"Wa' lihat nih apa yang aku bawa buat kamu," ucap Risma dengan tangan menyerahkan selebaran brosur pada sahabatnya itu.
"Waaah, MasyaAlllah, ini yang udah lama aku tunggu-tunggu. Makasih banget ya Ris," jawab Marwah dengan senyum lebar diwajahnya. Matanya langsung melahap semua informasi yang ada di dalam brosur itu.
Risma ikut tersenyum. Ia sangat senang melihat antusiasme dari seorang Marwah Jingga, yang mempunyai bakat seni terpendam. Suaranya sangat merdu jika bernyanyi apalagi membaca Alquran. Dan isi brosur itu adalah pengumuman sebuah lomba nyanyi nasyid di alun-alun kota pada malam ke 12 Ramadhan.
"Ini luar biasa RIs, hadiahnya sangat fantastis. Insyaallah kalau menang, aku bisa lanjut ke Universitas. Ada beasiswanya RIS." Marwah tampak begitu takjub dengan iklan lomba yang ada dalam brosur itu.
"Kita daftar sekarang aja yuk," ucapnya lagi dengan semangat yang sangat tinggi di wajahnya.
"Ayuklah. Semoga kamu menang ya Wa' semangat!!" ujar Risma dengan tangan mengepal ke udara.
"Aamiin ya Allah." Marwah menjawab dengan dada berdebar. Sejak bencana covid 19 menyerang seluruh dunia termasuk Indonesia beberapa tahun ini semua urusan sangat dibatasi bahkan dilarang untuk dilakukan.
Dan sekarang saat kondisi sudah mulai pulih, ekonomi pun mulai bergerak sebuah momentum yang sudah lama ia nantikan kini terlaksana juga. Entah siapa penyumbang dana dari kegiatan ini hingga bisa terlaksana di sebuah kota kecil seperti tempatnya sekarang tinggal.
"Gak usah kamu pikirkan siapa yang mendanai ini Wa'. Usahakan saja kamu menang. Supaya kamu bisa lanjut belajar di Universitas."
"Ah iya ya. Yang jelasnya adalah dia orang baik. Dan semoga saja keluarganya dilimpahkan kebahagiaan oleh Allah, Aamiin."
"Doakan dirimu menang dulu baru doakan orang itu, hehehe," kekeh Risma dengan wajah lucunya. Ia pun mulai menstater motornya dan meminta sahabatnya itu naik. Lomba sisa beberapa hari lagi. Dan ia harus mendaftar sebelum tutup.
"Tempatnya di Sekretariat Masjid Agung 'kan?" tanya Risma untuk meyakinkan dirinya karena ia juga belum membaca brosur itu dengan baik.
"Iya."
Bruuum
Risma pun melajukan motornya sore itu ke arah masjid agung kota T. Sepanjang jalan mata mereka dimanjakan oleh menu takjil untuk buka puasa yang berjejer menggoda iman untuk segera membelinya.
"Ibu, sangat suka kue putu dan cantik manis, nanti pulangnya lewat sini lagi ya Ris? aku bawa uang nih untuk belikan ibu." Marwah merogoh sakunya memastikan uang infak dari orang tua santri yang ia ajar mengaji masih ada di dalam sakunya.
"Iya Wa' Aku juga ngiler banget lihat pastelnya." Risma menjawab dengan mata sesekali memperhatikan jejeran etalase takjil di pinggir jalan menuju tempat yang akan mereka kunjungi. Sekitar 10 menit kemudian mereka pun sampai dengan selamat.
"Alhamdulillah sampai," ucap Risma saat mereka berdua sudah sampai di pelataran Masjid itu. Marwah Jingga turun dari motor matic sahabatnya kemudian merapikan pakaiannya, terutama jilbab pasmina yang ia gunakan karena terkena angin.
"Udah siap? Bismilah. Ayo," ajak Risma dan mulai menuju kantor sekretariat. Mereka pun mendaftar pada nomor urut 10.
"Ternyata udah banyak pendaftar ya mas," ujar Marwah pada panitia yang sedang melayaninya di meja pendaftaran.
"Iya Mbak. Dan untungnya mbak datangnya cepat. Karena sebentar lagi pendaftaran ditutup."
"Hah? kok gitu? Di brosur ini kan masih terbuka untuk beberapa hari lagi."
