah.

"Tunggulah disini. Aku akan segera kembali." Nathan berdiri, dia melangkah pergi entah kemana. Hazeline tidak peduli soal itu. Yang ia rasakan saat ini adalah sakit di hatinya.

Manu selalu membuatnya seperti ini. Padahal Hazeline sendiri tidak tahu jika bernapas keras saja membuat Manu langsung murka begitu. Pria yang menjadi suaminya itu juga tidak peduli saat dirinya tersiram kuah panas.

Nathan kembali. Dia berjongkok lagi.

"Maaf, ini mungkin terasa sedikit perih." Nathan mengangkat kaki Hazeline dan meletakkannya diatas pahanya, membuat Hazeline sejenak berhenti memikirkan Manu.

Lelaki itu dengan lembut mengoleskan krim dingin ke kakinya yang memerah.

Dilihatnya cara Nathan memperlakukan dirinya, sungguh lembut dan hangat. Coba saja kalau Manu yang melakukan itu, mungkin dia akan langsung jatuh cinta.

Hazeline menepis pikirannya. Sampai kapanpun monster bernama Manu itu akan terus kasar seperti itu. Mana mungkin Manu menjadi lembut, sungguh sesuatu yang tidak masuk akal.

Hazeline tersentak saat Nathan kembali meletakkan kakinya diatas lantai. Lelaki itu kemudian berdiri.

"Mari saya antar pulang, Nyonya."

Hazeline belum menjawab. Dia bahkan tak ingin pulang. Dia merasa tidak salah, justru Manu-lah yang salah. Itu sebabnya ia tak ingin bertemu lelaki itu.

"Nathan."

"Iya, Nyonya."

"Apa aku bisa kabur saja? Aku tidak ingin pulang. Aku.. takut."

Mata Nathan tak lepas dari wajah yang tertunduk di depannya. Baru kali ini dia melihat Hazeline lemah setelah berhadapan dengan Manu. Biasanya dia hanya akan kesal, namun kali ini tampaknya rasa lelah Hazeline sudah pada puncaknya.

"Ah, maaf. Tolong jangan laporkan ucapanku ini pada Manu." Hazeline menghapus air matanya lalu berdiri.

"Izinkan aku menghirup udara segar sebentar saja. Ya?"

Nathan akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya. Akan saya temani."

Hazeline tersenyum kecil. Ia lalu berjalan kearah dimana mobil yang dikendarai Nathan terparkir.

Nathan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diliriknya Hazeline melalui spion depan, gadis itu tengah termenung menatap keluar jendela. Dia pasti masih syok dengan kejadian yang baru dialaminya.

Nathan sendiri tidak tahu kenapa dia malah mau menemani istri bosnya keluar, padahal bisa saja dia ikut dimarahi Manu. Tapi melihat gurat kesedihan di wajah istri bosnya, Nathan merasa tergerak ingin membawa gadis itu menghirup udara segar.

"Kita kemana, Nyonya?" Tanya Nathan, saat dia merasa bingung menentukan arah.

"Terserah padamu."

Mendengar itu malah membuat Nathan semakin tak tahu harus kemana. Diliriknya lagi wajah Hazeline, wajah teduh dan indah itu membuatnya terpaku sesaat.

"Bagaimana kalau ke taman?"

Hazeline meliriknya, lalu mengangguk. Nathan pun melajukan mobil ke taman yang ia maksud.

Setelah sampai, Hazeline keluar dari mobil. Dia berjalan diekori oleh Nathan. Gadis itu duduk di bangku yang berhadapan dengan kolam air pancur. Gadis itu hanya diam menatap air. Sesekali dia mengelap lengannya yang basah terkena percikan air pancur.

Nathan berdiri tak jauh darinya. Dia membiarkan Hazeline menyendiri sejenak. Barang kali gadis itu memang butuh waktu untuk mencerna kejadian-kejadian yang ia alami sepanjang menikah dengan Manu. Nathan tahu, dia pasti kebingungan.

Nathan memperhatikannya. Matanya tak lepas dari Hazeline yang bergeming. Dia menyadari kecantikan istri tuannya. Hazeline bahkan pandai memasak dan melukis, tetapi Manu tidak melihat itu.

Nathan sendiri tidak tahu kenapa bosnya itu tidak tertarik pada Hazeline. Padahal tadi Nathan sempat berpikir Manu mulai menyukai istrinya saat ia mengajak Hazeline makan malam diluar.

Nathan melirik jam di tangannya. Sudah setengah jam, dia harus membawa Hazeline pulang sebelum tuan besar marah.

Baru saja ingin melangkah, ponsel Nathan berdering. Dia segera merogohnya dari saku, ternyata dari Manu.

"Ya, tuan."

'Kemana kau?' Suara berat itu terdengar mengerikan sebenarnya. Namun Nathan sudah terbiasa.

"Saya mengobatinya sebentar, Tuan. Kakinya memerah terkena kuah panas."

Hening diseberang, tak ada suara setelah Nathan mengatakan itu.

'Segera kembali!' Titah Manu yang langsung memutuskan sambungan telepon.

Nathan beralih pada Hazeline, disana gadis itu juga tengah menatapnya. Dengan langkah tenang Nathan mendekati Hazeline.

