Malik sudah tertidur saat dalam perjalanan kembali dari rumah makan dan Uni Cya langsung memindahkannya ke tempat tidur. Sementara itu kami kembali berkumpul di ruang tengah untuk melanjutkan obrolan. Kaum laki-laki sibuk bertukar pandangan soal isu hangat di Indonesia sekarang ini, sedangkan kami, kaum wanita, disibukkan dengan membahas gaun yang aku pakai di pesta pernikahan Lulu kemarin. Aku bahkan tidak lupa untuk memamerkan foto-foto yang sudah diambil oleh Mas Yudhi jauh-jauh hari. Mama dan Uni Cya gantian ber-ooh dan aah ria saat melihat foto-foto itu.
“Kayra cantik banget pake gaun itu kan, Ma? Pas aku lihat dia di nikahannya Lulu, aku rasa dia yang mau nikah. Bukan temannya.” Bang Ruan tiba-tiba saja sudah duduk di samping Mama.
Komentar itu membuatku sadar diri dan sadar akan keadaan sekitar. Saat aku melihat ke sekeliling, benar saja. Papa, Bang Juni dan Alex yang tadi sibuk membahas politik sekarang malah memusatkan perhatian mereka ke arahku. Lagi dan lagi, seperti yang sudah terjadi sekitar satu juta dua ratus tujuh puluh lima ribu empat ratus empat puluh empat kali yang lalu, Bang Rian selalu berhasil membuatku malu dengan hal-hal yang dilakukannya.
“Apaan sih, Abang.” Aku memukul kepala Bang Rian dengan bantal kursi yang sedari tadi kupangku. Namun, hal itu malah membuat tawanya semakin menjadi-jadi.
“Udah ah, Rian! Kamu bikin adikmu malu itu.” Mama menengahi kami. “Eh, tapi," tambah wanita yang sudah melahirkan kami lagi, "abangmu bener juga loh, Kay. Kamu cantik banget pake gaun ini.” Mama tersenyum dengan penuh rasa bangga.
Aku menyurukkan wajah dan memeluk Mama yang duduk di sebelahku. Beberapa kekehan dapat kudengar saat aku melakukan hal itu.
“Hm, Om, Tante, aku boleh minta waktu sebentar?”
Suara Alex membikin perhatian kami terarah padanga. Dia di kalakian membersihkan tenggorokan dan memperbaiki posisi duduk. Dia menggeser tubuhnya ke tepi sofa dan menegakkan punggung. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha. Dia kembali berdeham.
Melihat kegugupan pemuda itu, aku jadi ikut-ikutan merasa gelisah. Apa yang bisa menyebabkan seorang cowok yang biasanya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan tidak pernah meragukan kemampuan dirinya itu merasa buncah seperti ini?
“Silakan, Alex.” Papa menjawab dengan santai. “Apa ada yang mau kamu katakan?”
Diembuskannya napas panjang dengan perlahan. Tak berapa lama, kegugupan yang dirasa oleh pemuda itu lenyap dari raut wajahnya. His calm and collected self is back. Dia sudah merasa yakin dan percaya diri lagi. Alex tidak merasa terlalu tegang lagi jika dilihat dari poatur tubuhnya sekarang. Punggungnya tidak selurus dan sekaku tadi. “Iya, Om,” sahutnya sembari mengangguk.
Alex mengedarkan pandangannya, akan tetapi entah kenapa aku merasa dia dengan sengaja melampaui mataku. Tatapannya berakhir kembali di mata Papa. Dia lalu menatap Papa dan Mama bergantian.
What in the ever loving fudge? Apa yang sedanb dia coba lakukan? Apa yang sedang si Alexander Rahardjo ini rencanakan?
“Saya minta maaf sebelumnya, Om, Tante, jika saya lancang, tapi ... I think I love you, Kayra Salim.”
Eng ... what?
Seseorang terkesiap, aku tidak tahu itu siapa. Yang jelas bagiku sekarang hanyalah Alex dan tatapannya yang memaku mata kami. Setelah mengatakan apa yang dikatakannya barusan, dia baru melihat ke arahku dan tidak melepaskan pandangannya dariku semenjak saat itu.
Dan apa yang aku lakukan? Aku hanya bisa membalas tatapannya sambil ternganga sebelum kurasakan mulutku terbuka dan tertutup seperti ikan yang kehabisan napas di daratan, megap-megap. Sebuah kata "what" yang terdengar lebih seperti tiupan angin di telingaku sendiri lolos dari lidah ini.