"Maaf mbak. Itu adalah brosur lama. Dan kami sudah merevisinya. Untuk lombanya akan diadakan dua hari lagi. Karena donatur acara ini ada acara di Jakarta dan harus segera pergi. Akan tetapi beliau ingin sekali hadir disini menyaksikan acara ini."
"Oh gitu ya, artinya untuk persiapannya sisa dua hari ini dong ya Mas."
"Iya Mbak. Silahkan dipelajari teknisnya ya." Panitia itu pun segera memberikan selembar kertas untuk dipelajari oleh Marwah Jingga sebagai aturan dalam lomba itu.
"Makasih banyak ya Mas." Gadis itu pun meraih kertas itu dan segera pamit. Ia masih ada jadwal mengajar anak santri di Mushola sebelum waktu berbuka tiba. Ya, sejak ia tamat SMA, ia diminta oleh pengurus Mushola di dekat rumahnya untuk mengajar anak-anak mengaji.
"Ayo, kita pulang Ris, udah selesai daftarnya."
"Alhamdulillah, kamu baca bismillah kan tadi waktu mendaftar?" Risma menatapnya dengan tatapan tanya.
"Ya iyalah, semua kegiatan harus dimulai dengan menyebut nama Allah, semoga berkah mbak Risma sayang, ayo cepetan antar aku ke Mushola lagi." Marwah menjawab seraya mendudukkan dirinya di atas boncengan sahabatnya itu.
"Gak jadi beli takjil?"
"Ya jadi dong, Ibu akan senang sekali berbuka dengan kurma dan juga kue favoritnya." Tiba-tiba saja Marwah merasakan hatinya menghangat. Ia berharap ibunya panjang umur dan masih bisa menghabiskan Ramadhan ini bersama-sama sampai ramadhan berikutnya. Ibunya sekarang ini sering sakit-sakitan tapi masih sangat kuat untuk berpuasa.
Setelah membelikan takjil untuknya dan ibunya. Ia pun melanjutkan perjalanan mereka ke Mushola karena anak-anak santri pasti sudah menunggu. Untuk takjilnya akan ia bawa ke rumah bersamaan saat selesai mengajar.
"Makasih banyak ya Ris, udah ngojekin aku, hehehe." Marwah turun dari motor sahabatnya itu dengan senyum diwajahnya.
"Iya Mbak Marwah. Lain kali kalo ngojek harus bayar ya," canda Risma yang langsung dijawab dengan bibir mengerucut dari Marwah.
"Hahaha, canda kok. Nanti aja pas kamu menang lomba kamu harus traktir aku makan durian, gimana?" Risma tertawa dengan memberikan penawarannya.
"Aamiin, insyaallah. Udah ah, anak santri udah nungguin tuh. Makasih ya Ris."
"Okeh!"
Bruuum
Gadis itu pergi meninggalkan Marwah di depan halaman Mushola. Gadis itu masuk ke tempat itu setelah mengambil air wudhu.
Pengertian Idzhar Syafawi, Idzhar Syafawi yaitu bagian dari ilmu tajwid yang terjadi ketika huruf hijaiyah Mim Sukun ( مْ ) ketemu dengan seluruh huruf hijaiyah, selain huruf hijaiyah Mim dan huruf hijaiyah Ba. Idzhar berarti terang [jelas] atau tak berdengung Syafawi…
"Assalamualaikum mbak Marwah," ucap seorang perempuan tua setelah mengetuk pintu Mushola tempat anak-anak mengaji sore itu. Marwah langsung menghentikan penjelasannya di papan tulis.
"Waalaikumussalam warahmatullahi Bu Nini," jawab Marwah Jingga. Gadis berusia 18 tahun itu mengangkat tangan kanannya ke atas meminta izin pada santri untuk berhenti sejenak.
Sungguh ia ingin tahu keperluan Bu Nini tetangganya itu sampai datang ke Mushola.
"Masuk Bu, ada apa ya?" Marwah mempersilahkan perempuan tua itu untuk masuk dan duduk.
"Jangan kaget ya Mbak. Ibu sekarang sudah dibawa ke rumah sakit karena tiba-tiba saja pingsan. Dan maaf karena tidak menunggumu terlebih dahulu."
"Innalilahi. Ibu," ucap Marwah dengan perasaan yang sangat kaget. Tanpa terasa airmatanya tiba-tiba keluar dari pelupuk matanya.
🌻🌻🌻
*Bersambung.
Hai readers tersayang, jumpa lagi kita di sebuah kisah baru tentang kisah hidup di Marwah Jingga. Selamat menikmati. Eh, jangan lupa kasih bintang lima dong. Like dan komentarnya ditunggu ya.