"Apa itu darinya?" Tanya Hazeline saat Nathan sudah berdiri di dekatnya.

"Tuan menyuruh Nyonya segera kembali."

Hazeline beralih pandang. Rasanya dia tak bisa kembali sekarang. Dia takut, apa yang akan terjadi nanti? Amukan Manu membuatnya tak ingin kembali.

"A-apa.. dia masih marah padaku? Ah, tentu saja dia marah. Aku mengacaukan makan malamnya." Hazeline meremas jarinya. Dia cemas, bagaimana nasibnya saat pulang dan berhadapan dengan Manu nanti?

"Tuan tidak marah. Dia menyuruh Nyonya untuk pulang."

Hazeline mengerutkan dahi sejenak, lalu tertawa kecil.

"Aku lupa, kau bekerja dengannya. Tentu kau berpihak padanya. Iya, kan?"

Nathan sampai mengangkat alisnya saat dituduh begitu. Padahal dari yang ia dengar memang Manu tampak tidak marah. Nada tuan besarnya memang seperti itu.

Nathan menghela napas dan akhirnya memilih duduk satu bangku dengan Hazeline.

"Tuan Manu memang seperti itu. Dia tempramen dan cukup keras-"

"Sangat keras." Potong Hazeline dengan nada lembut dan pandangan lurus kedepan. Baginya sikap Manu sangat berlebihan hanya untuk sebuah helaan napas yang dianggapnya kesalahan.

"Ya, baiklah. Dia memang begitu. Tapi sebenarnya dia baik."

"Hh."

Suara itu membuat Nathan menoleh pada Hazeline yang tersenyum smirk.

"Baik. Cuma kau yang mengatakan dia baik. Itupun karena kau tangan kanannya. Tapi aku tidak yakin dia akan bersikap lembut kalau kau melakukan kesalahan."

Nathan juga tidak tahu soal itu. Pasalnya dia belum pernah melakukan kesalahan. Dia lelaki yang teliti dan cerdas, sebab itu yang membuatnya berada diatas dan menjadi orang kepercayaan Manu untuk semua urusannya.

"Kau tidak menjawab, aku benar kan?" Tanya Hazeline dengan segaris senyum di bibirnya. "Itu artinya dia tidak cukup baik, Nathan. Orang lain tidak boleh melakukan kesalahan. Tapi dia boleh. Itu egois."

"Maka dari itu, jangan lakukan kesalahan, Nyonya."

"Aku mana tahu kalau sebuah helaan napas saja membuatnya murka seperti itu!"

Nathan melihat perubahan di wajah Hazeline. Gadis itu cemberut juga kesal. Nathan sampai tersenyum kecil melihat wajah Hazeline yang lucu baginya.

"Kau tidak tahu. Aku sangat takut padanya. Dia diam saja aku tidak berani dekat, apalagi saat dia marah begitu. Kau lihat tadi, kan, semarah apa dia?"

Hazeline benar. Nathan akui itu. Di kantor pun, Manu sangat amat ditakuti. Bahkan banyak karyawan yang memilih putar arah dari pada harus bertemu dengannya.

"Tapi amarahnya sudah reda, Nyonya. Itu sebabnya dia meminta anda kembali. Lagi pula, ini sudah larut."

"Tahu dari mana kalau amarahnya sudah reda?"

"Dari suaranya. Dia terdengar menyesal saat saya mengatakan bahwa kaki anda memerah tertumpah kuah panas." Nathan tidak berbohong. Dia memang merasa kalau tuannya itu menyesal.

Hazeline tak lagi menyahut. Walau terdengar aneh jika seorang Manu menyesal, tapi dia sedikit tersentuh juga. Apa benar begitu?

Hazeline mendapati Nathan menatapnya. Membuat alis Hazeline kembali mengerut.

"Aku tahu kau mengasihani aku. Tatapanmu padaku."

Nathan mengerjap. Kasihan? Kenapa Hazeline malah berpikir bahwa ia mengasihaninya? Padahal tidak begitu.

"Terima kasih sudah menemaniku. Tapi, berhentilah menatapku seperti itu. Tanpa kau menatap begitupun aku sudah tahu bahwa aku sangat menyedihkan."

Nathan menghela napas. Dia tidam bermaksud begitu, tapi dia juga tak ingin meluruskannya. Lelaki itu berdiri.

"Mari, Nyonya."

Nathan berjalan mendahuluinya. Namun Hazeline menarik jas lengannya hingga Nathan menghentikan langkahnya.

Nathan berbalik, menatap mata Hazeline yang berubah sendu.

"Kumohon, jangan katakan pada Manu kalau kita berhenti disini."

Nathan juga berencana begitu. Dia takkan memberitahu ini pada Manu yang pasti malah akan semakin membuatnya marah. Nathan mengangguk, menyutujui permintaan Hazeline.

"Terima kasih, Nathan. Tapi bisakah kau berhenti memanggilku Nyonya?"

Nathan menunduk, sebagai tanda hormat. Mengubah panggilan pada istri Tuan besar bukan hal mudah.

Terdengar helaan napas dari Hazeline yang kemudian berjalan lurus masuk kedalam mobil. Lelaki itu tersenyum samar. Lucu, itu yang dia lihat dari wajah Hazeline tadi. Menggemaskan.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!