Rasanya suara itu tepat sekali mewakili apa yang aku rasakan di dalam diri sekarang. Aku merasa ... disoriented. Tersesat, kehilangan arah, tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh. Apakah aku harus merasa bahagia dengan pengakuan cinta yang kudengar beberapa kala yang lalu dari seorang cowok yang sudah menjadi pilar yang menopang kehidupanku di perantauan selama ini? Atau aku harus merasa kesal karena dia telah menjebakku seperti ini? Melakukan hal itu di depan keluargaku? Keluarga yang setiap anggotanya melayangkan tatapan penuh harap mereka kepadaku?
Saat aku masih disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan di dalam kepala, Alex menekur sebentar dan tergelak sebelum mengangkat kepalanya lagi dan bertemu dengan mataku lagi. Dia di kalakian menggeleng.
What?
"Sorry, Kay. Tapi, aku rasa aku membuat kalimat yang salah barusan."
Aku tidak menyangka bahwa ucapannya itu bisa mengiris perasaanku yang masih kacau-balau. Ada perih yang terasa di bawah rongga dada. Aku–
"Aku bukan hanya berpikir kalau aku sayang sama kamu, tapi aku tahu kalau aku benar-benar merasakan itu di dalam hati aku. So, there you have it. I love you. I love you, Kayra Salim. Di depan semua keluarga ini kamu aku mengakui perasaan aku, kalau aku sayang sama kamu."
Wh-what? What in the actual hell is he talking about?
Suasana menjadi betul-betul hening. Aku tidak bisa mendengar apa pun dari balik suara degupan jantung yang memenuhi pendengaran. Ketika tatapan mata Alex yang teduh dan berbinar di waktu yang bersamaan itu memberikan tekanan yang sungguh tidak bisa kutahan lagi, aku mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekelilingku. Untuk pertama kalinya setelah semua ini terjadi aku baru menyadari bahwa Papa menatapku dengan sebuah senyum tipis di wajahnya, berbanding terbalik dengan senyum haru di wajah Mama yang membuat matanya basah. Aku tidak mengerti apa arti dari anggukan kecil kepala Bang Bian dan tindakan Bang Rian yang melingkarkan tangannya di bahu Alex sambil menepuk-nepuk lengan itu dengan semringah. Saat aku mwnoleh pada UninCya, satu-satunya orang yang duduk di sebelah kananku di ujung sofa, aku juga menemukan sebuah senyum lembut di bibirnya. Tak tahu apakah sadar atau tidak, dia juga menggerakkan kepalanya naik dan turun beberapa kali.
Aku ... aku tidak mengerti. Betul-betul tidak mengerti. Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa mereka semua tidak merasa terkejut sedikit pun seperti aku? Mengapa mereka terlihat seperti sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi?
Pemikiran yang baru saja muncul di dalam benak seiring dengan pertanyaanku itu sekonyong-konyongnya membuat aku tersentak.
Benarkah demikian? Benarkah semua ini sudah direncanakan dan semua orang selain aku terlibat dalam konspirasi ini?
Jangan bilang kalau aku terlalu berlebihan dengan menggunakan kata itu karena pada kenyataannya memang itulah yang tengah aku alami. Mereka berkomplot untuk menjebakku. Ini adalah konspirasi!
Aku kembali menatap Alex dengan rasa tak percaya. Berani-beraninya dia melakukan ini padaku. “Kamu bercanda kan, Lex?” tanyaku dengan nada rendah.
Seseorang kembali terkesiap dan kali ini aku bisa mengidentifikasi asal suara itu. Aku menoleh pada Uni Cya. Dia terlihat seperti telah menyaksikan sesuatu yang menakutkan dengan mata membulat lebar dan mulut ternganga yang ditutupi oleh telapak tangan kanannya. Aku tidak menghiraukan keadaan saudara iparku satu-satunya itu dan kembali menatap Alex yang duduk di seberang meja kopi, di antara kedua kakak laki-laki kembarku. "Yeah, kamu pasti gak serius."
"No." Alex serta-merta membantah. Tatapannya kini menajam. Rahangnya mengeras. Dia berbicara dengan gigi-gigi yang terkatup. "Aku serius. Aku tidak pernah seserius ini sebelumnya."