Marwah akhirnya memulangkan semua santri saat itu juga. Ia harus pergi ke rumah sakit untuk melihat ibunya. Beberapa lembar pakaian ibunya ia bawa begitu pun uang tabungannya yang hanya beberapa lembar saja.
Gadis itu tak sanggup berkata-kata sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit dalam boncengan Risma. Hanya airmata dan doa yang mengiringinya sore itu.
Ciiit
Risma menghentikan motornya di depan ruang UGD sebelum membawanya ke tempat parkir. Marwah langsung berlari masuk ke ruangan itu untuk menanyakan kondisi sang ibu.
"Dokter, atas nama Ibu Saidah, dibagian mana ya?" tanyanya pada seorang dokter yang bertugas di bagian depan pada meja layanan di ruangan itu.
"Yang baru saja masuk. Ibu usia 50 tahun," lanjutnya untuk memperjelas pertanyaannya.
"Oh iya, silahkan kesana. Ada di bed nomor 4."
"Makasih dok." Gadis itu segera menyusuri deretan ranjang yang terpisah-pisah oleh tirai berwarna hijau itu.
"Ibu," panggilnya pada Saidah yang sudah nampak siuman. Perempuan tua itu hanya sendiri. Mungkin karena tetangga yang mengantar sudah pada pulang. Maklumlah buka puasa sebentar lagi. Mereka pasti ingin berbuka di rumah masing-masing bersama dengan anggota keluarga mereka.
"Wa'," lirih sang ibu.
"Maafin Marwah ya Bu, karena terlalu sibuk sampai gak jagain ibu sampai seperti ini." Marwah menitikkan airmatanya. Ia meraih tangan kurus Ibunya itu kemudian menciumnya.
Saidah ikut menangis. Ia kasihan pada putrinya yang harus bekerja keras untuk membantunya bertahan hidup. Sejak pandemi, ia sudah tidak bekerja lagi di pabrik. Tubuhnya juga entah kenapa sudah terasa semakin tua dan sakit-sakitan. Ia hanya bisa menjaga warung sembako kecil miliknya yang penghasilannya hanya seberapa.
Marwah Jingga membantunya berbelanja kalau pagi sedangkan kalau sore anak itu mengajar anak-anak mengaji di Musholla. Kalau ada yang berinfaq padanya ia tabung untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun itu tak seberapa tapi berkahnya begitu banyak.
"Apa kata dokter Bu?" tanya Marwah dengan hati-hati. Sungguh ia berharap kalau ibunya tidak mengidap penyakit yang berbahaya. Selama ini ia hanya berobat ke puskesmas jika sedang merasa sakit dan lelah. Saidah tak tahan untuk tidak mengeluarkan kembali airmatanya.
"Katanya ibu harus dioperasi nak dari hasil USG itu."
"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun. Ibu sakit apa?" Seketika tubuh Marwah gemetar. Ia takut dengan kata operasi. Apalagi pembayarannya. Mereka tak punya kartu BPJS yang katanya bisa membantu mereka berobat gratis.
"Ada miyom di dalam dinding rahim ibu nak," jawab Saidah dengan suara bergetar. Ia sungguh tak sanggup mengatakan ini. Tapi apa boleh buat. Ia tetap harus mengatakannya. Hanya Marwah keluarganya. Suaminya sudah lama pergi entah kemana. Sedangkan keluarga yang lainnya tak ada yang pernah melihat mereka karena terlalu miskin.
"Ibu, yang sabar ya, kalau lewat jalur operasi ibu baru bisa sembuh, insyaallah kita akan lakukan." Marwah berkata dengan tegas untuk menguatkan semangat sembuh untuk sang Ibu.
"Biayanya bagaimana Wa' kita sendiri tidak punya uang nak." Marwah tersenyum kemudian menjawab," Marwah akan ke kantor BPJS besok bu. Semoga saja bisa segera diproses."
"Iya nak. Terimakasih banyak ya, kamu sungguh anak yang baik."
"Ibu Jangan berkata seperti itu, aku anakmu. Dan itu adalah kewajibanku untukmu." Saidah tersenyum kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia ingin memeluk putrinya yang begitu baik padanya.
Allohu Akbar
Allohu Akbar
"Alhamdulillah, waktunya berbuka," ucap Risma yang baru muncul di antara mereka. Gadis itu membawa es buah ditangannya beserta takjil yang mereka beli di pinggir jalan tadi.
"Berbuka dulu Wa'," lanjut gadis itu seraya menyerahkan es buah dan juga sebungkus kurma pada Marwah.
"Makasih ya Ris. Bu, coba deh kurmanya. Insyaallah akan jadi obat mujarab untuk penyakit ibu, Aamiin." Marwah meminta ibunya untuk membuka mulutnya agar memakan kurma itu.
"Ibu gak jadi puasa deh hari ini, rasanya sangat menyesal. Bagaimana kalau saat ini adalah ramadhan terakhir untuk ibu, Wa'" Saidah merasakan hatinya menghangat. Ia mulai takut.
"Allah faham kok. Ibu kan lagi sakit jadi ada uzur untuk tidak berpuasa. Insyaallah ibu sembuh dan bertemu dengan ramadhan berikutnya, Aamiin."
Mereka bertiga pun menikmati takjil itu kemudian bergantian pergi ke masjid untuk sholat magrib.
Esok pun tiba. Dokter yang memeriksa sang ibu datang lagi untuk menanyakan kondisi Saidah," bagaimana kabarnya hari ini Ibu?" tanya sang dokter dengan ramah.
"Alhamdulillah, agak lebih baik daripada kemarin. Sekarang sudah tidak terlalu sakit."
"Ah iya Bu. Karena kami sudah menyuntikkan obat anti nyeri kedalam cairan ibu supaya bisa beristirahat dengan baik."
"Makasih banyak ya Dokter."
"Ah iya sama-sama. Tapi meskipun begitu ibu tetap harus menjalani operasi. Fibroid atau miyom ibu yang terdapat dalam rahim berada itu sudah banyak dan juga besar. Untuk itu rahim ibu pun harus kami angkat."
"Ya, Allah. Apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan dokter?" tanya Marwah dengan hati yang sangat khawatir. Dokter itu tersenyum kemudian menjawab.
"Hanya itu cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Memberikan obat-obatan mungkin bisa saja dilakukan jika seandainya fibroidnya tidak terlalu besar seperti ini. Atau jauh-jauh hari sudah diketahui indikasinya. Akan tetapi sekarang hal itu sudah tidak bisa lagi kita lakukan. Ini sudah sangat parah dan berbahaya untuk rahimnya.
Saidah hanya bisa menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ia begitu takut dengan apa yang didengarnya saat ini.
"Kalau begitu lakukan yang terbaik dokter. Semoga ditangan dokter ibu bisa sembuh."
"Aamiin."
"Baiklah Bu. Jangan khawatir. Ada banyak kok perempuan yang tidak punya rahim masih sehat sampai sekarang. Yang terpenting adalah ibu sehat."
"Iyaa dokter. Terima kasih banyak."
Dokter muda itu pun pergi dasi sana dengan senyum diwajahnya.
"Kenapa kamu berani menyetujui operasi ini Wa' darimana kita akan ambil uangnya." Saidah menatap putrinya itu dengan tatapan sedihnya. Sekarang bukan penyakitnya lagi yang ia pikirkan akan tetapi biaya operasi pun harus ia pikirkan.
"Ibu tidak usah mikirin itu ya, yang penting ibu sembuh. Saya akan ke kantor BPJS saat ini juga. Semoga kita bisa terdaftar. Sekarang saya dan Risma berangkat dulu ya, ibu bisa sendiri kan disini?" Saidah tersenyum kemudian menyentuh kepala putrinya yang berbalut selembar jilbab instan.
"Hati-hati."
"Iya Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Dua gadis itu pun pergi dari hadapan Saidah. Akan tetapi sebelumnya mereka berdua mampir dibagian administrasi untuk menanyakan jumlah biaya operasi itu.
"Karena pasien tidak mempunyai kartu BPJS, itu artinya harus masuk umum ya mbak, 60 puluh juta yang harus disediakan. Dan itu belum termasuk biaya rawat pasien selama beberapa hari di sini."
Marwah Jingga merasakan tubuhnya membeku. Selama hidupnya uang lima juta saja tidak pernah ia lihat apalagi uang sebanyak itu. Rasa optimisnya tiba-tiba menguap entah kemana.
"Ayo, jangan dipikirkan dulu. Kita masih ada jalan lewat BPJS." Risma menarik tangannya untuk segera pergi dari tempat itu.
Untuk perawatan selama dua hari ini berapa?