Satu kata di awal saja cukup untuk menjadi penyebab kegilaan di dalam diriku, apalagi harus ditambah dengan kalimat yang menyertainya. Aku berusaha untuk mengepalkan tanganku yang mulai bergetar dan tidak sengaja menepis tangan Uni Cya yang ternyata ingin menjangkauku untuk mencoba membantuku menenangkan diri. Tiba-tiba saja rasa takut menjalari tubuh. No, this can't be happening. It can't. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku tak mau ini terjadi. Pikiran-pikiran itu terus-menerus berputar di dalam kepala. Aku di kalakian menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. “No. Aku gak bisa, Lex. Aku gak bisa. Aku gak bisa menghadapi ini. I’m sorry.”
Sekali lagi, aku mendengar suara seseorang yang terkesiap. Namun, aku tidak ingin menemukan suara siapa itu dan terus saja melanjutkan langkah. Aku harus cepat-cepat pergi dari sana. Aku butuh kenyamanan kamarku ... sekarang.
To be continued ....
....
"Jangan main-main sama aku, Lex.”
“Aku gak main-main, Kay. Aku serius. Bilang sama aku gimana caranya supaya kamu yakin sama aku.”
Kuperhatikan mata yang berwarna cokelat terang, hampir kuning keemasan itu dengan saksama. Untuk beberapa saat, kucari apa yang ingin kutemukan di sana. Tidak ada. Aku tidak menemukan tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa dia tidak memaknai ucapannya. “Kamu benaran serius? Jadi, maksud kamu, kamu serius mau mengenal aku lebih jauh lagi?”
“Ya.”
“Dan kamu mau aku percaya sama keseriusan kamu?”
“Iya, Kayra.”
“Well, kalau gitu aku akan ngasih tahu kamu satu-satunya cara yang akan membuat aku percaya sama omongan kamu ini.”
“Tell me. Aku akan melakukan apa pun itu.”
“Bilang kalau kamu sayang sama aku di depan kedua orang tua aku.”
Dia terdiam untuk beberapa saat sebelum mengangguk dengan dalam. “Baiklah. Tapi, kamu juga harus janji satu hal sama aku.”
“Apa?”
“Kamu harus janji kalau saat itu datang, ketika aku ngomong ini di depan orang tua kamu, kamu bakal terima aku. Kamu gak akan menolak aku.”
Kali ini giliranku yang mengangguk dengan mantap. “Oke. Aku janji. Kamu boleh pegang kata-kata aku.”
....
Alex-lah yang selalu menjadi seseorang yang bisa kupercaya, sosok yang menjadi tempat untukku bersandar dan berbagi kisah. Alex-lah yang selalu ada untukku, yang secara tidak langsung menjadi perpanjangan tangan keluarga di rumah. Alex-lah yang bisa aku percaya.
Dan aku sendiri yang merusak dan membuang semua itu dengan mengingkari janji yang kubuat sendiri.
****
Aku meragukan kemampuanku untuk melupakan kejadian dua minggu yang lalu, saat seorang Alexander Rahardjo menyatakan perasaannya padaku di depan seluruh keluarga. Saat aku menolaknya, berlari masuk ke dalam kamar, dan kemudian mendekam di sana sampai keesokan harinya. Saat semua kenangan-kenangan kami berputar dengan seenaknya di dalam kepalaku. Saat aku mengingat kembali janji yang pernah aku buat dan pada akhirnya aku langgar sendiri. Saat Alex-lah yang menjadi seseorang yang dengan setia menjaga dan menemaniku kapan pun aku butuh.
Saat keesokan harinya kami diantarkan oleh Bang Rian ke bandara dan semua orang berada dalam mode diam yang aneh dan tidak nyaman sama sekali. Saat aku mencoba mencairkan suasana dengan melemparkan komentar-komentar receh dan Alex hanya membalasku dengan tawa yang dipaksakan, atau sebuah anggukan yang aku yakin dia lakukan hanya karena tidak enak hati dengan Bang Rian yang menjadi sopir sekaligus buffer di antara kami.
Saat dia dengan diam-diam memasang galaxy buds miliknya dan memejamkan mata untuk menghindariku percobaan-percobaan menyedihkan dariku. Saat Bang Rian yang biasanya banyak bicara hanya menyetir dengan diam seribu bahasa. Saat kami check-in, masuk pesawat, dan sampai di Jakarta pun, Alex tidak pernah lagi menganggap aku ada. Ketika menunggu bagasi di conveyor belt, dia sekonyong-konyongnya langsung pergi dan meninggalkanku di sana saat dia sudah mendapatkan kopernya. Alex bahkan tidak melengah ke belakang untuk sekadar melihatku.