Apa uang tabunganku cukup, oh tidak.
🌻🌻🌻
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like ketik komentar dan kirim hadiahnya yang super banyak agar othor semangat updatenya okey?
Nikmati alurnya dan happy reading 😍
"Bagaimana Wa' apa kata petugas nya?" tanya Risma dengan wajah penasarannya. Hatinya tiba-tiba merasa was-was karena sahabatnya itu keluar dari kantor BPJS dengan bahu menurun serta wajah yang sangat tak bersemangat.
"Saya sudah daftar sama ibu. Tapi sayangnya gak bisa dipakai sekarang. Baru bisa digunakan setelah 15 hari atau 2 pekan. Jadi gimana dong? padahal kondisi ibuku sudah sangat mengkhawatirkan." Marwah tak sadar menitikkan airmatanya. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu sangat sedih karena miskin.
"Ya, mau gimana lagi Wa'. Andaikan biayanya gak semahal itu mungkin aku bisa bantu. Kita berdoa saja semoga Ibumu masih bisa bertahan sampai kartunya bisa digunakan."
"Aamiin. Ayo kita cepat kembali ke rumah sakit. Ibuku gak ada yang nemenin lho."
"Eh, iya." Risma setuju. Ia pun mengambil motornya. Mereka pun kembali ke Rumah sakit yang untungnya tidak jauh dari kantor BPJS yang mereka datangi tadi.
"Ibu, maaf ya, kami lama baru balik. Ibu gak apa-apa kan?"
"Alhamdulillah tidak nak. Cuma tadi perawat nanya, kita ini masuk sebagai pasien umum atau menggunakan Jaminan kesehatan?" tanya Saidah dengan perasaan yang sangat sedih. Ia tahu jawabannya tapi ia berusaha untuk mengulur waktu.
"Ibu sudah lebih baik kok Wa' jadi kamu minta saja kita keluar. Biaya rumah sakit selama dua hari ini pasti mahal."
"Ibu tenang ya. Saya akan melapor pada staf administrasinya." Marwah segera berdiri dari duduknya dan meninggalkan ibunya lagi. Tak berapa lama kemudian ia pun datang.
"Operasi ibu akan dilakukan saat kartunya bisa digunakan. Jadi saya meminta kita keluar aja dulu hari ini Bu." Marwah Jingga berusaha menahan airmatanya agar tidak tumpah. Uang tabungannya hanya bisa membayar perawatan sang ibu untuk 2 hari. Hatinya sungguh sangat sedih karena tidak melakukan yang terbaik untuk ibunya.
"Iya tak apa nak. Kita keluar saja. Dengan minum obat insyaallah ibu akan baik-baik saja." Saidah sangat mengerti kesulitan anaknya. Andai ia mati saja, ini mungkin akan lebih baik.
"Maafkan Marwah Bu. Marwah belum bisa melakukan hal yang terbaik untuk ibu, hikss." Gadis itu memeluk ibunya dengan perasaan yang sangat sedih. Hatinya bagaikan sedang diremas-remas dengan sangat keras.
Saidah berusaha untuk tersenyum dan menghibur putrinya, "Eh, ini tidak apa-apa. Ibu sekarang sudah sehat. Kamu jangan sedih. Bukan penyakit yang membuat orang bisa mati Wa' tapi ajal nak."
"Ibu jangan bicara mati. Marwah yakin ibu akan sehat saat operasi nanti. Jadi sekarang kita bersiap pulang ya," ujar gadis itu dengan tangan menyusut airmatanya. Saidah mengangguk. Ia tak punya pilihan lain.
Tak lama kemudian perawat pun datang untuk membuka jarum infusnya. Setelah itu mereka pun pergi dari Rumah Sakit itu dengan rasa sakit yang masih dirasakan oleh perempuan paruh baya itu. Hanya saja ia tidak ingin memberitahukannya pada sang putri. Ia harus berusaha nampak sehat dan baik-baik saja.
🌻
"Ibu, Doakan Marwah ya, malam ini, Marwah ikut lomba nasyid," ujar gadis itu seraya menciumi ibunya yang nampak sangat pucat. Perempuan paruh baya itu balas mencium pipi putrinya dengan perasaan haru.
"Semoga kamu menang ya sayang, supaya cita-citamu tercapai." jawab sang ibu dengan linangan airmatanya.
"Kenapa ibu menangis?" Marwah segera menghapus lelehan airmata itu dengan ibu jarinya.