Aku meragukan kemampuanku melupakan semuanya karena semakin aku mencoba untuk melupakan, semakin erat kenangan itu mencengkram bilik-bilik ingatan. Saat aku mengirimkan pesan permintaan maaf pada Alex sesampaiku di rumah, saat aku mencoba untuk meneleponnya ketika pesanku tak pernah berbalas, yang kudapati hanyalah sebuah pesan otomatis. "I’m busy right now, you can call me later."
Sudah dua minggu, dan aku masih buta akan kabar Alex.
Akhirnya aku mencoba untuk bertanya kepada Bang Rian, menelan harga diriku dan mengadukan keputusasaan yang kurasa sebab usaha-usaha menghubungi Alex yang terbuang sia-sia. “Aku gak tahu pasti, Dek. Tapi, kalau enggak salah waktu itu dia pernah bilang mau ada urusan kantor ke beberapa daerah, kan?”
Untuk sementara, informasi kecil ini sudah lebih dari cukup. Mungkin Alex memang sedang sangat sibuk dan dia benar-benar tak bisa menghubungiku sekarang ini.
....
“Maaf banget, Kay, aku gak bisa balas pesan-pesan kamu dari kemarin. Aku lagi jalan ke pedalaman Maluku buat urusan perusahaan dan ternyata di sana sinyalnya susah pakai banget. Makanya aku memilih langsung ke sini setelah turun pesawat jam setengah sembilan tadi. Dan ... aku minta maaf banget karena udah bangunin kamu, ya.”
....
Mungkin nanti sepulangnya dari daerah-daerah itu, dia akan mampir ke rumah seperti yang pernah dilakukannya sebelum ini. Mungkin nanti setelah dia mendapatkan sinyal yang agak kuat, dia akan menghubungiku.
Dan aku melanjutkan hari-hari dengan terus mencoba meyakinkan diriku menggunakan mantra-mantra itu.
****
Acara pembukaan cabang yayasan akan dilakukan satu bulan lagi dan persiapannya sudah bisa dikatakan hampir sembilan puluh persen rampung. Semua urusan yang berhubungan dengan operasional di cabang sudah selesai dan hal-hal yang berhubungan dengan donatur sedang diselesaikan olehku dengan bantuan Tante Meli. Dan mungkin karena kepergiannya, urusan yang berhubungan dengan yayasan dan RS grup yang biasa ditangani oleh Alex kini ditangani oleh Mbak Puja, manajer Public Relations perusahaan mereka.
Alex.
Sudah dua bulan dan Alex masih belum menghubungiku. Dan aku akui, kecanggungan kini menyelimuti hari-hari. Biasanya, saat lelah melanda dan aku ingin sekali menghibur diri, Alex selalu ada untuk menawarkan suatu bentuk perhatian. Selalu ada Alex yang memberikan kejutan-kejutan. Selalu ada Alex bahkan saat Wide tidak bisa menemaniku karena terlalu sibuk di restoran. Where are you now, Lex?
****
Seminggu sebelum acara peresmian aku sudah berada di rumah lagi. Aku harus memonitor persiapan acara sebelum hari H. Semua donatur dan pengurus yayasan di Jakarta akan diterbangkan ke sini lima hari lagi. Aku harus memastikan semua akomodasi dan transportasi sudah siap dan sesuai dengan keinginan Tante Meli.
Mama masih belum tidur saat aku pulang dari hotel tempat acara akan diadakan. Beliau masih ditemani oleh Bang Rian yang menonton televisi saat aku masuk. Aku berniat untuk langsung menuju ke kamar, akan tetapi tidak semua niat diizinkan oleh Tuhan untuk menjadi kenyataan.
“Kay, kamu baru pulang, Nak?” Mama berdiri sembari melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas layar smart TV sebesar delapan puluh lima inci tersebut dan menghampiriku. Pukul satu lewat sepuluh menit. Dang. Aku tidak sadar sudah selarut ini.