"Karena ibu tidak bisa menyaksikan kamu tampil nak. Andaikan ibu sehat, ibu pasti akan ikut menonton."
"Tidak apa Bu. Risma yang akan merekam penampilanku nantinya jadi ibu bisa menonton nanti saat kami pun pulang."
"Ah iya Wa' kamu pakai baju siapa ini kok cantik banget." Saidah memandang putrinya yang nampak sangat cantik dimatanya itu.
"Saya pinjam sama Risma Bu. Dan make up-nya pun Risma yang urus."
"Alhamdulillah, semoga kalian jadi sahabat selamanya," ujar Saidah kemudian melepaskan kepergian putrinya dengan perasaan penuh haru. Rasanya ia tidak ingin ditinggalkan oleh Marwah sendiri di rumah itu. Tapi sayangnya ia tidak bisa menahan putrinya itu.
🌻
Marwah dan Risma tiba ditempat lomba ketika MC sudah berdiri di atas panggung. pria dan wanita itu mulai membuka acara dengan sangat heboh.
Karena ini adalah acara pertama yang diadakan setelah pandemi berlalu, maka antusiasme masyarakat sangatlah tinggi. Penonton sangatlah banyak. Apalagi hadiahnya juga sangat menggoda. Selain beasiswa untuk kuliah di universitas, promosi untuk rekaman pun ada bagi juara 1, dan beberapa hadiah hiburan lainnya.
Marwah pun segera ke belakang panggung untuk bersiap-siap. Nomor urut tampilnya adalah nomor 2.
"Hey, kamu ikut lomba ini juga?" tanya seorang gadis muda seusianya. Tampilannya sangat cantik dengan pakaian yang sangat mewah dan berkelas. Ia adalah Putri Ayuningtyas, teman sekelasnya duku sewaktu SMA.
"Iya Put, kamu nomor urut berapa?" Marwah tersenyum kemudian balas bertanya.
"3, tapi aku yang akan menang!" Putri menjawab dengan dagu terangkat. Ia menatap Marwah dengan tatapan mencemooh. Gadis itu dari dulu tidak pernah suka pada Marwah.
Marwah tidak menjawab. Tentu saja ia juga ingin menang. Jadi ia diam saja. Dan juga ia tahu bagaimana sifat Putri Ayuningtyas, semasa sekolah dulu. Orangnya tak pernah mau kalah maupun mengalah.
Tepuk tangan terdengar dari arah panggung. Itu artinya sekarang adalah giliran dari Marwah Jingga yang akan tampil. Ia pun berdiri dari duduknya tapi tiba-tiba merasakan pakaian tertarik ke bawah.
"Awwww, ada apa ini?" ujar gadis itu panik. Ia tidak bisa mengangkat gaunnya karena seperti terkena lem dari tempatnya duduk.
"Penampilan berikutnya dengan nomor urut 2, Marwah Jingga!" Namanya dipanggil dan ia belum juga bisa terlepas dari kursi itu. Gadis itu panik, berharap ada yang mau menolongnya. Risma pun entah kemana.
"Ya Allah, ada apa ini?" ujarnya lagi dengan tubuh gemetar. Ia pun bernafas lega karena ada seseorang yang tiba-tiba saja muncul di tempat itu. Seorang pria tampan dengan pakaian yang sangat rapih. Ia tidak tahu siapa itu yang jelasnya ia butuh pertolongan.
"Maaf Mas, eh Pak, sekarang giliran saya untuk tampil tapi gaunku tidak bisa terlepas dari kursi. Mohon bantuannya." Marwah Jingga melipat tangannya di depan dadanya. ia benar-benar sangat butuh bantuan sekarang ini. Pria itu tersenyum kemudian mendekat. Ia melihat apa yang terjadi pada bagian belakang gadis itu.
"Ini permen karet, kok bisa? Dan MasyaAllah banyak sekali." Pria itu bergumam di belakang Marwah dengan perasaan kasihan.
"Bagaimana dengan peserta nomor 2 sekali lagi, atas nama Marwah Jingga!" Namanya kembali dipanggil dan ia semakin tegang.
"Mas, tolong. Saya bisa gugur nih," Marwah hampir menangis. Ia sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Sementara pria itu masih terus berusaha melepaskan permen karet yang menempel di bagian belakangnya.
🌻🌻🌻
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like ketik komentar dan kirim hadiahnya yang super banyak agar othor semangat updatenya okey?
Nikmati alurnya dan happy reading 😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!