Beliau kemudian menggenggam tanganku dan mengajakku untuk duduk sebentar bersama Bang Rian yang ternyata sudah mematikan TV yang tadi menyala dalam mode mute. “Kamu sibuk banget akhir-akhir ini, Sayang. Mama lihat berat badan kamu turun banyak dari terakhir kali kamu pulang. Kamu pasti jarang makan, kan?” Mama menangkupkan tangannya di kedua pipiku. Matanya memancarkan kekhawatiran seorang ibu. Bang Rian juga terlihat sama khawatirnya.
To be continued ....
Aku tersenyum. Meski hatiku perih karena ucapan Mama mengingatkan aku kembali pada apa yang telah terjadi, akan tetapi aku tidak dapat memungkiri rasa yang timbul saat ini. Nyaman sekali rasanya bisa berada di rumah di saat-saat yang berat seperti ini. “Kayra enggak apa-apa kok, Ma. Cuma sibuk sedikit karena peresmian cabang yayasan ini. Setelah semuanya selesai, berat badan aku juga pasti naik lagi kok. Mama jangan khawatir, ya?” Aku menatap Mama dan Bang Rian bergantian, berharap jawaban klise yang kuutarakan dapat meyakinkan mereka berdua. Atau setidaknya aku lebih suka berpikir bahwa aku bisa meyakinkan mereka. “Kayra ke kamar dulu ya, Ma. Besok pagi harus balik ke hotel lagi untuk final check.” Aku berdiri dan kembali melemparkan tersenyum. Aku tahu, sekuat apa pun aku berusaha untuk mengelabui Mama dengan senyum di bibirku, wanita yang telah melahirkan aku itu akan selalu tahu bahwa aku berbohong.
****
Keesokan paginya aku dikejutkan oleh seorang pria yang sudah standby di dalam mobil yang sudah menyala di teras rumah. Bang Rian sudah rapi dan menawarkan diri untuk mengantarku ke semua tempat tujuanku hari ini. Bukan menawarkan, sih. Dia lebih tepatnya memaksa karena melihat kondisiku yang sudah seperti mayat hidup. Katanya loh, ya.
Secara fisik, mungkin aku masih belum mirip dengan mayat hidup; masih ada daging yang menempel di tulangku, kulit di seluruh tubuhku juga masih kencang, wajahku pun belum cekung dan bibirku masih ada di tempatnya. Namun, saat melihat patulan wajahku di cermin pagi ini, aku bisa melihat sumber kecemasan Mama tadi malam. Kantung mataku yang akhir-akhir ini aku coba sembunyikan dengan polesan makeup dan kacamata sudah terlihat sangat besar dan gelap, wajahku juga agak tirus dan pucat—meskipun aku bukanlah seorang gadis yang kurus, badanku biasa-biasa saja, akan tetapi aku tidak pernah merasa sekurus ini, serta tatapanku yang sudah, tidak hanya terkesan, akan tetapi juga benar-benar tidak fokus.
Aku lupa sudah berapa lama aku tidak mengkonsumsi vitamin harianku, sudah berapa lama aku tidak mengunjungi salon untuk sekedar perawatan wajah dan tubuh, atau kapan terakhir kalinya aku melakukan kegiatan olahraga mandatory sekali dalm seminggu yang biasanya masih bisa kupaksakan. Sudah terlalu lama sejak terakhir kali aku memberikan perhatian pada diri sendiri.
Dan rasanya sudah terlalu lama sejak Alex pergi dan aku kehilangan perhatian darinya.
Aku sudah memikirkan ini lama sekali; tepatnya dua bulan udua puluh tujuh hari sejak hari di mana aku menolak Alex.
....
Aku tidak dapat menghentikan air mata yang mengalir di pipiku, akan tetapi aku juga harus berpikir dengan lebih cepat. Aku tidak mau Alex salah paham dengan jawaban yang kuberikan tadi. Aku tidak bermaksud mengatakan tidak. Aku tidak bermaksud menolaknya. Aku hanya .... Ah, Kayra! Sudahlah, jangan hanya berpikir sendiri di dalam kepalamu. Lekas jelaskan semua yang ada di dalam otak itu kepada lelaki yang seharusnya menerima penjelasan itu! Setelah dimarahi oleh kata hati sendiri, aku segera menggapai ponsel dan mulai mengetik pesan.
Me : I’m so sorry, aku ingkar janji
Me : sebelumnya kamu bilang ke aku kalau Bang Rian yang minta kamu untuk jagain aku
Me : makanya aku selama ini berpikir bahwa kamu cuma menganggap aku adik. Kayak Bang Rian ke aku
Me : aku benar-benar gak menyangka kalau kamu bakal beneran sayang sama aku
Me : Maafin aku, Lex
Centang dua yang ada di samping pesan-pesan itu membuat aku mempertimbangkan apa yang aku katakan selanjutnya. Aku sebetulnya ingin mengungkapkan hal ini secara langsung, akan tetapi sekarang aku tidak punya pilihan lain lagi. Setelah mengambil napas dalam, aku mulai mengetik pesan itu.
Me : aku juga sayang sama kamu
Namun, sebelum aku sempat menyentuh tanda kirim, sebuah pesan balasan masuk terlebih dahulu. Balasan yang membuat kontemplasiku sebelum ini menjadi tidak berarti. Apakah dia akan membenciku setelah ini? Apakah penolakanku akan berakibat buruk pada Alex? Apakah aku akan sangat melukainya? Itu semua dihapus dengan mudah oleh sebuah pesan.
Alex : Just forget it, Kayra
Rasanya seperti ... disambar petir. Kalaupun hal itu benar-benar membuatku mati, aku akan merasa jauh lebih baik karena tidak ada lagi urusanku di dunia ini. Namun, kenyataannya tidak demikian. Petir itu hanyalah perumpamaan. Yang nyata adalah kata-kata dari Alex.
Alex ingin kami melupakannya. Melupakan apa? Apa yang dimaksud oleh Alex? Dia ingin aku melupakan apa? Kejadian malam ini? Atau, penolakanku karena dia menerima maaf dan akhirnya mengerti apa yang aku rasakan? Atau, apakah alasan barusan terlalu mengada-ada? Aku yang terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi?
Alex ingin aku melupakan kejadian tadi.
Ya, benar. Ini mungkin tidak berarti banyak baginya. Hei, dia adalah seorang Rahardjo. Alexander Rahardjo. Salah satu keluarga dari segelintir orang Indonesia yang masuk ke dalam golongan nol koma satu di dunia. Dia bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan dalam sekejap. Dia bisa mendapatkan wanita mana saja yang dia mau tanpa harus menunggu atau berusaha terlalu keras. Dia hanya tinggal melirik dan tringg! Akan ada antrean panjang wanita yang hendak menjadi miliknya.
He literally got it all.
Aku ....
Perih yang ada di balik rusuk-rusuk ini menyulut isakku lagi. Kubekap mulut dengan tangan agar suara penuh pilu itu tak lepas dan diketahui oleh seluruh dunia.
Kuhapus huruf dari pesan belum terkirim yang masih ada di layar ponselku huruf demi huruf. Mungkin ada baiknya aku belum jadi mengirimkan kalimat itu.
Mungkin dia tidak benar-benar serius karena dia dengan begitu mudahnya menyuruhku untuk melupakan. Hal ini menjadi bukti bahwa apa yang terjadi tidak akan memengaruhi hidupnya sama sekali. Apa yang terjadi malam ini tidak akan melukainya sedikit pun. Dia akan kembali seperti Alex yang biasa menjagaku esok hari.
....
Aku sudah memikirkan ini lama sekali; tepatnya dua bulan dua puluh tujuh hari sejak hari di mana aku menolak Alex. Namun, untuk kesekian kalinya dalam hidup, aku menyadari bahwa selama dua bulan dua puluh tujuh hari ini aku sudah salah. Sudah salah besar. Sudah salah sangat sangat besar. Bahwa aku-lah yang paling terpengaruh oleh kejadian malam itu. Bahwa aku-lah yang terluka sejak menolak Alex malam itu. Bahwa aku-lah yang membenci diriku sendiri karena mengambil keputusan bodoh seperti itu. Bukan Alex.
Aku yang uring-uringan saat tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, walaupun aku sempat mendengar dari Mr. Rahardjo kalau anaknya tersebut baru saja kembali dari Papua New Guinea. Aku tidak tahu bagaimana bisa terpikirkan olehnya untuk me-mention anaknya itu, akan tetapi Mr. Rahardjo tidak akan pernah tahu betapa aku sangat mensyukurinya.
Aku yang berusaha untuk menyibukkan diri agar tidak bisa terlalu sering mengecek ponsel menunggu kabar dari Alex. Aku yang berat badannya turun drastis karena kehilangan nafsu makan akibat semua perasaan ini.
Bukan Alex.
To be continued ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!